Webinar SMERU Research Institute: Menilik Adaptasi dan Ketangguhan Layanan Kesehatan dan Kelompok Rentan dalam Menghadapi Pandemi COVID-19
Rabu, 15 Juli 2020
The SMERU Research Institute, didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) mengadakan webinar bertajuk “Menilik Adaptasi dan Ketangguhan Layanan Kesehatan dan Kelompok Rentan dalam Menghadapi Pandemi #COVID19”. Webinar ini merupakan seri ketiga dari studi SMERU Institute mengenai dampak COVID-19. Webinar ini bertujuan menjelaskan rangkaian sembilan studi yang menganalisis kondisi sosial ekonomi di tengah pandemi COVID-19, salah satunya di bidang kesehatan dan ketahanan sosial budaya masyarakat.
Webinar yang berlangsung pukul 10.00 - 12.00 WIB ini dipandu oleh moderator Sulton Mawardi yang merupakan peneliti senior di SMERU Institute. Adapun narasumber dalam webinar ini ialah Nurmala Selly Saputri dan Rizki Fillaili selaku peneliti di SMERU Institute. Penanggap dalam webinar ini ialah Muh. Fahrisal A selaku Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Wisnu Yulianto selaku Seksi Gizi Dinkes Pemprov DKI Jakarta dan Meuthia Ganie-Rochman selaku Dosen Departement Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia.
Webinar ini dibuka oleh Widjajanti Isdijoso, Direktur SMERU Institute. Wanita yang biasa disapa Anti ini menjelaskan pandemi COVID-19 membawa dampak yang sangat luas di berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Pandemi COVID-19 juga memengaruhi kondisi sosial ekonomi dan menghadirkan dampak - dampak lainnya.
“Untuk pelayanan dasar KIA, masyarakat menengah ke bawah akan mengalami hambatan karena tidak boleh berkumpul. Kita khawatir ada dampak jangka panjang untuk kualitas manusia. Misalnya, balita yang perkembangan dan imunisasinya tidak berjalan baik,” ujar Widjajanti.
Guna mengkaji dampak - dampak COVID-19 ini, peneliti dari SMERU Institute telah melakukan beberapa penelitian. Nurmala Selly Saputri selaku peneliti SMERU Institute menyampaikan hasil penelitian singkat berjudul “Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Pelayanan Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) : Studi Kasus Lima Wilayah di Indonesia”. Wilayah yang diteliti antara lain DKI Jakarta - Jakarta Timur, Jawa Barat - Bekasi, Sulawesi Selatan - Maros, Bali - Badung, dan NTT - Kupang. Metode penelitian yang digunakan ialah mixed method.
Selly mengatakan bahwa pandemi COVID-19 memberikan tantangan baru yang mengancam keselamatan ibu dan anak. Pandemi ini membuat penurunan kunjungan KIA ke pelayanan kesehatan. Penurunan kunjungan ini pun bahkan tidak membaik setelah pandemi berakhir. “Kalau kita lihat dari yang dulu (sebelum COVID-19), pandemi seperti Ebola membuat penurunan pelayanan kesehatan khususnya di bidang KIA,” ujar Selly.
Dalam penelitiannya, Selly menemukan bahwa pelayanan kehamilan difokuskan di puskesmas, kunjungan ke rumah, dan via daring. Terkait pelayanan kehamilan Selly menemukan bahwa dalam pandemi COVID-19, pelayanan secara daring memang cukup dimanfaatkan. “Saat pandemi Ebola pelayanan via WhatsApp belum tereksplor. Pada pandemi COVID-19, nakes memanfaat WhatsApp untuk pemantauan/supervisi kader di daerah. Walau dari lima wilayah, di Kupang masih terbatas aksesnya,” ujar Selly.
Terkait penurunan pelayanan K1 dan K4, Selly menemukan bahwa terjadi penurunan saat pandemi COVID-19. Untuk penurunan pelayanan K1 tertinggi pada Kabupaten Maros, Kota Jakarta Timur dan Kabupaten Badung. Terkait penurunan pelayanan K4 tertinggi pada Kota Jakarta Timur, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Badung.
Terkait pelayanan persalinan tidak banyak berubah, namun temuan penelitian menunjukkan ada beberapa kendala. Kendala tersebut misalnya kesulitan merujuk di Kabupaten Maros karena wilayah tersebut masuk zona merah. Kendala lain ialah kesulitan merujuk di Kota Kupang karena ada penolakan dari keluarga. Di Kupang pasien takut, terutama saat tahu Faskes yang dituju merawat pasien COVID-19.
Terkait pelayanan persalinan, Selly melaporkan temuan yang bisa menjadi perhatian bersama khususnya bagi Dinkes DKI Jakarta. “Di Jaktim ada persalinan di non faskes dan non nakes pada Februari hingga April 2020. Ini bisa dikarifikasi oleh penanggap dari Dinkes. Ini cukup mengejutkan di Jakarta masih ada persalinan di non nakes,” ujar Selly.
Peneliti SMERU Institut Rizki Filalili juga memaparkan hasil penelitiannya bertajuk “Ketangguhan Sosial Budaya Kelompok Rentan dalam Menghadapi Pandemi COVID-19”. Rizki menyatakan semua masyarakat baik individu, komunitas, regional maupun global harus tangguh bersama-sama.”Ketangguhan yang dimaksud ialah proses masyarakat (komunitas) pulih kembali, melaksanakan kehidupan dengan memanfaatkan fasilitas yang mereka punyai baik sosial dan ekonomi,” ujar Rizki. Ia melihat bagaimana kelompok rentan membangun ketangguhan saat pandemi. Rizki mengatakan kelompok rentan terpapar dampak pandemi dan kesulitan bertahan hidup sehari - hari.
Dalam penelitian ini, Rizki mewawancarai 20 informan dari berbagai wilayah. Adapun komunitas yang ia teliti antara lain komunitas perkotaan di pemukiman padat Jakarta Timur, komunitas perkotan di pinggiran Jakarta Timur, komunitas desa adat di Kabupaten Badung Bali dan komunitas pekerja migran di Jakarta dan sekitarnya.
Dalam penelitiannya, Rizki menemukan di pemukiman padat di tengah kota Jakarta, ternyata persepsi masyarakat cukup rendah. Di pinggiran kota, persepsi tertular dan kekhawatiran cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena ada warga sekitar terinfeksi COVID-19, sehingga mereka ketat menjaga protokol seperti memasang portal, mengecek suhu dan memantau aktivitas masyarakat. Untuk komunitas migran, mereka lebih menerapkan strategi adaptasi. Di desa adat Badung Bali, Rizki menemukan kepatuhan masyarakat yang cukup tinggi. “Warga rata - rata takut tertular dan mendapat risiko sanksi adat. Misalnya takut digrebek pecalang (petugas keamanan), dihukum adat, dan diceremahi di depan umum atau isitilahnya dibuat malu,” ujar Rizki.
Rizki memaparkan beberapa temuan utama dalam penelitiannya. Pertama, masyarakat memiliki tingkat kepatuhan pada protokol kesehatan yang dipengaruhi oleh presepsi risiko kesehatan dan risiko (sanksi) adat. Kedua, individu dan masyarakat beradaptasi pada perubahan kondisi sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi. Penerapan strategi adaptasi di tingkat masyarakat mengandalkan pada sistem organisasi masyarakat. Ketiga, Rizki juga menemukan ada tantangan membangun ketangguhan terkait dengan kohesi sosial dimasyarakat dan tingkat kerentanan yang berbeda antar komunitas.
Keempat, pulang kampung menjadi strategi bertahan hidup (jangka pendek) bagi pekerja migran, memanfaatkan bonding social capital. Kelima, dukungan komunitas di tempat migran bekerja pada umumnya terbatas. Ikatan sosial dan emosional dengan masyarakat sekitar rendah dan menambah kerentanan. Keenam, peran pekerja migran sangat besar bagi pembangunan ekonomi desa, sehingga ketangguhan desa harus diperkuat.
Hasil penelitian dari SMERU Institut ini mendapat tanggapan dari Dinkes DKI Jakarta dan Akademisi Universitas Indonesia. Muh. Fahrisal A selaku Seksi Kesehatan Keluarga Dinkes Pemprov DKI Jakarta memberikan klarfikasi terkait persalinan di non faskes yang terjadi di Jakarta. “Persalinan non faskes meski dirumah tetap melibatkan nakes. Di rumah ada keluarga yang nakes,“ ujar Fahrizal.
Fahrizal juga setuju dengan data peneliti bahwa pelayanan KIA ada penurunan signifikan khususnya pada puncak pandemi saat PSBB pada akhir Maret. Hal ini memengaruhi pada kunjungan pelayanan baik ibu hamil, nifas, dan melahirkan. Ia juga membenarkan bahwa tingkat COVID-19 di DKI Jakarta tinggi pada pekan-pekan terakhir ini. “Pekan ini meningkat karena kita tes kurang lebih 365 ribu sampel,” ujar Fahrizal.
Ia juga memberikan tanggapan terkat pelayanan kesehatan. “Kematian ibu perlu dikaji apa ada hubungan antara rendahnya pelayanan kesehatan dengan meningkatnya kematian,” ujar Fahrizal
Wisnu Yulianto selaku Seksi Gizi Dinkes Pemprov DKI Jakarta memberikan tanggapan terkait gizi. Ia mengatakan gizi ruhnya ada pada pemantauan pertumbuhan balita dan bayi di Posyandu. Ia mengatakan pandemi ini, sedikit banyak memengaruhi proses pemantauan tersbeut. “Apalagi ada kebijakan sekda mengharuskan penundaan sementara kegiatan Posyandu,” ujar Wisnu.
Terkait stunting, Wisnu melihat tren monitoring balita berisiko, trennya mengalami penurunan yang cukup jauh. “Pada Januari - Februari 2020 cukup tinggi karena saat itu banyak program gizi. Maret masih terdapat pengukuran hingga minggu kedua, setelah itu PSBB. April - Juni tetap proses pemantauan. Karena keterbatasan tak semua masyarakat punya smartphone, kita masih punya kendala komunikasi dan intervensi,” ujar Wisnu.
Meuthia Ganie-Rochman selaku Dosen Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia memberikan tanggapan khususnya terkait isu sosial masyarakat. Meuthia mengatakan studi yang dilakukan SMERU Institute memiliki kekuatan memberikan karena menyajikan perbedaan karakter masyarakat. Penelitian tersebut juga menyajikan presepsi yang dalam wilayah berbeda dan memaparkan bagaimana bisa terjadi conflicting preception.
Namun Meuthia mengatakan SMERU Institute belum melihat kapasitas organisasi masyarakat secara mendalam. “Kalau melihat ketahanan masyarakat tidak cukup hanya melihat masyarakatnya saja, tapi bagaimana ia connect terhadap organisasi masyarakat lain. Itu tidak boleh ditutupi sebagai potensi mengatasi masalah,” ujar Meuthia.
Meuthia menambahkan pemerintah memang sudah melakukan sosialisasi cuci tangan dan lain sebagainya. Tapi ia menyarankan sosialisasi ini harus dilakukan dalam konteks yang lebih luas. Seperti cuci tangan, ada masyarakat yang jauh dari fasiltitas sanitasi.“Kita membutuhkan partner yang lebih kompeten untuk mengingatkan dan memberi penjelasan di tingkat masyarakat,” kata Meuthia.
Terkait tingkat ketahanan masyarakat menghadapi pandemi COVID-19, Meuthia juga memaparkan beberapa faktor untuk membahas ketahanan. Faktor tersebut antara lain sifat shock, sumber daya (modal sosial/material/moral), karakter sosial komunitas, fungis dalam organisasi dan hal yang ada di luar masyarakat tersebut.
Reporter: Kurnia Putri Utomo (PKMK FK-KMK UGM)