Reportase Forum Analisis Kebijakan JKN:
Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan bukti

Seri V Kerangka Kerja Nasional Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam JKN

kerangka acuan

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE

PKMK FK KMK UGM menyelenggarakan diskusi Forum Analisis Kebijakan JKN seri V dengan topik Kerangka Kerja Nasional Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Acara yang diselenggarakan melalui aplikasi zoom ini diisi oleh narasumber dari peneliti PKMK FK KMK UGM dan pembahas dari berbagai organisasi yaitu BPJS Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan – Kementerian Kesehatan RI, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan – Kementerian Kesehatan RI, dan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI). Selama dua jam berlangsung, peserta yang mengikuti acara ini mencapai lebih dari 70 orang.

Sesi pertama diisi oleh Candra, peneliti PKMK FK KMK UGM yang membawakan materi “Apakah mekanisme Kapitasi Berbasis Komitmen (KBK) dapat berjalan efektif di FKTP?” Topik ini diangkat dari penelitian dengan pendekatan evaluasi realis yang bertujuan untuk: menganalisis implementasi kebijakan kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan dalam meningkatkan mutu layanan era JKN, menganalisis kondisi kontekstual yang diperlukan agar kebijakan dapat berjakan, serta mengeksplorasi mekanisme yang mendasari kebijakan KBK berkontribusi terhadap perubahan praktek penyedia layanan mitra BPJS Kesehatan.

Penelitian dilakukan dengan menilai capaian indikator-indikator KBK yaitu kontak rate, rujukan non spesialistik, prolanis, dan input data P-Care. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator kontak rate belum mencapai target. Indikator ini tidak tercapai disebabkan oleh tidak tersedianya SDM yang sesuai standar di FKTP serta petugas FKTP memiliki tugas overload pada saat kunjungan lapangan. Situasi ini menyebabkan merasa FKTP merasa jumlah target layanan kegiatan luar gedung menjadi beban karena besarnya jumlah peserta yang terdaftar di wilayah kerja FKTP sehingga FKTP semampunya melakukan kegiatan promotif preventif di lapangan. Dampaknya, Peserta JKN terdaftar di wilayah kerja FKTP tidak mendapatkan layanan kesehatan dan FKTP tidak mencapai zona aman.

Indikator kedua, yaitu rujukan non spesialistik juga tidak tercapai karena FKTP tidak memiliki sarana dan prasarana yang mendukung dokter untuk menegakkan 144 diagnosa yang harus tuntas di FKTP dan dokter tidak memiliki kompetensi memadai menuntaskan 144 diagnosa tuntas di FKTP. Situasi ini menyebabkan FKTP merasa kurang mampu untuk menekan rujukan kasus non spesialistik yang seharusnya selesai ditangani di FKTP. Dampaknya, rujukan non spesialistik tetap terjadi, dan FKTP masuk zona tidak aman.

Indikator ketiga, yaitu kunjungan rutin prolanis tidak tercapai karena rendahnya partisipasi peserta prolanis berkunjung ke FKTP serta peserta prolanis yang orientasi FKTP hanya untuk menebus obat. Situasi ini menyebabkan petugas FKTP berinisiatif mengelola dana prolanis untuk dibelikan baju seragam, dan hadiah lainnya agar peserta konsisten senam dan periksa kesehatan. Dampaknya, kesinambungan pelayanan penyakit kronis peserta Prolanis tetap tidak terlaksana karena peserta prolanis tidak patuh.

Indikator keempat, yaitu input data P-care juga belum optimal tercapai karena adanya kegiatan pencatatan adminstrasi PIS PK dan kegiatan UKM saat melakukan kunjungan lapangan yang menjadi program utama FKTP serta FKTP memiliki nilai kapitasi yang besar. Situasi ini menyebabkan FKTP merasa KBK memberikan beban tambahan bagi FKTP dalam melakukan pencatatan administratif kunjungan sehat sehingga melakukan input data P-care semampunya yang membuat input data tidak lengkap dan target KBK tidak tercapai serta FKTP merasa pemotongan besaran nilai kapitasi tidak menjadi masalah karena target layanan yang menjadi penilaian kinerjanya cukup membebani FKTP sehingga semampunya mencapai target KBK.

Diakhir paparan Candra menyampaikan kesimpulan penelitian berupa: program KBPKP berpotensi meningkatkan mutu layanan primer meskipun perlu penyesuaian desain dan pelaksanaan program agar mengakomodir variasi konteks di berbagai daerah yang berbeda.

Penyaji kedua adalah Eva Tirtabayu Hasri, peneliti PKMK FK KMK UGM, yang menyampaikan materi bertopik Hasil Evaluasi Kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Topik ini merupakan hasil penelitian realis terhadap kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya yang diterbitkan oleh BPJS Kesehatan tahun 2016. Penelitian diselenggarakan di 13 provinsi namun karena keterbatasan, data yang dapat diolah adalah dari DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan Bengkulu. Data dikumpulkan melaui wawancara mendalam dengan tim kendali mutu dan kendali biaya (TKMKB) di tingkat rumah sakit, tingkat cabang, tingkat pusat dan BPJS Kesehatan. Penelitian ini bertujuan mengungkap kesenjangan dalam pelaksanaan tugas KMKB yaitu sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan, utilization review dan audit medis, serta pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.

Hasil penelitian secara umum adalah empat kegiatan KMKB secara keseluruhan berjalan di enam provinsi. ada rumah sakit yang audit medisnya tidak berjalan karena tidak diberikan wewenang oleh manajemen, serta penatalaksanaan UR belum sepenuhnya mandiri karena keterbatasan skill TKMKB dalam mengolah data. Komponen pembinaan etika, disiplin profesi dan sosialisasi kewenangan tenaga klinis dapat berjalan karena BPJS Kesehatan berkoordinasi optimal dengan TKMKB di lapangan. Hal ini terjadi dengan mekanisme: TKMKB memberikan rekomendasi kepada organisasi profesi dan rumah sakit tentang pembinaan etika dan disiplin profesi dan kewenangan klinis. Komite medis melakukan pembinaan etika, disiplin profesi dan sosialisasi kewenangan tenaga klinis. Dampaknya, pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kewenangan tenaga klinis, etika, dan disiplin profesi.

Komponen utilisasi review sudah berjalan dalam situasi TKMKB tidak mempunyai akses data ke data BPJS Kesehatan serta TKMKB tidak mempunyai kemampuan mengolah data. Mekanisme yang berjalan dalam pelaksanaan utilization review adalah BPJS Kesehatan menyediakan data UR dan mengolahkan data UR untuk TKMKB. Dampaknya, pelayanan kesehatan yang diberikan dapat mengendalikan biaya dan mengendalikan mutu. Demikian juga komponen audit medis, yang dapat berjalan dalam konteks adanya peraturan yang mengharuskan komite medis melakukan audit medis, adanya pedoman dan pelatihan tentang audit medis, serta TKMKB berasal dari komite medis. Situasi ini dapat terjadi dengan mekanisme TKMKB telah memiliki pengetahuan, kompetensi, dan tanggung jawab melakukan audit medis sehingga pelayanan yang diberikan dapat mengendalikan mutu dan biaya.

Hasil sajian dua pemateri ini kemudian dirangkum oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua, peneliti senior PKMK FK KMK UGM dalam sebuah kerangka mutu. Menurut Hanevi, dari tiga dimensi Universal Health Coverage (UHC), dimensi yang sangat jarang dibahas adalah terkait mutu. Misalnya, setelah kita memberi banyak pelayanan kepada pasien bagaimana mutu layanannya sebenarnya? Padahal cita-cita UHC adalah memberi pelayan bermutu tanpa hambatan finansial. Lalu bagaimana mutu layanan JKN kita? “Saya melakukan penelitian di Kabupaten Sleman tentang cakupan efektif hipertensi. Hasilnya seperti ini, dari seluruh penderita hipertensi di Kabupaten Sleman, terdapat 80% yang sudah berobat. Ini sudah baik. Namun baru 28.4% yang sudah mencapai cakupan efektif yaitu pasien yang mendapat pelayanan bermutu dengan tekanan darah terkontrol.” Menurut Hanevi, cakupan efektif inilah yang perlu dicapai untuk menjamin mutu dalam pelayanan program JKN.

Materi-materi yang disampaikan oleh penyaji ini kemudian ditanggapi oleh para pembahas. Pembahas pertama, yaitu dr. Dwi Martiningsih dari BPJS Kesehatan yang menanggapi tentang KBK. Menurut Dwi, saat ini sudah terbit regulasi BPJS Kesehatan tentang KBK yang baru, yang menyampaikan bahwa KBK akan berbasis pada kinerja bukan komitmen. Regulasi ini terbit sebagai respon dari evaluasi efektifitas KBK yang diteliti oleh Universitas Indonesia (UI). Dalam regulasi baru ini perubahan yang dilakukan diantaranya adalah menambah output (sebagai hasil kinerja), meniadakan peer review terkait pemenuhan 144 penyakit, dan kunjungan spesialistik yang semula 5% diturunkan menjadi 2%. Singkatnya, regulasi yang baru ini lebih mendorong FKTP untuk lebih efektif dan efisien lagi dalam memberi pelayanan.

Terkait materi KMKB, Dwi menambahkan, TKMKB punya petunjuk teknis tentang siapa, kapan, dan bagaimana cara kerja. TKMKB ada 3 tingkat yaitu di pusat, provinsi, dan cabang BPJS Kesehatan. Terkait data, lanjut Dwi, sebenarnya data yang digunakan tidak hanya dari BPJS Kesehatan, karena bisa saja data dari media massa dan lain sebagainya. Kemudian terkait audit medis ini, karena mengikuti regulasi yang ada, dalam penyelenggaraannya perlu melibatkan organisasi profesi.

“TKMKB dibentuk oleh BPJS Kesehatan dalam waktu 2 tahun, dan ada syarat-syarat tertentu yang kita minta ke organisasi profesi nanti organisasi profesi yang mengusulkan. Karena tahun 2019 ada banyak masalah, maka TKMKB dibagi jadi 2 yaitu TKMBK Primer dan TKMKB Rujukan. Mekaneisme kerja: meraka membuat juknis, output, dan melakukan pengambilan data. Jadi mereka nanti akan membawa data ke pusat untuk diolah,” tutup Dwi.

Pembahas selanjutnya adalah drg. Indra Rachmad Dharmawan, MKM dari Direktorat Jendral Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. Menurut Indra, Kementerian Kesehatan mempunyai tugas mentapkan kebijakan dan perhitungan standar tarif. KBK ini memang untuk memperbaiki kualitas di layanan primer, namun tidak serta merta dengan adanya KBK ini, menjadi dasar untuk pemotongan kapitasi supaya ada efisiensi karena sedang ada defisit. Terkait KBK ini, saat ini Dinas Kesehatan sudah melalui pertemuan berkala untuk menyamakan persepsi tentang definisi operasionalnya (DO). Kementerian Kesehatan juga sudah mengedepankan peran Dinkes Provinsi untuk dapat meminta data dari BPJS Kesehatan di daerahnya untuk diolah.

Terkait 144 penyakit, lanjut Indra, saat ini kita sudah tidak lagi melakukan peer review. “Kementerian Kesehatan sudah berupaya menyisir dari 144 penyakit yang tidak bisa tuntas di FKTP dan dihasilkan 16 penyakit yang tidak bisa tuntas di FKTP sehingga memerlukan kedalaman.” Lebih lanjut Indra memberi masukan untuk pengembangan penelitian. “Untuk mecapai mutu pelayanan, mungkin dapat dikaji juga efektifitas pelaksanaan akreditasi dari fasilitas kesehatan yang diteliti. Masukkan terkait angka kontak, kita perlu melihat juga program-program kita yaitu Porgram Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS PK), ini harus dilihat apakah kegiatan PIS PK ini juga termasuk angka kontak. Karena ini juga terkait program nasional.” Dalam pembahasan ini Indra menutup dengan pernyataan “intinya bagaiaman kegiatan-kegaitan mutu dilaksanakan secara terintegrasi.”

Pembahas selanjutnya adalah dr. Yuli Farianti, M. Epid dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan – Kementerian Kesehatan. Menurut Yuli, TKMKB harus independen, selain TKMKB juga ada tim yang lain. Namun diantara tim ini tidak ada sinergitasnya, sehingga temuan bahwa kesulitan akses data juga memang terjadi di lapangan. Banyak sekali aduan itu malah masuk ke DPK tingkat nasional bukan provinsi. Perlu ada sinergi kerja tim tim ini agar tidak ada tumpang tindih. Tim ini juga perlu diperkuat dengan data sehingga terbentuk mekanisme yang ada di lapangan. “Saat ini kami lihat baru banyak fokus terhadap kendali biaya, belum kendali mutu. Intinya, tim-tim yang ada di lapangan, perlu ada sinergitas dalam bekerja.” Terakhir, kata Yuli, tentang KBK, harus diperhatikan kembali dari 144 penyakit apa kendalanya dan batasan apa.

Pembahas terakhir ada dr. Daniel Wibowo, M.Kes selaku Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan PERSI. Menurut Daniel, KMKB bertujuan untuk menjamin pelayanan agar sesuai dengan standar pelayanan dan diselenggarakan secara efisien. Maka kalau kita mau evaluasi KMKB, maka kita harus lihat lagi apakah pelayaanya memang sudah seusai standar dan sudah efisien. “Catatan saya berdasar paparan Bu Eva, TKMKB kan terdiri dari Tim Koordinasi dan Tim Teknis. Selama saya mengurusi BPJS Kesehatan ini belum pernah ketemu dengan TKMKB tingkat Pusat. Kita perlu membuat jembatan, kalau kita bikin organiasi bertingkat maka harus jelas alur kerjanya. Bagaimana koordinasinya dengan organisasi profesi, ini banyak pekerjaan yang sebenarnya menjadi pekerjaan profesi, tidak boleh diambil alih menjadi peran TKMB karena TKMKB bukan suprastruktur.”

Lebih lanjut Daniel menyatakan, “output apakah akan tercapai dengan keberadaan TKMKB yang sudah ada terus menerus ini. Sejauh mana pemanfaatan hasil kerja TKMKB untuk pengambilan kebijakan oleh BPJS Kesehatan. Jangan-jangan kebijakan yang dikeluarkan dipilih-pilih mana yang baik dan tidak. Sehingga peraturan BPJS Kesehatan No. 8/ 2016 perlu dievaluasi.” Daniel mengusulkan agar TKMKB secara independen diberi kesempatan untuk berinisiatif melakukan perannya, bukan bekerja atas pesanan BPJS Kesehatan. “Biarlah berjalan secara independen dan proaktif untuk menyelesaikan masalah dan memberi masukan. TKMKB bekerja on proses termasuk juga yang ada di tingkat RS, sehingga bisa menjadi tempat konsultasi tim case mix yang ada di RS. Harus menyertai proses pelaksanaan JKN.”

Sebagai penutup Daniel mengatakan, “mutu pelayanan RS harus dipublikasikan terbuka sehingga seharusnya ada insentif dan disinsentif berdasar mutu layanan kesehatan. Kualitas personil TKMBK dalam hal kepakaran dan independensi. Kita juga berharap data layanan dapat diakses terbuka, misal data RS, sehingga kita bisa melakukan UR sehingga bisa dilihat apakah ada miss data. Ada publikasi yang memadai terkait kebijakan baru yang diusulkan oleh TKMKB, sebagai panduan perbaikan di tingkat faskes. Mari kita evaluasi peran TKMKB untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan regulasinya.”

Sesi Diskusi:

(T) Sri Mulatsih: Kemampuan FKTP yang masih rendah, perlu ditelaah lebih lanjut: apakah perlu ditinjau lagi stratifikasi dari BPJS?, artinya apakah sudah ada tinjauan awal penyesuaia terhadap kompetensi dokter umum di layanan primer?. Bagaimana peran RS Tertier dalam peningkatan kompetensi dr umum di layanan primer? apakah pemanfaatan telemedicine bisa menjanjikan? Di sisi lain, apakah sudah ada tinjauan bahwa pendapatan dr spesialis di layanan sekunder dan tertier berkurang, bagaimana analisisnya?

(J) Candra: Pada dasarnya rendahnya pelayanan yang dapat dilakuakn oleh FKTP karena kurangnya fasilitas penunjangnya. Terkait kemampuan FKTP yang rendah ini, ini perlu menjadi perhatian karena dengan adanaya KBK, angka ini akan krusial juga angka rujukan diturunkan jadi 2% padahal berdasar penelitian hanya mampu 6%.

(T) Fajar Sihombing: Sebaiknya TKMKB merupakan bagian dari DPK (nasional) atau sebaliknya, sehingga independen.

(J) Yuli: Sudah koordinasi dengan TKMKB Pusat, untuk kooridnasi kerja terkait tata kerja dan terkait klinisi. Dulu yang kita bahas adalah tentang independensinya, supaya tidak ada saling kepentingan. Intinya ini memang sudah ditata kembali keterkaitan tim yang ada di lapangan.

(T) Mursyid Hasan Basri: - Prinsip kendali itu monitoring, bukan di akhir, - menunggu evaluasi dilakukan TKMKB atau pihak berwenang lainnya akan terlambat dalam mengendalikan proses pelayanan, - konsekuensinya Kendali mutu dan biaya harus dilakukan di level pelaksana sehingga fungsi monitoring terjadi karena data tersedia di sana. Untuk pak hanevi: betul kenapa KMKB dilakukan kok sepertinya pelayanan belum "baik". Itu karena setiap indikator pada dasarnya menjadi bagian mutu (dalam berbagai dimensi). biaya bisa menjadi bagian mutu, waktu bisa menjadi bagian mutu, dan indikator lainnya. Jadi analisis mutu sebenarnya sangat "mudah" dilakukan karena sepanjang datanya ada [cara mengujinya: kalau indikator di laporan periodik ada bulanan/triwulan/tahunan, maka mutunya dapat dinilai]

(J) Eva: Penelitian ini menggunakan pendekatan realis evaluasi dengan melihat kebijakan yang sudah diterbitkan oleh BPJS Kesehatan, jadi yang kita lihat masih sebatas superfisial tidak melihat dampak dari berjalannya TKMKB ini. Namun, bila kita lihat dari paparan dr. Daniel bahwa buku petunjuk teknis tidak bisa diakses, tidak dapat diakses karena buku tersebut untuk kepentingan tertentu. Dari penelitian kami mendapat informasi bahwa kendali mutu nya didapat dan ada juga yang tidak mendapat kendali mutu (hanya sebatas biaya).

(J) Hanevi: Paparan Bu Eva menunjukkan bahwa meskipun regulasinya sama namun penerapannya dapat berbeda, misal terkait KMKB diminta untuk melakukan Audit Medis, ada daerah yang KMKB nya sudah punya kompetensi sehingga mampu melaksanakan audit klinis.

(J) Indra: Terkait implementasi sebuah program di Indoneisa, masing-masing kabupaten kota kita sudah mempunyai standar pelayanan minimal, jadi ada 12 SPM, jadi kemampuan tiap daerah beda-beda. Penilaian SPM ini seperti rapot daerah diantaranya adalah pelayanan Hipertensi dan Diabetes mellitus. Kita juga memberikan tugas Kemenkes bagaimana cara meningkatkan fasilitas layanan kesehatan, misal penguatan sistem rujukan nasional, penguatan manajemen puskesmas, daerah juga mengusulkan untuk mencapai standar pelayanan yang bermutu sehingga diharapkan masing-masing faskes memiliki standar yang sama.

(T) Sri Mulatsih: Pembinaan etika medis, menurut kami jauh lebih luas dari pada beberapa hal seperti audit medis, review clinical pathway, dan lainnya. Permasalahan dilema etik klinis yang dialami oleh para klinisi dan profesi lain, belum sepenuhnya difasilitasi dari manajemen. Selama ini komite etik berperanan lebih banyak pada penyelesaian kasus keluhan pelanggan eksternal. Bagaimana peran komite etik rumah sakit dalam hal ini? Terkait dengan kendali mutu dan kendali biaya, peran tim mutu sebagai tangan kanan direksi menjadi sangat penting, terutama bagaimana mengimplementasikan secara operasional manajemen risiko manajemen maupun manajemen risiko klinis. Hal lain yang sangat penting, terutama di rs rujukan tertier, masih sulit untuk mengintegrasikan antara kebijakan BPJS dengan standar profesi pelayanan terutama subspesialis, termasuk standar diagnostik, sehingga masih ditemukan kualitas pelayanan yang tidak optimal karena permasalahan ini.

(J) Daniel: Salah satu aspek mutu di FKRTL dalam administrasi adalah tidak ada duplikasi peran dari fungsi struktural yang sudah ada. Dari semua hal yang ada apakah masih diperlukan TKMKB mengurusi soal etik, karena sudah jadi bagian dari budaya keselamatan, budaya tata laku yang ditetapkan direktur, juga komite etik, komite profesi. Menurut saya tidak perlu TKMKB mengurusi soal etik lagi.

(J) Hanevi: Saat ini Indonesia, khususnya Direktorat Mutu dan Akreditasi sudah menyusun Kebijakan dan Strategi Nasional Mutu Pelayanan Kesehatan (atau National Quality Policy and Strategy (NQPS)) di Indonesia. Di dalamnya ada kebijakan yang intinya berisi dimensi mutu yang mnejadi prioritas di Indonesia. Harusnya berbagai regulasi mutu dalam JKN harus memperhatikan 7 dimensi mutu ini, tidak hanya dimensi terntentu. Ada 4 strategi umum dan 3 strategi fungsional. Terkait strategi fungsional yang harus diperhatikan adalah menguatkan regulasi, tata kelola struktur organisasi, sumber daya, dan peran seluruh komponen sistem kesehatan lainnya. Bagaimana semua tim yang ada dapat bergabung menjadi satu dengan memperhatikan kondisi spesifik di masing-masing daerah di Indonesia. Implementasi NQPS ada berapa poin misalnya harus ada biaya untuk penignkatan mutu, ada sistem tata kelola dan organisasi sehingga tidak ada duplikasi, mendudukan stakeholder dalam posisi yang sama, serta melakukan monitoring dan evaluasi. Terkait Monev kebijakan-kebijakan yang ada, perlu diperhatikan, apakah akan diitndaklanjuti atau hanya akan tertumpuk menjadi dokumen.