Reportase Pelatihan Tahap III: Pelatihan Analisis Kebijakan (Masalah KIA dan Gizi) Hari ke-2
Selasa, 20 Oktober 2020
Pada Selasa (20/10/2020) diselenggarakan pelatihan Tahap III hari kedua: Pelatihan Analisis Kebijakan untuk Masalah KIA dan Gizi. Pelatihan berlangsung pada pukul 10.00 – 12.00 WIB di Gedung Litbang, FK – KMK UGM dan disiarkan melalui zoom meeting. Pelatihan tahap III ini memiliki 4 tujuan. Pertama, peserta dapat memahami masalah kebijakan kesehatan berdasarkan evidence based dengan memanfaatkan data DaSK.
Kedua, peserta dapat mengidenfitikasi kebijakan kesehatan yang telah diimplementasikan terkait masalah kesehatan prioritas. Ketiga, peserta dapat melakukan analisis terhadap kebijakan yang sudah diimplementasikan untuk menangani masing - masing masalah kesehatan prioritas, termasuk di era Pandemi COVID-19. Keempat, peserta dapat memahami penyusunan rekomendasi kebijakan yang layak (feasible) untuk implementasi. Narasumber pelatihan adalah Gabriel Lele, Dr.Phil, S.IP., M.Si. yang merupakan dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL UGM. Pelatihan dimoderatori oleh Tri Muhartini, MPA.
Sesi 1: Menentukan Rekomendasi untuk Tindakan Kebijakan
Gabriel Lele, Dr. Phil, S.IP., M.Si.
Policy recommendation basisnya adalah dari identifikasi masalah dan penyebab masalah. Ketika membicarakan rekomendasi kebijakan, konsepnya adalah serangkaian aktivitas untuk mengembangkan alternatif solusi untuk mengatasi masalah, yang mana masalah tersebut harus didiagnosis dulu penyebabnya. Kemudian baru kita bisa merekomendasikan solusi. Dan direkomendasikan untuk memberikan 3 - 5 alternatif solusi untuk satu masalah kebijakan. Pekerjaan ini termasuk dalam proses formulasi. Kriteria dalam perumusan rekomendasi tidak semata - mata hanya menggunakan kriteria rasional scientific. Namun terkadang harus dikombinasikan dengan kriteria diluar kriteria scientific untuk memastikan bahwa rekomendasi yang diajukan memiliki derajat implementasi yang tinggi.
Porsi sebagai analis kebijakan akan lebih banyak pada scientific dan kausalitas. Namun itu bukan satu - satunya. Selain itu, dalam memberikan rekomendasi, seorang analis kebijakan juga harus memperhatikan ekologi, yakni variabel - variabel yang akan mempengaruhi ketika sebuah kebijakan diimplementasikan. Bentuk rekomendasi dapat berupa for policy dan of policy. For policy berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh pengambil keputusan untuk mengatasi suatu masalah. Sedangkan of policy berkaitan dengan masa depan sebuah kebijakan. Misalnya, pada saat tertentu seorang analis kebijakan akan diminta untuk melakukan evaluasi kebijakan untuk menentukan masa depan kebijakan. Di akhir proses evaluasi, dia akan diminta melakukan penilaian secara kritis terhadap kebijakan tersebut. Hasilnya adalah apakah kebijakan tersebut dihentikan, dilanjutkan, atau dilanjutkan dengan modifikasi.
Prinsip utama dalam merumuskan alternatif kebijakan adalah non-spuriousness. Yakni, ketika kita merumuskan rekomendasi kebijakan, satu hal pokok yang harus dipastikan adalah hubungan yang murni/ langsung antara alternatif rekomendasi yang dirumuskan dengan tujuan yang ingin dicapai. Kemudian yang harus diperhatikan juga adalah, ini bukan tentang korelasi antar variabel, namun kausalitas. Misalnya, dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa anak-anak yang mengkonsumsi banyak es krim memiliki prestasi sekolah yang bagus. Namun perlu kita lihat apakah benar bahwa banyak makan es krim adalah penyebab meningkatnya prestasi? Ternyata, anak - anak yang banyak mengonsumsi es krim berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas. Dari contoh ini bisa kita lihat, bahwa banyak makan es krim bukan penyebab murni kenaikan prestasi sekolah.
Dalam menentukan hubungan non-spuriousness dapat digunakan beberapa metode; seperti penalaran teoritis, riset empiris, dan benchmarking. Teori adalah generalisasi dari fenomena sehingga ini bisa menjadi kelemahan dalam penalaran teoritis. Dalam artian, suatu teori dapat berlaku di wilayah A namun belum tentu berlaku untuk wilayah B. Jika sebuah teori berhasil, maka kita perlu melihat konteks. Contohnya, jika kita lihat bahwa sosialisasi stunting berhasil menekan angka stunting di suatu wilayah, maka perlu kita perhatikan karakteristik wilayah itu, bagaimana masyarakatnya, tingkat pendidikannya, dan lain sebagainya. Selain penalaran teoritis, kita juga bisa lakukan riset empiris untuk menentukan hubungan non-spuriousness. Namun, jika tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan riset empiris, maka kita bisa melakukan benchmarking dengan wilayah lain yang sudah berhasil.
Peserta pelatihan menanyakan, apa yang perlu dilakukan jika fenomena yang kita kaji berubah dan kita hanya punya data dari beberapa tahun sebelumnya yang mungkin sudah tidak relevan. Narasumber menyampaikan bahwa dalam keadaan seperti ini, kita bisa lakukan riset empiris untuk mendapatkan data-data baru yang lebih relevan dengan kondisi yang terbaru. Peserta lain menanyakan perihal intervensi pada akar pohon masalah. Narasumber menjelaskan bahwa memang intervensi dilakukan untuk mengatasi akar masalah, namun kita juga harus hubungkan dengan masalah utamanya, apakah akar masalah yang akan kita intervensi benar - benar mempunyai hubungan dengan masalah utama beserta outcome-nya. Pertanyaan lain yang muncul adalah mengenai perbedaan riset kebijakan dan analisis kebijakan. Narasumber menggambarkan bahwa riset kebijakan tidak dibebani dengan pertanyaan apa yang harus dilakukan, sedangkan analisis kebijakan dibebani dengan pertanyaan apa yang harus dilakukan, juga terkait dengan penilaian suatu kebijakan dan apa yang harus dilakukan ke depannya.
Melanjutkan presentasinya, Gabriel mengungkapkan bahwa seideal - idealnya alternatif solusi, jika tidak dapat diimplementasikan maka tidak akan memberikan manfaat apapun. Selain itu, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kita perlu mempertimbangkan konsep ekologis, yang mana kita harus mempertimbangkan faktor - faktor lain yang menentukan keberhasilan sebuah kebijakan. Ada enam variabel yang umum digunakan untuk menilai alternatif kebijakan. Pertama, substantively sound. Untuk menilai kadar substansi sebuah alternatif solusi kita bisa menggunakan teori, penelitian, benchmarking, dan keberadaan kausalitas yang kuat/ murni antara alternatif yang diusulkan dengan masalah yang akan diatasi. Kedua, administrative/ technical capacity. Disini kita melihat apakah alternatif solusi itu didukung dengan kapasitas yang kita miliki saat ini.
Misalnya, untuk kategori tenaga kesehatan (dalam melakukan sosialisasi tentang stunting), kita melihat apakah SDM kita memiliki cukup kapasitas seperti pengetahuan, skill, dan integritas atau komitmen. Kedua, economy cost-benefit. Dari alternatif solusi yang ada, kita perlu pertimbangkan apakah solusi itu butuh dukungan finansial atau tidak. Bisa juga dilakukan analisis biaya, semakin tinggi biayanya semakin tidak feasible. Ada juga yang tidak memperhatikan biaya, namun menitikberatkan pada manfaat.
Semakin tinggi manfaatnya, maka semakin feasible. Hal yang ideal adalah dengan menggabungkan keduanya, biaya yang terjangkau dan manfaat yang jelas. Keempat social acceptability/ feasibility. Kita melihat apakah alternatif yang diusulkan selaras dengan norma, adat, nilai, kebiasaan, dan budaya masyarakat dimana kebijakan itu akan diimplementasikan. Semakin selaras, semakin feasible. Kelima, political support. Berkaitan dengan seberapa besar dukungan yang bisa didapatkan secara politik ketika alternatif itu ditawarkan. Keenam legal framework. Dalam membuat alternatif solusi, harus dipikirkan apakah alternatif solusi ini akan bermasalah/ bertentangan dengan hukum atau tidak. Jika ada payung hukumnya, maka alternatif itu feasible.
Gabriel memberikan contoh kasus bagaimana cara memberikan nilai pada proses pemilihan alternatif solusi dengan menggunakan Teknik Delphi Sederhana. Caranya yaitu dengan menggunakan 6 variabel di atas, dan setiap variabel diberi rentang nilai 1-10, dimana nilai 1-3 menunjukkan feasibility rendah, nilai 4-7 menunjukkan feasibility sedang, dan nilai 8-10 menunjukkan nilai feasibility tinggi. Pihak - pihak yang perlu dilibatkan dalam proses ini adalah para ahli dibidangnya/ stakeholder terkait. Ahli ini tidak selalu berasal dari akademisi, bisa dari elemen lain yang terkait. Misalnya dalam mengatasi stunting, kita bisa panggil bidan desa yang ahli bersama pemerintah setempat. Jumlah ahli yang dilibatkan sebaiknya tidak lebih dari 10 orang, agar mereka dapat secara mendalam membahas penilaian pemilihan alternatif solusi. Prosesnya bisa diawali dengan menyepakati kriteria dan standard nilai.
Sesi 2: Latihan
Gabriel Lele, Dr.Phil, S.IP., M.Si.
Di dalam sesi latihan, Gabriel memberikan umpan kepada peserta untuk menentukan masalah publik yang harus diselesaikan. Kemudian perseta diminta untuk mengembangkan 3 alternatif pemecahan masalah, dan menganalisis alternatif tersebut dengan menggunakan Teknik Delphi.
Berikut beberapa presentasi peserta pelatihan pada sesi latihan:
Gabriel memberikan komentar bahwa pada akhirnya yang paling menentukan bukan angka/ nilainya, namun justifikasi terhadap pemberian angkanya. Hal ini sudah dilaksanakan dengan sangat baik oleh peserta.
Proses diskusi dan latihan dilaksanakan dengan dipandu oleh moderator. Para peserta terlibat secara aktif dalam memberikan pertanyaan selama sesi diskusi dan juga aktif menyampaikan ide-ide dalam sesi latihan. Moderator menutup pelatihan dengan membacakan kesimpulan materi pelatihan dan menyampaikan informasi mengenai Call for Policy Brief dan pelaksanaan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) ke-10 tahun 2020 yang akan dilaksanakan pada 5 – 20 November 2020.
Reporter: Widy Hidayah