Reportase Ragam Tantangan dan Peluang Penetapan Kelas Standar JKN bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Reporter: Tri Muhartini, MPA (PKMK)
PKMK – Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM (30/12/2020) dalam seri ke-3 dari Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemangku Kepentingan dengan judul “Ragam Tantangan dan Peluang Penetapan Kelas Standar JKN bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah”. Berdasarkan tema forum dan judul, diskusi akan membahas tentang tantang kelas standar yang sedang dirancang oleh pemerintah untuk mendukung penyelenggaraan JKN yang lebih optimal.
Narasumber dari diskusi adalah M. Faozi Kurniawan, SE,Akt,MPH selaku konsultan kebijakan JKN di PKMK FK-KMK UGM. Selain itu, juga ada pembahas dari Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, DPR RI Komisi IX, Dinas Kesehatan Provinsi DI Yogyakarta dan Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun, sayangnya tidak seluruh pembahas dapat menghadiri kegiatan. Jalannya diskusi di fasilitasi oleh Tri Aktariyani, SH., MH.
Pengantar
Mengawali diskusi, moderator memberikan kesempatan kepada Prof. Laksono Trisnantoro, PhD untuk memberikan kata pengantar. Disampaikan bahwa kelas standar merupakan salah satu isu penting dalam forum. Pelaksanaan JKN dari 2014 hingga kini membutuhkan banyak pembahasan yang detil dan subtansi masalah dan tantangan.
Hal tersebut perlu diketahui untuk keberlangsungan penyelenggaraan JKN. Menurut Prof Laksono, kelas standar yang sedang dirancang belum tentu dapat menyelesaikan masalah defisit. Karena defisit terjadi dari segmen non-PBI, sehingga yang perlu diperbaiki juga adalah dari segmen tersebut. Selain itu, kenaikan kelas peserta juga perlu di perhatikan: apakah masih boleh peserta naik kelas? Dari pengantar Prof Laksono menjadi awalan partisipasi narasumber, pembahas dan peserta dalam diksusi.
Narasumber
M. Faozi Kurniawan memaparkan materi dengan judul “Kelas Standar: Amanat UU yang baru dijalankan. Apa saja Implikasinya?”. Terdapat empat bagian yang menjadi fokus pemaparan yaitu: 1) mengenai rancangan kelas standar; 2) asumsi tentang kelas standar; 3) situasi kesenjangan fasilitas kesehatan; dan 4) pandangan PKMK mengenai kelas standar dan keberlangsungan JKN.
Dalam bagian pertama, narasumber memaparkan bahwa kelas standar di dasari oleh Pasal 19 dan Pasal 24 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Pasal 54 Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Dengan kedua kebijakan tersebut, dibentuk kelas standar dengan konsep Kelas Rawat Inap (KRI) Peserta JKN di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL). KRI yang direncanakan oleh pemerintah akan dibedakan menjadi kelas standar A dan kelas standar B. Perbedaan itu kelas standar PBI dan Non PBI. Narasumber juga menjelaskan bahwa rancangan kelas standar juga memiliki 11 konsep untuk kriteria KRI JKN.
Gambar 1. Rancangan 11 Konsep Kriteria KRI JKN
Dari rancangan tersebut, narasumber menyampaikan bahwa terdapat beberapa kelompok yang memiliki pendapat mengenai KRI. Terdapat tiga kelompok yang menjadi memberikan pendapat yaitu dari PIP MARSI, LPEM UI dan PERSI. Narasumber menjelaskan bahwa PIP MARSI telah mengemukakan bahwa KRI akan membuat beberapa pasien kesulitan mendapat tempat tidur ketika membutuhkan pelayanan. Sementara dari presentasi LPEM UI yang mengutip salah satu studi menyatakan bahwa kelas standar tidak cukup, dibutuhkan pula telaah kondisi dan kebutuhan daerah. Dari PERSI juga melihat bahwa keberlanjutan RS perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kelas standar di kemudian hari.
Narasumber juga menjelaskan, keberadaan kelas standar yang dirancang juga perlu memperhatikan situasi kesenjangan fasilitas kesehatan dan utilisasi JKN. Situasi fasilitas kesehatan yang dimaksud narasumber mengenai jumlah pertumbuhan RS, Tempat Tidur, sebaran dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dan ketersediaan cath-lab jantung. Seluruh jumlah tersebut masih terbatas di luar pulau Jawa seperti NTT, dan Papua. Sementara jumlahnya di pulau Jawa seperti Jakarta dan Yogyakarta mengalami pertumbuhan. Situasi tersebut menurut narasumber telah menciptakan kesenjangan dalam fasilitas kesehatan.
Situasi kesehatan yang mengalami kesenjangan berdampak kepada utilisasi JKN. M. Faozi Kurniawan menjelaskan kunjungan peserta JKN yang mengakses layanan FKTP dan FKTL di dominasi oleh non-PBI, khususnya PBPU mendominasi FKL (RS).
Gambar 2. Kunjungan Peserta JKN ke Fasilitas Kesehatan
Berdasarkan klaim biaya layanan jantung tahun 2016 dengan menggunakan data sampel BPJS Kesehatan, narasumber juga menjelaskan bahwa regional lebih banyak menggunakan layanan jantung. Jika dilihat dari segmen juga menggambarkan bahwa PBPU dan BP di regional 1 (DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim dan Banten) lebih banyak mengakses dan memanfaatkan layanan jantung. Hal tersebut berbeda jauh dengan regional 5 (Kep. Babel, NTT, Katim, Kaltara, Maluku, Malut, Papua Barat dan Papua) yang belum banyak mengakses layan jantung.
Provinsi dengan total klaim tertinggi untuk peserta yang melakukan migrasi keluar ke RS kelas A adalah Provinsi Jawa Tengah (2,4 milyar) dan Provinsi Jawa Timur (809 juta), walaupun kedua provinsi ini memiliki fasilitas rumah sakit yang memadai relatif terhadap provinsi lainnya di luar pulau Jawa. Di lain sisi, total biaya klaim akibat pemakaian layanan di RS kelas A di luar daerah kepesertaan untuk provinsi lainnya cukup beragam. Misalnya, di Papua, yang memiliki keterbatasan fasilitas kesehatan, total biaya klaim adalah 208 juta dan sebagian besar klaim ini berasal dari segmen PPU (103,4 juta) dan PBPU (95,9 juta) sementara segmen PBI hanya sekitar 5.1 juta rupiah.
Tinggi jumlah klaim dari PBPU akhirnya membuat defisit, sementara PBI APBN selalu mengalami surplus dari 2014 – 2019. Surplus yang terjadi dalam PBI APBN dikarenakan oleh pengetahuan peserta masih terbatas dalam memanfaatkan JKN, dan fasilitas kesehatan masih terbatas untuk peserta akses, seperti yang berada di regional 5.
Dari situasi fasilitas kesehatan dan utilisasi JKN, narasumber menyatakan bahwa kelas standar untuk mencapai keadilan dan keberlangsungan JKN dapat dilakukan dengan syarat: 1) pemenuhan pemerataan fasilitas kesehatan melalui investasi dana APBD dan APBN; 2) peserta tidak izinkan naik kelas; 2) Tidak ada penggolongan kelas standar PBI dengan kelas standar Non-PBI (satu kelas Asuransi Kesehatan Pemerintah); 3) Ada pembatasan manfaat (kebutuhan dasar kesehatan); 4) Memasukkan aspek mutu & medik pelayanan secara jelas (kendali mutu); dan 5) mengoptimalkan deteksi kecurangan pelayanan kesehatan dalam (JKN).
Sesi Pembahas
Pembahas pertama yang diberikan kesempatan oleh moderator untuk merespons pemaparan dari narasumber adalah Bapak Trisno Agung W dari perwakilan Dinas Kesehatan DI Yogyakarta. Kelas standar di DI Yogyakarta untuk secara kuantitas sudah mencukupi, tetapi kualitas di RS masih perlu menjadi perhatian. Pembahasan selanjut dari Dinas Kesehatan diteruskan oleh Bapak Rahmad. Beliau menambahkan bahwa kelas standar tidak menjadi masalah dilaksanakan jika seluruh syarat dalam peraturan dapat diterapkan oleh RS. Selain itu, Bapak Rahmad juga menampilkan jumlah TT untuk kelas standar A dan B sangat mencukupi. Sementara secara kualitas perlu di tinjau karena ada situasi pandemi. Dinas Kesehatan DI Yogyakarta menyampaikan pula mengenai 11 kriteria dari kelas standar membutuhkan perhatian karena hanya memperhatikan fisik. Namun, belum memperhatikan aspek mutu layanan kesehatan dalam kelas standar. Sehingga kelas standar menurut Dinas Kesehatan DI Yogyakarta memiliki implikasi dalam aspek tata Kelola dan pembiayaan.
Gambar 3. Jumlah TT dan Implikasi Kelas Standar
Sesi Diskusi
Pembahas yang dapat menghadiri kegiatan hanya dari Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, sementara pembahas lainnya tidak dapat menghadiri. Moderator memberikan banyak waktu untuk peserta berpartisipasi dalam sesi diskusi.