Keynote Speech
Universal Health Coverage (UHC) in a Transitioning World
Prof. Barbara McPake, Ph.D menjelaskan tentang perkembangan Universal Health Coverage (UHC) dalam transisi dunia. Indeks untuk melacak UHC yaitu cakupan layanan.
- Reproduksi kesehatan, kesehatan ibu dan anak
- KB
- Kehamilan dan persalinan
- Imunisasi pada Anak
- Pengobatan pada Anak
- Penyakit menular
- Penanganan TBC
- Terapi HIV
- Pencegahan Malaria
- Air dan Sanitasi
- Penyakit tidak menular
- Pencegahan kardiovaskular
- Manajemen diabetes
- Pengendalian tembakau
- Kapasitas layanan kesehatan dan akses layanan kesehatan
- Akses ke rumah sakit
- Tenaga kesehatan
- Health security
Indeks untuk melacak UHC yaitu:
- Catastrophic out-of-pocket spending (COOP)
Proporsi penduduk yang melakukan OOP melebihi 10% atau 25% dari total konsumsi atau pendapatan rumah tangga
- Impovershing out of pocket spending (IOOP)
Perubahan rasio angka kemiskinan akibat out of pocket
Katastropik semakin buruk meskipun UHC semakin membaik. Penyakit tidak menular banyak yang tidak ditanggung dan pengeluaran untuk mengakses fasilitas kesehatan. Pada penduduk di low income country akibat COVID-19 tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan, kemampuan untuk mendapatkan layanan kesehatan dan lain-lain.
Gambar di atas menunjukkan bahwa negara low income lebih banyak tidak dapat mengakses layanan kesehatan.
Kita dapat agak setara antara negara kaya dan negara berkembang karena COVID-19 mempengaruhi kesetaraan. Ukuran pengeluaran pribadi baik secara absolut maupun relatif telah tumbuh secara substansial selama beberapa dekade terakhir. Pengeluaran katastropik kesehatan diperkirakan 7% dari populasi yang lebih tua secara nasional dan pengeluaran kesehatan tersebut memiskinkan sekitar 8% dari seluruh populasi setiap tahunnya. Pengeluaran ini lebih banyak disebabkan karena penyakit kronis dan penyakit tidak menular.
Bahkan sebelum COVID-19, UHC menghadapi beberapa tantangan dari transisi global yaitu:
- Transisi ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi akan tetapi menimbulkan ketidaksetaraan ekonomi
- Transisi demografi yaitu masalah kesehatan akibat usia yang semakin tua
- Transisi epidemiologi yaitu dari obat pil untuk setiap penyakit berkembang ke manajemen penyakit kronis
Berdasarkan analisis singkat dampak jangka panjang setelah 2020 yaitu COVID-19 membalikkan tren jangka panjang yaitu mengurangi kemiskinan di Asia.
Reporter : Ardhina Nugrahaeni – PKMK UGM
Plenary 1
Plenary session 1: Country's road map for promoting health equity after COVID-19
Pembicara pertama plenary session kali ini ialah Prof. Dr. Syed Mohamed Aljunid, MD, MPH, PhD dari Public Health Medicine and Health Economics Universitas Kebangsaan dengan judul presentasi “Equity and efficiency in post-covid health system: The Balancing Act”. Aljunid mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 memiliki dampak global yang melibatkan berbagai sektor, termasuk sektor kesehatan. Sektor kesehatan menjadi sangat rentan karena terbatasnya anggaran, kurangnya pelatihan tenaga kesehatan, serta kekurangan informasi dan bukti yang diperlukan untuk mengendalikan penyebaran COVID-19.
Setelah pandemi COVID-19, sistem kesehatan terus menghadapi tantangan dalam memberikan pelayanan kepada penderita long COVID-19. Selain itu, sistem juga mengalami kendala dalam memberikan layanan kesehatan mental dan penyakit tidak menular lainnya. Masalah anggaran kesehatan dan cakupan kesehatan universal semakin diperparah oleh resesi ekonomi global yang terjadi setelah pandemi. Oleh karena itu, diperlukan reformasi menyeluruh pada sistem kesehatan, termasuk dalam aspek anggaran dan sumber daya manusia. Pemerintah berharap bahwa respon terhadap COVID-19 melalui paket stimulasi ekonomi dapat mengurangi ketimpangan antara penduduk. Namun, adanya korupsi dalam penanganan COVID-19 menyebabkan inefisiensi dan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan.
Pembicara kedua yaitu Assoc. Prof. Yodi Mahendradhata, M.Sc, PhD, FRSPH dari Departemen Health Policy and Management FK-KMK UGM menyampaikan presentasinya dengan judul “Promoting health equity for pandemic preparedness and response”. dr Yodi mengutip Tan et al, 2023 yang menyatakan “hanya dengan memposisikan penduduk rentan paling depan dalam respon nasional dan menjadikan mereka bagian dari integrasi sistem kesehatan dapat meningkatkan ketahanan sistem kesehatan”. Dalam paparannya, Yodi memberikan perbandingan respon sistem kesehatan dalam pengendalian COVID-19 di Indonesia, Thailand, Filipina dan Vietnam. Berbagai respons sistem kesehatan mulai dari upaya lockdown, pembatasan kegiatan masyarakat, work from home, hingga penutupan sekolah. Namun upaya ini miliki dampak seperti melebarnya kesenjangan pendapatan, meningkatnya kekerasan berbasis gender, menurunkan capaian indikator kesehatan.
Meskipun berbagai strategi mitigasi telah diterapkan untuk mengatasi kerentanan yang ada, upaya ini belum cukup memadai di dalam negeri untuk secara menyeluruh melindungi populasi yang rentan. Populasi yang sering terabaikan, seperti pekerja migran, pengungsi, pekerja seks, narapidana, dan penyandang disabilitas, belum mendapatkan respons kebijakan yang memadai. Negara perlu memanfaatkan pandemi sebagai kesempatan untuk memberikan prioritas pada hak atas Universal Health Coverage (UHC) bagi populasi yang rentan.
Pembicara ketiga, Prof. Virasakdi Chongsuvivatwong, MD, PhD dari Department Of Economic, Faculty of Medicine, Prince of Songkla University memaparkan presentasi dengan judul “who lost, Who gained under the COVID-19 games”. Virasakdi menyatakan tingkat kematian akibat COVID-19 di dunia tampaknya memiliki korelasi negatif dengan PDB per kapita. Dari sisi penganggaran, negara-negara maju mengalokasikan anggaran yang jauh lebih besar dalam upaya penanganan COVID-19 dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan rendah. Konteks Thailand, anggaran penanganan COVID-19 terjadi defisit. Hal ini berdampak juga pada sektor pariwisata hingga -47% dibandingkan dengan Indonesia dan Malaysia. Pandemi COVID-19 juga telah menguntungkan perusahaan farmasi di seluruh dunia.
Beberapa perusahaan farmasi seperti Jhonson & Jhonson, Pfizer, Moderna, dan BioNTech mengalami peningkatan keuntungan selama pandemi COVID-19. Selain itu, beberapa negara seperti China dan Amerika juga memainkan peran geopolitik dengan memberikan bantuan vaksin COVID-19 kepada negara-negara dengan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan dan evaluasi yang cermat untuk mencegah klaim berlebihan (overclaim) dari negara-negara produsen vaksin.
Reporter: Candra, PKMK FK-KMK UGM.
Plenary 2
Post-Covid Research Needs and Prioritization
Pada hari ke-2 Postgraduate Forum (PGF) (18/07/2023) topik yang diskusikan mengenai Post-COVID Researh Needs and Prioritization bersama lima pembicara yaitu:
- Prof. Tippawan Liabsuetrakul, M.D., Ph.D., dari Department of Epidemiology, Faculty of Medicine, Prince of Songkla University, THAILAND
- Assoc. Prof. Aznida Abdul Aziz, MBBS., MMed, Ph.D., dari Department of Family Medicine, Universiti Kebangsaan Malaysia
- Prof. Quazi Monirul Islam, MBBS, MPH., dari Department of Epidemiology, Faculty of Medicine, Prince of Songkla University, THAILAND
- Prof. Supasit Pannarunothai, M.D., Ph.D., dari Center for Health Equity Monitoring, THAILAND
- Dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D., dari Department of Health Policy and Management Gadjah Mada University, INDONESIA.
Plenary session 2 dibuka oleh Prof. Tippawan Liabsuetrakul, M.D., Ph.D dengan merangkum hasil pertemuan plenary session 1 pada (17/07/2023). Setelah itu melanjutkan presentasinya tentang Social Determinants of Health Inequity. Berdasarkan hasil tinjauan literatur yang menemukan selama pandemi COVID-19 pada 2020 banyak studi yang terpublikasi membahas tentang ekuitas kesehatan dan social determinant kesehatan untuk merespons situasi pandemi.
Sementara itu, pada Post-COVID studi mengenai ekuitas kesehatan dan social determinant kesehatan berkaitan dengan isu kondisi kesehatan tertentu, kelompok rentan, minoritas, jejaring sosial, dan kondisi kerentanan lainnya. Prof Tippawan menyampaikan bahwa publikasi-publikasi ini penting untuk mendorong social determinan dalam reformasi sistem kesehatan.
Sesi dilanjutkan dengan pembicara kedua yaitu Assoc. Prof. Aznida Abdul Aziz, MBBS., MMed, Ph.D., yang membahas tentang Optimizing Healthcare Delivery in Post-Pandemic Assoc Prof. Aznida menjelaskan bahwa pada post pandemic kesenjangan dalam penyediaan pelayanan kesehatan perlu mendapatkan perhatian besar.
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut dibutuhkan beberapa opsi dan beberapa studi untuk mendesain ulang dan optimalisasi pelayanan kesehatan seperti di layanan FKTP, perawatan bersama antara FKTP-FKRTL dan public privat partnerships untuk memastikan keberlanjutan penyediaan layanan dan ekuitas kesehatan.
Pembicara ketiga adalah Prof. Quazi Monirul Islam, MBBS, MPH yang membahas tentang mitigasi dengan judul presentasi Is Community Participation the Way Forward for Future Pandemic Mitigation. Prof Quazi menjelaskan tentang pendekatan a whole community untuk diadaptasi dalam menghadapi bencana yang memiliki dampak besar pada seluruh aspek.
Pendekatan a whole community menekankan adanya aksi kolektif antara pendudukan, dimana penduduk, praktisi wabah penyakit dan manajemen pandemi, pemimpin organisasi dan komunitas, dan pemerintah. Aksi kolektif dibutuhkan untuk memahami dan menilai kebutuhan komunitas masing-masing dan menentukan cara terbaik untuk berorganisasi dan memperkuat aset, kapasitas, dan kepentingan mereka.
Pembicara keempat adalah Prof. Supasit Pannarunothai, M.D., Ph.D., yang mempresentasikan tentang COVID Research and Health Equity. Prof Supasit menjelaskan kapasitas penelitian setiap negara dapat menjelaskan interaksi antara kesepakatan individu dengan penelitian partisipasi dan aktivitas dan penelitian kemitraan dibawah payung sistem kesehatan.
Menurut Prof Supasit investasi untuk penelitian jangka panjang dapat meningkatkan kapasitas penelitian, kompetisi dan mendapatkan hasil yang lebih cepat. Untuk melakukan itu semua dibutuhkan pendekatan yang beragam untuk meningkatkan kapasitas penelitian dalam beberapa level sistem kesehatan.
Pembicara terakhir dari sesi 2 adalah Dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D., menjelaskan tentang Implementation Research on Digital Transformation in Health Sector. Dr Lutfan mempresentasikan implementation research memiliki peranan penting dalm memahami dan efektif implementasi dari inisiatif transformasi digital. Implementation research dinilai juga dapat menjelaskan teknik dan tantangan infrastruktur seperti sistem informasi yang kuat, interprobabiliti, keamanan data, dan konektivitas. Implementation research sangat penting untuk keberhasilan implementasi transformasi digital di sektor kesehatan. Dengan keterlibatan pemangku kepentingan, tantangan teknis, pembangunan kapasitas, pertimbangan kebijakan, dan evaluasi, ini memungkinkan organisasi layanan kesehatan memanfaatkan potensi penuh teknologi digital, yang mengarah pada peningkatan pemberian layanan kesehatan dan peningkatan hasil pasien.
Setelah kelima pembicara melakukan presentasi, peserta dari Malaysia, Indonesia dan Thailand mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dengan mengajukan pertanyaan atau komentar yang berkaitan dengan topik pemaparan sesi ke-2.
Reporter Tri Muhartini
Dokumentasi Ester Febe
Plenary 3
Role of policy makers and academia for preparedness of new emerging disease
Pembicara pertama pada sesi ini adalah Dr. Masaya Kato, Ph.D. yang merupakan perwakilan dari WHO-SEARO berkantor di New Delhi, India. Kato sendiri tergabung di Unit Health Emergency Program. Topik yang diangkat dalam presentasinya secara online adalah “Collaborative Surveillance Advancing health systems and policy for surveillance and risk assessment of health security threats”. Berbicara surveilans yang mana dimulai dari pengambilan data, pengelompokan dan analisis secara sistematis guna memberikan informasi dalam mengambil langkah pencegahan dan penanganan efektif. Seperti pada kasus pandemi COVID-19 yang ditetapkan sebagai situasi emergency.
Langkah-langkah yang dikembangkan dalam surveilans turut membantu pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah terhadap permasalahan pengendalian penyakit ini meskipun dalam situasi tidak menentu. Seperti yang dilakukan di berbagai negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina di masa awal pandemi. Dampaknya juga tentu akan semakin kompleks dan menjangkau berbagai konteks kehidupan seperti sosial, ekonomi, lingkungan, dan tentunya dari situasi kesehatan sendiri.
Terkait hal tersebut, tentunya semua pertanyaan dari pembuat keputusan tidak akan pernah terjawab seluruhnya dengan satu sistem surveilans. Oleh karena itu, ketika membagi tingkatan pandemi, maka peningkatan informasi dari surveilans terlihat dari sebelum kejadian, kemudian meningkat ke fase berbahaya, hingga fase kejadian, akan tetapi setelah itu akan menurun kebutuhannya ketika digunakan untuk menyiapkan ke fase transisi. Informasi itu didapatkan juga dari berbagai stakeholder lainnya seperti sistem layanan kesehatan, unit kesehatan masyarakat, laboratorium, serta sektor non kesehatan. Selain itu, pengambil keputusan juga bisa terbantu dengan beberapa referensi yang disediakan oleh WHO dalam mengambil tindakan.
Dalam kesimpulannya, Kato menegaskan perlu adanya kerjasama multi sektoral antara sektor kesehatan, mitra One Health, serta sektor non kesehatan, dimana masing-masing kelompok memberikan analisis dan manfaat terkait deteksi dini, perbaikan pemahaman situasi epidemiologi, dan pemahaman terkait koteks dan bahaya. Sehingga aksi yang dapat ditempuh dalam wujud kolaborasi ini adalah perbaikan desain sistem dan kinerja, pemerintahan dan koordinasi, serta peningkatan kapasitas tenaga kerja.
Pembicara kedua adalah Weaphan Leethanakul MD, direktur NHSO Wilayah 12 Songkhla, Thailand. Weaphan membawakan topik “Strengthening the preparedness of health financing to respond to emerging infectious diseases”. Kasus yang diangkat adalah situasi Thailand pada saat pandemi COVID-19 sebelumnya.
Dari situasi pandemi yang dialami oleh Thailand, terdapat beberapa gelombang peningkatan infeksi COVID-19, Dari seri gelombang tersebut, gelombang infeksi kedua menunjukkan kasus kematian yang paling tinggi yang menyebabkan lebih dari 10000 jiwa meninggal dari sekitar 20000 lebih kasus. Sedangkan pada gelombang 3 meskipun terjadi peningkatan kasus mendekati 25000 kasus, namun angka kematian di Thailand jauh menurun di bawah 7000 jiwa.
Salah satu faktor pendukung dalam penanganan dan pengendalian pandemi adalah sektor finansial di mana Thailand telah menerapkan Universal Health Coverage (UHC). UHC di Thailand sendiri terdiri dari 3 skema; 1) skema manfaat pegawa negeri (CSMBS), 2) skema keamanan sosial (SSS), dan 3) skema cakupan semesta (NHSO). Selain itu, juga terdapat dukungan anggaran bagi penduduk yang bukan asli Thailand. Selain anggaran, Thailand juga mengubah beberapa kali kebijakan, penguatan puskesmas, serta kolaborasi dari berbagai sektor.
Anggaran yang disetujui untuk dialokasikan dalam penanganan COVID-19 pada masa pandemi memiliki peningkatan tren mencapai 66.191 Baht dari sektor kesehatan sendiri. Jika ditotal dari semua anggaran untuk COVID-19, anggaran pada tahun 2022 mencapai 1,529.548 Baht. Alokasi anggaran ini meliputi semua layanan terkait COVID-19, mulai vaksinasi, skrining, isolasi untuk 14 hari, mobilisasi/rujukan ke rumah sakit, pengobatan, dan kompensasi bagi yang mendapatkan efek samping dari vaksin
Kesimpulan dari paparan Weaphan adalah paket manfaat untuk COVID-19 diberikan secara khusus, akan tetapi dalam mendukung hal tersebut tentunya diperlukan ketahanan sistem kesehatan, bekerja sama dengan jaringan lama dan baru, serta adanya integrasi data dan informasi sistem.
Dalam sesi diskusi, Prof Tippawan yang menanyakan ke dr. Kato tentang bagaimana Jepang bisa berkolaborasi dengan WHO Searo terkait dengan surveilans. dr. Kato sendiri menjawab bahwa Jepang memiliki agenda prioritas yang telah dibahas bersama dengan berbagai stakeholder, setelah surveilans sendiri ditetapkan sebagai satu agenda prioritas di Jepang, maka kerja sama dan pendanaan dari luar juga disesuaikan berdasarkan kebutuhan dari negara Jepang sendiri.
Reporter: Faisal Mansur – PKMK FK-KMK UGM
Dokumentasi: Mentari Widiastuti – PKMK FK-KMK UGM