Pembahasan UU Kesehatan berdasarkan Dimensi Mutu: Efisiensi

Dalam dimensi mutu, efisiensi dapat didefinisikan sebagai bagaimana pelayanan kesehatan dapat memaksimalkan sumber data yang ada dan menghindari pemborosan. Dalam hal ini pelayanan kesehatan yang bermutu harus memaksimalkan sumber daya yang ada se-efisien mungkin sehingga tidak ada pemborosan seperti test laboratorium yang berulang-ulang, pengujian tambahan lainnya untuk diagnosa penyakit, dan penggunaan antibiotik yang lebih tepat sasaran. Hal ini tentunya harus didukung dengan SDM kesehatan yang kompeten dan juga infrastruktur dan peralatan kesehatan yang memadai.
Dalam UU Kesehatan yang baru disahkan ada beberapa kontroversi yang perlu dibahas dalam kacamata efisiensi sebagai bagian dari 6 domain utama dalam mutu pelayanan kesehatan:

1. Mandatory spending

Penghapusan mandatory spending 5% dalam UU Kesehatan yang baru oleh Kemenkes diharapkan dapat menjadi bagian dari pemerataan layanan kesehatan menuai banyak kontroversi. Pasalnya, penghapusan mandatory spending ini berpotensi mengurangi sumber daya kesehatan yang ada. Banyak obat-obatan esensial seperti ARV untuk HIV atau insulin untuk diabetes yang dibiayai dari 5% tersebut. Jika 5% ini tidak lagi menjadi mandatory maka dikhawatirkan alokasi anggaran kesehatan menjadi banyak berkurang yang berakibat pada berkurangnya sumber daya kesehatan esensial yang wajib dipenuhi untuk menjamin pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Daerah dengan APBD terbatas diprediksi akan mengalami kesulitan tanpa adanya anggaran wajib ini karena mereka masih sangat bergantung dengan pembiayaan dari anggaran wajib ini. Dampak pada domain efisiensi adalah keterbatasan sumber daya dapat memicu praktek-praktek inefisiensi seperti rujukan yang tidak perlu, tingginya readmisi, dan antrian yang panjang di fasilitas kesehatan. Di sisi lain, penghapusan mandatory spending juga berpengaruh pada peningkatan efisiensi dimana seringkali program kesehatan yang dirancang tidak berpatokan pada kebutuhan dan lebih kepada penghabisan anggaran yang ada saja sehingga apabila diikuti dengan prioritisasi dan kajian kebutuhan di masyarakat tanpa adanya mandatory spending selama alokasi anggaran tersebut menjawab kebutuhan masyarakat hal ini tidak menjadi masalah. Yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana mengatasi masalah ketimpangan yang ada.

2. Kriminalisasi tenaga kesehatan

Isu kriminalisasi tenaga kesehatan dalam UU Kesehatan juga kencang berhembus terutama dari organisasi-organisasi profesi yang menolak adanya pasal terkait dengan ancaman pidana bagi tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian (pasal 462) yang mana point kelalaian ini perlu didefinisikan secara jelas. Dari aspek efisiensi, hal ini dapat menjadi kekuatan dan kelemahan dalam meningkatkan efisiensi.

Keuntungan artinya tenaga kesehatan tidak lagi semena-mena dalam meresepkan antibiotik, melakukan test lab yang berkali-kali, dan tindakan lainnya yang memboroskan sumber daya tanpa adanya kontribusi pada outcome. Namun demikian, ketegasan ini perlu ditelaah kembali agar tidak menimbulkan ketakutan diantara tenaga kesehatan yang justru dapat menimbulkan pemborosan misalnya untuk menghindari “kelalaian” tenaga kesehatan menghindari efek samping dari terapi yang ada dengan alternative yang lebih “aman” namun memperpanjang lama perawatan pasien.

3. Pembatasan organisasi profesi

Isu pembatasan peran dari organisasi profesi dalam sistem kesehatan juga menjadi salah satu isu yang paling banyak ditentang dalam UU Kesehatan yang baru. Mulai dari perijinan praktek tenaga kesehatan (pasal 234 dan 235), pelibatan dokter asing (pasal 233), jumlah dan jenis organisasi profesi (pasal 314), dan kedudukan konsil kedokteran dan konsil tenaga kesehatan Indonesia dalam struktur sistem kesehatan (pasal 239) masih belum jelas dibahas di dalam UU Kesehatan yang baru. Fungsi pengawasan dari organisasi profesi melalui rekomendasi untuk membuat surat ijin praktek dianggap tidak lagi penting sehingga berpotensi menghasilkan tenaga kesehatan yang tidak kompeten.

Dari aspek efisiensi, percepatan perijinan justru menjadi hal yang efisien dimana rantai perijinan yang panjang bisa dipangkas dan biaya/sumber daya yang tidak perlu bisa dialokasikan ke hal-hal yang lebih bermanfaat. Belum lagi alasan dari Kemenkes untuk memutuskan praktek percaloan dan suap dalam pengurusan ijin yang menjadi latar belakang dari penyederhanaan rantai perijinan ini. Namun demikian, peran organisasi profesi dalam melakukan pengawasan untuk praktek kedokteran dan kesehatan juga perlu diperkuat guna menjamin pelayanan yang bermutu dan sesuai dengan standard praktek klinis yang ada. Kemenkes dan organisasi profesi perlu duduk bersama untuk mendiskusikan terkait dengan hal ini.

Walaupun demikian, UU Kesehatan yang baru saja disahkan ini juga mempunyai berbagai fitur yang mampu meningkatkan efisiensi dalam pelayanan kesehatan diantaranya:

  1. Porsi preventif dan promotif menjadi lebih besar dengan mengedepankan layanan berdasarkan siklus hidup. Dalam UU Kesehatan yang baru, pemerintah juga memandatkan pentingnya standarisasi jejaring layanan primer dan laboratorium kesehatan masyarakat di seluruh Indonesia. Namun demikian, perlu adanya sumber pendanaan yang jelas mengingat situasi pelayanan primer dan laboratorium saat ini yang masih jauh dari harapan ditambah ketimpangan yang sangat jelas terlihat terutama pada daerah timur Indonesia;
  2. Penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan di dalam negeri juga patut diapresiasi mengingat hal ini akan menekan biaya produksi dan pengadaan yang cukup signifikan bagi perusahaan farmasi dan pada ujungnya diharapkan dapat mengurangi biaya kesehatan yang tinggi saat ini;
  3. Penguatan kesiapsiagaan pra dan pasca bencana juga menjadi salah satu fitur yang sangat ditunggu dalam UU Kesehatan kali ini terutama pasca pandemic COVID-19 kemarin;
  4. Integrasi berbagai informasi kesehatan juga menjadi salah satu yang baik dalam UU Kesehatan ini (Bab XI) sehingga penggunaan informasi yang valid dan relevant dapat meringankan beban dari tenaga kesehatan dan program kesehatan yang ada dapat di rencanakan dengan informasi yang memadai dan tepat sasaran;
  5. Pemanfaatan teknologi biomedis untuk pelayanan kesehatan dalam UU Kesehatan yang baru ini juga dapat berkontribusi pada peningkatan efisiensi (pasal 338). Dengan teknologi baru yang terbukti unggul pelayanan kesehatan diharapkan bisa lebih efektif mengatasi masalah-masalah kesehatan yang ada serta efisien dalam penggunaan sumber daya;

UU Kesehatan yang baru masih banyak memunculkan kontroversi di masyarakat dan kalangan tenaga kesehatan. Selain itu, UU Kesehatan ini juga masih memiliki banyak pekerjaan rumah yakni peraturan turunan yang lebih teknis lagi untuk memastikan implementasinya di lapangan. Hal ini tentunya perlu dikawal dengan baik agar semua yang dimandatkan di dalam UU ini bisa terlaksana dengan baik dan memastikan tujuan dari revisi UU ini yakni sistem kesehatan yang adil, merata, dan bermutu baik bagi Indonesia.

oleh Stevie Ardianto Nappoe, SKM, MPH

Silahkan untuk memberikan tanggapan atau komentar pada kolom di bawah

Add comment

Security code
Refresh