On the occasion of World Hearing Day (March 3)
Innovative Concept Regarding Structures For Early Detection and Treatment of Hearing Problems in Children and Babies in Indonesia
Hybrid - Monday, March 4, 2024
14.00 - 15.30 WIB / 08.00 - 09.30 CET
Dalam rangka memperingati World Hearing Day, Kementerian Kesehatan Indonesia bekerja sama dengan RSAB Harapan Kita; Departemen THT dan Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, mengadakan webinar. Topik yang diangkat ialah Innovative Concept Regarding Structures for Early Detection & Treatment of Hearing Problems in Children and Babies In Indonesia. Moderator webinar ini adalah dr. Dian Kesumapramudya Nurputra, M.Sc, Ph.D, SpA (K) dari FK-KMK UGM pada Senin, 4 Maret 2024.
Webinar ini dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD, selaku Staf Khusus Kemenkes RI. Saat ini, masalah THT belum menjadi prioritas pemerintah dan belum ada RS vertikal khusus THT. Deteksi dini masalah THT juga belum menjadi program rutin, sehingga dibutuhkan rekomendasi kebijakan untuk pengembangan ke depan.
Penyusunan rekomendasi terkait kebijakan ini dilakukan dengan pendekatan transdisiplin, yaitu berbagai cabang ilmu menentukan masalah dan mempunyai metode bersama, untuk menghasilkan sebuah solusi kebijakan. Diharapkan setelah webinar ini ada kelompok yang mengajukan rekomendasi deteksi dini dan terapi gangguan pendengaran, serta analisis kebijakan yang komprehensif, termasuk pendanaan.
Selanjutnya, Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, menyampaikan bahwa gangguan pendengaran menjadi penyebab disabilitas terbanyak ke-4 di seluruh dunia. Dampaknya menyebabkan gangguan komunikasi, menurunnya peluang karier, hingga menurunnya kualitas hidup masyarakat.
Faktor risiko gangguan pendengaran paling banyak adalah dari infeksi telinga, misalnya otitis media supuratif kronis (OMSK) pada anak di bawah 5 tahun, rubella, campak, meningitis, CMV kongenital, paparan kebisingan di tempat kerja atau rekreasi. Bila gangguan pendengaran ditemukan sedini mungkin, maka dapat dilakukan penanganan dengan tepat.
video
Prof. Dr. med. K. Neumann, Direktur Clinic for Phoniatrics and Pedaudiology, the University Hospital of Munster, Jerman, menyampaikan gangguan pendengaran kongenital adalah gangguan kongenital yang paling sering terjadi (1-3/1.000 bayi). Newborn hearing screening (NHS) yang diikuti dengan intervensi yang sesuai, dapat meningkatkan perkembangan bahasa dan kognitif.
Joint Committee on Infant Hearing merekomendasikan UNHS untuk usia <1 bulan, diagnosis audiologi <3 bulan, dan mulai intervensi pada usia <6 bulan, atau sering disebut early hearing detection and intervention (EHDI) 1-3-6. EHDI tidak hanya skrining untuk neonatus, namun mencakup banyak hal termasuk dukungan sosial dan psikologi untuk keluarga. Saat ini Indonesia termasuk dalam negara yang melakukan 0-1% skrining. Hal ini merupakan masalah besar namun dapat diselesaikan.
Pembicara sesi selanjutnya adalah Peter Bottcher, dari PATH Medical. Peter menyatakan bahwa usia skrining pendengaran yang ideal adalah di bawah 3 bulan. Hasil skrining tanpa tracking yang baik menyebabkan ada pasien yang loss to follow up, bahkan hingga 50%. Tracking menjadi tugas bersama antara penyelenggara skrining, tempat rujukan, orang tua, dan berpusat pada tracking center. Sebagian besar kesalahan program skrining adalah pada fase perencanaan.
Prof. Dr. Nyilo Purnami, dr, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp.N.O(K), FICS, FISCM, Guru Besar dalam Bidang Neurologi Aspek Komunitas Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa tuli kongenital biasanya terjadi pada derajat berat hingga sangat berat.
Terdapat periode kritis sampai usia awal 1 tahun ketika fase maturasi jalur saraf auditori-otak. Bila penanganan pada periode ini kurang baik, maka hasilnya tidak akan optimal. Gangguan pendengaran yang tidak tertangani dapat menyebabkan disabilitas. Alat skrining pendengaran belum tersedia di layanan primer, sehingga cakupan skrining belum banyak. Maka perlu peningkatan peralatan dan SDM, dukungan pemerintah, dan perlunya kesadaran masyarakat untuk melakukan skrining.
Sesi pembahasan diawali oleh dr. Adeline Eva, Sp.THTBKL dari RSAB Harapan Kita. Masalah terkait deteksi dini di Indonesia antara lain adalah kekurangan data prevalensi, biaya operasional skrining pendengaran termasuk honor teknisi alat skrining, isu etik dan hukum bagi seluruh yang terlibat, pelatihan untuk melakukan prosedur skrining, biaya perjalanan dan hilangnya pemasukan ketika pasien datang ke faskes, dan kebutuhan dukungan dari pemerintah. Rekomendasi dari Adeline yaitu pemberian informasi untuk meningkatkan kesadaran terkait pentingnya deteksi dini gangguan pendengaran, panduan operasional skrining yang jelas, adanya sistem tracking dan tindak lanjut dari skrining,
video
Pembahas selanjutnya yaitu dr. Ashadi Prasetyo, M.Sc, Sp.THTBKL, Subsp.N.O(K) dari UGM. RSUP Sardjito tidak memiliki program universal hearing screening, jadi dilakukan targeted screening pada bayi yang memiliki risiko tinggi, misalnya bayi prematur atau asfiksia. Selain itu, terdapat juga keterbatasan alat di rumah sakit, hal yang sama juga terjadi di pelayanan primer. Bila ingin dilakukan skrining universal, maka harus ada tambahan alat dan juga pelatihan bagi tenaga di layanan primer. Pembiayaan juga harus dipikirkan untuk program skrining universal.
Sesi Diskusi
Sesi diskusi dimulai dengan Prof. Neumann dalam inisasi program skrining sebaiknya dilakukan cost benefit analysis. Untuk mengurangi pengeluaran, sebaiknya mengurangi bahan disposable. Tes diagnostik yang dilakukan oleh RSUP dr. Sardjito cukup menguras waktu, perlu dipertimbangkan tes lain yang sederhana. SOP sangat diperlukan untuk mengurangi variasi antar wilayah di Indonesia. Biaya skrining ini tidak terlalu mahal, apabila pemerintah menyiapkan program yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat. Peter menambahkan bahwa leadership juga merupakan aspek yang penting untuk program skrining.
Webinar ditutup dengan kesimpulan oleh dr. Dian bahwa NHS adalah skrining pemdengaran harus dilakukan secara universal. Perlu diperhatikan juga tindak lanjut dan pencatatan datanya. Untuk mendapatkan dukungan pemerintah diperlukan tim kecil untuk mengawal kebijakan dan melakukan studi untuk mendapatkan bukti terkait deteksi dini pendengaran dan intervensinya agar bisa terlaksana dengan baik.
Reporter: dr. Srimurni Rarasati, MPH (PKMK UGM)