Hari 1
Rabu, 5 Juni 2024
Acara HSSA Workshop 2024 adalah sebuah action-oriented workshop yang mencakup kombinasi presentasi pleno, sesi kelompok kecil, dan aktivitas kolaboratif. Kegiatan ini mendorong pemahaman serta pertukaran pengetahuan, memberi informasi tentang peluang penguatan kapasitas, dan memperkuat hubungan kerja antar beragam pemangku kebijakan kesehatan di regional Asia. Acara ini memiliki tema “Strengthening the ecosystem for health policy and systems research for health systems strengthening in Asia” yang memiliki fungsi kritis dalam mengidentifikasi langkah-langkah tindakan ini sangat penting untuk menentukan "pembawa obor," misalnya, anggota komunitas yang bersedia dan berada dalam posisi yang baik untuk menggerakkan agenda bersama ke depan. Pada akhir lokakarya, peserta akan mengidentifikasi setidaknya dua tindakan penguatan dan pembawa obor di setiap tingkat sistem organisasi, nasional, dan regional.
Reportase ini mendokumentasikan sesi hari pertama pelaksanaan Health System Strengthening Accelerator (HSSA) Workshop 2024. Kegiatan dibuka oleh Dwi Puspasari, SKM, M.Sc selaku Kepala Pusjak Upaya Kesehatan dari BKPK Kementerian Kesehatan. BKPK menceritakan bahwa pandemi COVID-19 telah memberikan pembelajaran yang baik untuk pemerintah Indonesia melakukan transformasi sistem kesehatan dengan memperkuat Health Policy and System Research. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari USAID Indonesia dan USAID Asia dalam penyediaan evidence dan mengaitkan dengan proses kebijakan untuk membangun sistem kesehatan yang berbasis lokal.
Sesi: The HPSR Ecosystem over the past 5 years
Amanda Folsom, Senior Program Director at Results for Development (R4D)
Setelah kata sambutan, kegiatan dilanjutkan dengan sesi pemaparan oleh Amanda Folsom tentang The HPSR Ecosystem over the past 5 years. Amanda menjelaskan tentang perjalanan HPSR yang telah dimulai sejak 2019 hingga 2024 dengan prioritas utama adalah menghubungkan penelitian dan pengambilan keputusan. Dalam 5 tahun ini, terdapat 97 organisasi di 27 negara Asia yang terlibat dalam HPSR. Namun, organisasi yang terlibat dalam HPSR ini masih terbatas untuk melakukan kolaborasi dan belum banyak terlibat dalam platform pembelajaran. Amanda juga menjelaskan, berdasarkan hasil assessment mereka pada 2020, peranan HPSR untuk penguatan sistem kesehatan di Asia mayoritas menghasilkan bukti (98%), analisis data dan menemukan masalah (94%), formulasi solusi (68%), memastikan adopsi usulan kebijakan (47%) dan mengimplementasikan perubahan (6%). Melalui workshop ini, Amanda berharap peserta dapat memperdalam pemahaman tentang kolaborasi penelitian kebijakan dalam dan antara negara, khususnya organisasi yang bergabung dalam HPSR dengan pengambil keputusan pada kebijakan kesehatan.
Setelah Amanda Folsom menjelaskan perjalanan HPSR dalam 5 tahun terakhir, peserta diajak untuk berpartisipasi melakukan refleksi yang sudah dilakukan oleh organisasi dari 2019-2024. Peserta diminta untuk menuliskan kegiatan yang sudah dilakukan selama terlibat dalam HPSR di tingkat global, regional, nasional dan organisasi.
Sesi: The HPSR Ecosystem Now: Making a plan
Dr. Vivian Lin, Professor of Public Health Practice, The University of Hongkong
Sesi The HPSR Ecosystem Now: Making a plan adalah salah satu sesi interaktif setelah coffee break dan opening network pada hari pertama (5 Juni 2024) workshop. Pada sesi hybrid ini, peserta merefleksikan visi dari ekosistem Health Policy and System Research (HPSR) sebelumnya, dengan berdiskusi mengenai aspek-aspek pada visi yang dapat di-update serta mendiskusikan fungsi dari berbagai aktor “torchbearers” dalam memperkuat ekosistem HPSR di tingkat lokal maupun regional. Sebagai output dari sesi ini yaitu draft mengenai versi terbaru dari visi ekosistem HPSR beserta peranan dan fungsi dari aktor/ torchbearers sebagai komponen dari rencana aksi (action plan).
Dr. Vivian Lin membuka sesi The HPSR Ecosystem Now: Making a plan dengan membawakan pengantar mengenai visi HPSR Ecosystem yaitu Asia HPSR Ecosystem Vision (2021) dengan membahas aspek-aspek penting dalam visi ekosistem sebagai berikut:
Asia HPSR Ecosystem Vision (2021), a stronger enabling HPSR ecosystem of the future that is highly responsive to countries’ needs. HPSR ecosystem yang kuat dikarakterisasi dari
- tingginya demand dan penggunaan akan evidence
- meningkatnya domestically financing
- memperkuat engagement dengan regional dan global platform.
- matriks untuk mengukur performa ekosistem
Sementara prioritas area dalam penguatan visi HPSR ekosistem meliputi: implementasi research partnership, networks dan forums, peningkatan training, research agenda-setting, financing frameworks, catalog learning and training opportunity, monev ecosystem.
Mengingat bahwa sesi yang diadakan bersifat hybrid, maka Dr. Vivian mengundang partisipasi peserta yang mengikuti sesi secara daring dengan berpartisipasi dalam pooling mengenai 3 topik prioritas berdasarkan 2021 vision of HPSR Ecosystem
Gambar: Hasil Pooling peserta workshop sesi The HPSR Ecosystem Now: making a plan
Setelah sesi pooling diadakan agenda interaktif dengan menggunakan perantara puzzle yang mengharuskan peserta dalam satu meja untuk berkolaborasi untuk menyelesaikan puzzle tersebut. Banyak lessons learned yang didapatkan dari games puzzle tersebut seperti halnya bagaimana HPSRIs dapat bekerjasama untuk mencapai satu tujuan yaitu memperkuat HPSR ecosystem.
Sesi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai policy environment sebagai salah satu enabler dalam ekosistem HPSR. Policy environment yang ada saat ini belum memiliki gambaran besar mengenai orientasi penelitian, perlu adanya peningkatan kapasitas (peneliti perlu benar-benar belajar tentang bukti yang baik, perantara kebijakan, pembuat kebijakan untuk memahami), perlunya melakukan lebih banyak koordinasi lintas sektoral, dampak di tingkat komunitas, inklusivitas- bagian dari komunitas, di luar penelitian dan praktik, ekonomi politik, pemetaan sumber daya.
Sesi workshop diakhiri oleh Dr. Vivian Lin dengan sebuah refleksi mengenai bagaimana cara kita dapat menerjemahkan HPSR Ecosystem vision ini menjadi sebuah aksi karena sejatinya sebuah visi yang baik adalah visi yang dapat dilaksanakan dengan membuat rencana aksi/action plan.
hari 2
Kamis. 6 Juni 2024
Acara HSSA Workshop 2024 adalah sebuah action-oriented workshop mencakup kombinasi presentasi pleno, sesi kelompok kecil, dan aktivitas kolaboratif yang mendorong pemahaman dan pertukaran pengetahuan, memberi informasi tentang peluang penguatan kapasitas, dan memperkuat hubungan kerja antar beragam pemangku kebijakan Kesehatan di regional Asia. Acara ini memiliki tema “Strengthening the ecosystem for health policy and systems research for health systems strengthening in Asia” yang memiliki fungsi kritis dalam mengidentifikasi langkah-langkah tindakan ini sangat penting untuk mengidentifikasi "torchbearer” yang dimana adalah anggota komunitas yang bersedia dan berada dalam posisi yang baik untuk menggerakkan agenda bersama ke depan. Pada akhir workshop, peserta akan mengidentifikasi setidaknya dua tindakan penguatan dan pembawa obor di setiap tingkat sistem organisasi, nasional, dan regional.
Reportase ini mendokumentasikan sesi hari kedua Health System Strengthening Accelerator (HSSA) Workshop 2024. Pada hari ke-2 pelaksanaan workshop membahas kolaborasi pemerintah Indonesia dalam melakukan penelitian dan penyusunan kebijakan. Kegiatan ini dalam bentuk virtual field trip dengan dua breakout room yakni: pembelajaran dari implementasi piloting Pusjak PDK BPKPK Kemenkes dengan Health Financing Activity (HFA) – USAID; dan pembelajaran peningkatan kapasitas untuk menerjemahkan hasil penelitian ke proses kebijakan dengan Pusjak UK BKPK Kemenkes, PKMK UGM dan Poltekkes
Sesi Breakout room 1 – Peningkatan Kapasitas Menerjemahkan Hasil Penelitian untuk Proses Kebijakan
Di breakout room 1, diskusi dilakukan bersama Dewi Puspasari dari Pusjak UK, BKPK Kemenkes, Tri Muhartini dari PKMK UGM dan Dodoh Khodijah dari Poltekkes Medan. Diskusi dipandu oleh Shita Listyadewi dari PKMK UGM. Para narasumber menceritakan pengalaman dalam melaksanakan dan mengikuti pelatihan terkait knowledge translation untuk menjembatani hasil penelitian dan proses kebijakan. Narasumber pertama yakni Dewi Puspasari mempresentasikan tentang pengalaman Pusjak UK melakukan Implementation Research untuk menyediakan evidence dalam penyusunan kebijakan kesehatan di Kementerian Kesehatan. Dewi juga menjelaskan bahwa proses pelaksanaan Implementation Research ini dilakukan secara kolaborasi dengan perguruan tinggi seperti Universitas dan Poltekkes. Pelaksanaan Implementation Research juga dimulai dengan membekali peneliti di BKPK Kemenkes dan perguruan tinggi mendapatkan pelatihan yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Pendekatan riset dilakukan sebagai wujud dari Pusjak UK untuk mewujudkan transformasi sistem kesehatan di Indonesia.
Penyelenggaraan pelatihan dari UGM untuk BKPK ini bukan merupakan hal yang pertama. Pemaparan dari Tri Muhartini selaku peneliti dari PKMK UGM menjelaskan bahwa telah ada beberapa pelatihan yang diselenggarakan untuk mendukung proses Kementerian Kesehatan melakukan transformasi secara internal, khususnya untuk mengubah peran peneliti menjadi analisis kebijakan. PKMK UGM telah menyediakan pelatihan knowledge translation terdiri dari penelitian kebijakan, analisis kebijakan, penyusunan policy brief, dan advokasi kebijakan untuk mendukung BKPK Kementerian Kesehatan menghubungkan atau memanfaatkan hasil penelitian sebagai landasan penyusunan kebijakan kesehatan. Baru-baru ini, Kementerian Kesehatan memiliki agenda untuk memberdayakan Poltekkes membantu proses monitoring program dan kebijakan kesehatan di daerah. PKMK UGM, berperan dalam agenda tersebut dengan menyediakan pelatihan knowledge translation untuk Poltekkes. Pelatihan disediakan karena Poltekkes merupakan perguruan tinggi di bawah Kementerian Kesehatan yang berfokus untuk menyediakan tenaga kesehatan dan belum masuk dalam HPSRI di Indonesia untuk menyediakan evidence kebijakan.
Moderator, Shita Listya Dewi, mempersilahkan kepada Poltekkes untuk memaparkan manfaat dan perubahan setelah mengikuti pelatihan knowledge translation. Salah satu Poltekkes dari Medan yang diwakili oleh Dodoh Khodijah menceritakan pengalamannya. Setelah mengikuti pelatihan, Poltekkes Medan secara pemahaman mengalami peningkatan untuk mengenal tentang penelitian kebijakan, analisis kebijakan, penyusunan policy brief dan advokasi kebijakan. Dodoh juga menyatakan bahwa pembelajaran tentang knowledge translation merupakan hal baru untuk mereka sehingga masih terdapat banyak tantangan dan membutuhkan sumber daya baru untuk melakukannya. Tantangan besar yang dihadapi Poltekkes Medan untuk ke depannya memproduksi knowledge translation secara mandiri adalah kemampuan praktik yang terbatas sehingga membutuhkan pelatihan tindak lanjut. Selain itu, sumber daya keuangan masih terbatas untuk Poltekkes dapat melakukan penelitian kebijakan, pendanaan yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan memiliki syarat yang masih sulit untuk diakses. Manajemen penelitian di Poltekkes dijelaskan juga masih belum memiliki kapasitas untuk mengelola penelitian.
Dari diskusi breakout room 1, Shita Listyadewi berharap peserta dari di Asia dapat mengambil untuk dapat mereka implementasikan dalam memperkuat kapasitas HPSRI di negaranya masing-masing. Kapasitas untuk menyediakan evidence dan menghubungkannya dengan proses kebijakan.
Sesi breakout room 2 – Success story of the pilot implementation dari Pusjak PDK – BKPK unit and USAID Health Financing Activity Project
(Dr. Iko Safika, MERLA Specialist & Amalia, Health Financing Specialist, USAID Health Financing Activity)
Gambar. Success story of the pilot implementation- Pusjak PDK – BKPK unit and USAID Health Financing Activity Project
Pada breakout room 2 ini menghadirkan 2 orang pembicara yang terlibat langsung dalam kegiatan USAID HFA yaitu Dr. Iko Safika dan Amalia. Sesi ini dimulai dari brief mengenai konteks project HFA yang disampaikan oleh Iko yaitu JKN di Indonesia telah mengcover hampir 95-985 dari total populasi di Indonesia, sehingga merupakan suatu hal yang bersifat kritikal dalam memberikan paket esensial pada pelayanan Kesehatan. BPJS Kesehatan sebagai purchaser dan Kementerian Kesehatan sebagai regulator bekerja sama dalam Menyusun regulasi yang efektif khususnya mengenai strategic purchasing. Masuk ke dalam konteks kegiatan HFA, Iko menyebutkan bahwa angka kejadian/prevalensi kematian ibu dan anak (maternal and neonatal care) Indonesia masih menduduki peringkat pertama kematian ibu dan anak tertinggi di asia tenggara. Maka dari itu diperlukannya pembangunan knowledge dan kapasitas mengenai strategic purchasing di Indonesia khususnya dalam sektor Maternal dan Neonatal care.
Presentasi dilanjutkan oleh Amalia selaku Health Financing specialist USAID dengan judul paparan yaitu “Revising the standard tariff of social health insurance for maternal and neonatal health service based on evidences”. Amalia memulai presentasi mengenai background adanya penyesuaian tarif BPJS selama 2 tahun, sehingga perlu adanya inovasi dan pembaharuan dalam pembiayaan Kesehatan guna memaksimalkan implikasi dan impact dari pelayanan Kesehatan tersebut. Pusjak PDK sebagai salah satu fungsi dari BKPK memiliki beberapa inovasi terkait revisi tarif guna keberlanjutan program JKN.
Sehingga dilakukan pengadopsian Strategic Health Purchasing (SHP) ke dalam program nasional dengan beberapa tahapan seperti misalnya tahap design (melakukan analisis dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sektor publik dan sektor swasta pada level Kesehatan primer serta adjustment on payment mechanism) sampai akhirnya dilakukan pengadopsian SHP pada Kesehatan ibu dan anak dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2023 mengenai perubahan aturan tarif dalam pelayanan JKN.
Selanjutnya, mengapa SHP perlu berfokus pada maternal and neonatal care?
Saat ini, di Indonesia, masih terdapat 189 kematian bayi pada 100,000 angka kelahiran hidup sehingga hal ini masih di bawah target nasional Indonesia yaitu terjadinya 173 kematian bayi pada 100,000 angka kelahiran bayi hidup.
Untuk itu, kegiatan pilot yang dilakukan melalui skema USAID HFA berupaya meningkatkan akses serta memperkuat quality assurance dalam pemberian pelayanan maternal and neonatal health (MNH) di Indonesia.
Sebagai gambaran hasil dan impact dari kegiatan USAID HFA di Indonesia, diketahui bahwa dalam aspek access, terjadi kenaikan klaim pelayanan terkait MNH pada fasilitas Kesehatan tingkat dasar dengan compliance dan kualitas pelayanan yang meningkat dengan mengedepankan prinsip efisiensi pada sistem pelayanan MNH.
Sebagai pembelajaran inti (learning), dari pilot USAID HFA di Indonesia yang bekerjasama dengan BKPK, dapat dipelajari dua hal yaitu:
- Perlu adanya keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kebijakan pada tahap desain sampai implementasi untuk menurunkan kemungkinan adanya resistensi kebijakan.
- Memastikan kualitas evidence dan proses adopsi sampai adanya output seperti perubahan tarif pada Peraturan Menteri Kesehatan merupakan contoh nyari dari evidence to adoption process.
Sebagai penutup, Iko menyampaikan closing statement bahwa engagement dengan seluruh pemangku kebijakan bukan hanya Kementrian Kesehatan namun juga para mitra pembangunan, pihak universitas/riset, sub-national level adalah sebuah hal yang esensial dalam mendukung adanya proses evidence uptake into policy seperti contohnya USAID HFA dalam memberikan evidence melalui perubahan tarif pelayanan Kesehatan ibu dan anak di Indonesia pada keputusan Menteri Kesehatan.