Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector and Engagement in Health

Seperti biasa, peserta membuat ringkasan dari hari kemarin. Hal ini merupakan keuntungan lebih bagi peserta karena kemarin kelas terbagi dalam dua kelompok (kelompok UMIC dan kelompok LMIC), dan mereka juga terbagi ke dalam kelompok pada saat kunjungan lapangan. Dengan demikian peserta tetap mendapat gambaran umum dari kelompok-kelompok lain.

Ringkasan dari kunjungan lapangan dari kelompok lain kemarin adalah:

  1. Friendly Care

    Ini merupakan jaringan (terdiri dari 6 klinik) penyediaan layanan dasar untuk kelompok middle class, dengan berbagai pelayanan untuk family planning and reproductive health, termasuk konsultasi spesialis, laboratory services, diagnostic, radiology, physical mobile clinics, some minor surgery, etc. Friendly Care mengenakan biaya hanya sepertiga dari harga umum, hanya utk BEP. Mereka tidak mendapat dana dari pemerintah dan mereka merupakan organisasi nirlaba, sehingga biaya yg mereka kenakan hanya untuk menutup BEP, sekitar sepertiga dari harga sector swasta pada umumnya.

  2. Well-Family midwive clinic

    Menyediakan franchise pelayanan untuk ibu hamil dan melahirkan, saat ini terdiri dari 137 klinik kebidanan. Keuntungan menjadi anggota franchise ini adalah mereka mendapat pelatihan (di awal mau pun untuk refreshing/upgrading), peralatan (bisa dipinjam atau dibeli) dan sudah terakreditasi PhilHealth sehingga bisa melayani pasien yg di-cover PhilHealth. (PhilHealth akan membayar P1,500 untuk ANC, P8,000 untuk melahirkan, dengan catatan: hanya dibayar P650 jika ibu yg melahirkan ini merupakan hasil rujukan dari rumah bidan (tujuannya: memotivasi bidan untuk mengusahakan agar ibu melahirkan di fasilitas, bukan di rumah - lalu menunggu situasi darurat sebelum dirujuk ke fasilitas), dan P1,550 untuk post-natal care). Biaya yg dikenakan (untuk pasien yg belum di-cover PhilHealth) lebih rendah juga dari biaya umum (swasta) tetapi lebih tinggi dari biaya di sector pemerintah. Biasanya pasien yg dilayani berasal dari kelompok menengah ke bawah.

Setelah itu, kembali sesi diisi dengan penjelasan mengenai salah satu tools lain, kali ini membahas dari sisi konsumen, dengan menggunakan instrument pembiayaan.

Demand Side Financing (Malabika Sarker)

vaKonsep yg mendasari pentingnya tools ini adalah pembiayaan berbasis hasil, artinya mengaitkan insentif dengan kinerja tertentu. Konsep ini bisa diterapkan baik di sisi supply (performance based financing, misalnya), mau pun di sisi demand (conditional/unconditional cash transfer dan vouchers, misalnya).

Cash transfer biasanya diberikan ke rumahtangga baik menggunakan prasyarat tertentu (jika ibu menggunakan layanan kesehatan selama masa kehamilan dan melahirkan dan pasca melahirkan, misalnya) atau pun tanpa prasyarat tertentu (misalnya memberikan tambahan pendapatan bulanan untuk rumahtangga). Pengalaman di beberapa Negara berkembang menunjukkan bahwa conditional Cash Transfer (CCT) memiliki potensi untuk menstimulasi demand terhadap pelayanan kesehatan, sementara unconditional cash transfer biasanya lebih ditujukan untuk penanggulangan kemiskinan secara umum. Keberhasilan CCT akan sangat bergantung pada nilai uang yg diberikan ke rumahtangga, bagaimana mekanisme pemberiannya, bagaimana enforcement terhadap prasyaratnya (sistem pencatatannya), ketepatan sasaran dan transparansi dari pengelolaannya.

Vouchers biasanya digunakan oleh pemerintah atau donor-driven. Sasarannya didefinisikan secara jelas (untuk kelompok tertentu, pada wilayah geografis tertentu, dsb). Voucher diberikan kepada kelompok sasaran, tetapi pembayarannya dilakukan oleh pemerintah atau donor kepada provider-nya. Biasanya voucher dikombinasikan dengan pemberian uang/cash untuk mengganti biaya transport.

Hal terpenting yang perlu diingat adalah:

  1. Demand-side financing tidak akan berhasil jika kita tidak memiliki control terhadap kualitas (artinya: kita tidak bisa memastikan bahwa pelayanan yg tersedia bermutu), dan tidak memiliki control terhadap supply-chain (artinya: kita tidak bisa memastikan bahwa pelayanan, obat dan peralatan yg dibutuhkan tersedia pada saat pasien membutuhkan).
  2. Sampai sejauh ini bukti literature menunjukkan bahwa demand-side financing yang efektif meningkatkan demand adalah yg dilakukan di Negara-negara dimana telah tersedia pelayanan yg gratis (misalnya, karena sudah disediakan secara Cuma-Cuma oleh pemerintah atau sudah di-biayai melalui asuransi social). Belum tersedia bukti yg cukup dimana demand-side financing akan berhasil di Negara-negara dimana pelayanan yg tersedia masih mengenakan biaya untuk pasien. Artinya, kita perlu menggarisbawahi bahwa financial-barrier ada pada point dimana pelayanan tersedia, dan juga pada kemampuan pasien untuk pergi ke tempat pelayanan. CCT, misalnya, diberikan bukan supaya rumahtangga bisa membayar biaya (charges) untuk mendapatkan pelayanan, tetapi supaya mereka bisa membayar biaya (cost) yg dibutuhkan untuk pergi ke fasilitas kesehatan, atau sebagai insentif untuk pergi ke fasilitas pelayanan (tidak soal apakah fasilitas ini merupakan fasilitas swasta atau pemerintah).
  3. Demand-side financing juga tidak akan mengatasi masalah jika masyarakat tidak mengakses pelayanan kesehatan karena factor non-financial barriers.

Sesi berikutnya kembali berupa studi kasus. Kali ini, studi kasusnya adalah bagaimana vouchers diterapkan di Bangladesh.

Sesi selanjutnya bukan merupakan sesi tentang tools yg tersedia, tetapi lebih pada salah satu actor dalam sector swasta yaitu penyedia pelayanan informal dan bagaimana kita merespon hal ini.

Informal Providers (Dominic Montagu)

Di region Asia, para penyedia layanan informal adalah bagian besar dari sistem, walau pun mereka secara resmi tidak pernah terlihat (invisible) di dalam sistem. Biasanya bila suatu service delivery dijelaskan di dalam sistem, maka yg ditampilkan biasanya adalah berapa jumlah tenaga kesehatan di puskesmas, berapa puskesmas, berapa pustu, berapa polindes, dst. Tetapi dalam dunia nyata, masyarakat pergi bukan ke dokter di puskesmas atau bahkan ke puskesmas, melainkan pergi ke informal providers (mulai dari bidan praktek sampai penyembuh tradisional). Sehingga bila dilihat sebenarnya share terbesar adalah di sector swasta, tidak soal apakah mereka formal atau informal, terlatih atau tidak. Sehingga apabila kita memikirkan tentang bagaimana melibatkan sector swasta, kita tidak bisa (dan tidak boleh) mengabaikan mereka.

Informal providers biasanya tidak memiliki gelar tertentu (berdasarkan jalur pendidikan khusus), tidak ada standar kualitas yg disepakati, tidak berada di bawah aturan regulasi/sistem monitoring atau supervisi dan jarang sekali yg membentuk suatu asosiasi.

Contoh informal providers:

  • Penjual obat
  • Dukun bayi
  • Penyembuh tradisional

Sebuah systematic literature review (sekitar 109 literature) membahas intervensi apa yg cukup potensial untuk menghadapi informal providers (berdasarkan experiences di beberapa negara berkembang), yaitu:

  • Merubah situasi pasar (bukan melatih para informal providers ... karena ternyata ini bukan intervensi yg efektif) : misalnya mengaitkan insentif dengan perilaku tertentu, microfinancing, dll
  • Memasukkan mereka ke dalam sistem melalui proses regulasi: misalnya di-register sehingga bisa mulai di-data dan di-supervisi. Tetapi tentu saja kita harus mempertimbangkan biaya yg terlibat untuk melakukan supervise (misalnya: siapa yg melakukan, apa otoritas mereka, dsb). Jika tidak, maka yg terjadi adalah adanya sekelompok aparat yg berkeliling menangkap/memenjarakan para informal providers, atau mengancam utk menangkap/memenjarakan sehingga secara tidak langsung menciptakan peluang 'pemerasan' dan pungli.
  • Mengurangi fragmentasi di antara para informal providers itu sendiri dengan cara mendorong mereka untuk membentuk asosiasi, sehingga memudahkan interaksi antara pemerintah dengan mereka (misal: Dinkes akan sulit berkomunikasi/menyampaikan informasi kebijakan kepada 2,000+ toko obat, tetapi akan lebih mudah seandainya ada Asosiasi Penjual Obat)
  • Membuat mapping informal providers
  • Mengaitkan mereka ke dalam sistem rujukan, tetapi untuk melakukan ini kita harus mengatasi keberatan dari Dinkes dan dari organisasi profesi/bidan

Dengan selesainya sesi ini, selesai pula penyampaian materi course ini. Esok, di hari terakhir, hanya akan diisi dengan ringkasan harian (seperti biasa), disusul dengan ringkasan/review seluruh course, presentasi poster hasil kerja kelompok peserta, pemilihan poster terbaik dan penutupan.

 

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector and Engagement in Health

Oleh Shita Listyadewi

Hari ini difokuskan pada salah satu tools yang paling sering dilakukan: contracting. Peserta dibagi ke dalam dua kelas, satu kelas berfokus pada pengalaman contracting di Negara low-middle income, sementara kelas lain berfokus pada pengalaman contracting di Negara upper-middle income; hal ini dilakukan untuk memperdalam pemahaman dan membedakan peluang dan tantangan di dua konteks yg berbeda.

Contracting: Low Middle Income Countries (Syed Farid-ul-Hasnain)

Mekanisme contracting memisahkan peran penyedia dengan peran pembayar, dan menciptakan mekanisme insentif untuk mencapai suatu kinerja tertentu dan tujuan tertentu.

Elemen kontrak harus detil untuk masing-masing komponen di bawah ini:

  1. Jenis layanan
  2. Berapa banyak
  3. Untuk siapa
  4. Harganya
  5. Pembayaran: kapan, berdasarkan apa/prasyarat yg harus dipenuhi, bagaimana caranya dibayar
  6. M&E
  7. Jangka waktu kontrak
  8. Mekanisme penyelesaian masalah (jika ada)
  9. Kondisi untuk pemutusan hubungan kontrak

Disini tersirat keahlian yg terkait, yaitu kemampuan dan kapasitas dari keduabelah pihak untuk berinteraksi, menarik minat satu sama lain, dan menjaga hubungan, termasuk kapasitas untuk mengawasi dan kapasitas untuk memenuhi perjanjian.

Untuk contoh, diberikan hasil kasus contracting di Vietnam (dilakukan tahun 1999 – 2003 di 12 distrik) yang cukup berhasil untuk daerah yang miskin yang menunjukkan bahwa cakupan pelayanan meningkat, bahwa ada focus yang lebih tepat sasaran untuk pro-poor dan menurunkan OOP, jika dibandingkan dengan 3 distrik lain yang tidak melakukan contracting.

Beberapa kunci keberhasilan contracting adalah:

  1. Tujuan harus jelas dan spesifik (kuantitas, kualitas yg diharapkan, bagaimana prinsip equity diterapkan misal menetapkan target catchment area dan populasi atau kelompok populasi tertentu) dan terukur (dan ukurannya harus ditetapkan dan disepakati, dan cara untuk mengukurnya juga harus disepakati). Hal ini berimplikasi pada beberapa hal:
    • Harus ada insentif untuk pencapaian tujuan (dan sebaliknya "hukuman" apabila tujuan tidak tercapai)
    • Harus ada data baseline
    • Harus ada penggunaan sistem informasi yg tepat waktu
       
  2. Harus ada kejelasan mengenai mekanisme procurement dan standard kualitas yang harus dipenuhi, harus ada kejelasan mengenai "ukuran" yang digunakan untuk mendefinisikan jasa yang diminta: apakah berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan, atau berdasarkan cakupan atau seberapa banyak target populasi terlayani; begitu pula harus ada kejelasan mengenai mekanisme yang akan dilakukan untuk memonitor dan mengevaluasi

ivbKemudian disajikan mengenai kasus hasil evaluasi contracting di Pakistan (kasus tersedia dalam bahan bacaan yg harus dibaca peserta). Contracting di Pakistan dilakukan pada level Basic Health Units (BHU) yang menyediakan pelayanan primer. Hal ini dilakukan karena masyakarat menganggap pelayanan di sector public buruk, dokter tidak ada di tempat, akibatnya masyarakat lebih suka pergi ke fasilitas swasta. Oleh karena itu disusunlah kontrak dengan pihak swasta (PRSP) untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan. Daerah dibagi ke dalam cluster, dimana 3 BHU dikelompokkan ke dalam 1 cluster dan dimanajemeni oleh seorang dokter. Saat itu ada 12 dokter, kemudian PRSP merekrut 23 dokter baru. Insentif yang ditawarkan menarik: termasuk peningkatan gaji sebesar 150% tetapi mereka dilarang melakukan praktek pribadi, pinjaman tanpa bunga untuk mobil, dan lain-lain. Setelah masa kontrak berakhir terlihat dari evaluasi bahwa utilitas pelayanan meningkat, kepuasan pasien terhadap pelayanan meningkat, fasilitas di-upgrade dan dokter tersedia. Hal-hal ini tersedia walau pun nilai kontrak yang diberikan tidak lebih mahal daripada nilai yang dikeluarkan pemerintah selama ini untuk sector public, jadi secara umum ada peningkatan efisiensi dan cost-effectiveness. Namun ada satu hal yang tidak masuk di dalam kontrak yaitu kualitas, sehingga evaluasi tidak menunjukkan bahwa kualitas (clinical care quality) berubah (tidak bertambah baik walau pun juga tidak bertambah buruk).

Lesson learnednya adalah: MoU harus eksplisit, karena you'll get you what you asked for: jika kita ingin mengatasi masalah A, maka mekanisme contracting dapat mencapai A, tetapi bukan A + B.

Beberapa peserta kemudian berbagi pengalaman "contracting" di negara mereka dan fasilitator memperjelas konsep mana yang "contracting" mana yang bukan (misalnya: banyak peserta menganggap bahwa "purchasing" atau "outsourcing" adalah "contracting" padahal bukan).

Contracting: Upper Middle Income Countries (Chantal Herberholz)

Isi dari sesi ini sama untuk bagian awal, yaitu menjelaskan apa itu contracting, apa kelebihan dan kekurangannya, apa tantangannya, kapan kita mungkin perlu mempertimbangkan untuk melakukan contracting (dan kapan tidak). Dijelaskan pula beberapa tipologi yang berbeda yang harus kita bedakan:

  • Management contract (infrastruktur disediakan pemerintah, pelayanan disediakan oleh swasta)
  • Service delivery contract (infrastruktur dan pelayanan disediakan oleh swasta)

Yang berbeda adalah contoh kasus yang diberikan, yaitu aplikasi contracting di Negara-negara Upper-middle income misalnya Malaysia dan Thailand.

Beberapa catatan penting dari pengalaman Negara-negara itu adalah bahwa contracting membutuhkan pendekatan yang sistematis, bahwa pemerintah harus mempertimbangkan economies of scale (baik dari sisi financial, dari sisi bagaimana kontrak dikelola dan bagaimana kontrak dimonitor dan dievaluasi) karena mekanisme contracting juga menyangkut transactional dan administrative cost. Ditambahkan pula bahwa mekanisme pay-for-performance adalah mutlak, dan bahwa pemerintah harus menahan diri dari kecenderungan untuk menghalangi otonomi dari pihak swasta (misalnya: men'dikte' bagaimana suatu pelayanan harus disediakan, terlalu kaku dalam hal anggaran/line-item budget, memaksa pihak swasta menggunakan standard pemerintah dalam hal recruitment atau pun insentif utk pegawai yg dikontrak, atau bersikeras mempertahankan fungsi pemerintah dalam hal procurement (khususnya barang inputs yg stratejis).

Perlu dipertimbangkan pula seberapa banyak potential contractors yang tersedia dan memiliki kapasitas yang dibutuhkan, apakah menggunakan competitive bidding atau tidak, bagaimana lingkungan politik dan birokrasi serta landasan hukum yang tersedia (dan diperlukan) agar mekanisme contracting dapat dilakukan.

Akhirnya, diidentifikasi langkah-langkah penting dalam contracting:

  1. Melakukan dialog dengan stakeholders
  2. Mendefinisikan layanan yg diminta (dengan jelas)
  3. Merancang metode M&E
  4. Menentukan bagaimana menetapkan kontraktor
  5. Merancang manajemen kontrak
  6. Men-draft dokumen kontrak
  7. Melakukan proses bidding dan akhirnya memanajemeni kontrak

(Untuk referensi mengenai Contracting, silakan lihat Performance-Based Contracting for Health Services in Developing Countries: a Toolkit)

Contracting by PhilHealth (CEO PhilHealth: Eduardo "Dodo" Banzon)

Konteks di Filipina:

  • Upaya mencapai Universal Coverage sebagai bagian dari Aquino Health Agenda
  • Sektor informal besar
  • Kebijakan nasional lemah dalam hal regulasi sector informal: Dual-practice, biaya kesehatan tinggi, pelayanan sector public lemah sementara layanan private di sector public berkembang pesat.

Dodo menekankan: You can not cure the system unless you kill the bad legacy. Bad legacies yang dimiliki PhilHealth saat ini adalah:

  • Fokus mereka adalah pada protecting funds rather than protecting members
  • Miskonsepsi umum mengenai reserve fund: berpegang pada pension fund mentality dan rebate mentality
  • Percaya pada mekanisme Fee-for-service payment
  • Melakukan 'accreditation' (akreditasi dalam tanda kutip karena sebenarnya PhilHealth intinya hanya melakukan lisensi ulang provider yang sebenarnya sudah di-licensed oleh pemerintah) dan mengaitkannya dengan 'contracting' (yaitu: yang bisa dikontrak hanya fasilitasi yang sudah di'akreditasi' PhilHealth)
  • Kepersertaan voluntarily untuk sector informal.

Jadi per 1 April 2012 PhilHealth memulai contracting dengan nafas baru: tidak lagi disebut kontrak tetapi disebut "performance commitment", dan mempercayai proses licensing yang telah dilakukan oleh pemerintah (tidak lagi perlu di-'akreditasi' oleh PhilHealth)

ivaStrategi yg dilakukan adalah market domination: karena tanpa market share yg besar, PhilHealth akan sulit bernegosiasi dengan providers. Dan sebaliknya, bagaimana kita bisa melakukan market domination jika kita tidak tahu siapa market kita. Oleh karena itu kunci dari strategi ini adalah sistem informasi: PhilHealth saat ini memiliki informasi yg paling lengkap mengenai rumahsakit di Filipina, jauh lebih lengkap dari data yg dimiliki pemerintah (depkes).

Sisa hari ini digunakan untuk melakukan kunjungan ke lapangan untuk melihat mekanisme contracting yang dilakukan PhilHealth di Filipina. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok: satu kelompok melihat bagaimana mekanisme contracting dijalankan untuk program DOTS, dan kelompok lain melihat bagaimana mekanisme contracting dijalankan untuk klinik maternity (catatan: penulis memilih untuk pergi ke klinik DOTS).

Klinik DOTS didirikan oleh Tropical Disease Foundation, Inc, sebuah NGO yang tadinya merupakan research arm dari RS Makati Medical Centre (swasta). TDF tadinya adalah NGO yang melakukan riset national TB surveillance survey (tahun 1997) dan hasil temuan mereka menunjukkan bahwa health seeking behavior masyarakat mengindikasikan bahwa mereka lebih suka pergi ke klinik swasta untuk pengobatan TB. TDF akhirnya mendirikan klinik DOTS utk deteksi TB khususnya MDR-TB yang dibantu oleh dana dari Global Fund, fundraising mau pun pendapatan dari melakukan riset. Karena pada saat itu klinik itu merupakan OPD dari MMC, maka staff mau pun obat mau pun peralatan dibiayai oleh MMC.

Pada tahun 2010, TDF dipisahkan dari MMC, mereka memiliki gedung sendiri (lokasinya di seberang MMC) dan mereka tidak lagi mendapat dana dari MMC. Keterlibatan mereka dengan PhilHealth dimulai pada tahun 2011 ketika PhilHealth berinisiatif untuk mengajak mereka menjadi anggota jaringan provider dan menjelaskan mekanisme klaim dan eligibility pasien, form yang harus diisi utk keperluan klaim, dll. Penghasilan mereka saat ini berasal dari (1) 'purchasing' oleh PhilHealth (sistem claim P4000/pasien/case findings), (2) subsidi pemerintah kota Makati utk bahan habis pakai dan treatment kit dan (3) penghasilan dari melakukan penelitian untuk perusahaan farmasi dalam bidang manajemen TB. Seluruh penghasilan tersebut masuk ke dalam global budget dari TDF. Klinik TDF kini tidak lagi menerima dana Global Fund untuk MDR-TB tetapi mereka masih melakukan treatment utk regular TB dan masih melakukan screening untuk MDR-TB di local community mereka yang populasinya kebetulan kecil (hanya 150 orang, namun kebanyakan belum di-cover oleh PhilHealth). Kebanyakan pasien mereka adalah para karyawan dari daerah perkantoran sekitar (sudah dibayar melalui PhilHealth). Kasus MDR-TB kini mereka rujuk ke Treatment Klinik milik NGO lain yang menerima dana Global Fund.

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector Policies and Engagement in Health

Oleh Shita Lisyadewi

iiiaHari ketiga dimulai dengan ringkasan dari hari kedua. Sama seperti kemarin, peserta yang menyajikan ringkasan ini. Peserta hari ini cukup kreatif karena kali ini ringkasan disajikan dalam bentuk seolah-olah dua peserta melakukan Tanya jawab dalam sebuah acara TV. Hal ini membuat presentasi ringkasan lebih menarik untuk diikuti dan kadang-kadang diselipi lelucon.

Social Marketing (Dominic Montagu)

Social marketing adalah aplikasi dari konsep dan teknik pemasaran untuk mempengaruhi perilaku di dalam kelompok target tertentu demi kepentingan mereka sendiri dan masyarakat sekitar mereka.

 

  1. Commodity social marketing

    Commodity social marketing berbeda dengan behavior-change social marketing dalam hal bahwa pendekatan ini tidak hanya melihat dari sisi demand (perubahan perilakunya) tetapi juga dari sisi supply-nya (ketersediaan barang yg mendukung perubahan perilaku tersebut).

    Disinilah letak potensi peran swasta dalam hal ini, karena mereka bisa terlibat dalam penyediaan barang yang dibutuhkan secara Cuma-Cuma atau dengan harga yang sangat murah (karena banyak disubsidi) dimana mereka tetap bisa membuat sedikit keuntungan. Ini adalah kampanye yg langsung terkait dengan produk /barang tertentu (biasanya disubsidi sehingga harganya sangat murah) dan melibatkan supply chain/retailer. Contohnya: ORT, kelambu dengan insektisida, alat kontrasepsi, garam beryodium, pemurni air, dsb.

    Behavior-change social marketing: measures of success

    Commodity social marketing: measures of success

    Perubahan social/perilaku: namun, sulit mengaitkan secara langsung perubahan perilaku secara spesifik terhadap intervensi yg telah dilakukan

    Volume of sales: ini daya tariknya dari sisi swasta

     

    Market share: walau pun ini bukan tujuan utama. Tetap ada populasi sasaran khusus.

     

    Patient usage: ini insentif utama dari sisi promosi kesehatannya

     

    CYP (coupled year of protection)

     

    DALYs averted

     

    Cost/CYP

     

    Market growth: ini harapannya ketika perilaku masyarakat sudah berhasil dirubah

    Tantangannya adalah sulit menemukan sector swasta yang tertarik untuk "menjual" barang yg terlibat dalam commodity social marketing yang terkait dengan hal yg sensitive/tabu dan sulit di"promosi"kan, misal: morning-after pills.

    Misalnya: Apotik akan lebih senang menjual alat suntik sekali pakai untuk masyarakat umum (misalnya penderita diabetes) walau pun alat ini sebenarnya/awalnya ditujukan bagi pemakai narkoba untuk menghindarkan mereka dari HIV.

  2. Social Franchising

    Social franchising di region Asia bertumbuh, beberapa studi kasus (misalnya Blue Star di Filipina) menunjukkan keberhasilan pendekatan ini untuk memobilisasi layanan pada banyak delivery points. Tetapi biasanya social franchise lebih berhasil untuk melayani niche tertentu.

    Tetapi tetap diperlukan intermediary sedangkan peran pemerintah secara utama adalah sebagai perencana, pembayar dan fasilitasi antara para pelaksana dengan para donor.

    Hari ini ditutup dengan teaching case lain, kali ini membahas aplikasi social franchising di Myanmar. Para peserta dibagi ke dalam dua kelompok, masing-masing kelompok membahas pro dan kontra atas pilihan yg perlu dibuat untuk meluaskan pelayanan kesehatan yg terintegrasi ke masyarakat pedesaan: menggunakan social franchising yg telah terbukti berhasil di daerah perkotaan tetapi memiliki biaya monitoring dan pelatihan yang cukup tinggi, ATAU menggunakan jaringan sukarelawan dari antara masyarakat yg diberi kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan produk-produk yg tidak berhubungan langsung dengan program kesehatannya.

    Di dalam course ini peserta dari Negara yang sama juga dikelompokkan dan ditugasi untuk membuat rencana strategi engagement sector swasta di Negara mereka. Setiap hari, kelompok ini diberi waktu satu sesi penuh untuk berdiskusi di antara mereka sendiri untuk membahas aplikasi konsep yang disajikan pada hari tersebut di dalam konteks Negara mereka sendiri. Diskusi ini akan membantu dalam setiap langkah penyusunan rencana engagement sector swasta, mulai dari identifikasi dan pemilihan masalah, merencanakan PHSA dan identifikasi penelitian/data tambahan yg dibutuhkan, memilih strategi engagement yg workable, dan akhirnya memilih setidaknya dua tools/instrument untuk melaksanakan strategi tersebut. Pada hari terakhir dari course, para peserta akan mempresentasikan hasil diskusi mereka dalam bentuk poster, dan akan diadakan voting pemilihan poster terbaik.

     

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector Policies and Engagement in Health

Oleh Shita Listyadewi

foto1Hari kedua dimulai dengan penyajian ringkasan dari sesi-sesi pada hari pertama. Menariknya, peserta yang diminta membuat dan menyajikan ringkasan, sehingga ini bisa menjadi indikasi pemahaman peserta terhadap materi yang disampaikan.

Private Health Sector Assessment/PHSA (Siripen Supakankunti and Chantal Herberholz)

PHSA adalah guideline (bukan blueprint) untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang tersedia tentang sector swasta (atau bagian khusus dari sector swasta) dengan cara mengidentifikasi apa isu dan informasi yg dibutuhkan, kemudian mengidentifikasi bagaimana caranya mengumpulkan informasi tersebut, bagaimana cara menganalisanya dan menyajikan informasi tersebut.

Yang tercakup di dalam PHSA adalah:

  • Memahami dan mengakui siapa saja yang menyediakan pelayanan tersebut ('mengakui' disini penting, karena kadang-kadang ada penyedia pelayanan yg secara nyata ada di dalam masyarakat tetapi tidak eksis di dalam sistem (misalnya: penyedia pelayanan informal/tradisional))
  • Memahami konteks pembiayaan dari pelayanan yg tersedia tersebut
  • Memahami siapa saja yg menjadi intermediaries pelayanan tersebut yang harus dipertimbangkan, misalnya organisasi profesi tertentu, perusahaan atau kelompok perusahaan tertentu, dan bagaimana hubungan mereka dengan pemerintah
  • Memahami kapasitas pemerintah untuk berinteraksi dengan sector swasta, berdasarkan kapasitas kepemimpinan, unit/kelompok khusus yg akan membangun hubungan dengan sector swasta, dan pengalaman yg dimiliki selama ini dalam bekerjasama dengan sector swasta

Mengapa PHSA dilakukan? Karena kita ingin meningkatkan kinerja sistem kesehatan dalam salah satu tujuan kesehatan, karena kita ingin mencapai tujuan sistem kesehatan dengan meningkatkan potensi dan kontribusi sector swasta. Jadi, PHSA dilakukan jika ada masalah kinerja dalam salah satu tujuan kesehatan kita (catatan: lihat kembali kerangka pikir course ini). Tetapi tentu saja PHSA tidak akan mungkin dilakukan jika kita tidak mengakui bahwa sector swasta eksis (dan sebenarnya ukurannya cukup besar) untuk dapat menjadi partner dan member daya ungkit dalam pencapaian tujuan kesehatan tersebut. Untuk memahami seberapa penting peran sector swasta dalam pencapaian tujuan kesehatan, tentu saja kita perlu mengetahui bagaimana situasi sector swasta yg sebenarnya, dan apa strategi yg bisa dilakukan untuk meningkatkan kontribusi mereka. Oleh karena itu kita perlu memikirkan data (kuantitatif dan kualitatif) apa yg dibutuhkan untuk mengetahui situasi sector swasta dan bagaimana cara mengumpulkan data tersebut, dan inilah esensi dari PHSA.

Langkah-langkah dalam melakukan PHSA adalah:

  1. Langkah 1: Mendapatkan pemahaman utuh mengenai sector swasta

    1. Mendapatkan informasi berdasarkan data sekunder yg tersedia tentang informasi umum Negara/region/propinsi/distrik dimana kita berada, mengenai sistem kesehatan (bagaimana caranya di-organisir, bagaimana caranya di-manajemeni dan bagaimana caranya dibiayai), informasi umum mengenai siapa saja actor sector swasta yg ada/menyediakan pelayanan
    2. Mendapatkan informasi mengenai situasi lingkungan dimana sector swasta berada. Hal ini mencakup (tetapi tidak terbatas pada):

      1. Belanja kesehatan yang tersedia untuk mereka
      2. Pemilik dari para penyedia layanan tersebut dan karakteristik mereka
      3. Peran mereka dalam hal infrastruktur mau pun layanan (termasuk layanan swasta yg mungkin tersedia di sector public)
      4. Landasan dan kerangka hukum yg tersedia bagi mereka
      5. Seberapa besar korupsi menjadi factor yg mempengaruhi mereka
      6. Perkembangan baru dalam pembiayaan kesehatan (jika ada)
      7. Hambatan yang mungkin ada (trade barriers), sistem perpajakan, fluktuasi kurs
      8. Regulasi yg tersedia (atau tidak) mengenai situasi persaingan

    Point (i-iii) terkait dengan seberapa besar peran mereka dalam sistem kesehatan, sementara point (iv – viii) terkait dengan seberapa luas atau seberapa terbatas ruang gerak mereka, yang tentu saja akan mempengaruhi seberapa besar mereka bisa meningkatkan kontribusi mereka (Artinya, pemerintah mungkin bisa merubah salah satu dari point iv-viii untuk memperluas/membatasi ruang gerak mereka).

    Data yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi ini adalah: data sekunder yang tersedia (review literature, survey rumahtangga, survey fasilitas kesehatan, dan data NHA), mau pun data primer (menggunakan focused group, interview, melakukan survey ke fasilitas, ke penyedia pelayanan dan ke konsumen/pengguna). Pertimbangkan pula factor-faktor yg mungkin mempengaruhi kualitas data yg tersedia dan data yg bisa dikumpulkan.

  2. Langkah 2: Berdiskusi dengan stakeholder (baik stakeholder di pihak pemerintah mau pun stakeholder di pihak swasta). Intinya adalah harus ada kaitan antara pemahaman dan informasi yg kita peroleh dengan melakukan engagement. Faktor yg sangat penting disini adalah seberapa besar trust (atau mistrust) yang ada di antara keduabelah pihak (pihak pemerintah dan pihak swasta). Faktor lain yang penting disini adalah kemungkinan besar diperlukan capacity building di kedua belah pihak untuk dapat memperbaiki/meningkatkan hubungan di antara keduanya.

  3. Langkah 3 : Melakukan penelitian yang targeted, dengan tujuan untuk mengumpulkan salah satu aspek tertentu dari sector swasta dengan tujuan untuk dapat mengidentifikasi strategi. Penelitian ini dapat berupa:

    1. Segmen tertentu dari sector swasta
    2. Jenis layanan yang tersedia dari segmen ini
    3. Area cakupan mereka dan populasi yg mereka layani
    4. Strategi terdahulu yang mungkin telah terbukti berhasil

    Hasil akhir dari PHSA ini harus dapat membantu kita memilih strategi apa yang tepat (dan workable) (Catatan: lihat kembali kerangka pikir course ini untuk melihat pilihan strategi dan instrument yang tersedia).

pppd1

Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan contoh bagaimana PHSA dilakukan di Bangladesh. Sesi berikutnya adalah teaching case. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok, dan masing-masing diberi tugas yang merupakan simulasi dari melakukan PHSA. Setelah diskusi dalam kelompok, setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi mereka.

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

Strategies for Private Sector Policies and Engagement in Health
Makati City, Manila, 14 – 19 May 2012

foto2Ini adalah sebuah course yang disusun bersama oleh Asia Network for Health System Strengthening (ANHSS) bekerjasama dengan World Bank Institute. ANHSS menyelenggarakan empat acara tahunan, yang meliputi topik-topik Hospital Reform, Public-Private Partnership, Flagship program on Health Sector Reform dan Equity in Health. Course ini adalah bagian dari kegiatan Public-Private Partnership cluster dan telah diselenggarakan untuk tahun ke-tiga. Pada tahun pertama (2010), course ini diselenggarakan di Bali dan secara umum memperkenalkan kerangka pikir PPPs. Pada tahun kedua (2011), course ini diselenggarakan di Bangkok dan memiliki dua jalur; satu jalur khusus berfokus pada PPPs dalam level pelayanan primer, dan jalur yang lain berfokus pada PPPs pada level RS. Untuk course kali ini, lebih terfokus kembali pada PPPs pada level pelayanan primer, dengan dua jalur konsentrasi yaitu dalam konteks Lower-Middle Income Countries dan konteks Upper-Middle Income Countries.

Peserta course kali ini berasal dari Mauritus, Afghanistan, Filipina, Mongolia, Bangladesh, dan representasi dari developing partners (World Bank, ADB, JICA, dan GIZ).

Opening remarks – Health Secretary

Pembukaan oleh Health Secretary, Dr. Enrique Ona, menyampaikan beberapa peran penting sector swasta dalam pencapaian tujuan kesehatan di Filipina. Peran swasta dalam pembangunan infrastruktur untuk kesehatan telah mulai dilakukan sejak peraturan pemerintah ttg hal ini dikeluarkan tahun 90an. Selain itu di Departemen Kesehatan telah dibentuk unit khusus yang menangani PPPs untuk kesehatan, khususnya terkait dengan infrastruktur dan procurement. Hal ini sejalan dengan strategi nasional dalam memperluas cakupan kesehatan dan perbaikan kualitas rumah sakit dan pelayanan kesehatan rural. Program strategis yang dilakukan antara lain pembangunan Pusat Ortopedi dan Research Institute for Tropical Medicine serta upgrade sekitar 25 regional medical center. Selain itu, dalam rangka mencapai tujuan financial protection, PhilHealth sejak didirikan telah melibatkan sector swasta sebagai penyedia pelayanan mengingat sector swasta adalah sector yang dominan dalam pelayanan kesehatan. Selain itu, dari sekitar 30-an sekolah pendidikan kedokteran, hanya 4 yang milik Pemerintah, menunjukkan betapa besar peran sector swasta di Filipina.

Sebagai penutup, Health Secretary menekankan bahwa yang perlu diingat adalah bagaimana kita mendefinisikan "partnership", apa peran dan tanggungjawab yang dapat dijalankan oleh keduabelah pihak, khususnya untuk memenuhi tujuan kesehatan dengan prioritas bagi masyarakat miskin. Pihak pemerintah harus memahami dan menghargai motivasi sector swasta untuk berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, dan begitu pula sebaliknya. Untuk melakukan PPPs secara berhasil dibutuhkan ketrampilan khusus, dan untuk itulah pemahaman mengenai konsep dan aplikasi yang dapat dipelajari dalam course ini dapat menjadi sangat berguna.

Private Primary Care in the Region (Tim Evans)

Ada terlalu banyak 'bias' dalam istilah PPPs sehingga kita perlu memperjelas apa yang tercakup di dalam hubungan dan interface antara sector 'publik' dan sector swasta dalam kesehatan, agar pemahaman kita lebih komprehensif dan lebih tepat.

Selain itu kita harus memahami konteks dimana sistem kesehatan nasional kita bergerak. Secara umum, ada tiga trend utama di regional Asia: Survival menjadi lebih baik (dalam hal angka kematian) tetapi morbiditas tidak; bertambahnya ageing population dan transisi di sector kesehatan yang bergerak ke arah Non Communicable Diseases, obesitas dan permasalahan kesehatan yang terkait dengan itu, dan urban health deprivation. Secara umum, ekspektasi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkat, dan tugas menuju pencapaian MDGs belum selesai. Inequality masih menjadi masalah, dan sistem kesehatan semakin menjadi kompleks. Oleh karena itu, semakin tajam kita dapat melihat interface antara sector public dan sector swasta, semakin baik kita dapat mendisain partnership yang efektif.

Interface pertama adalah dalam hal service provision. Hal pertama yang perlu disadari adalah betapa besar peran swasta dalam penyediaan pelayanan kesehatan dan apa preferensi dari masyarakat sebagai pengguna. Sebagai contoh, sebuah studi dilakukan yang melihat dimana ibu-ibu melahirkan (studi dilakukan di beberapa Negara di Asia). Di quintile yang miskin justru lebih banyak melahirkan di private facility - mulai dari "rumah" baik rumah sendiri mau pun rumah penyedia pelayanan (formal mau pun informal), berbagai klinik, dan rumah sakit swasta; sementara di quintile yang lebih kaya lebih banyak melahirkan di public facility. Hal ini juga memberikan indikasi kepada kita bahwa bukan hanya masyakarat lebih banyak mengakses pelayanan di sector swasta, tetapi juga menggambarkan betapa banyaknya 'aktor' penyedia layanan di level primary care swasta (baik formal mau pun informal, baik for-profit mau pun not-for-profit). Jadi, yang dimaksud dengan 'sektor swasta' adalah semua non state sector terdiri dari multiple actors yang sangat beragam, dan yang dimaksud dengan 'primary care' adalah first-line care, tidak soal siapa penyedianya.

Interface berikutnya adalah tantangan yang terlibat dalam tumbuhnya sector swasta. Salah satu hal kunci yang perlu dilakukan untuk menyusun strategi Primary Care suatu negara adalah memiliki pemahaman yang lengkap dan tepat mengenai pergerakan pasien dan pergerakan keuangan di level primary care (sector public dan sector swasta) mau pun antara level primary care dan level rujukannya. Namun, tanpa sistem informasi yang terintegrasi, hal ini mustahil dilakukan. Masing-masing unit penyedia layanan biasanya membuat sendiri sistem informasinya sendiri, tetapi tidak ada cara untuk me-linked-kannya sehingga menghasilkan informasi yang berguna. Selain itu, hal ini menimbulkan duplikasi dalam banyak hal. Harus ada strategi untuk mengatasi tantangan ini.

Interface ketiga yang perlu dicermati adalah dalam hal tenaga kesehatan. Trend yang muncul di Asia adalah berkembang pesatnya institusi pendidikan kesehatan swata (untuk pendidikan kedokteran, keperawatan, kebidanan, dsb). Supply yang semakin bertambah tentu saja mendorong pula kompetisi antara sector public dan sector swasta dalam hal merekrut dan mempertahankan tenaga kesehatan. Ini juga mendorong pergerakan tenaga kesehatan ke Negara-negara lain yang dianggap lebih 'menjanjikan'.

Interface lain yang terkait dengan continuity of care. Berbagai studi akan menunjukkan kepada kita betapa pasien bergerak/berpindah antara sector public dan sector swasta sepanjang continuity of care: baik across services, across level (rujukan) mau pun across life-cycle. Begitu pula ada interface yang terkait dengan medical products (termasuk produksi dan distribusi obat, perbekalan, peralatan, dan sebagainya). Akan ada tiga interface lain yang akan dibahas secara lebih mendalam dalam sesi-sesi berikutnya yaitu financing, stewardship dan regulasi.

Private Sector PHC and Course Framework (Dominic Montagu)

Hal pertama yang perlu ditekankan adalah apa yang kita maksud dengan "PPPs" dan apa yang bukan "PPPs".

Hal kedua yang penting pula diingat adalah bahwa kita tidak boleh terjebak dalam kepercayaan bahwa ketika tombol "PPPs" kita tekan, semua permasalahan dalam sistem kesehatan kita akan otomatis menjadi lebih baik.

Berikut ini adalah framework yang digunakan dalam course ini:

pppd1

Framework ini adalah kerangka pikir dari sisi pemerintah untuk melibatkan sector swasta. Komponen pertama adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah melalui sistem kesehatan: equity dalam hal distribusi pelayanan, efisiensi dalam pelayanan dan memastikan kualitas pelayanan. Berdasarkan tujuan-tujuan ini, perlu difokuskan pada aspek khusus dalam tujuan yang ingin dicapai, dan permasalahan apa yang ada dalam aspek tersebut, dan apa prioritasnya.

Setelah ada identifikasi masalah, maka perlu melakukan assessment: apa potret sebenarnya dari sistem kesehatan kita: siapa yang men-deliver services, dan bagaimana sistem kesehatan itu dibiayai. Kemudian, perlu diidentifikasi intermediaries apa saja yang terlibat dan bagaimana hubungan mereka dengan pemerintah. Akhirnya perlu pula dipahami apa kapasitas pemerintah dalam hal berinteraksi dengan sector swasta.

Setelah ada pemahaman diatas, maka baru dipilih strategi apa yang akan dipakai: menumbuhkan sector swasta, atau mendayagunakan sector swasta yang sudah tumbuh pesat, atau meng-konversi sector pemerintah (rangenya mulai dari otonomisasi, korporatisasi sampai privatisasi) atau membatasi peran sector swasta.

Untuk menjalankan strategi yang dipilih, tersedia beberapa tools yang dapat digunakan pemerintah: mekanisme contracting, regulasi, demand-side financing, dsb.

Financing of Private Primary Care (Tim Evans)

Mengapa financing penting dalam primary care? Terdapat dua alasan penting, yaitu karena ini berkaitan dengan fairness dan equity: seberapa banyak payment akan ditanggung langsung oleh masyarakat? Dan, apakah layanan yang dibiayai pemerintah adalah layanan yang paling penting sesuai dengan kebutuhan kesehatan setempat? Selain itu, terdapat pula dampak logis dari alokasi pembiayaan yang balanced atau tidak karena resources yang terbatas harus dibagi di berbagai level sehingga alokasi (khususnya, yang tidak efisien) di satu level otomatis mengurangi alokasi di level lain. (Pertanyaannya: Apakah financing terlalu banyak di primary care level? Terlalu banyak di secondary atau tertiary care level?)

Berikutnya dibahas konsep dan perbedaan antara berbagai sumber pembiayaan:

  1. Government expenditure
  2. Pooling and pre-payment
  3. Employer
  4. OOP
  5. Philanthropy

Selanjutnya juga dibahas konsep dan perbedaan antara bagaimana pembayaran dilakukan:

  1. Langsung oleh konsumen
  2. Melalui provider
  3. Mekanisme reimbursement e.g DRG, capitation, fee-for-service

Namun ada hal yang cukup sering terjadi (dalam kenyataan) di level primary care, yaitu "informal payment" walau pun mungkin sebenarnya primary care tersedia free at point of service, dan juga subsidi "tidak resmi" (misalnya: dual-practice, dimana tenaga kesehatan public ternyata melayani di sector swasta pada jam kerja resmi pemerintah)

Key message-nya adalah bahwa masing-masing mekanisme pembiayaan dan pembayaran akan member peluang dan tantangan yang spesifik di masing-masing Negara, dan tidak ada magic bullet yang bisa di-resep-kan untuk menjawab: manakah mekanisme pembiayaan dan pembayaran yang paling baik. Biasanya yang terjadi adalah mixed dari berbagai mekanisme, namun tujuan utamanya adalah harus tersedianya pelayanan pada level primary care yang affordable.

Stewardship (Tim Evans)

Isi dari presentasi kebanyakan adalah konsep governance and stewardship yang bersumber dari referensi WHO. Dijelaskan pula beberapa instrument governance:

  • Formal/"hard" misalnya aturan, hukum, dsb. Sifatnya mengikat secara hukum dan biasanya memiliki konsekuensi hukum
  • Informal/"Soft" misalnya norma, kebiasaan, consensus, kesepakatan, dan code of practices; biasanya 'ketundukan'nya secara sukarela dan bergantung pada self-regulation.

Terkait dengan primary health care, kita tidak bisa secara ekstrim memutuskan untuk melakukan segala sesuatunya secara centrally-planned, namun tidak dapat pula membiarkannya begitu saja (laissez-faire).

Nishtar (2010) menulis tentang mixed health system yang biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Diversity dalam penyedia layanan kesehatan
  • Sektor swasta yang dominan tetapi poorly organized
  • Layanan sector public yang compromised
  • Ketidakjelasan/pemisahan yang tidak jelas antara sector public dan sector swasta

Nishtar juga menyatakan bahwa implikasi dari mixed health system yang tidak memiliki fungsi stewardship yang baik akan berimplikasi pada:

  • Biaya kesehatan yang tinggi bagi pengguna
  • Kualitas yang bervariasi
  • Irregular ethical conduct
  • Penyebaran pelayanan kesehatan yang tidak tersedia secara equal

Dengan kata lain, apabila sistem kesehatan kita mengalami hal-hal di atas, ini merupakan indikasi tidak berjalannya fungsi stewardship.

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot