Laporan Hari III

Pada Kamis 26 Januari 2012 Prince Mahidol Award Conference (PMAC) dibuka secara resmi oleh Putri Mahachakri Sirindorn. Pada kesempatan itu juga dibacakan pidato utama (key note speech) dari pemenang Prince Mahidol Award 2011, Dr. Ruth Bishop, penemu vaksin untuk rotavirus diare. Yang menarik juga ditampilkan key note speech dari Varshaben Jayantibhai Thakor, seorang wanita dari India yang menjadi pelopor pengembangan jaminan kesehatan berbasis masyarakat di India. Ms Thakor hanya berpendidikan lulus SD di negaranya (kelas 7). Namun PMAC memang sengaja mengundangnya untuk memberi inspirasi bahwa seorang wanita sederhana seperti dirinya dapat membuat perubahan bagi masyarakat di pedesaan Gujarat, India. Ms Thakor adalah pelopor program berbasis masyarakat bernama SEWA yaitu semacam koperasi yang salah satu usahanya adalah menyelenggarakan asuransi kesehatan.

Acara dilanjutkan dengan diskusi panel dengan judul "Universal Health Coverage: Utopia or Mirage to Human Development?". Dalam diskusi panel ini dibahas apakah mungkin mencapai UC, apakah UC hanya merupakan fatamorgana (mirage) atau bahkan utopia (khayalan atau cita-cita yang tidak mungkin dicapai) ?. Tentu saja para panelis yang terdiri dari WHO, Bank Dunia, Menteri Kesehatan Vietnam dan Thailand menganggap bahwa UC dapat dicapai.

Memang tidak mungkin mencapai kualitas UC yang sama di semua negara kata wakil Bank Dunia, Daniel Cotlear. Baru-baru ini bank dunia mengadakan survey di 20 negara berkembang mengenai perkembangan UC. Salah satu temuannya adalah setiap negara mempunyai cara dan jalan (path) sendiri-sendiri untuk mencapai UC. Sehingga tidak ada "blue print" atau cetak biru yang sama. Namun tetap ada prinsip-prinsip yang sama yang harus dicapai dalam UC. Wakil dari WHO, Carissa Etiene, mengatakan bahwa bagaimanapun secara umum belanja kesehatan untuk mencapai UC harus cukup. Selain itu, alokasi biaya kesehatan harus dikelola dengan baik. Secara singkat, dalam bahasa Inggris, "More money to health and more health to money". Namun, panelis mengingatkan bahwa dalam membiayai UC sebenarnya tidak harus mahal. Pelajaran dari negara berkembang mengenai bagaimana membiayai kesehatan yang baik tanpa biaya berlebihan (Good Health at Low Cost) sudah diterbitkan di buku yang dapat diungguh di laman ini http://ghlc.lshtm.ac.uk/

Bagaimana Mencari Sumber Dana bagi UC dan Apa Peran Asuransi Swasta?

Tentu saja, untuk mencapai UC tidak hanya diperlukan retorika, komitmen, pernyataan dukungan dan sebagainya. Dalam salah satu diskusi panel dibahas dari mana sumber dananya. Diskusi yang menghadirkan Laos, Gabon dan Korea ini membahas bagaimana menambah alokasi anggaran pemerintah untuk mencapai UC. Laos menambah pajak listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air, Gabon menambahkan biaya dari pulsa telepon genggam, dan Korea dari pajak tembakau dan alcohol (atau yang sering disebut "sin tax"). Ketiga negara tersebut berhasil menambah anggaran untuk jaminan kesehatan dan mengalokasikan sebagian untuk promosi kesehatan (terutama iklan anti rokok).

Pembahas dari Inggris mengomentari cukup tajam mengenai sumber dana yang dapat digali, selain yang sudah dilakukan di negara-negara tersebut di atas. "Sebenarnya perusahaan-perusahaan dan bank-bank besar yang saat ini menjadi penyebab krisis ekonomi dunia harus bertanggung jawab lebih besar. Mereka seharusnya diminta membayar pajak lebih besar, sehingga tidak membebani masyarakat".

Lalu apabila program UC akan diselenggarakan oleh Pemerintah dan dananya adalah dari Pajak, bagaimana asuransi swasta berperan? Pertanyaan ini dijawab oleh salah seorang peserta diskusi panel dari Nepal: boleh dilibatkan namun jangan sampai mendominasi. Dr Ravindra dari Nepal mengutip studi dari para ahli ekonomi kesehatan bahwa "jangan sampai kita meniru apa yang sudah terjadi di Amerika Serikat. Di sana peran asuransi swasta sudah sedemikian besar sehingga sudah sulit dikontrol lagi. Bahkan terdapat bukti bahwa asuransi swasta bukannya mengurangi biaya kesehatan tetapi malah menambahnya". Jadi seberapa besar sebaiknya peran swasta? "Paling banyak, pasar asuransi swasta adalah 15%. Lebih dari itu negara anda berada dalam masalah".

Varshaben Jayantibhai_Thakor

 Varshaben Jayantibhai Thakor,


 wanita sederhana dari India yang memelopori
 asuransi kesehatan masyarakat

 

 

 

 

 

 

3a

Dr Ruth Bishop, Penerima Prince Mahidol Award 2011

3b

Suasana Pembukaan PMAC 2012

 

lk2                                                                                    l4

 

Laporan hari I

 

Pencapaian Thailand dalam Universal Coverage

Thailand dianggap yang negara yang memiliki perkembangan cukup baik dalam mencapai UC. Sejak tahun 2002, Thailand telah mencapai Universal Health Coverage untuk seluruh penduduknya. Sebuah perjalanan yang tidak mudah dan penuh tantangan, yang dimulai sejak 27 tahun sebelumnya.

Dalam salah satu presentasinya, pemenang Prince Mahidol Award tahun 2009, Prof. Anne Mills dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris mengatakan bahwa "Thailand mengalami titik balik ketika pada tahun 2002 telah berhasil mengatasi perbedaan dan mencapai kesepakatan untuk mencapai Universal Coverage". Sebelumnya, karena pertentangan kepentingan, Thailand lambat meningkatkan kepesertaan jaminan kesehatan. Namun kemudian, seiring dengan stabilitas politik, Thailand berhasil melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dan membuat program ini menjadi milik bersama. "Kemauan politik adalah aspek yang penting untuk mencapai target Universal Coverage". Selain itu, Anne Mills menekankan pentingnya pemerataan layanan kesehatan di Thailand. "Karena reformasi pembiayaan kesehatan harus seiring (hand in hand) dengan penyediaan layanan kesehatan" tambahnya.

Namun tantangan ke depan masih cukup banyak. Anne Mills memperingatkan bahwa pengendalian biaya adalah tantangan yang tidak akan pernah selesai. Selain itu, Thailand masih harus merangkul sector swasta dalam skema ini. "Sistem jaminan kesehatan yang baik adalah yang membuat orang tidak lagi membedakan mutu layanan kesehatan yang disediakan pemerintah atau swasta. Seperti di Inggris, orang tidak terlalu paham bahwa sebagian besar layanan rawat jalan diselenggarakan oleh swasta namun uangnya berasal dari pemerintah".

Pengalaman Ghana dalam mengimplementasikan Asuransi Kesehatan Nasional

Menarik bahwa dalam salah satu sesi ditampilkan presentasi dari Ghana, Afrika, mengenai pengalamannya menerapkan asuransi kesehatan sosial secara nasional. Ghana termasuk negara berkembang berpenghasilan rendah yang dianggap cukup berhasil karena saat ini telah ada sistem asuransi kesehatan nasional. Sejak tahun 2004 (hampir sama dengan pengesahan SJSN di Indonesia), telah ditetapkan UU yang mengatur sistem asuransi kesehatan sosial. Dengan UU ini semua orang yang berusia 18 tahun ke bawah (48% penduduk) mendapatkan jaminan kesehatan, dan semua orang miskin mendapatkan subsidi pemerintah. Dengan demikian, maka sekitar 70% penduduknya tercakup. Yang menarik, "di daerah pedesaan, karena keterbatasan dokter, maka perawat atau kader terlatih dapat memberikan layanan kesehatan" kata Dr Lutterodt, dari Kemenkes Ghana. Hal ini karena pemerintah Ghana menyadari bahwa penyediaan layanan kesehatan sangat penting dalam mengimplementasikan jaminan kesehatan. "Tidak ada gunanya sistem asuransi kesehatan tersedia tanpa ada petugas kesehatan yang menyediakan layanan tersebut". Sistem pembayaran asuransi sosial di Ghana kepada dokter dan perawat dianggap cukup memuaskan. "Mereka telah digaji oleh negara sehingga mereka wajib menyediakan layanan kesehatan" kata Dr Lutterodt.

Pengalaman dari Thailand dan Ghana tadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Nampaknya banyak yang bisa dipelajari oleh Indonesia, di antaranya bagaimana menyatukan berbagai kepentingan politik dan bagaimana menyediakan pelayanan yang merata, walaupun dengan kualitas terbatas, sampai daerah pedesaan terpencil.

Anne Mills

Prof Anne Mills, London School of Hygiene and Tropical Medicine

Delegasi Indonesiaa

Delegasi Indonesia di PMAC Bangkok 2012

 

navigasi1

 

 

Laporan Hari II
Kunjungan ke RS Kluaynamthai

Pada hari ini peserta konferensi diberi pilihan untuk melakukan kunjungan lapangan ke berbagai tempat. Saya memilih mengunjungi RS Kluaynamthai, sebuah RS Swasta dengan 200 tempat tidur dengan omzet Rp 169 Milyar per tahun. Dari jumlah tersebut, 72% pendapatannya berasal dari asuransi kesehatan sosial Thailand. Saya berpikir, RS ini adalah RS Swasta "biasa" yang karena tidak memiliki pasar komersial memilih dikontrak pemerintah. Namun ketika sampai di sana, kesan itu salah sama sekali. Bila dibandingkan Jakarta, mungkin penampilan RS ini tidak kalah dengan RS MMC. RS ini milik sebuah keluarga pengusaha. RS ini juga memiliki satelit yang juga dikontrak oleh pemerintah untuk melayani peserta asuransi sosial. Dengan demikian rujukan berjalan optimal.

Saat ini di Bangkok terdapat 321 RS swasta yang dikontrak oleh pemerintah, dalam hal ini National Health Security Office. NHSO adalah organisasi otonom yang diberi tugas khusus untuk mengimplementasi Universal Coverage di Thailand. RS Kluaynamthai adalah RS yang dianggap mempunyai kinerja cukup baik oleh NHSO. Salah satunya karena sudah terdapat sistem informasi manajemen yang baik. Di RS Kluaynamthai, dokter diminta menginputkan informasi mengenai pasien yang diperiksanya sehingga bisa diketahui sejarah penyakit serta akan mempermudah utilization review. Pada kunjungan kami ke sana diperlihatkan bagaimana dengan mudah dikaji apakah seorang dokter akan memberikan pengobatan rasional atau tidak.

Sistem rujukan di RS tersebut juga patut dipuji karena sudah menggunakan teknologi telekonferens. Ditunjukkan kepada peserta konferensi bagaimana seorang dokter umum dapat berkonsultasi dengan dokter spesialis di RS tentang penanganan pasien Parkinson's Disease yang sudah kronis. Pasien tersebut tidak perlu harus setiap saat pergi ke RS untuk periksa ke Neurolog, namun cukup ke dokter umum untuk pemeliharaan. Memang pada saat diagnosis dan terapi awal pasien tersebut dirujuk, namun selanjutnya dokter umum di klinik satelit yang menangani.

Hal ini tentu berdampak pada tidak terlalu banyaknya orang yang harus antre di RS. Saya juga sempat mewawancarai pasien yang sedang menunggu di RS tersebut. Pasien mengaku cukup puas dengan pelayanan dan tidak terlalu lama menunggu, sekitar 30 menit.

Dapat dipahami bahwa ketika ada kunjungan dari tamu, semua hal-hal baik yang dilaporkan. Oleh karena itu saya mencoba bertanya untuk menggali permasalahan yang dihadapi. Saya menanyakan bagaimana kepuasan dokter spesialis di sini? Apakah mereka puas dengan sistem pembayaran oleh NHSO? Apakah dokter sering terlambat? Apakah dokter juga praktek di tempat lain? Jawabannya: "Ya kalau mereka tidak puas tentu sudah sejak dulu kami tidak mau kontrak dengan NHSO. Mengenai sistem pembayaran mereka tentu mengharapkan yang lebih baik. Namun itu wajar di mana-mana tentu orang menharapkan dibayar lebih tinggi". Sedangkan mengenai disiplin, dokter di Thailand menurut mereka cukup professional: mereka datang tepat waktu dan semua dokter di RS swasta tersebut adalah dokter penuh waktu (fulltime).

Ketika dalam perjalanan pulang, saya bersama delegasi Indonesia membahas lebih lanjut hasil kunjungan tersebut. Dapatkah kondisi seperti ini diterapkan di Indonesia? Salah satu delegasi menjawab: tentu saja bisa. Peraturan kita sudah mendukung adanya sistem rujukan berjenjang, pembatasan dokter spesialis berpraktek, akreditasi mutu rumah sakit dan sebagainya. Bahkan salah peserta Indonesia mengatakan sistem informasi yang ada di salah satu RS rujukan di Indonesia "lebih canggih dan lebih bagus" dari yang dilihatnya di Thailand. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik untuk menerapkan aturan tersebut, katanya. Saya hanya terdiam.

 

Telekonferens Dokter umum dengan RS

 

Jumlah RS Swasta dan Pemerintah di Thailand

 

Sistem Informasi RS Kluaynamthai

 

Ruang tunggu RS Kluaynamthai

 

Pasien dengan kartu Universal Coverage

 

navigasi2                                                                                              l3

 

Prince Mahidol Award Conference dan Pencapaian Thailand dalam

Universal Coverage

Pengantar
Acara ini adalah konferensi tahunan mengenai kedokteran dan kesehatan masyarakat sekaligus merupakan acara pemberian penghargaan Prince Mahidol Award. Hadiah ini dianugerahkan untuk para pemikir, peneliti, pejabat dan professional yang dianggap berjasa dalam pengembangan ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat. Sampai saat ini telah dianugerahkan hadiah (award) kepada 63 orang sejak tahun 1992, banyak diantaranya adalah warga negara asing. Pemenang hadiah ini yang dapat berupa individu atau organisasi, masing-masing mendapatkan US$ 100.000

Pada konferensi tahun 2012 ini, panitia mengundang 244 orang dari berbagai belahan dunia mulai Afrika, Asia sampai Amerika Serikat. Delegasi Indonesia yang hadir cukup banyak, 17 orang, termasuk Wakil Menteri Kesehatan, Prof Ali Ghufron Mukti.

Konferensi sebenarnya baru dibuka resmi pada hari Kamis, 26 Januari 2012, sedangkan pada hari Senin sampai Rabu dilaksanakan beberapa konferensi pendamping (side meeting). Tema yang dipilih tahun ini adalah "Moving Towards Universal Health Coverage: Health Financing Matters". Tema ini dianggap penting karena Universal Health Coverage (UC) atau Cakupan Kesehatan Semesta merupakan cita-cita yang sampai saat ini belum banyak dicapai negara berkembang. Namun untuk mencapainya banyak kendala yang dihadapi.

lap1

lap2

lap3

lap4

lap5

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot