Webinar Pelatihan Perumusan Policy Brief Sektor Kebijakan Kesehatan

LATAR BELAKANG

Sektor pengembangan pengetahuan di Indonesia memiliki beberapa aspek tantangan, yakni: (1) belum efisien dan rendahnya pendanaan program riset; (2) endahnya ketersediaan dalam akses data; (3)rendahnya kualitas riset dan proses analisisnya; (4)belum optimalnya pemanfaatan evidence; (5)kualitas dari peraturan dan regulasi yang masih belum maksimal; (6). Ketimpangan antara supply dan demand pada aspek riset. Kesenjangan – kesenjangan ini memiliki pengaruh secara langsung dalam pengembangan sektor kebijakan kesehatan di Indonesia. Anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia sebenarnya telah menghasilkan penelitian berkualitas tinggi untuk mendukung pembangunan kesehatan di daerah mereka masing-masing. Dalam perjalanannya, penelitian selalu bernilai bagi peneliti, menariknya akhir-akhir ini nilai penelitian semakin memiliki arti penting mengingat peran politisnya terhadap berbagai pihak, seperti pembuat kebijakan, media, organisasi non-pemerintah (LSM) dan mitra pemerintah dalam pembangunan (developing partners).

Policy brief adalah salah satu cara yang paling efektif bagi peneliti untuk menyampaikan secara ringkas laporan penelitiannya kepada berbagai jenis khalayak. Policy brief ditujukan untuk menyajikan temuan penelitian ke sasaran pembaca tertentu, disesuaikan untuk pembaca yang memiliki pemahaman teknis atau tidak, menguraikan lesson learned dari penelitian tersebut, dan kemudian menerjemahkannya ke dalam analisis atau rekomendasi kebijakan.

Kegiatan ini dirancang khususnya sebagai salah satu strategi untuk mengatasi tantangan ke-empat yaitu belum optimalnya pemanfaatan evidence dalam proses pengambilan kebijakan. Pelatihan ini dimaksudkan untuk membantu para peneliti memahami apa itu policy brief yang efektif, bagaimana cara menyaring intisari dari saran hasil penelitian, dan apa yang pembaca anggap sebagai policy brief yang baik. Kegiatan ini dapat menjadi media knowledge sharing dalam mengembangkan policy brief yang lebih spesifik dan berkualitas dalam mempengaruhi secara positif pada area kebijakan.

Secara khusus, PKMK FKKMK UGM berencana untuk mengadakan pelatihan perumusan policy brief efektif. Policy brief tersebut merupakan salah satu output potensial pada produk keluaran penelitian yang dapat menjadi instrumen perbaikan kebijakan kesehatan melalui penyediaan evidence dan penyajian argumen yang meyakinkan. Kegiatan ini diadakan oleh PKMK FKKMK UGM di Yogyakarta dengan narasumber ahli kebijakan. Program pelatihan ini akan diadakan dalam format lokakarya dan juga melalui webinar. Hal ini dilaksanakan untuk meningkatkan minat seluruh institusi jejaring untuk berperan aktif dalam kegiatan pelatihan ini tanpa harus meninggalkan tempat bekerja.

  TUJUAN

Kegiatan ini bertujuan untuk:

  1. Meningkatkan kualitas SDM internal PKMK dan beberapa mitra universitas di wilayah Indonesia Timur melalui pelatihan penulisan policy brief yang efektif
  2. Meningkatkan kapasitas dan peran PKMK dan mitra universitas di wilayah Indonesia Timur anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dalam advokasi kebijakan dalam bentuk policy brief.
  3. Menghasilkan draft policy brief yang telah melalui mekanisme review oleh narasumber ahli.

  FORMAT KEGIATAN

Kegiatan pelatihan penyusunan policy brief ini disampaikan dalam bentuk lokakarya di Yogyakarta dan webinar. Kegiatan akan dipecah dalam dua bagian, untuk memberi waktu kepada peserta menyusun draft policy brief. Selain itu, narasumber juga memerlukan waktu untuk mereview hasil draft policy brief yang disusun peserta.

ppb fisip


  NARASUMBER

Kegiatan ini akan menghadirkannarasumber kredibel yang merupakan anggota dari Aliansi Analis Kebijakan yang memiliki pengalaman dalam merumuskan produk riset kebijakan berupa policy brief. Narasumber pada kegiatan ini, yakni :

  1. Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM)
  2. Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM)

  TARGET PESERTA

Pelatihan penyusunan policy brief ini menargetkan peserta internal PKMK FKKMK UGM dan institusi anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia khususnya mitra universitas dari wilayah Indonesia Timur. Peserta internal ditargetkan minimal 5 peneliti PKMK UGM yang berasal dari 5 divisi pada PKMK FKKMK UGM (Divisi Kebijakan Kesehatan, Mutu, Sistem Informasi Kesehatan, Bencana dan Manajemen Rumah Sakit). Selain itu, peserta eksternal ditargetkan minimal 10 peserta yang merupakan peneliti di universitas yang berada di wilayah Indonesia Timur.

Kriteria peserta pelatihan ini antara lain pertama, seorang peneliti. kedua, terafiliasi dengan lembaga universitas atau penelitian.Ketiga, memiliki ringkasan proyek penelitian yang dilaksanakan. Ringkasan tersebut harus merupakan dokumen yang berdiri sendiri, mampu dibaca secara mandiri, berfokus pada satu topik, dan mengandung implikasi dan saran kebijakan

  WAKTU DAN TEMPAT

Program pelatihan perumusan policy brief efektif ini akan dilaksanakan di Ruang Grafika UC Hotel UGM pada 14 dan 29 Juni 2018.

OUTPUT KEGIATAN

Hasil akhir yang diekspektasikan pada program peningkatan kapasitas peneliti ini adalah dihasilkannya minimal 3 draft dokumen Policy Brief dengan fokus topik kebijakan kesehatan yang telah di-review oleh narasumber.

  JADWAL KEGIATAN

Hari I: 14 Mei 2018

Waktu (WIB)

Durasi

Materi

Deskripsi

09.00 – 09.30

30’

Pengantar dan Pembukaan

(Prof Laksono Trisnantoro, MSc, PhD)

Narasumber memaparkan arti penting policy brief bagi peneliti

09.30 – 11.00

90′

Workshop Kerangka Penulisan Policy Brief

(Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP)

materi

Narasumber memberi arahan 

cara penulisan bagian-bagian penting dari policy brief:

  • Pendahuluan
  • Diskusi
  • Rekomendasi

11.00 – 11.20  

20’

Diskusi

11.20 – 13.00

ISHOMA

13.00 – 14.30  

90’

Workshop tips penulisan Policy Brief yang efektif

( Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA)

materi

Narasumber memberi arahan berbagai tips dan contoh mengenai bagaimana menyusun policy brief yang efektif, argumentatif.

14.30 – 14.50

20’

Diskusi

14.50 – 15.10

20’

Penugasan (Shita Dewi)

Fasilitator memberikan penugasan  pembuatan policy brief pada peserta dan dikirimkan ke panitia paling lambat 18 Mei 2018

Hari II : 29 Juni 2018

Waktu (WIB)

Durasi

Materi

Deskripsi

09.30 – 09.45

15’

Pengantar (Shita Dewi)

materi

Fasilitator memberi pengantar kegiatan

09.45 – 11.00

75’

Review draft policy brief
(Shita Dewi)

Narasumber membahas draft policy brief yang dikirimkan peserta

11.00 – 11.15

15’

Penutupan

reportase

 

PENDANAAN KEGIATAN

Agenda ini mendapatkan dukungan dana oleh program core funding / bridging tahap 2 Knowledge Sector Initiative (KSI) Indonesia

  INFORMASI PENDAFTARAN

Maria Lelyana
PKMK FKKMK UGM
Jl. Farmako Sekip Utara, Gedung IKM Sayap Utara, Sleman, DIY
Telp. (0274) 549425
Kontak. 0811 1019 077

 

Reportase Hari Kedua Geneva Health Forum

ghf2 1

Sesi ini dipandu oleh Detlev Ganten dari World Health Summit, Jerman. Tema sesi ini berkaitan dengan Cybersecurity and the health system: What risk for patients”, dibahas oleh beberapa pakar cybersecurity yakni Jacqueline Hubert dari Grenoble University Hospital Prancis, Solange Ghernaouti dari University of Lausenne Switzerland, Bertrand Levrat dari Geneva University Hospital Switzerland da Charlotte Lindsey-Curtet dari International Commitee of Red Cross (ICRC) Switzerland.

Era teknologi digital memberikan fakta bahwa catatan pasien yang direkam secara elektronik, tindak lanjut perawatan yang terkomputerisasi, dan sistem informasi berbasis teknologi telah diperkenalkan di seluruh elemen sistem kesehatan. Meskipun penggunaan alat digital ini dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan, tetapi juga dapat menciptakan banyak kelemahan. Pencurian data dalam sektor kesehatan dalam beberapa bulan terakhir juga menjadi target serangan cybercrime. Hal ini menjadi perhatian publik karena penyalahgunaannya dapat menyebabkan kerugian banyak pihak, terutama pasien dan sistem kesehatan yang berada dalam masalah.

Menurut Bertrand, pengalaman dari rumah sakit di Swiss dalam menanggulangi kejahatan Cybercrime menunjukkan tidak seluruh rumah sakit dapat memberikan data pasien, walaupun untuk keperluan studi atau digunakan dalam upaya pengambilan kebijakan. Hal ini disebabkan pengalaman yang berbeda dalam menghadapi penggunaan data pasien yang tidak tepat sasaran pada masa sebelumnya. Bertrand menyadari bahwa seluruh data medis pasien tidak selalu bersifat anonymous karena penggunaan data medis memerlukan beberapa data konfidensial yang bersifat individual, sehingga berpotensi disalahgunakan. Hal tersebut menjadi alasan perlunya secara perlahan memperbaiki sistem informasi yang ada untuk bisa mengontrol penggunaan data, “siapa dan untuk apa penggunaan data tersebut”.

Hal yang berbeda dikemukakan oleh Charlotte, yakni terdapat beberapa data yang bersifat konfidensial dari pasien yang tidak perlu diberikan kepada pihak manapun. Ini dilakukan dengan mempertimbangkan privasi dan bahwa perlu adanya batasan mengenai definisi dan indikator konfidensial yang dapat diakses oleh publik. ICRC telah melakukan beberapa analisis yang menunjukkan bahwa seluruh data pasien dapat dianalisis tanpa melibatkan data konfidensial yang merugikan masyarakat. Pertimbangan bahwa sistem informasi dan penggunaan data oleh pihak kedua tidak dapat dikontrol setiap saat. Meta data analisis juga berpotensi disalahgunakan jika tidak didukung oleh legalitas yang ada. Di lain sisi, era demokrasi adalah era di mana seluruh data dapat dipergunakan publik sehingga menurut Solange, perlu adanya kesadaran dari berbagai pihak dalam menggunakan data yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat umum.

Isu cybercrime disadari semakin mengkhawatirkan bidang kesehatan karena data medis memuat informasi detail terkait individu, sehingga rentan disalahgunakan oleh pihak tertentu. Inovasi telah banyak dilakukan untuk meminimalisir kejahatan terhadap data. Sistem informasi kesehatan tidak dapat dibandingkan dengan sistem informasi perbankan karena memuat data yang lebih rumit dan sistem yang lebih kompleks. Begitu pun dengan isu transfer data antar negara. Menurut Bertrand, Swiss dan negara Eropa lainnya belum dapat mengimplementasikan transfer data antar negara karena terkendala regulasi yang berlaku di negara masing-masing. ICRC telah melakukan transfer data antar negara namun masih dalam skala yang lebih kecil, dengan terlebih dahulu melalui proses engagement dari kedua negara dan justifikasi penggunaan data yang sesuai.

Umumnya, cybercrime adalah sesuatu yang tidak bisa dihentikan tetapi bisa diminimalisir potensi terjadinya dengan perbaikan sistem dan regulasi yang jelas.

ghf2 2

Pada sesi ini, peserta diberikan kesempatan menghasilkan rekomendasi mengenai “Community Health workers and digital revolution: How is it transforming healthcare”. Diskusi dimulai dengan perkenalan diri. Peserta berasal dari berbagai negara dengan latar belakang profesi yang berbeda-beda. Tujuan dari diskusi ini selain merumuskan rekomendasi mengenai kader kesehatan dan transformasi ke sistem pelayanan kesehatan, diharapkan juga sebagai information sharing forum mengenai kader kesehatan di berbagai negara dengan segala potensi yang dapat dikembangkan sesuai dengan revolusi teknologi.

Posisi Community Health workers dalam sistem kesehatan berbeda di setiap negara. Community health worker yang diposisikan di luar dari sistem karena tidak tercakup dalam organisasi profesi yang resmi. Melihat hal tersebut, revolusi yang dibuat mempertimbangkan community health worker sebagian bagian dari sistem kesehatan tetapi diposisikan di luar dari tenaga kesehatan misalnya dokter, perawat, dan lain-lain.

Hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun rekomendasi adalah kondisi sarana prasarana, regulasi, dan jumlah tenaga kesehatan lainnya. Rekomendasi yang dihasilkan dari sesi ini adalah:

  1. Menimbang peran Community Health Worker yang sangat penting dalam menunjang kesehatan masyarakat, maka dianggap perlu memberikan pelatihan terkait pelayanan kesehatan dasar untuk meningkatkan kompetensi dalam pelayanan kesehatan dasar
  2. Memfasilitasi community health worker dengan penggunaan teknologi informasi yang dapat diterapkan tidak hanya dalam upaya preventif, tetapi juga dalam aspek promosi kesehatan. Beberapa negara telah menerapkan penggunaan teknologi tetapi tidak secara menyeluruh ke segala aspek kesehatan dan tidak mencakup seluruh daerah.

ghf2 3

Sesi ini membahas Information Technology as an Innovative approach to address Non-Communicable Disease. Pemateri terdiri atas Fiona Adshead dari NCD Alliance, Wayne Huey-Herng Sheu dari Chinesse Taipei Diabetes Education, Hsiu-His Chen dari National Taiwan University, Nilay D sah dari Mayo Clinici USA. Moderator dalam sesi ini adalah Ying Wei Wang dari University of Geneva.

Sesi dimulai dengan pemaparan mengenai gambaran NCD di dunia yang disampaikan oleh Fiona Adshead. Data menunjukkan bahwa terdapat 70% dari kematian di dunia disebabkan oleh NCD. 40% dari kematian di negara Low Middle income adalah kematian pada usia di bawah 70 tahun. Berdasarkan hasil dari beberapa studi juga menunjukkan bahwa NCD mempengaruhi perekonomian sebuah negara dan terbukti menurunkan 5% GDP dunia. Peluang penanggulangan masalah NCD yaitu dengan kerjasama lintas sektor yang berfokus pada pencegahan, manajemen, surveilans dan sistem kesehatan.

Wayne juga mengemukakan bahwa 4 penyakit yang menjadi penyakit terbanyak diderita penduduk dunia adalah penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan penyakit pernapasan akut. Rencana aksi global WHO 9 untuk mencegah dan mengendalikan penyakit menyediakan road-map dan target global untuk seluruh negara, termasuk negara-negara Asia. Wayne juga menyampaikan fakta bahwa dengan meningkatnya angka kematian di Asia akibat NCD menempatkan penyakit tersebut sebagai penyakit penyebab kematian terbanyak di Asia. Berdasarkan data WHO, 62% kematian di Asia disebabkan oleh NCD dan 8,5 juta orang meninggal setiap tahunnya dengan penyakit tersebut. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dibutuhkan kerja sama lintas sektor yang dapat di implementasikan untuk meningkatkan kesadaran terhadap pencegahan dan kontrol NCD.

Hsiu-His Chen juga dalam presentasinya mencoba membahas NCD berdasarkan pengalaman Taiwan. Selama 2 dekade terakhir, Taiwan melibatkan pemerintah, sektor swasta dan NGO bersama-sama mengembangkan strategi di setiap level. Di skala nasional, kebijakan kesehatan di pencegahan primer (misalnya pada pengurangan berat badan dan promosi berhenti merokok), pencegahan sekunder seperti skrining kesehatan, pencegahan tersier berupa asuransi kesehatan secara menyeluruh. Proses pencegahan ini juga melibatkan sistem informasi kesehatan yang baik dari setiap level pelayanan kesehatan. sistem informasi dapat berupa skrining dan demografi terkait promosi kesehatan, faktor risiko dan determinan perilaku kesehatan terkait NCD.

Nilay juga menyampaikan hasil analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi peran big data sebagai indikator penting dalam pencegahan NCD. Analisis yang dilakukan menggunakan Novel Analytic untuk mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan target pelayanan kesehatan pasien dengan kondisi kronis, dan peran teknologi digital untuk meningkatkan manajemen real-time. Nilay menemukan bahwa big data dapat menyajikan cara manajemen penyakit kronis dengan teknologi baru yang berpotensi mengubah cara tenaga kesehatan memberi pelayanan kepada pasien dengan kondisi kronis.

ghf2 4

Tema yang diangkat pada sesi ini adalah “Digital: What future for health profession”. Micaele Serafini dari Medecins Sans frontiers (MSF) bertindak sebagai moderator dalam sesi ini. Teknologi digital tidak hanya meningkatkan praktik yang ada tetapi mengarah pada terobosan yang menantang profesi kesehatan, mendefinisikan kembali jenis pelayanan dan mengganggu hierarki penyedia pelayanan kesehatan. Pasien memiliki akses ke informasi medis, tenaga kesehatan dipercayakan dengan semakin banyak tanggung jawab medis, sedangkan di sisi lain konsultasi via internet mulai diakui di beberapa negara. Isu ini akan dibahas oleh Vanessa Candeias dari World Econpmic Forum Switzerland, Mikhail Natenzon dari National Telemedicine Agency Russia, dan Xavier dari Switzerland.

Menurut Vanessa, dampak positif teknologi digital terhadap profesi tenaga kesehatan sekarang yakni terkait proses transfer data dan penggunaan data, kualitas pelayanan kesehatan, dan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan ekonomi. Teknologi digital membantu dalam menyediakan informasi dan jasa yang dibutuhkan untuk menciptakan pelayanan kesehatan yang efektif. Informasi yang berkembang saat ini terkait profesi kesehatan adalah berlandas pada guidelines dan tools yang ada di belahan dunia. Alat-alat dunia kesehatan yang sedang berkembang dan melibatkan teknologi canggih, misalnya dalam dunia onkologi, adalah contoh bagaimana akurasi dan presisi tetap dapat ditegakkan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas.

Mikhail menjelaskan bahwa digital revolution di dunia kesehatan dimulai dengan perbaikan fasilitas kesehatan yang menunjang pelayanan kepada masyarakat. Revolusi digital tidak dapat dilaksanakan jika kekurangan fasilitas penunjang. Hal ini diibaratkan Jika diagnosis tepat maka tindakan kesehatan dalam bentuk intervensi juga akan sesuai. Distance medicine juga bisa dilakukan jika memiliki fasilitas, berdampak pada efektivitas dan kualitas yang lebih baik. Pasien akan menerima resep dan melakukan konsultasi tanpa perlu menghabiskan biaya karena jauhnya akses. Implementasi Telemedicine di Republik Argentina juga menunjukkan hal yang sama bahwa hal yang perlu dilakukan adalah mengatur sumber daya kemudian memulai dengan mengkomunikasikan dengan provider dan unit yang lebih ahli. Telemedicine yang dikembangkan memiliki kelebihan jika telemedicine memenuhi standar internasional tetapi bisa diakses oleh masyarakat di daerah rural. Hal ini bisa terwujud dengan melakukan kerjasama dengan pihak swasta dan pemerintah. Contoh konkret yang telah dilakukan di Republik Argentina adalah tidak hanya menyediakan mobile laboratory, tetapi juga bisa melakukan komunikasi dengan mobile laboratory lainnya untuk melakukan koordinasi dengan tenaga kesehatan lainnya atau mengirimkan hasil pemeriksaan kesehatan pasien. Masalah yang muncul jika telemedicine diterapkan lintas negara adalah terkait bahasa dan regulasi yang berlaku di masing-masing negara.

Xavier menjelaskan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat bisa ditekan dengan menggunakan teknologi artificial intelligence. Biaya beberapa komponen dapat diminimalisir misalnya biaya yang ditimbulkan dari ketidakakuratan pemeriksaan serta waktu yang dibutuhkan dalam pelayanan.

Artificial intelligence memungkinkan untuk diterapkan di negara low-middle income dengan tenaga kesehatan yang terbatas. Sebaliknya, negara dengan negara dengan jumlah tenaga kesehatan yang tinggi, artificial intelegency tidak akan menggantikan posisi tenaga kesehatan. Xavier juga menambahkan bahwa sebuah sistem tidak dapat bertahan jika tidak didukung oleh tenaga kesehatan. Vanessa memberikan pendapat yang sama bahwa artificial intelegence dapat menjadi salah satu solusi dengan tidak menggeser posisi tenaga kesehatan.

Reporter: Muhamad Asrullah, MPH (PKMK UGM)

Baca juga: Reportase hari pertama Geneve health forum 2018

{jcomments on}

Reportase Geneva Health Forum 2018

Geneva Health Forum (GHF) 2018 yang mulai dilaksanakan pada 2006 merupakan kegiatan rutin di Swiss yang membahasisu kesehatan global. Setiap dua tahun, GHF diikuti oleh baik pemangku kepentingan dari Swiss maupun dunia internasional dan menggabungkan peserta dari semua sektor (kesehatan, akademisi, politik, masyarakat sipil dan profesional sektor swasta). GHF pada 2018 dilaksanakan di Center Internasional de Conferences Geneve (10-12 April 2018). GHF menghadirkan 420 pembicara dengan 13 sesi sharing informasi. Tema yang diangkat dalam GHF 2018 adalah “Precision Global Health in The Digital Age” dengan mengangkat sub tema:

  1. Kesetaraan Akses Kesehatan (Health Equity)
  2. Jaminan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverages)
  3. Akses ke Pengobatan Esensial (Access to essential medicine)
  4. Sekuritas Masalah Kesehatan dan Pandemik (Future pandemics and Health 
Security)
  5. Penyakit Tropis (Neglected Tropical Disease)

GHF adalah forum praktik inovatif untuk mengatasi tantangan masalah kesehatan dunia. GHF diharapkan menjadi forum untuk mencari solusi bersama mengenai tantangan yang dihadapi, merumuskan pendekatan baru terhadap kesehatan global, dan menciptakan tools baru yang dapat diterapkan secara global, oleh beberapa unsur. GHF 2018 dihadiri oleh kurang lebih 1000 peserta yang berasal dari seluruh dunia. CHPM ikut serta mengambil peran dalam kegiatan ini.

ghf3

Plenary 1 bertema Quality of health system – The missing piece between better access and Improved Health”. Sesi ini disampaikan oleh Edward Kelley dan dipandu oleh Schule Alexander dari Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC), Direktur Department of Service Delivery WHO, Kruk Margaret dari Harvard T.H Chan School of Public Health, dan Yogan Pillay, Deputy Director General of the National Department of Health, South Africa. Pada sesi ini, ketiga narasumber memaparkan kualitas dari sistem kesehatan dari berbagai perspektif sebagai salah satu indikator Millennium Development Goals (MDGs).

MDGs telah menggerakkan sumber daya dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masih terdapat tantangan besar yang mengarah pada penilaian ulang terhadap kerangka kerja MDGs. Salah satu kritiknya terletak pada fokus ke aspek penyakit yang terlalu besar, sehingga mengorbankan sistem kesehatan dan kualitas pelayanan. Oleh karena itu, kualitas pelayanan digambarkan sebagai faktor yang perlu mendapat perhatian untuk menerjemahkan cakupan intervensi dari sistem kesehatan. Narasumber menjelaskan beberapa tantangan utama serta temuan-temuan yang muncul kaitannya dengan pendekatan ukuran dan peningkatan kualitas serta pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan etika mengenai hak atas perawatan kesehatan yang berkualitas dan distribusi yang adil.

The Lancet Global Health telah menginisiasi terbentuknya Komisi terkait sistem kesehatan yang berkualitas. Komisi ini telah mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk mengukur dan meningkatkan kualitas dalam mengejar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Senada dengan hal tersebut, Kruk Margaret memaparkan bahwa The Lancet Global health telah menerbitkan laporan, naskah akademik, dan laporan komisi di berbagai negara terkait kualitas dari sistem kesehatan, usulan indikator kualitas, dan upaya baru terkait perubahan sistem. Kualitas kesehatan menurut Margaret tidak selalu berkaitan dengan cakupan (coverage) karena cakupan kesehatan yang tinggi belum tentu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Contoh konkretnya adalah cakupan kesehatan ibu dan anak yang tinggi di beberapa negara tidak diikuti dengan penurunan angka kematian ibu dan anak. Indonesia adalah salah satu negara dengan angka kematian ibu dan anak yang masih cukup tinggi. Salah satu isu yang diangkat mengenai kompetensi tenaga kesehatan. Berdasarkan data dari 18 negara, masyarakat hanya mendapatkan setengah dari jumlah pemeriksaan kesehatan yang seharusnya dalam kunjungan ke fasilitas kesehatan. Beberapa publikasi juga menunjukkan bahwa kompetensi tenaga kesehatan tidak dapat menyediakan pemeriksaan kesehatan yang baik dan seharusnya. Hal tersebut diharapkan akan diminimalkan seiring dengan perbaikan sistem kesehatan dari aspek kualitas.

Menurut Margaret dan Yogan, sebuah sistem kesehatan yang berkualitas harus mempertimbangkan 3 hal penting yakni konsisten dalam memberikan pelayanan, bernilai dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, serta respons terhadap perubahan yang terjadi. Fondasinya adalah masyarakat itu sendiri, pemerintah, platform, tenaga kesehatan, dan alat penunjang. Didukung oleh sebuah proses belajar dan perubahan maka diharapkan tercapai indikator kesehatan yang lebih baik, sistem yang terpercaya dan kontinuitas, serta keuntungan secara ekonomis. Berdasarkan data yang ada di beberapa negara Low Middle Income menunjukkan sebuah sistem kesehatan yang berkualitas akan menyelamatkan 7,8 juta kehidupan, dimana 3,2 juta berkaitan dengan perbaikan akses kesehatan dan 4,6 juta lainnya terkait dengan perbaikan kualitas pelayanan kesehatan.

Hal serupa diungkapkan oleh Edward Kelley, hanya 34% diagnosis akurat yang ditemukan di negara Low Middle Income (LMI). Kemudian yang menjadi perhatian berikutnya, ditemukan 40% dari fasilitas kesehatan memiliki akses air bersih yang rendah dan 20% memiliki sanitasi yang buruk. Diperburuk bahwa wanita di negara-negara tersebut menjadikan wanita sebagai korban, rendahnya respek terhadap pelayanan, dan ekslusi (pengecualian) dari pengambil keputusan pada pelayanan prenatal dan post natal. Jika dilihat dari ilustrasi Universal Health Coverage, maka dengan jelas terlihat bahwa indikator cakupan memegang peranan penting, akan tetapi timbul pertanyaan besar yakni apakah pemerintah dapat menggalakkan pelayanan gratis kepada ibu hamil hanya untuk meningkatkan cakupan ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan, sementara di lain sisi, pelayanan yang diberikan dapat tergolong berbahaya?.

Salah satu alternatif dalam mengatasi masalah tersebut adalah strategi kebijakan pemerintah yang juga dituntut berkualitas. Indikatornya adalah adanya prioritas masalah kesehatan, indikator kualitas yang bersifat nasional dan dapat diterapkan di daerah, kerja sama lintas sektor, analisis situasi, struktur pemerintahan yang jelas, perubahan dari segi metode dan intervensi, serta sistem informasi dan manajemen data yang terpadu. Hal terpenting adalah pelayanan kesehatan yang terintegrasi dan alur rujukan yang jelas. Perbaikan pelayanan kesehatan di Primary Health Care (PHC) juga sangat penting karena 80-90% dari kebutuhan kesehatan dapat dideteksi sejak awal di fasilitas kesehatan tersebut. Langkah WHO ke depan terkait isu ini yaitu melakukan pendekatan di level pollitik dengan menghasilkan dokumen peningkatan kualitas kesehatan sebagai indikator utama dalam mencapai UHC, di level strategis yakni memberikan dukungan teknis berupa pilihan kebijakan dan jenis intervensi yang sesuai, serta di level operasional dengan mengembangkan development plan yang disertai dengan monitoring dan evaluasi seperti pada program UHC 2030.

ghf2

Sesi paralel yang pertama mengenai “e-training and medical education, a leverage to restructire the health system”. Sesi ini berupa sesi sharing informasi menngenai E-medical education yang telah diterapkan di berbagai negara. Banyak negara di Asia Tengah dan Eropa Timur menghadapi kekurangan dokter yang signifikan di daerah pedesaan. Tren ini terjadi di seluruh dunia. Ini adalah hasil dari kombinasi beberapa faktor seperti kurangnya insentif dan kompensasi untuk bekerja di daerah terpencil, isolasi, kehidupan yang sulit dan kondisi kerja, akses yang sulit terhadap dukungan para ahli dan pelatihan. Pendidikan kedokteran memiliki tanggung jawab tertentu dan berkontribusi secara tidak langsung terhadap situasi ini. Dengan memusatkan pada mayoritas, proses pelatihan di lembaga akademik yang terletak di pusat kota besar, mengurungkan niat siswa dari daerah pedesaan. Hal ini menjadi alasan perlunya E-Medical Education.

Pembicara pertama adalah Petr V. Glybochko dari Universiy of Setchenov Moscow, Russin Federation. Petr memaparkan mengenai e-training yang ikut melibatkan 3 juta e-library. e– training juga disertai dukungan penuh dari pusat studi yang ada sehingga aplikasi dari training dapat dilaksanakan. Program ini terbukti dapat menjangkau wilayah rural sehingga meminimalisasir masalah terkait ekuitas tenaga kesehatan. Penerapan program ini juga memerlukan kontrol kualitas yang baik untuk menjamin kualitas keluaran yang baik pula.

Teknologi komunikasi baru saja memainkan peran penting dalam proses tersebut. Kursus pelatihan elektronik formal disediakan bagi lembaga daerah yang terlibat, konsultasi dapat diselenggarakan melalui sosial media. Reformasi pendidikan kedokteran gabungan dan pengembangan teknologi memberikan peluang yang menjanjikan untuk penguatan sistem kesehatan yang inovatif.

Pembicara lainnya adalah Aigul Azimova dari Public Foundation Initatives in Medical Education/Medical Education Reforms Project, Kyrgiztan. Aigul mengemukakan bahwa Kyrgiztan juga mengalami masalah kekurangan tenaga dokter di daerah rural dan remote area. 50% diantara daerah rural tidak memiliki dokter. 70% dokter yang bertugas di daerah rural akan memasuki masa pensiun. Masalah yang dihadapi adalah sekitar 2500 lulusan dokter dari beberapa perguruan tinggi, hanya 6%-nya yang bersedia ditempatkan di daerah. Faktanya banyak diantara lulusan kedokteran tidak memenuhi kualifikasi dan tidak kompeten. Hal yang perlu dilakukan antara lain, mendorong reformasi pendidikan kedokteran yang berusaha mencakup pra pendidikan dokter yang berfokus pada pelatihan Good Clinical Practice, strategi baru dalam upaya menerapkan continuing medical education (CME), desentralisasi pelatihan pendidikan kedokteran ke daerah, meng-upgrade kompetensi perawat untuk meningkatkan peran dari perawat dalam manajemen penyakit di fasilitas kesehatan, meningkatkan organisasi profesi kesehatan, dan melibatkan peran serta pemerintah dalam memecahkan masalah yang ada. Isu yang lain yang ditemukan adalah bahwa supervisor tidak termotivasi untuk melatih calon dokter serta tidak ada peluang untuk dapat memberikan gaji kepada dokter yang menjalani training di daerah.

Hal yang bisa menjadi bahan diskusi bersama berdasarkan paparan ini adalah bahwa sistem postgraduate training harus berdasarkan pada kebutuhan di fasilitas kesehatan, desentralisasi tidak hanya diperlukan untuk mengirim dokter ke daerah tetapi juga secara progresif mencegah masa kerja dokter yang sangat singkat di daerah. Pemerintah daerah di Kyrgiztan juga berupaya memfasilitasi rumah tinggal bagi dokter selama masa training sehingga selangkah demi selangkah perubahan dapat dijalankan. Clinical supervisor juga dilatih dengan kurikulum yang baru sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. e-learning membutuhkan kerjasama yang baik antara universitas dan pemerintah daerah, untuk menunjang kualitas training yang diberikan.

ghf1

Sesi ini berkaitan dengan “Access to health: put the patient at the heart of our concerns”. Moderator dari sesi ini adalah Katz Zachary dari Foundation for Innovative New Diagnostic (FIND). Pemateri pertama Nassim Khoja Olimzoda dari MInister of Health, Tadjikiztan. Nassim memaparkan periode reformasi bidang kesehatan yang tidak mudah di Tadjikiztan. Dimulai dengan masa kolaps pada 1992-1995, kemudian restorasi yang dilanjutkan dengan pengembangan kebijakan terkait masalah kesehatan masyarakat dan prioritasnya, serta dimulainya modernisasi fasilitas kesehatan hingga sekarang. Proses modernisasi fasilitas kesehatan mencakup 1010 fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan obsetrik, pelayanan pediatrik, TB dan lainnya. Hal yang lainnya adalah pemerintah Tadjikiztan menerapkan 650 standar, guideline, dan protokol diagnostik, serta norma kesehatan masyarakat, guna memproteksi masyarakat terutama pada kelompok khusus. Seluruh reformasi yang dilakukan bertujuan untuk menjamin akses kesehatan masyarakat.

Hal yang berbeda disampaikan oleh Vuyiseka Dubula. Dari Africa Center for HIV /AIDS Management, South Africa. Dubula menjelaskan bahwa jika ingin melihat pasien sebagai pusat dari pelayanan kesehatan, penting untuk tahu terlebih dahulu social determinant masyarakat dalam mengakses kesehatan. Sistem kesehatan bisa saja diterjemahkan sebagai program yang ditujukan untuk masyarakat miskin, akan tetapi banyak hal yang mempengaruhi preferensi masyarakat dalam memutuskan untuk mengakses dan jenis pelayanan apa yang diinginkan. Salah satu isu yang terjadi di Afrika Selatan adalah terkait gender dan orientasi seksual, dimana hal tersebut menjadi faktor yang juga mempengaruhi akses ke pelayanan kesehatan. Masalah ekonomi menjadi salah satu faktor, dalam hal keterjangkauan menuju fasilitas kesehatan dan dalam mengakses obat-obatan yang harganya terjangkau. Di sebagian besar wilayah Afrika, preferensi masyarakat tidak berada pada aspek kualitas layanan, akan tetapi berkisar pada mendapatkan atau tidak mendapatkan layanan. Hal lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa tidak hanya berfokus pada penyediaan layanan, tetapi jauh lebih kepada solidaritas. Tanggung jawab moral menjadi landasan untuk menyediakan fasilitas yang berkualitas dan sama basic need-nya untuk seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, komitmen bahwa pasien sebagai pusat pelayanan kesehatan dapat diawali dengan menciptakan sistem informasi di fasilitas kesehatan yang efektif sehingga mengurangi waktu tunggu pasien di fasilitas kesehatan. Sistem informasi tersebut juga dapat menjadi landasan tenaga kesehatan dalam menentukan pengobatan apa yang diperlukan, tidak lupa melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Reporter: Muhamad Asrullah, MPH (PKMK UGM)

Baca juga: Reportase Geneve health forum 2018 hari kedua

Reportase Diskusi Ilmu Lintas Fakultas “Analisis Kebijakan dan Aplikasinya”

disk fisipol

Diskusi lanjutan dari serangkaian blended learning pelatihan dasar Analis Kebijakan kali ini mengundang tim peneliti dan para pakar dari FISIPOL UGM. Pertemuan yang diselenggarakan di Kafe FISIPOL UGM ini dibuka oleh Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si selaku Dekan FISIPOL UGM. Bapak Erwan menjelaskan bahwa kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang mampu menyelesaikan permasalahan dan dapat memperbaiki kondisi seperti yang dikehendaki. Selaku moderator, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D turut menambahkan bahwa konsep dan tahapan analisis kebijakan publik ini juga dapat diterapkan dalam analisis kebijakan kesehatan.

Topik yang dibahas narasumber pada kegiatan tersebut terkait dengan konsepsi dan model analisis kebijakan (analysis of policy dan analysis for policy) serta prospek dan perkembangan jabatan fungsional analis kebijakan di pemerintah dan sektor swasta. Menurut Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP, para analis kebijakan harus mengawali segala sesuatu dengan identifikasi masalah untuk menemukan idealnya suatu kebijakan perlu menjadi seperti apa, aja saja alternatifnya, dan apa saja dampak yang akan ditimbulkan. Bapak Wahyudi juga menegaskan bahwa tugas analis kebijakan adalah melakukan kajian dan memastikan apakah suatu kebijakan sudah tepat atau belum karena masih banyak perumusan kebijakan yang disusun spontan tanpa melalui langkah sistematis dan data/ evindence yang memadai.

Sebagai salah satu narasumber, Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA menambahkan bahwa selain melakukan analisis, para analis kebijakan juga harus siap walau usulan kebijakan nantinya tidak selalu dapat diterima oleh policy maker, terlebih ada faktor teknokratis dan politis dari perumusan sampai penetapan kebijakan. Apabila ada pihak terkait yang tidak dilibatkan dalam proses kebijakan, menurut Bapak Agus akan ada resiko pihak-pihak tertentu justru menghambat/ menghadang agenda kebijakan tersebut untuk menjadi suatu regulasi. Menanggapi pertanyaan dari peserta, Bapak Wahyudi juga menambahkan bahwa fenomena janji politik yang turut serta dalam analysis for policy memang seringkali terjadi di masa demokratis saat ini, sehingga para analis kebijakan perlu memastikan sejauh mana agenda tersebut telah memihak rakyat/ publik dan seberapa rasional janji politik tersebut untuk dapat mengatasi permasalahan publik yang sedang terjadi.

Pada sesi berikutnya, Bapak Wahyudi menjelaskan bahwa tim sukses di daerah seringkali bukanlah analis kebijakan yang memilki kapasitas untuk analysis of policy dan analysis for policy. Oleh karena itu, peran dari analis kebijakan sangat dibutuhkan. Evidence based policy tidak sepenuhnya dapat diterapkan di daerah, namun lebih penting evidence influenced policy. Bapak Agus menambahkan bahwa para analis kebijakan tidak dapat bergerak sendiri tanpa adanya tim. Walaupun demikian, bukan berarti analis kebijakan yang independen tanpa terafiliasi dengan siapapun tidak memiliki kesempatan yang sama. Kedua narasumber menyampaikan bahwa saat ini telah ada Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (aaki.or.id) yang dapat dilibatkan bersama-sama, baik di tingkat pusat dan daerah. Di akhir sesi, Bapak Laksono juga menegaskan bahwa analis kebijakan tidaklah generalis sehingga ada spesifikasi tertentu yang salah satunya adalah analis kebijakan di bidang kesehatan.

rekaman webinar

Reporter : Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

{jcomments on}

Diskusi Ilmu Lintas Fakultas “Analisis Kebijakan dan Aplikasinya”

Pengantar

Kebijakan publik membahas bagaimana isu publik dapat disusun (constructed), didefinisikan, dan diletakkan di agenda kebijakan dan agenda politik (Parsons, 2001). Analisis diperlukan untuk mengetahui substansi kebijakan dan dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari kebijakan yang diimplementasikan (Dunn, 2004). Seorang analis kebijakan juga harus dapat mengikuti tahapan proses perumusan kebijakan, baik yang bersifat teknokratis maupun politis.

Mempertimbangkan Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 45 tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan dan Angka Kreditnya serta Peraturan Kepala LAN/ Lembaga Administrasi Negara Nomor 33 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Analis Kebijakan, maka Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) menyelenggarakan Diskusi Ilmu Lintas Fakultas.


  Tujuan

  1. Membahas mengenai konsepsi dan model analisis kebijakan
    1. Konsepsi analisis kebijakan yang secara rasional bisa dijalankan.
    2. Analysis of Policy dan Analysis for Policy
    3. Model Analisis Kebijakan
  2. Membahas mengenai prospek dan perkembangan jabatan fungsional analis kebijakan di pemerintah dan sektor swasta
    1. Perkembangan terbaru mengenai tenaga fungsional Analis Kebijakan di unit pemerintah.
    2. Prospek pekerjaan bagi Analis Kebijakan di tingkat kabupaten/ kota, provinsi, dan nasional.


  Peserta

  1. Peserta Blended Learning “Analis Kebijakan”
  2. Anggota Community of Practice (CoP)
  3. Peneliti, praktisi, mahasiswa, dan akademisi lainnya


  Agenda

Diskusi ini diselenggarakan pada hari Rabu, 4 April 2018 ; pukul 13.00 – 14.30 WIB; bertempat di Kafe FISIPOL, Bulaksumur – Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link registrasi berikut

Referensi


  Penyaji

  1. Narasumber : Dr. Erwan Purwanto (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM) dan tim peneliti FISIPOL
  2. Moderator : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FKKMK UGM)

rekaman webinar

  Susunan Acara

reportase

Waktu Kegiatan Penanggung Jawab
13.00-13.15 Pendahuluan Moderator :
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
13.15.13.25

Konsepsi dan Model Analisis Kebijakan (Analysis of Policy dan Analysis for Policy)

Dr. Erwan Purwanto dan tim peneliti FISIPOL

13.25-13.45 Diskusi 1 Moderator dan Narasumber
13.45-13.55 Prospek dan Perkembangan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan di Pemerintah dan Swasta

Dr. Erwan Purwanto dan tim peneliti FISIPOL

13.55-14.15 Diskusi 2 Moderator dan Narasumber
14.15-14.30 Penutup Moderator :
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

 

 

 

Reportase Knowledge Management untuk Peningkatan Kualitas Kebijakan

27feb kki

Aula Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA – Lembaga Administrasi Negara
Jakarta 27 Februari 2018

Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI menyelenggarakan Knowledge Management Untuk Peningkatan Kualitas Kebijakan pada Selasa (27/2/2018). Agenda ini dihadiri oleh beberapa perwakilan pemerintah daerah, Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), Knowledge Sector Inisiative (KSI), Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) dan peneliti kebijakan. Pembicara yang hadir antara lain Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si (Dekan Fisipol UGM), Wandy Tuturoong (Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden), Basuki Purwadi, S.H., M.H. (Kementerian Keuangan) dan Robert Endi Jaweng (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)). Acara dibuka langsung oleh Dr. Adi Suryanto, M.Si selaku Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI.

Seminar ini diawali dengan pemaparan tentang urgensi dokumentasi hasil analisis kebijakan oleh Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM. Erwan menyampaikan saat ini profesi analis kebijakan sangat penting bagi pemerintah. Profesi analis kebijakan dituntut untuk menyediakan informasi yang akurat, menggunakan paradigma evidence based policy dan menjamin aspek kebijakan didasari oleh evidence yang relevan.

Namun, untuk menjawab tantangan di atas, aspek akurasi data, manajemen data dan pendokumentasian data merupakan salah satu tantangan faktual. Hal yang paling mendasar saat ini adalah era disrupsi informasi dan ledakan data. Oleh karena itu, analis kebijakan memiliki urgensi untuk hadir dalam menjawab analisis penggunaan big data, penggunaan data yang sesuai dan pemanfaatan platform data terkini dimana data tersebut multi-informatif, lintas sektoral, harus mudah digunakan dan menjadi dasar kebijakan berkualitas. Saat ini karakter dokumentasi hasil analisis harus sesuai dengan perkembangan era teknologi. Bentuk platform digital berbasis aplikasi merupakan pilihan efektif yang dapat dikembangkan bersama antar lembaga pemerintah yang melibatkan akademisi kredibel.

Pada topik kedua, seminar membahas tentang pengalaman dan tantangan knowledge management pada Kantor Staf Presiden RI oleh Wandy Tuturoong dan dilanjutkan oleh Basuki Purwadi SH MH tentang etika penyebarluasan informasi di sektor pemerintah. Wandy Tuturoong menggarisbawahi bahwa aspek Knowledge Management sangat penting diimplementasikan meninmbang saat ini Presiden menekankan bahwa pengambilan keputusan atau kebijakan harus berbasis data dan membawa kepada lesson learned positif. Di lain sisi, besarnya arus hoax information menjadi tantangan nyata dalam unsur kebijakan yang terkesan menjadi informasi berbasis bukti bagi pemangku kebijakan. Selanjutnya, Basuki Purwadi SH., MH. memaparkan bahwa di era keterbukaan informasi saat ini, etika penyebarluasan informasi kepada publik harus menjadi aspek kritis yang perlu dipertimbangkan. Berita bohong perspective based menjadi salah satu tantangan fundamental bagi bangsa saat ini. Sebagai badan publik, lembaga pemerintahan memiliki kewajiban dalam manajemen informasi untuk perkembangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat dan lintas badan publik. Untuk itu, analisis kebijakan merupakan kebutuhan yang memiliki urgensitas tinggi bagi tiap lembaga pemerintah.

Pembicara terakhir, yakni Robert Endy Jaweng sebagai Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) memaparkan tentang pentingnya data dalam analisis kebijakan. Peneliti kebijakan ini menjelaskan tentang pentingnya ahli analis kebijakan untuk dapat melaksanakan uji validitas pada tiap informasi dalam pembuatan kebijakan. Saat ini merupakan momentum penting dimana tiap kebijakan harus diawali dengan data empirik dan bersifat evidence based practice.

Selain itu, era masif informasi saat ini dan pola desentralisasi merupakan momen tepat dalam pembuatan kebijakan yang efisien, spesifik serta berbasis bukti relevan. Robert Endy Jaweng kembali menekankan bahwa kemampuan analis kebijakan dalam menempatkan data, memperoleh data, membaca kesempatan aspek politik merupakan peluang dan tantangan pada variabel kebijakan efektif di Indonesia.

Acara tersebut dilanjutkan dengan diskusi antara peserta dan narasumber. Diskusi yang menarik pada agenda ini adalah tentang platform data dalam aspek kebijakan dalam perspektif knowledge management. Topik diskusi ini didasari oleh ledakan data serta fragmentasi data pada lintas sektor pemerintahan sehingga aspek ini menjadi variabel kunci kualitas pada kebijakan. Para narasumber menggarisbawahi bahwa saat ini pemerintah mengupayakan platform dimana tiap elemen birokrasi memiliki sistem data yang terintegrasi. Selain itu, analisis Big Data dan pemilihan data relevan merupakan keahlian yang perlu dikembangkan oleh analis kebijakan. Di sisi lain, pemerintah mendorong para akademisi untuk berkolaborasi bersama dalam merealisasikan platform berbasis teknologi tentang aspek data yang terintegrasi hingga digunakan sebagai media pengkomunikasian analisis kebijakan.

Reporter: Nopryan Ekadinata (PKMK FKKMK UGM)

 

Reportase: Penyusunan proposal dengan menggunakan Realist Evaluation

Agenda ini merupakan salah satu langkah awal yang dilakukan oleh PKMK FK UGM dan perguruan tinggi mitra untuk melaksanakan mekanisme evaluasi pada kebijakan di era Jaminan Kesehatan Nasional. Agenda evaluasi JKN 2018 ini dilaksanakan di FK UGM pada tanggal 8 Februari 2018 dan disampaikan melalui webinar. Agenda ini dibuka langsung oleh Prof. Laksono Trisnantoro MSc PhD dan dilanjutkan pemaparan materi tentang Realistic Evaluation oleh dr. Tiara Marthias, MPH selaku peneliti dan konsultan dari PKMK FK UGM. Secara garis besar, sesi ini menyampaikan pentingnya pelaksanaan evaluasi pada kebijakan sistem JKN melalui pendekatan Realistic Evaluation. Program ini diikuti langsung oleh peneliti, mahasiswa, praktisi dan mitra perguruan tinggi PKMK UGM.

Pada sesi awal, Prof. Laksono Trisnantoro MSc PhD menyampaikan bahwa saat ini diperlukan adanya langkah konkret dalam perbaikan kebijakan di era JKN yang berjalan masih belum optimal. Langkah strategis yang dapat dilaksanakan adalah melakukan penelitian evaluatif terhadap program JKN dengan pendekatan realist evaluation. Saat ini merupakan langkah yang tepat dalam merumuskan penelitian yang dimaksudkan untuk menjadi masukkan pagi Pemerintah atau policy maker di tahun politik. Hal ini menjadi dasar tentang urgensi dalam menjawab momen yang krusial dengan penelitian evaluatif strategis dalam upaya perbaikan kualitas sistem JKN. Prof Laksono Trisnantoro memaparkan bahwa agenda ini merupakan program brainstorming pada lembaga partner atau Universitas mitra untuk membangun perumusan penelitian kebijakan melalui realist evaluaion. Di lain sisi, agenda ini menjadi momen untuk pemaparan pemanfaatan teori realist evaluation pada perguruan tinggi mitra untuk merumuskan penelitian evaluasi kebijakan JKN. Selain itu Prof Laksono Trisantoro MSc PhD menyampaikan bahwa program ini dapat disinkronkan dengan peningkatan kapasitas lembaga partner dalam program analis kebijakan yang dapat disupervisi oleh Lembaga Administrasi Negara.

Sesi kedua dilanjutkan dengan pemaparan teori Realist Evaluation oleh dr. Tiara Marthias, MPH. Realist evaluation merupakan pendekatan evaluatif yang praktis dalam menjawab kompleksitas sistem kebijakan khususnya dalam frame kebijakan kesehatan indonesia di era JKN. Secara sederhana, realist evaluation dapat menjawab evaluasi program dengan lebih mendalam. Hal tersebut dapat menjelaskan secara detail tentang apa program yang efektif, untuk siapa, dalam koteks apa hingga bagaimana program tersebut berjalan. Konsep realist evaluation dikembangkan melalui konfigurasi context, mechanism dan outcome (C-M-O). Context menjelaskan tentang aspek karakteristik populasi, jenis organisasi, SDM hingga kultur. Sedangkan pada mechanism, aspek ini lebih memaparkan tentang proses yang muncul akibat interaksi program yang spesifik. Pada outcome, aspek yang dikaji yakni mengenai perubahan yang terjadi akibat interaksi antara context dan mechanism. Sehingga, dengan konfigurasi C-M-O, realist evaluation dapat menjelaskan dengan mendalam tentang program apa yang belum optimal, kepada kelompok sosial apa, kondisi dan pola proses. Oleh karena itu, relist evaluation memiliki keunggulan dalam menangkap kesimpulan evaluatif pada suatu program dengan lebih rinci.

Agenda evaluasi JKN sesi ini menyepakati beberapa aspek. Hal tersebut diantaranya, PKMK UGM dan perguruan tinggi partner menyepakati tentang perumusan penelitian mengenai evalusai kebijakan JKN melalui relist evaluation. Di sisi lain, agenda tersebut akan disinkronkan dan dioptimalkan melalui program peningkatan kapasitas SDM lembaga dan perguruan tinggi untuk dilatih menjadi Analis Kebijakan sesuai dengan modul dari lembaga Administrasi Negara dan KSI. Prof. Laksono Trisnantoro MSc PHD menyimpulkan bahwa ini merupakan momentum tepat dalam mengevaluasi kebijakan JKN di tiap daerah melalui realist evaluation yang dikembangkan langsung oleh perguruan tinggi di daerah. Area evaluasi kebijakan pada program JKN memiliki scope yang sangat luas untuk diteliti sebagai upaya perbaikan program kebijakan JKN yang lebih baik.

Reporter Nopryan Ekadinata

{jcomments on}

 

Global Burden of Diseases & Target Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)

Reportase: Policy Dialogue

Acara ini dibuka oleh Dr. Agustinus Prasetyantoko selaku Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Agustinus menekankan pentingnya kegiatan semacam ini diadakan oleh akademisi, mengingat peran akademisi sebagai pendukung para pengambil kebijakan khususnya dalam menyediakan bukti ilmiah.

Selanjutnya pembicara utama dalam acara ini, dr. Nafsiah Mboi, MPH, Sp.A, memaparkan tentang konsep Global Burden of Diseases (GBD) dan potensi pemanfaatannya. Burden of Diseases (BoD) pertama kali diperkenalkan oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 1990. Institusi ini berkedudukan di Seattle, Amerika Serikat. Pembicara merupakan salah satu anggota dewan IHME. Pada 1997, konsep Disability-Adjusted Life Year (DALY) diperkenalkan sebagai suatu tolok ukur yang bisa digunakan untuk menggambarkan status kesehatan. Prinsipnya, semakin besar DALY maka semakin buruk status kesehatannya.

Awalnya hanya 107 penyakit yang termasuk di dalam studi GBD, kemudian seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan maka pada2016 terdapat 333 penyakit yang termasuk ke dalam studi ini di lebih dari 135 negara di seluruh dunia. Indonesia termasuk salah satu dari 2500 kolaborator yang ada di seluruh dunia. BOD sangat bermanfaat untuk perencanaan kesehatan, diantaranya untuk: identifikasi kebutuhan; menentukan skala prioritas; menentukan besaran investasi yang diperlukan; evaluasi dampak kebijakan kesehatan; dan untuk menilai akses kesehatan perorangan dan indeks kualitas.

GBD telah memberikan banyak manfaat bagi Indonesia, khususnya terkait perencanaan program kesehatan. Terjadi perubahan yang besar terkait BoD di Indonesia selama 10 tahun pada periode 2005 hingga 2016. Penyebab utama kematian di Indonesia akibat diabetes meningkat hingga 21%. Kontributor utama untuk DALY dari diabetes meningkat tajam dari ranking 9 ke 6 dengan proporsi peningkatan sebesar 62,6%. Jika kita hubungkan dengan program JKN khususnya asuransi kesehatan sosial (BPJS Kesehatan), maka BoD ini sejalan dengan beban pembiayaan BPJS Kesehatan yang sangat besar akibat 4 penyakit katastropik (Jantung, Kanker, Gagal ginjal dan Stroke). Diabetes merupakan pintu masuk dari 4 penyakit katastropik ini.

Pembicara kedua adalah Assoc. Prof. Dinna Wisnu, PhD dari Atma Jaya Insitute of Public Policy. Dinnamenyampaikan terdapat tiga pilar sistem jaminan sosial nasional, yaitu: asuransi; bantuan sosial; uang dari pemberi kerja atau pribadi. Saat ini terdapat tantangan yang besar bagi BPJS Kesehatan selaku single payer dalam sistem asuransi sosial kesehatan di Indonesia. Beberapa diantaranya: potensi kehilangan waktu produktif akibat menggunakan layanan BPJS Kesehatan; proporsi out of pocket masih tinggi; keterbatasan alokasi dana untuk upaya kesehatan masyarakat; dan tidak ada insentif bagi peserta yang tidak menggunakan fasilitas rawat inap BPJS Kesehatan.

Hal yang menarik dalam sesi diskusi kali ini adalah masih terjebaknya para panelis dan peserta diskusi dalam pengertian bahwa target cakupan UHC adalah sama dengan target kepesertaan BPJS Kesehatan. Sehingga BoD yang tinggi dari penyakit-penyakit katastropik di Indonesia masih menjadi tanggung jawab BPJS Kesehatan semata. Ada pernyataan dari salah satu peserta yang bisa dibawa sebagai pesan bagi kita semua, yaitu, mengingat BoD di Indonesia sudah bergeser ke arah penyakit-penyakit tidak menular maka untuk mencapai target cakupan kesehatan semesta (UHC) di Indonesia kita harus mendorong pemerintah agar tidak hanya mengalokasikan perhatian dan anggaran bagi BPJS Kesehatan, tetapi juga memberikan perhatian dan alokasi anggaran yang besar bagi upaya kesehatan masyarakat sebagai ujung tombak program promosi kesehatan dan pencegahan primer penyakit di Indonesia.

Oleh: John Prawira

 

Reportase Outlook Sistem Kesehatan 2018

30 1

Seperti yang diketahui bersama bahwa JKN melalui UU SJSN (2004) dan UU BPJS (2011) telah mendorong peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan di tingkat pusat dan berpengaruh pada peningkatan alokasi dana di daerah. Prof Laksono memberikan pengantar yang menekankan bahwa saat ini daerah menerima dana dari banyak sumber dana yang masih dikelola secara terpisah dan menyebabkan fragmentasi sistem kesehatan di daerah. Pengelolaan data di daerah juga mengalami fragmentasi di tengah sistem BPJS yang sentralistik dan sistem Kemenkes yang desentralisasi. Menurut beliau, kondisi inilah yang menyebabkan perencanaan kesehatan di daerah tidak dapat sepenuhnya berbasis data yang mengakomodir kebutuhan program JKN dan program kesehatan lainnya. Bukan hanya hubungan Pemda dan kantor BPJSK setempat yang tidak jelas, namun Prof. Laksono juga menekankan bahwa peran Pemda/ Dinkes dalam layanan primer di era JKN juga masih tidak mempunyai pola. Adanya Inpres No. 8/ 2017 menjadi kesempatan untuk mengatasi fragmentasi ini, namun instruksi ini berlaku sampai dengan akhir Desember 2018. Menurut beliau, sejauh mana pelaksanaan Inpres No. 8/ 2017 ini juga patut untuk dimonitoring dan evaluasi.

30 2Salah satu instruksi dalam Inpres No. 8/ 2017 adalah BPJS Kesehatan menyediakan data JKN ke Menteri Kesehatan secara berkala. Namun data seperti apa dan sejauh mana kabupaten dapat mengakses kebutuhan data tersebut? bahkan saat ini belum dapat teranalisis sejauh mana dana JKN telah berkontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan di daerah. Hal inilah yang juga ditekankan kembali oleh ibu Murni (Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar, Dinkes Kulon Progo). Ibu Murni menyampaikan bahwa sulitnya data JKN diakses oleh daerah memang terjadi adanya, termasuk data kesepertaan dan data layanan yang diterima peserta JKN. Dengan kondisi seperti ini, apakah mungkin Pemda/ Dinkes dapat menggunakan data BPJS untuk perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program kesehatan?

Melalui webinar, Bapak Yulianto (Kepala Dinkes Provinsi Jawa Tengah) juga menegaskan terjadinya pemanfaatan anggaran kesehatan di daerah yang masih tumpang tindih. Tim perencanaaan di daerah masih tergantung dari data dari pemegang program kesehatan dan belum dapat mengakses data JKN dari BPJS Kesehatan. Sementara, menurut beliau bahwa data BPJS kesehatan juga sangat dibutuhkan untuk mengukur dampak JKN terhadap capaian indikator kesehatan dan SPM di daerah.

Menurut tim Dinkes Provinsi Jawa Tengah, adanya bridging sistem p-care dan SIMPUS sebenarnya dapat menjembatani kebutuhan data JKN untuk perencanaan program kesehatan di daerah. Walaupun demikian, sistem ini masih berlaku di FKTP milik Pemerintah dan belum merangkul fasilitas kesehatan swasta di daerah. Mewakili sektor swasta, salah satu peserta di Granadi juga menyampaikan bahwa regulasi saat ini belum menjelaskan kewenangan dan kewajiban faskes swasta dalam optimalisasi program JKN, termasuk dalam pengelolaan data JKN.

Prof. Laksono kembali mengingatkan bahwa pada tahun 2016, Bapak Presiden Jokowi pernah menyampaikan perlunya pembagian tugas yang jelas antara pusat, daerah, dan BPJS Kesehatan. Beberapa tindak lanjut pembagian tugas tersebut telah tertuang dalam Inpres No. 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN. Pertanyaan penting yang disampaikan oleh Prof Laksono adalah apakah Inpres ini dapat mempercepat/ membantu pencapaian delapan sasaran utama program JKN? Menurut beliau, salah satu kuncinya adalah data BPJS Kesehatan yang dapat diakses oleh daerah untuk dipergunakan sebagai pengembangan program kesehatan. Data tersebut sebenarnya juga dapat membantu menjadi pertimbangan dalam menyusun strategi menyeimbangkan ketersediaan sarana prasarana dan SDMK.

30 3Bapak Citra dari Kedeputian Bidang Riset dan Pengembangan, BPJS Kesehatan Pusat menjelaskan bahwa salah satu ukuran untuk beroperasinya BPJS Kesehatan dengan baik adalah hasil audit yang menyatakan predikat WTP. Terkait target kepesertaan, sampai saat ini memang masih menjadi PR besar bagi BPJS Kesehatan. Menanggapi isu pengelolaan data, beliau menyampaikan bahwa saat ini BPJS Kesehatan telah memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi yang dapat melayani pihak eksternal terkait kebutuhan data. Penyediaan data dashboard dari BPJS Kesehatan telah diberikan kepada P2JK dan akan menjadi masukan bagi BPJS Kesehatan untuk mengembangkan dashboard di level daerah yang dapat dipergunakan stakeholder di kab/ kota. Sebagai wakil dari tim PPJK Kemenkes Bidang Jaminan Kesehatan,

Bapak Doni berharap adanya Inpres No. 8/ 2017 dapat semakin mendorong semangat gotong royong untuk mengoptimalkan pelaksanaan program JKN. Kolaborasi antar pihak inilah yang dibutuhkan untuk mencapai kedelapan sasaran utama program JKN. Saat ini DJSN, TNP2K, P2JK, dan lintas kementerian sudah mulai mengolah data bersama-sama di ruang khusus yang telah disediakan oleh BPJS Kesehatan.

Diskusi terjadi sangat menarik saat membahas data mana saja yang dibutuhkan oleh daerah dan data mana saja yang mungkin dapat diperoleh atau bahkan tidak akan didapatkan dari BPJS Kesehatan. Inpres No. 8/ 2017 menginstruksikan Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mengambil keputusan dan melaksanaan program untuk mendukung pelaksanaan JKN. Bagaimana daerah dapat mendukung program JKN tanpa ada dukungan data yang dapat dianalisis oleh masing-masing Pemda?

{jcomments on}

 

Reportase Webinar Expert Meeting: “Strategi Penguatan Pelayanan Primer untuk Mendukung Sustainabilitas JKN”

indohcf27jan

Untuk mengawali expert meeting kali ini, materi pertama yang disampaikan oleh Prof. Ascobat Gani membahas tentang strategi komprehensif dalam penguatan pelayanan kesehatan primer untuk mendukung sustainabilitas JKN. Peningkatan defisit pembiayaan JKN setiap tahun dapat direduksi dengan intervensi UKM (promotif & preventif). Menurut Ascobat, tantangan pembiayaan kesehatan dan JKN yaitu cost inflation, aging populatin (peningkatan Penyakit degeneratif), perilaku provider dan peserta sehingga terjadi over utilization, dan faktor eksternal lainnya. Pengendalian biaya dapat dilakukan dengan memperkuat pelayanan kesehatan primer (puskesmas) terutama risk reduction dan FKTP (puskesmas & klinik non-spesialis) terutama dalam hal financial protection & health insurance. Namun, peran UKP pada puskesmas tidak boleh dihilangkan karena berlawanan dengan pasal 47 UU 36 Tahun 2009 maupun konsep akademik, serta dapat menghilangkan legitimasi BPJS untuk menerima dana PBI, disamping itu intervensi UKM & UKP harus komprehensif. Kebijakan afirmatif untuk puskesmas terpencil berupa “Nusantara Sehat” (SDM), pengiriman obat program dari pusat, penyaluran BOK langsung ke puskesmas harus lebih dapat dioptimalkan dengan mempertimbangkan sektor swasta; baik dalam menyusun tupoksi standar, kelembagaan, standarisasi pelayanan, akreditasi, dan lain-lain.

Prof. Laksono menegaskan bahwa kendala yang terjadi saat ini yaitu fragmentasi sistem yankes (makro), pengelolaan sistem insentif BPJS tidak jelas (meso), konflik dokter layanan primer (mikro). Fragmentasi dalam bentuk dua jalur sistem pendanaan yang tidak dikelola secara bersama yaitu sistem yankes/Kemenkes (UU kesehatan, UU RS, terdesentralisasi) dan sistem jamkes/BPJS (UU SJSN, UU BPJS), yang berakibat data BPJS dan dinkes tertama daerah tidak tersinkronisasi, strategic purchasing tidak bejalan baik, tidak adanya pemantaun gatekeeper, sistem tidak efektif, serta pemerataan yankes terabaikan. Sistem pembayaran individu di tingkat fasilitas belum berbasis pada kinerja, BPJS juga tidak memiliki pengaruh dalam menentukan besaran pendapatan nakes, sehingga terjadi ketimpangan pendapatan nakes dan double contract, serta ketidaksesuaian insentif dengan beban kerja. Konflik mengenai penyelenggaraan DLP terjadi di kalangan IDI, Kemenkes, Kemenristekdikri, dan berbagai pihak lain, akibatnya Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan klinis dokter di layanan primer dalam era JKN. Menurut Laksono, solusi untuk mengoptimalkan peran pelayanan primer untuk sustainabilitas JKN adalah menghilangkan fragmentasi (jangka pendek: INPRES 8/2017, jangka panjang: revisi UU), menyesuaikan pendapatan dokter & nakes dengan kinerja FKTP (penyesuaian tarif kapitasi dengan adjuster, analisis isu double contract, kebijakan matching grand, BPJS mengetahui nominal pendapatan nakes yang berasal dari kapitasi), melaksanakan DLP & penelitian monitoring kerja.

Untuk menghadapi tantangan pelayanan kesehatan dalam era JKN, maka FKTP berperan penting dalam mewujudkan paradigma sehat melalui upaya promotif, preventif, dan screenning. Menurut Saraswati, FKTP sebagai gatekeeper (penapis rujukan) harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan dan tata laksana penyakit di FKTP serta berbasis pada kompetensi SDM (klinis dan manajerial). Penguatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia agar sesuai dengan kompetensi faskes dapat dicapai dengan program peningkatan akses (distribusi FKTP & peserta, ketersediaan obat, pemenuhan sarana-prasarana, regionalisasi sistem rujukan, dan pemenuhan SDM) dan mutu (akreditasi puskesmas & RS, pemanfaatan TI, kompetensi SDM) faskes melalui sistem informasi dan regulasi yang tepat. Pemanfaatan TI dapat berupa pelaksanaan SISRUTE, telemedicine, pendaftaran online, SIRANAP, RME, Flying Health Care.

Dari perspektif penatalaksanaan tenaga kesehatan, Usman Sumantri menyatakan bahwa puskesmas sebagai andalan utama FKTP yang menyebar di Indonesia memiliki standar sarana-prasarana yang berbeda-beda dikarenakan geografis yang luas, daerah pemekaran, dan keterbatasan kemampuan (anggaran dan komitmen) pemerintah pusat maupun daerah. Kendala dalam pemenuhan nakes: penyediaan nakes (jumlah, mutu, distribusi, infrastruktur), regulasi, kurangnya partisipasi Pemda, tingginya biaya operasional khususnya di daerah dengan geografis sulit. Pada daerah dengan peserta yang padat dan nakes memadai, FKTP hendaknya diarahkan pada klinik sedangkan puskesmas bertahap fokus ke UKM. Untuk persebaran nakes maka perlu dipetakan kebutuhan & formasi FKTP serta dokter per daerah dan redistribusi peserta, serta pendayagunaan nakes di DPTK.

Reporter: Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH