Diskusi ke-11 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Diskusi ke-11 UU Kesehatan

UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Jumat, 25 Agustus 2023  |   Pukul: 15:00 – 16:30 WIB

Topik pembahasan yang diangkat dalam webinar UU Kesehatan seri ke 11 berfokus pada kontrak perorangan antara residen dengan rumah sakit terkait dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.


Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang mengulas perintah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengelolaan tenaga residen di jalur university based dan hospital based. Sebelum UU Kesehatan Omnibus Law ini disahkan, pendidikan dokter spesialis diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran selama periode 2013-2023. Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini disusun berdasarkan situasi di Indonesia dan benchmarked di US dan Australia, dimana residen bukan sebagai mahasiswa biasa namun sebagai pekerja. Pada pasal 31 mengenai UU Pendidikan Kedokteran terdapat penjelasan mengenai hak dan kewajiban mahasiswa serta ketentuan lanjut diatur dalam peraturan menteri. Namun, apa yang terjadi dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran 2013? Peraturan turunan tidak banyak disusun, stakeholder utama tidak peduli pada residen, dan sebagainya. Selain itu, UU ini gagal mengubah budaya kerja di pelayanan kesehatan yang tetap tidak mengakui residen sebagai pekerja. Namun, pandemi COVID-19 menyadarkan bangsa bahwa residen adalah pekerja. UU Kesehatan 2023 membuka jalur hospital-based yang diikuti dengan berbagai pro dan kontra. Jalur hospital-based dan university-based memiliki kesamaan yaitu residen sebagai pekerja. Pada pasal 219 prinsip residen sebagai pekerja diatur dalam UU Kesehatan berdasarkan praktek global dan membutuhkan kontrak perorangan antara RS dengan residen. Meski demikian, konsekuensi perintah UU Kesehatan yaitu residen sebagai pekerja tidak mudah karena memerlukan berbagai adaptasi.

materi   video

Narasumber Utama: Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes

Sesi pembahasan disampaikan oleh Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes yang mengantarkan peserta dalam sebuah pertanyaan menarik: apakah UU Nomor 17 Tahun 2023 dapat efektif dalam hal kontrak perorangan residen dengan RS pendidikan? Jika melihat kembali ke UU Nomor 20 Tahun 2013, pendidikan residen menganut sistem university-based, namun pendekatan lain di beberapa negara menggunakan sistem hospital-based. UU Nomor 17 Tahun 2023 membuka opsi pendidikan kedokteran dengan hospital-based dan memerintahkan adanya hak dan kewajiban peserta didik. Apakah hal ini dapat dituangkan dalam kontrak perorangan antara RS Pendidikan dengan residen? Sebelum adanya UU Pendidikan Kedokteran 2013, residen dianggap sebagai siswa yang harusnya membayar ke RS, tidak memiliki kompetensi klinis, tidak memiliki dasar hukum untuk diberi insentif, dan tidak bisa dikontrak. Selain itu, belum ada regulasi yang mengatur pendidikan residen dan peran negara. Namun, UU Pendidikan Kedokteran memerintahkan residen sebagai pekerja sehingga semestinya ada kontrak kerja antara residen dengan RS Pendidikan. Pada kenyataannya, tidak ada niat yang cukup dari berbagai stakeholder, budaya RS yang menempatkan residen sebagai mahasiswa, serta tidak adanya kontrak atau perjanjian sehingga terjadi kegagalan dan adanya perundungan dalam pelaksanaan UU Pendidikan kedokteran tahun 2013.

Tata kelola residen saat ini belum baik, tergambar dalam situasi dimana residen harus membayar dana pendidikan yang besar jumlahnya, hubungan antara residen junior dan senior belum tertata sehingga terdapat bullying, dan mutu pelayanan RS menjadi sulit dikembangkan. Di masa depan, pasca UU Kesehatan sudah selayaknya residen diberikan insentif atas jasa pelayanan medis sesuai kompetensi, mengingat besarnya kontribusi residen. Dalam pelaksanaannya, mengacu pada UU Tenaga Kerja dan PP terkait seperti PP RI Nomor 35 Tahun 2021, unsur dalam hubungan kerja tertera dalam pasal 1 angka 1 yaitu “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Jika melihat dalam unsur pekerjaan, residen melakukan pekerjaan dengan memberikan pelayanan; dalam unsur perintah, residen mendapat perintah untuk melakukan suatu pekerjaan. Sehingga, dalam hal upah semestinya mendapatkan imbalan jasa yang layak. Selain itu, dalam hal beban kerja, paska UU Kesehatan semestinya terjadi minimalisasi beban kerja residen di RS pendidikan dengan mempertimbangkan jam kerja ideal yang pada akhirnya berdampak pada mutu pelayanan RS. Sebagai kesimpulan, tantangan UU Nomor 17 Tahun 2023 ini adalah bagaimana memaksa semua RS pendidikan pada jalur university based maupun hospital based dalam mengatur hak dan kewajiban residen dalam sebuah kontrak perorangan sebagaimana praktek yang terjadi di negara maju?

materi   video

Pembahas: dr. Andi Khomeini SpPD

Tanggapan terhadap pembahasan ini disampaikan oleh dr. Andi Khomeini SpPD yang menggarisbawahi implementasi sumpah dokter, dimana dokter mengaku bahwa sesama dokter nilainya seolah-olah seperti saudara kandung, tidak selalu mudah. Sebagai saudara semestinya sesama dokter saling menghormati dan menyayangi sebagai prinsip dasar kehidupan yang baik terutama para pelayan medis. Namun, mengapa masih terjadi bullying? Setelah adanya UU Kesehatan ini penting untuk diperhatikan bagaimana kita membuat residen di kontrak sebagai pekerja dan dapat memberikan pelayanan dengan perlindungan hukum. Dalam sesi diskusi banyak dibahas tentang residen sebagai pekerja, kontrak/perjanjian kerja dengan RS, serta insentif atau jasa pelayanan bagi residen dalam kaitannya dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Diskusi juga menyoroti perlunya sinkronisasi pelaksanaan UU Kesehatan ini dengan stakeholders lain seperti Kementerian Keuangan dan badan pemeriksa keuangan.

video

Sesi Penutup

Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan yang dikembangkan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS 
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

  Waktu Kegiatan

Hari, tanggal : Jumat, 25 Agustus 2023
Pukul : 15:00 – 16.30

  Narasumber

Moderator: dr. Diaz Novera, BMedSc(Hons), MPH


Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Phd

materi   video


Narasumber Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes.

materi   video


Pembahas Oleh dr. Andi Khomeini Takdir

video


Sesi Diskusi

video

Diskusi ke-12 UU Kesehatan Topik Tata Kelola Rumahsakit

Diskusi ke-12 UU Kesehatan

Topik Tata Kelola Rumahsakit

Senin, 28 Agustus 2023  |   Pukul: 12:00 – 13:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-12 yang membahas tata kelola rumah sakit dalam kerangka UU Kesehatan Omnibus Law.

Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes (Ketua PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes mengantar webinar dengan menjelaskan bahwa, dari sisi manajemen, terdapat beberapa poin dalam UU Kesehatan yang baru yang dapat mengubah dan menjadi peluang pengembangan rumah sakit. Meski demikian, hal ini akan sangat bergantung pada aturan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023. Dengan memahami pasal-pasal yang ada, diharapkan kita dapat memperoleh informasi dan mensintesisnya menjadi sebuah gagasan untuk membangun rumah sakit dalam keterkaitannya dengan UU Kesehatan yang baru.

Dalam UU Kesehatan ini, rumah sakit tidak lagi termuat secara independen dalam bab tersendiri melainkan secara terintegrasi dalam sistem kesehatan. Dengan kata lain, berbagai aturan terkait dengan sumber daya manusia, logistik, maupun sistem informasi akan berpengaruh terhadap pengelolaan rumah sakit. Sebagai manajer kita diharapkan dapat menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk memanfaatkan peluang yang ada.

video

Pembahasan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Sesi pembahasan disampaikan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes yang menjelaskan bahwa rumah sakit merupakan layanan rujukan yang harus bertransformasi sesuai dengan pilar transformasi pelayanan rujukan sebagai bagian dari transformasi sistem kesehatan. Seluruh aturan turunan dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan lembaga yang terlibat akan mendukung upaya pembangunan peningkatan pelayanan RS. Hal ini tertuang didalam pasal-pasal UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Salah satu yang termuat dalam UU Kesehatan ini adalah terkait potensi besar pengobatan tradisional seperti medical wellness agar masuk ke dalam standar pelayanan kesehatan. Dalam hal ini diperlukan aturan turunan yang menjelaskan penyelenggaraan, kompetensi, serta kewenangan dan tanggung jawab pusat dan daerah. Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 187 dan 196, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan kewajiban RS untuk melaksanakan sistem rujukan yang terintegrasi serta sistem rujuk balik. Dalam hal keuangan fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 194, diperlukan aturan turunan berupa peraturan menteri kesehatan tentang pola tarif nasional yang dipertegas untuk RS Pemerintah dan di-update secara berkala (maksimal 2 tahun).

Dalam hal SDM Kesehatan, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan beberapa aspek penting seperti apa saja yang termasuk dalam tenaga pendukung dan penunjang kesehatan, beban kerja tenaga kesehatan di RS, serta kebutuhan SDM yang mencakup residen. RS akan menghitung terlebih dahulu kebutuhan SDM agar beban pembiayaan tidak terlalu besar, termasuk pembiayaan bagi residen karena akan dibayar sesuai kerjanya.

Terkait pasal 234, diperlukan aturan turunan mengenai penempatan tenaga medis dalam hal insentif (finansial atau non finansial), jaminan keamanan (terutama di daerah rawan konflik), serta perlindungan hukum saat menjalankan tugas. Terkait pasal 251 dan 253, diperlukan PP terkait pendayagunaan tenaga medis lulusan luar negeri. Mengenai pendanaan kesehatan pada pasal 402 ayat 4 dan pasal 406, diperlukan PP yang mengatur bahwa RS non pemerintah harus melaporkan penggunaan anggaran yang berasal dari pemerintah; RS pemerintah harus melaporkan realisasi belanja kesehatan; serta pendapatan RS pemerintah diakui sebagai pendapatan pemerintah yang penggunaan seluruhnya untuk operasional RS. Sementara terkait dengan farmasi, diperlukan aturan turunan yang mengatur dengan detail kompetensi apoteker, proses peresepan obat keras, hingga telemedicine yang kini menjadi bagian dari layanan kesehatan di rumah sakit.

video   materi

Sesi Diskusi

Diskusi mengenai isu-isu yang muncul dengan adanya UU Kesehatan dibahas dalam sesi diskusi, antara lain terkait dengan pola tarif nasional yang termuat dalam pasal 194 ayat 1 dan perlu diatur oleh peraturan pelaksana. Selain itu, diskusi juga mengangkat kekhawatiran upaya badan layanan umum yang kini termuat dalam pasal 185 ayat (2) “Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam memberikan layanan Kesehatan dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Isu terkait dengan aturan bahwa pimpinan rumah sakit harus berlatar belakang medis juga dibahas dalam diskusi ini.

video

Sesi Penutup

Diskusi tentang tata kelola rumah sakit dalam Kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 28 Agustus 2023
Pukul 12.00 – 13.00 WIB

  Kegiatan

Moderator: dr. Haryo Bismantara, MPH. (Dosen Health Policy and Management dan Konsultan PKMK FK-KMK UGM)


Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes

video


Narasumber: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani , S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

video   materi


Sesi Diskusi

video

Diskusi ke-13 UU Kesehatan Topik Perkembangan Academic Health System (AHS)

Diskusi ke-13 UU Kesehatan

Perkembangan Academic Health System (AHS)

Selasa, 29 Agustus 2023  |   Pukul: 13:30 – 14:30 WIB

Webinar ini membahas perkembangan Academic Health System (AHS) dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Webinar dipandu oleh dr. Srimurni Rarasati, MPH selaku moderator.

Pengantar oleh: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Webinar diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Konsultan PKMK FK-KMK UGM) untuk memantik diskusi tentang penerjemahan sistem kesehatan akademik (Academic Health System) dan keterkaitannya dengan UU Kesehatan. Dalam UU ini, terdapat 2 jalur pendidikan yaitu hospital-based dan university-based. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 ini mengatur bahwa residen berstatus sebagai pekerja sekaligus peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dan berhak mendapatkan bantuan hukum, mendapat waktu istirahat dan mendapat imbalan sesuai pelayanan kesehatan yang dilakukan. Lantas bagaimana pengaruh UU Kesehatan terhadap Academic Health System (AHS) dengan university-based? Apakah amanat UU Kesehatan dapat dilakukan pada AHS termasuk perencanaan kewilayahan? Kedua pertanyaan ini menjadi isu diskusi yang penting.

materi   video

Pembicara Utama dr. Haryo Bismantara, MPH

dr. Haryo Bismantara, MPH (Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM) selaku narasumber membawakan pembahasan mengenai penerjemahan konsep sistem kesehatan akademik dalam pemenuhan dokter spesialis di Indonesia dalam keterkaitannya dengan pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023. Sesi ini membahas 4 topik utama, yaitu masalah kekurangan dokter/dokter spesialis dan transformasi SDM Kesehatan, sistem kesehatan akademik sebagai sarana untuk mewujudkan transformasi SDM kesehatan di Indonesia, penerjemahan konsep AHS untuk pemenuhan dr spesialis di Indonesia, dan AHS pasca UU Nomor 17 Tahun 2023.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kebutuhan dokter spesialis di Indonesia masih tinggi. Dari aspek produksi, per tahunnya terdapat kurang lebih 3000 lulusan dokter spesialis baru dengan kurang lebih 800 tambahan kuota penerimaan dalam 5 tahun terakhir. Meski demikian, meski jumlah terus ditambah namun tanpa mempertimbangkan faktor lain maka tidak akan berhasil karena dapat muncul masalah distribusi, retensi, dan lain sebagainya. Isu transformasi sistem kesehatan ini merupakan isu kompleks yang memiliki karakteristik berkesinambungan dan melibatkan banyak stakeholders. Model AHS memiliki potensi besar untuk mendukung kecepatan dan keberlangsungan upaya transformasi SDM Kesehatan dengan meningkatkan jumlah nakes, mengupayakan pemerataan tenaga kesehatan, meningkatkan mutu tenaga kesehatan, sekaligus mewujudkan transformasi SDM kesehatan yang bernilai tambah melalui efisiensi, kolaborasi yang berkelanjutan, dan kemandirian pemerintah daerah dalam menentukan prioritas tenaga kesehatan yang diperlukan.

Dalam rangka penerjemahan AHS untuk pemenuhan dokter spesiali terdapat beberapa strategi yang digunakan yaitu strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek diharapkan ada peningkatan kuota mahasiswa dokter spesialis, dalam jangka menengah diharapkan ada peningkatan jumlah dosen dan RS pendidikan, sementara dalam jangka panjang diharapkan ada peningkatan jumlah prodi/FK baru. Untuk memonitor ini, Kementerian Kesehatan membagi AHS dalam 6 wilayah yang harapannya akan mewujudkan AHS di masing-masing provinsi sehingga tujuan akhirnya adalah seluruh pemerintah daerah tingkat provinsi dapat mandiri dalam merencanakan kebutuhan, mendidik, mendistribusikan, dan meretensi SDM Kesehatan. Berdasarkan hasil monev, program AHS sudah menunjukkan kebermanfaatannya dan diharapkan lebih ditingkatkan lagi dengan berbagai aturan turunan UU Kesehatan. Aktivitas yang ditawarkan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis terdiri dari 3 stream, yaitu pemenuhan dokter umum dan dokter gigi di puskesmas, pemenuhan dokter spesialis di RS, dan penguatan RS Pendidikan. Secara umum, UU Kesehatan ini memberikan peluang untuk penguatan sistem kesehatan di wilayah yang tercantum pada pasal 173 ayat (1) poin f. Model AHS dapat menjawab pasal 12 UU Kesehatan bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap perlindungan kepada pasien dan SDM Kesehatan serta dalam perencanaan. Meski demikian, terdapat beberapa isu yang perlu pendalaman oleh stakeholders AHS ke depan yaitu keberadaan RS, mekanisme pendidikan dokter spesialis di RS (termasuk uji kompetensi, pemberian sertifikat, dan gelar), hak dan kewajiban peserta didik. Terbitnya UU Kesehatan membuka peluang optimalisasi penyelenggaraan AHS.

materi   video

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, dibahas mengenai keterlibatan RS swasta terstandar RS pendidikan dan bisa menjadi tempat yang ideal untuk penempatan peserta program pendidikan dokter spesialis serta roadmap pemenuhan dan pemerataan dokter spesialis berbasis konsorsium dan AHS. Inisiasi dan maintenance program AHS juga menjadi topik menarik yang didiskusikan.

Sesi Penutup

Diskusi tentang perkembangan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

video

Reporter: dokter Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 29 Agustus 2023
Pukul 13.30 – 14.30 WIB

  Kegiatan

Moderator dr. Srimurni Rarasati, MPH


pengantar diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, Phd

materi   video


Narasumber: dr. Haryo Bismantara, MPH. (Dosen Health Policy and Management dan Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

materi   video


Sesi Diskusi

video


 

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan dalam UU Kesehatan No.17 Tahun 2023

Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan

Kamis, 7 September 2023  |   Pukul: 08:00 – 09:00 WIB

7sep9

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM Kembali menyelenggarakan Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Diskusi tersebut masih merupakan rangkaian dalam Webinar Series Pembahasan UU Kesehatan, kali ini dengan topik diskusi terkait Turunan Undang-Undang dalam Urusan Bencana Kesehatan.

Pemantik diskusi kali ini ialah dr. Alif Indiralarasati, dipandu oleh moderator Madelina Ariani, SKM., MPH, dan dibahas sejumlah narasumber diantaranya. dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD, dr. Bella Donna, M.Kes, Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc, Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Lalu Madahan, SKM, MPH (Dinas Kesehatan NTB), dan Kudiyana, S.KM., M.Sc (Dinas Kesehatan DIY).

Diskusi berjalan cukup lancar, dalam panelnya para pembahas cukup banyak menyoroti tentang Hospital Disaster Plan (HDP) dan standarisasi layanan ambulans dalam aturan turunan nanti. Namun, selain dua hal di atas, aspek lainnya juga diidentifikasi seperti logistik dan pendanaan. Secara lebih lanjut diskusi juga mencermati terkait sinkronisasi lebih lanjut dengan aturan yang bersisihan dengan bencana lainnya, misalnya Permenhan Nomor 39 Tahun 2014 yang membahas HDP. Turunan UU selazimnya dapat lebih memperhatikan terkati kehati-hatian standarisasi nomina dalam urusan teknis.

Diakhir acara disimpulkan bahwa diskusi ke depan terkait UU Kesehatan perlu untuk membahas satu-satu per isu yang disebutkan, dan perlu membahas mapping stakeholder untuk Peraturan Pemerintah.

Reporter: Maryami Yuliana Kosim, S.Kep., Ns., M.Kep., Ph.D (FK-KMK UGM)

  Materi dan Video Kegiatan

Moderator : Madelina Ariani, SKM., MPH.


Pemantik Diskusi: dr. Alif Indiralarasati

video   materi


Pembahas:

dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD

video


Lalu Madahan, S.KM., MPH.  Dinas Kesehatan NTB

video


 dr. Bella Donna, M.Kes

video


Kudiyana, S.KM., M.Sc  Dinas Kesehatan DIY

video


Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid

video


Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc

video


 

 

 

Pengaruh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 terhadap Persoalan One Health

Webinar Series UU Kesehatan

Pengaruh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 terhadap Persoalan One Health

Kamis, 7 September 2023  |   Pukul: 09:00 – 11:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang membahas pengaruh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 terhadap persoalan One Health.

Pengantar oleh Prof. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D mengantar webinar dengan pemaparan mengenai era baru sistem kesehatan dengan adanya UU Kesehatan khususnya terhadap persoalan One Health. One Health di Indonesia masih belum operasional dengan baik di lapangan dimana para pelaku lintas sektor dan lintas level pemerintah belum teridentifikasi dengan baik dan peran sektor swasta belum terkelola. Persoalan One Health sangat terkait dengan penyakit menular yang diatur dalam pasal 91 dan pasal 92 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Meski demikian, pasal-pasal lain yang terkait dengan penyakit menular sangat banyak dibahas dalam UU ini, yaitu dalam hal peran pemerintah pusat, daerah dan swasta; pemerataan pelayanan; perbekalan; teknologi kesehatan; pendanaan kesehatan; dan sebagainya. Keterkaitan antar pasal dalam UU Kesehatan menunjukkan bahwa ini merupakan sebuah reformasi kesehatan yang membuka peluang untuk mereformasi gerakan One Health dengan prinsip Transformasi Kesehatan yang mempunyai landasan hukum UU Kesehatan. Diharapkan kelompok-kelompok masyarakat di One Health menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah. Kelompok ini akan berjalan jangka panjang termasuk meneliti pelaksanaan UU Kesehatan ini dan tim ini dapat menjadi sebuah masyarakat praktisi untuk melaksanakan UU Nomor 17 Tahun 2023 dalam One Health serta melakukan penelitian-penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 di One Health.

Narasumber utama: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

Memasuki sesi pembahasan, Gunawan Wahab menyampaikan materi mengenai pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023 terhadap One Health dari arah ekosistem One Health dan permasalahannya. One Health merupakan pendekatan kolaboratif multisektoral untuk menyusun dan mengimplementasikan program, kebijakan yang bertujuan untuk mencapai kesehatan masyarakat yang optimal dengan mengenali interkonektivitas antara manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan bersama. Sains dan pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa kesehatan lingkungan (termasuk satwa) dan kesehatan manusia sangat berhubungan erat. Contoh masalah yang sedang berlangsung di indonesia yaitu adanya kasus rabies yang terus menerus menjadi ancaman bagi masyarakat indonesia termasuk anak-anak.

Dalam konsep One Health, stakeholders yang berperan ialah lintas sektor. Stakeholders yang berperan dari pemerintahan yaitu kementerian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan; kementerian kesehatan; kementerian pertanian; kementerian lingkungan hidup; pusat pelayanan daerah, BUMN di sektor kesehatan dan pertanian. Sedangkan di bagian swasta yaitu dari IDI; PDHI; veteriner, puskesmas dan puskeswan; perusahaan swasta; perusahaan manufaktur vaksin; perusahaan manufaktur produk makanan hewan; startup kesehatan digital; organisasi non pemerintah (NGO), Lembaga penelitian; shelter. Pemetaan ini menunjukkan One Health merupakan kegiatan multi sektor yang rumit, lintas kementerian dan badan, melibatkan pendanaan pemerintah dan swasta, membutuhkan ilmu multidisiplin, namun belum memiliki ekosistem yang jelas.

Kondisi One Health yang ideal sesuai definisi belum tercapai, bagaimana kemungkinan pengaruh UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023? Terhadap pasal 30, pasal 31 ayat (4) dan (5) serta pasal 89, pemerintah perlu memperkuat kebijakan tentang hewan, seperti kewajiban vaksin, larangan perdagangan dan konsumsi hewan liar dan kewajiban pelaporan kesehatan sebagai tindakan preventif atau pencegahan penyakit menular dari hewan ke manusia (zoonosis) yang termasuk dalam pelayanan kesehatan primer yang merupakan tanggungjawab pemerintah pusat, pemda dan pemerintah desa. Rekomendasi terkait pasal 19 ayat (2) dan (3) dan pasal 24 yaitu menetapkan standarisasi industri hewan terutama veteriner, makanan dan shelter. Penguatan standarisasi terhadap proses beserta alur pelaporan penyakit menular yang ditemukan pada hewan maupun manusia oleh veteriner, dokter manusia maupun tenaga medis kepada pemerintah juga perlu diperhatikan. Selain itu, masih banyak pasal lain yang dapat dipakai untuk memperkuat One Health seperti pasal yang mengatur pemanfaatan teknologi di pasal 25, program edukasi masyarakat pada pasal 14, pasal tentang penelitian, dan lain sebagainya.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D. menekankan pentingnya inklusivitas, penta helix, collaborative leadership dan governance dalam menilik persoalan one health yang saat ini menjadi isu global dengan perhatian internasional yang besar. One Health melibatkan banyak sektor baik di tatanan nasional maupun global sehingga diperlukan mapping untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada terkait dengan UU Kesehatan ini. Upaya di sektor masing-masing untuk menguatkan One Health telah ada namun belum terlihat secara terpadu. Semangat penguatan One Health yang tercantum dalam UU bisa dihadirkan di peraturan turunan untuk menindaklanjuti One Health dan melibatkan multi sektor terkait One Health.

Diskusi tentang pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023 terhadap persoalan One Health ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net  di laman UU Kesehatan.

Materi dan video

Moderator: Madelina Ariani, SKM., MPH


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

video   materi


Pembahas: 

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D

video


Agustina Wijayanti

video


 

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 7 September 2023
Pukul 09:30 – 11:00 WIB

  Kegiatan

 

Moderator: Madelina Ariani, SKM., MPH


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

video   materi


Pembahas: 

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D

video


Agustina Wijayanti

video

Perbekalan Kesehatan, khususnya Alat Kesehatan

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Perbekalan Kesehatan, khususnya Alat Kesehatan

Jumat, 8 September 2023  |   Pukul: 09:30 – 11:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik perbekalan kesehatan, khususnya alat kesehatan. Webinar dipandu oleh dr. Dian K. Nurputra, Ph.D., M.Sc., Sp.A (Staff Dept. IKA FK-KMK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta) selaku moderator.

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar dengan pengantar tentang era baru sistem kesehatan sejak disahkannya UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan alat kesehatan. Saat ini Indonesia masih menghadapi masalah klasik akibat dominansi produksi impor, kurangnya riset dalam negeri, dan belum adanya pemahaman mengenai penggunaan alkes untuk upaya preventif. Ketentuan terkait alat kesehatan dalam UU Kesehatan tercantum dalam BAB IX pasal 332 dan 333 mengenai ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan. Pasal ini melandasi pilar ketahanan industri farmasi dan alkes serta pertama kalinya ketahanan industri obat dan alkes masuk ke dalam undang undang. Selain dua pasal tersebut, terdapat pasal-pasal lain yang juga memiliki keterkaitan dengan alat kesehatan sehingga antar pilar dalam transformasi kesehatan juga saling terkait. Dengan demikian, UU Kesehatan merupakan sebuah reformasi kesehatan yang sejati yang memberikan peluang untuk reformasi industri alkes menggunakan prinsip transformasi kesehatan. Kelompok masyarakat di industri alkes perlu menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU, memberikan masukan ke pemerintah dalam menyusun peraturan turunan, hingga melakukan penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023. Kelompok ini akan menjadi sebuah masyarakat praktisi untuk melaksanakan UU Nomor 17 Tahun 2023 dalam industri alkes.

video   materi

Sesi Pemaparan

Paparan disampaikan oleh apt. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D (Dosen Pengajar Regulasi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Pancasila) yang menyebutkan berbagai isu terkait alkes saat ini, mulai dari akses ketersediaan alkes yang belum merata, mutu yang belum optimal, hingga ketahanan industri yang masih didominasi oleh produk impor dimana kapasitas industri dan kemampuan teknologi Indonesia masih rendah menengah. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan pasal 138 mengenai pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi, alkes dan PKRT dimuat pada ayat (1) (2) dan (3) mengenai produk yang tidak memenuhi standar serta ayat (4) mengenai pengadaan, produksi, dan penyimpanan.

Pasal 140 mengatur sediaan farmasi alkes dan PKRT untuk melindungi masyarakat dari bahaya namun tidak jelas bagaimana cara mengukurnya. Pasal 141 ayat (2) mengatur bahwa penggunaan alat harus dilakukan secara tepat guna. Pasal 142 mengatur standar dan persyaratan, sementara pasal 143 mengenai pemenuhan perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau daerah berdasarkan standar dan peraturan ketentuan perundang-undangan. Dalam BAB VII, pasal 314 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab terhadap ketersediaan dan pemerataan perbekalan kesehatan.

Sementara terkait dengan ketentuan pidana terhadap setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi atau alkes yang tidak memenuhi standar terdapat pada bab XVIII pasal 345. Menilik seluruh pasal-pasal tersebut, isu akses terhadap alkes sudah tercantum dalam UU namun belum secara spesifik diatur mengenai prinsip perencanaan kebutuhan alkes, prioritas atau kriteria esensial untuk sektor publik dan pengendalian harga. Sedangkan terkait isu mutu, belum terdapat kejelasan kepastian hukum terkait regulatori alkes. Sistem jaminan mutu melalui fungsi regulatori perlu ditegakkan.

video   materi

Sesi Pembahasan

Dalam sesi pembahasan, Erwin Hermanto (Ketua I Asosiasi Produsen Alat Kesehatan) menyampaikan bahwa sudah ada penekanan yang cukup dalam riset penelitian dan keterlibatan teknologi dengan semangat utama dalam hal keamanan, khasiat, dan mutu. Harapannya, akan diformulasikan bersama peta jalan pengembangan industri alkes yang menjelaskan mekanisme pengaturan tahapan pengembangan nasional ke kebutuhan alkes beserta standar minimal untuk melakukan pelayanan dengan baik. Selain itu, perlu aturan turunan tentang tata cara intervensi helix untuk memenuhi kebutuhan riset, perumusan TKDN, serta investasi alat kesehatan dalam negeri maupun luar negeri.

video

Dr. Randy H. Teguh, MM (Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Kefarmasian KADIN) menambahkan tanggapan terkait pentingnya koordinasi dan kolaborasi publikasi serta bagaimana mengumpulkan sumber daya peneliti untuk alkes. Di samping itu, aturan turunan nantinya perlu mempertegas peran dan tanggungjawab pemerintah pusat khususnya menunjuk leading sector yang jelas. Perhatian terhadap alkes perlu diperkuat sebab UU ini lebih banyak menyebutkan kefarmasian.

video

Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai isu terkait pengelolaan alat kesehatan mulai dari global benchmarking, investasi dalam dan luar negeri, distribusi, pengendalian harga, hingga masalah maintenance alat kesehatan. Undang-Undang ini menjadi landasan hukum untuk membentuk kembali sistem dan proses di industri alkes sehingga terjadi perbaikan pada setiap tahap pengelolaannya.

Diskusi mengenai era baru perbekalan dan alat kesehatan terkait UU Kesehatan diharapkan tidak berhenti pada webinar ini. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 8 September 2023
Pukul 09:30 – 11:00 WIB

  Kegiatan

Moderator:
dr. Dian K. Nu rputra, Ph.D, M.Sc, Sp.A (Staff Dept. IKA FK-KMK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta)


Pengantar Diskusi:
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber :
apt. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D (Dosen Pengajar Regulasi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Pancasila)

video   materi


Pembahas:

Erwin Hermanto (Ketua I Asosiasi Produsen Alat Kesehatan)

video


dr. Randy H. Teguh, MM (Wakil Ketua Komite Tetap bidang Kefarmasian dan Alkes KADIN)

video

Era Baru Sistem Kesehatan: Kasus Pelayanan Penyakit Tidak Menular (Jantung) pada Kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Era Baru Sistem Kesehatan: Kasus Pelayanan Penyakit Tidak Menular (Jantung) pada Kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 10:30 – 12:00 WIB

14sept9

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-20 membahas pelayanan penyakit jantung sebagai salah satu penyakit tidak menular dalam era baru UU Kesehatan. Webinar dipandu oleh Ardhina Nugraheni, MPH sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dalam pengantarnya menjelaskan tentang bagaimana kaitan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan pelayanan kesehatan jantung. Saat ini, masalah yang dihadapi pelayanan jantung antara lain persebaran fasilitas kesehatan jantung dan dokter ahli jantung yang masih kurang merata serta kenaikan klaim di Jawa dan kota-kota besar yang meningkat tajam. Dengan adanya UU Kesehatan yang baru, apakah pasal-pasal terkait mampu mendorong reformasi di pelayanan jantung? Pasal-pasal pelayanan jantung secara implisit termuat di bab V tentang Upaya Kesehatan: Bagian ke-12 yaitu penanggulangan penyakit menular dan tidak menular; dan berkaitan dengan pilar transformasi pelayanan dari primer sampai tersier. Hal ini berhubungan dengan aspek pembiayaan, SDM, teknologi kesehatan, dan lain-lain. Sehingga, perlu untuk melihat berbagai pasal lainnya dan aturan turunannya.

Dengan UU Kesehatan ini, akan ada era baru pelayanan jantung. Akan ada peluang untuk mereformasi sistem pelayanan kesehatan jantung dengan menggunakan prinsip transformasi kesehatan dengan landasan hukum UU Nomor 17 Tahun 2023. Diharapkan kelompok-kelompok masyarakat terkait misalnya organisasi profesi perhimpunan dokter spesialis Kardiovaskuler Indonesia atau LSM terkait yang bersama sama menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah. Tim akan bekerja bertahun-tahun ke depan termasuk melakukan penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 di Upaya Kesehatan dalam Pelayanan Jantung dan dapat menjadi masyarakat praktisi bersinergi untuk tujuan yang sama.

Pembahasan oleh dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K) (PERKI Nasional)
dan dr. Real Kusumanjaya Marsam, SpJP (K) (PERKI Cabang D.I. Yogyakarta)

Pembahas pertama, dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K), menyampaikan bahwa masalah penyakit jantung masih menempati posisi tertinggi di Indonesia. Masalah maldistribusi dokter spesialis jantung di Indonesia masih terus terjadi. Solusi untuk masalah ini dari sisi pendidikan salah satunya adalah melalui penunjukan beberapa RS pusat pengampu pendidikan oleh Kementerian Kesehatan, bersama dengan kolegium jantung, yang berupaya meningkatkan kapasitas dan meng-upgrade pendidikan dokter spesialis yang saat ini ada 13 centers. Setiap pihak memiliki peran penting di setiap tahapan, dimana kolegium berperan sebagai pengontrol dalam proses pendidikan ini. Terdapat beasiswa untuk pendidikan dokter spesialis jantung ini, antara lain beasiswa dari Kementerian Kesehatan, daerah, dan LPDP yang sudah berjalan. Di sisi lain, primary prevention sudah dipelopori oleh UGM dan terus dikembangkan agar dapat diimplementasikan di seluruh Indonesia.

dr. Real Kusumanjaya Marsam, SpJP (K) sebagai pembahas kedua juga mengangkat masalah persebaran dokter spesialis jantung yang kurang merata, dimana saat ini terdapat 66 dokter spesialis jantung di DIY dengan jumlah penduduk diperkirakan 4 juta pada tahun 2023. Dampaknya, pasien penyakit jantung akan menumpuk dan pelayanan pasien dapat tertunda khususnya pada pasien BPJS. UU Kesehatan menawarkan solusi yang termuat dalam bagian keenam tentang registrasi dan perijinan, khususnya pada paragraph kedua tentang perijinan pada pasal 263-267, dimana SIP diterbitkan oleh pemda yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menetapkan kuota tenaga medis dan tenaga kesehatan tanpa ada ketentuan batasan jumlah tempat praktik. Selain itu, pada kondisi tertentu menteri dapat menerbitkan SIP dan pada kondisi tertentu bisa tanpa SIP. Pasal 267 UU Kesehatan memuat mekanisme surat tugas yang dikeluarkan oleh Menteri untuk kepentingan pemenuhan pelayanan kesehatan. Seluruh ketentuan dalam pasal 263-267 memerlukan aturan turunan yang lebih detail dalam peraturan pemerintah.

UU Kesehatan ini membuka peluang reformasi kesehatan yang dapat dimanfaatkan dengan berpartisipasi aktif dalam mengawal PP serta menjemput bola untuk audiensi ke stakeholder, pemerintah pusat atau pemda sebagai pengambil keputusan. Secara konkrit, direkomendasikan bagi dinas untuk berkoordinasi dengan IDI dan PERKI dalam menetapkan kuota tenaga medis sampai dengan penerbitan SIP. Sementara untuk penanggulangan PTM, perlu perhatian dan dana khusus untuk program prevensi serta perlu mendorong pemerintah pusat dan pemda untuk bekerja bersama dengan OP untuk penanggulangan PTM mulai dari skrining, preventif, sampai dengan rehabilitatif.
Dalam sesi diskusi, gagasan untuk mentransformasi pelayanan jantung dibahas lebih mendalam. Pelayanan jantung selama ini lebih banyak berfokus di sisi kuratif di rumah sakit dengan alat dan pembiayaan yang besar. Diharapkan upaya preventif untuk pelayanan jantung juga memperoleh perhatian dan diperkuat dengan adanya UU Kesehatan ini.

Diskusi tentang pelayanan penyakit jantung sebagai salah satu penyakit tidak menular dalam era baru UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

  Materi dan Video Kegiatan

Moderator: Ardhina Nugraheni, MPH


Narasumber: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Pd.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Pembahas: dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K) (PERKI Nasional)

video


dr. Real Kusumanjaya Marsam, Sp.JP (K) (PERKI Cabang D.I. Yogyakarta)

video


Sesi Diskusi

video


 

 

 

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Jiwa

Diskusi ke-3 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Jiwa

Rabu, 9 Agustus 2023  |   Pukul: 12:30 – 14:00 WIB

Rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mulai berfokus pada topik yang lebih spesifik. Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar yang menitikberatkan pada pembahasan topik Kesehatan Jiwa dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Diskusi ini bertujuan untuk memberikan usulan untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan jiwa serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

9ags1

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Ditinjau dari metafora Health System Control Knobs, reformasi kesehatan yang sejati terjadi jika lebih dari satu knobsdikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi. Di Indonesia, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi Covid-19.Meski demikian, dengan pengalaman Covid-19, Transformasi Sistem Kesehatan dicanangkan sebagai langkah awal percepatan Reformasi Sistem Kesehatan di Indonesia.

Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Dengan masuk ke UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kesehatan jiwa diharapkan dapat dikelola dengan lebih baik termasuk dalam hal pendanaan, SDM Kesehatan, teknologi, obat-obatan, dan berbagai pendukung lainnya yang tercantum dalam UU Omnibus Law (OBL) Kesehatan. Meski demikian, harapan ini bergantung pada kualitas penulisan regulasi turunan UU Kesehatan yang diharapkan dapat lebih aplikatif dan dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat khususnya kesehatan jiwa.

video   materi

9ags2

Pembicara Utama: Diana Setyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog, Direktur Centre for Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM.

Pemaparan diawali dengan definisi kesehatan menurut WHO yang tidak hanya bermakna sehat fisik melainkan juga sehat mental yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas generasi di masa depan. Berbagai upaya kesehatan jiwa di Indonesia saat ini masih mengalami berbagai hambatan dan tantangan, antara lain terkait dengan disparitas upaya kesehatan jiwa di berbagai daerah, keterbatasan akses, fasilitas, tenaga kesehatan jiwa, dan program kesehatan, faktor sosial seperti stigma masyarakat, hingga faktor ekonomi. Disebutkan oleh Diana bahwa Indonesia merupakan negara dengan persentase mental health policy sebesar 25%. Kemudian Diana memaparkan bagaimana kondisi pelayanan keswa pada rezim Undang-Undang No. 18 Tahun 2014. Selama ini, program kesehatan jiwa lebih berfokus pada penanganan dan manajemen ODGJ, sementara kegiatan promosi dan prevensi masih terbatas pada deteksi dini dan belum ada perspektif komprehensif maupun pendekatan sepanjang rentang kehidupan terhadap sistem kesehatan jiwa. Energi dan potensi dinas kesehatan tersita untuk menangani masalah terkait keterbatasan obat, SDM kesehatan jiwa, secara tidak langsung ini mengakibatkan rendahnya literasi dan edukasi dalam kesehatan jiwa. Dengan demikian, perspektif positif yang perlu dibangun adalah menjadikan UU Kesehatan sebagai reformasi sistem kesehatan jiwa.

Secara umum, UU Kesehatan banyak membahas mengenai kesehatan jiwa, tidak hanya dalam Pasal 74-85 secara spesifik, melainkan juga secara integrasi dengan upaya kesehatan lainnya. Undang-Undang Kesehatan telah menggarisbawahi konsep bahwa kesehatan jiwa tidak hanya mengenai absent of mental illness melainkan juga bagaimana seseorang dapat hidup produktif. Dalam UU ini juga disebutkan bahwa upaya kesehatan jiwa harus sepanjang siklus kehidupan manusia, dan bukan hanya untuk ODGJ melainkan untuk seluruh masyarakat. Upaya kesehatan jiwa diatur untuk dilaksanakan di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan, yang mana diharapkan termasuk di sekolah dan tempat kerja.

Indonesia sebelumnya termasuk negara yang memiliki stand-alone mental health policy, meski demikian setelah UU Kesehatan OBL ini diharapkan Indonesia tetap memiliki regulasi turunan terkait kesehatan jiwa yang kuat. Oleh karena itu, diharapkan good mental health system dapat tertuang dalam regulasi turunan UU Kesehatan, antara lain: governance and leadership, financing and payment, facilities and infrastructure, human resources, mentah health services and programs, mental health information systems, serta research, monitoring, and evaluation. Narasumber menyampaikan berbagai rekomendasi terhadap turunan UU Kesehatan terkait upaya kesehatan jiwa, antara lain: penguatan kelembagaan dan pendekatan sistem dan multisector untuk penanganan kesehatan jiwa yang komprehensif; pengembangan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan; menjaga kesehatan jiwa masyarakat dengan strategi edukasi, promosi, dan prevensi lintas disiplin dan lintas sektor; pengembangan standar dan pemenuhan sarana prasarana dan SDM kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan; optimalisasi berbagai skema pembiayaan dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa berkesinambungan; serta pengembangan sistem informasi kesehatan jiwa yang terintegrasi dan peningkatan penelitian dan pengembangan kesehatan jiwa.

video   materi

Sesi Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi terhadap berbagai pertanyaan dan masukan yang disampaikan oleh peserta dari Ikatan Psikolog Klinik Indonesia, puskesmas, dinas kesehatan, dan mahasiswa. Diskusi banyak membahas mengenai hambatan dan tantangan yang selama ini terjadi dalam upaya kesehatan jiwa, terutama terkait dengan keterbatasan tenaga kesehatan jiwa, kompetensi yang harus dimiliki, upaya strategis untuk lebih berfokus pada promotif dan preventif, hingga telemedisin dan telekonsultasi terkait dengan kesehatan jiwa. Dalam diskusi ini digarisbawahi bahwa melalui UU Kesehatan ini, pemerintah daerah dan pemerintah pusat perlu memastikan ketersediaan SDM kesehatan yang tertulis dalam pasal UU Kesehatan adalah termasuk tenaga kesehatan jiwa, salah satunya psikolog klinik. Anda dapat menemukan sesi diskusi pada video berikut

video

Sesi Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa masuknya kesehatan jiwa dalam UU Kesehatan OBL merupakan kesempatan emas yang membuka pintu bagi inovasi-inovasi baru dalam upaya kesehatan jiwa. Namun demikian, tantangan besar saat ini adalah untuk lebih proaktif untuk menyampaikan rekomendasi terhadap regulasi turunan UU Kesehatan yang terkait kesehatan jiwa kepada Kementerian Kesehatan. Diharapkan diskusi tidak berakhir dalam webinar ini melainkan terus dilanjutkan, termasuk di dalam web www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan, sehingga produk regulasi turunan UU dapat menjawab kebutuhan kesehatan jiwa di Indonesia.

video

Reporter: Valentina L Prabandari, Nila Munana

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik Kesehatan Jiwa
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan dan langkah-langkah selanjutnya.
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang,

 

Proses Sertifikasi dan Kredensial Dokter “Umum”

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Proses Sertifikasi dan Kredensial Dokter “Umum”

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 19:30 – 21:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-22 yang membahas proses sertifikasi dan kredensial dokter “umum” pasca disahkannya UU Kesehatan. Webinar ini dipandu oleh dr. Marulam M. Panggabean SpPD-KKV,SpJP sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Webinar dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D yang menjelaskan bahwa terdapat ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa kolegium menjadi organisasi penting yang bekerja sama untuk menguji kompetensi dokter secara nasional. Terkait kolegium, terdapat interpretasi pada pasal 272 ayat (1) pada kata “cabang ilmu” dan perannya untuk menyusun standar. Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat membantu merumuskan masukan mengenai kolegium, proses sertifikasi, dan kredensial dokter kepada pemerintah untuk penyusunan PP sebagai turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

dr. Marulam M. Panggabean SpPD-KKV,SpJP memantik diskusi dengan 3 kata kunci yang perlu dibahas yaitu sertifikat kompetensi, STR, SIP yang menuai banyak keluhan. Bagaimana proses memperbaharui surat kompetensi untuk kemudian memperoleh STR? Jika di luar negeri dokter umum bisa menjadi internship dan langsung menjadi dokter layanan primer atau spesialis, bagaimana di Indonesia?

Pembahasan oleh dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K) selaku narasumber utama menyampaikan presentasi tentang proses sertifikasi kedensial dokter “umum” pasca UU kesehatan. Saat ini di Indonesia mulai bermunculan banyak universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran, namun kualitas pendidikan menjadi sorotan yang perlu diperhatikan, sehingga perlu ada pihak yang memegang tanggungjawab pengawasan kualitas pendidikan. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa mahasiswa yang sudah lulus uji kompetensi akan memperoleh sertifikat kompetensi dan sertifikasi. Kemudian setelah lulus internship, dokter dapat memilih apakah akan melanjutkan pendidikan ke PPDS 1, 2, atau fellow maupun jenjang karir lain.

Proses kredensial (pemberian hak istimewa untuk memberikan pelayanan kesehatan) sebelumnya dilakukan oleh KKI berupa pemberian sertifikat registrasi (Surat Tanda Registrasi/STR). Namun saat ini, dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 260 disebutkan bahwa STR diterbitkan oleh konsil atas nama Menteri dan berlaku seumur hidup. Hal ini diikuti dengan fungsi pengawasan yang diatur dalam Pasal 261. Pengaturan, pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi tenaga medis dan tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan pasal 12 UU Nomor 17 tahun 2023. Mekanisme kontrol ini perlu dijelaskan dalam peraturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023.

Sesi Diskusi

Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK memberikan tanggapan dengan menyampaikan pembahasan mengenai riwayat kolegium untuk dokter umum dan “abuse of power” organisasi profesi yang berpotensi melanggar hukum dan perundang-undangan. Makna pengertian kolegium menurut UU Nomor 17 Tahun 2023 lebih bersifat umum yaitu kumpulan ahli untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan sehingga diperlukan penjelasan yang lebih detail tentang kolegium untuk dokter umum dalam aturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023. dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes) menanggapi dengan menyampaikan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 membawa perubahan besar dimana kolegium saat ini akan berada di bawah negara, bukan lagi di bawah organisasi. dr. Erfen juga menyampaikan bahwa meski STR berlaku seumur hidup, namun untuk ijin praktik berupa SIP masih memerlukan proses P2KB yang dirancang akan langsung di bawah Kementerian Kesehatan. Hal ini berpengaruh sangat besar untuk mengatasi “power abuse” organisasi profesi.

Dalam sesi diskusi dibahas tentang sertifikat kompetensi dokter umum, STR dokter umum, dan kompetensi tambahan dokter umum yang harus dipertimbangkan dengan meletakkan kepentingan publik. Ketentuan-ketentuan terkait hal-hal ini pelu diperjelas dalam aturan turunan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang mana memerlukan peran aktif, tidak hanya Kementerian Kesehatan namun juga Dikti/Kemendikbudristek.

Diskusi tentang proses sertifikasi dan kredensial dokter “umum” pasca disahkannya UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait proses sertifikasi dan kredensial dokter. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Materi dan Video

Moderator: dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP


Pengantar Diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

Video


Pembicara: dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

video   materi


Pembahas: Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK

video


Pembahas: dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH(Kes)

video


Sesi Diskusi dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP

video 

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 14 September 2023
Pukul 19:30 – 21:00 WIB

  Kegiatan

Moderator: dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP


Pengantar Diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

Video


Pembicara: dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

video   materi


Pembahas: Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK

video


Pembahas: dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH(Kes)

video


Sesi Diskusi dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP

video 

Diskusi ke-4 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan

Diskusi ke-4 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan

Kamis, 10 Agustus 2023  |   Pukul: 12:30 – 14:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar yang UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan. Sesi ini akan dimoderatori oleh dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo. Melalui diskusi ini diharapkan dapat muncul rekomendasi-rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan serta memberikan gambaran mengenai penggunaan websitetentang UU Kesehatan.

10ags5

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. mengenai UU Kesehatan dan kaitannya dengan reformasi Kesehatan di Indonesia

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar dari reformasi kesehatan di Indonesia. Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Ditinjau dari metafora Health System Control Knobs, reformasi kesehatan yang sejati terjadi jika lebih dari satu knobs dikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi yang dimulai dengan mengidentifikasi masalah, mendiagnosa masalah, membentuk rencana, mendapatkan persetujuan politik, kemudian dilaksanakan dengan diikuti langkah-langkah monitoring dan evaluasi. Secara historis, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh di Indonesia yang mengelola berbagai control knobs secara bersamaan sebelum pandemi Covid-19. Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law ini merupakan dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan yang merupakan sebagai langkah awal percepatan Reformasi Sistem Kesehatan di Indonesia. Undang-Undang Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi, salah satunya terkait dengan Sistem Informasi dan Teknologi Kesehatan. Meski demikian, pertanyaan-pertanyaan berikut perlu didiskusikan sehingga muncul rekomendasi kebijakan terhadap peraturan turunan UU Kesehatan: apakah IT ada di semua pasal? Apa kesimpulan yang dapat ditarik? Bagaimana agar bisa efektif?

Video   materi

10ags6

Pembicara Utama: Anis Fuad, S.Ked., DEA., Peneliti dan Kepala Divisi e-Health PKMK FK-KMK UGM

Sesi pembahasan disampaikan oleh pembicara utama yaitu Anis Fuad, S.Ked., DEA (Peneliti PKMK Bidang e-Health). UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 memuat 20 Bab mulai dari Ketentuan Umum hingga Ketentuan Penutup. Sistem Informasi dan Teknologi Kesehatan secara spesifik dibahas dalam Bab X dan XI. Tetapi jika dipelajari, komponen sistem informasi dapat ditemukan dalam Ketentuan Umum, Tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Upaya Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Sumber Daya Manusia Kesehatan, Perbekalan Kesehatan, Kejadian Luar Biasa, Pendanaan Kesehatan. Namun mengapa tidak semua komponen bagian itu memuat sistem informasi dan teknologi kesehatan? Jika mengacu pada 10 Essential Public Health Services, sistem informasi dan teknologi kesehatan semestinya terkait erat dengan seluruh layanan mulai dari proses assessment, policy development, hingga assurance. Di samping itu, mengacu pada Data Use Partnership: Theory of Change, dalam mendukung siklus pemanfaatan data diperlukan komponen-komponen berikut: strategy and investment, standards and interoperability, infrastructure, workforce, legislation, policy, and compliance, services and applications, serta leadership and governance. Sebagian besar komponen ini termuat dalam Bab XI UU Kesehatan dan sebagian lainnya mungkin termuat dalam Bab-Bab lainnya.

Sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 termuat sebagai salah satu komponen dari sumber daya kesehatan, sehingga aturan-aturan yang berkaitan dengan sumber daya kesehatan mestinya juga berkaitan dengan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) jika tidak ada pengecualian. Beberapa substansi SIK dalam UU Kesehatan berkaitan dengan 6 komponen besar, yaitu: tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah; penyelenggaraan kesehatan; upaya kesehatan; fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas dan RS); SDM Kesehatan dalam hal peraturan pendukung bagi tenaga kesehatan yang terkait dengan digitalisasi; dan SDM Kesehatan dalam hal yang spesifik pada aspek perencanaan, pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kerja, serta penyelenggaraan praktik. Substansi sistem informasi kesehatan diatur sebagai salah satu bagian di UU Kesehatan pasal 345-351 yang memuat prinsip fundamental dalam penyelenggaraan SIK. Sementara, substansi teknologi kesehatan diatur sebagai salah satu bagian di UU Kesehatan pasal 334-344. Kesemuanya ini memerlukan regulasi turunan.

Substansi UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 yang berkaitan dengan SIK dan Teknologi Kesehatan terdiri dari 3 topik besar: (1) pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan serta precision medicine; (2) penguatan sistem informasi kesehatan, termasuk kewenangan pemerintah dalam memanfaatkan data kesehatan melalui integrasi berbagai sistem informasi kesehatan ke dalam Sistem Informasi Kesehatan Nasional; dan (3) penguatan pendanaan kesehatan terkait penyelenggaraan sistem informasi pendanaan kesehatan dan menjamin pelayanan kesehatan yang berkeadilan. Sehingga, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan JKN juga semestinya akan diperkuat dengan sistem informasi.

Terdapat suatu kemajuan yang luar biasa pada Undang-Undang Kesehatan, dimana UU Kesehatan menempatkan terminologi khusus yaitu telemedisin yang dibedakan dari telekesehatan. Hal ini perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan turunan UU Kesehatan, bagaimana penyelenggaraan telekesehatan maupun telemedisin, dan bagaimana peraturan tersebut dapat mengelaborasi komponen-komponen yang sebelumnya tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/4829/2021 Tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2020. Muatan dalam Bab X tentang Teknologi Kesehatan sangat canggih dan detail dari sisi kemajuan teknologi. Akan tetapi terkait dengan isu pemanfaatan teknologi kesehatan, ketentuan mengenai pemeliharaan, kalibrasi, dan upaya menjaga kualitas teknologi yang telah masuk ke fasilitas pelayanan kesehatan perlu diperkuat dalam peraturan turunan UU Kesehatan.

Isu menarik lainnya adalah terkait dengan Sumber Daya Manusia Kesehatan dalam pasal 197 yang terdiri dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan tenaga pendukung kesehatan. Dalam Pasal 199, untuk tenaga kesehatan telah mencakup tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, bahkan termasuk tenaga kesehatan tradisional. Namun, tenaga IT maupun data scientist tidak muncul pada pasal ini. Pasal 200 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga pendukung kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, hal ini perlu dikawal dengan kuat sehingga tenaga IT dapat memperoleh tempat di sektor kesehatan.

video   materi

10ags7

Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang banyak membahas mengenai tantangan terkait pengelolaan tenaga sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan, baik dalam hal rekrutmen maupun capacity building, yang mana terkait pula dengan sumber daya finansial yang memadai. Terlebih, target lulusan IT cenderung lebih mengarah pada sektor swasta maupun konsultan IT dibandingkan pada sektor pemerintah. Isu tenaga IT ini merupakan isu lintas sektor sehingga pembahasan ini memerlukan pembahasan lintas kementerian sehingga secara regulasi dapat difasilitasi. Meski demikian, sektor kesehatan sendiri sebaiknya telah memiliki kerangka konsep yang jelas mengenai tenaga sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan yang dituangkan dalam peraturan turunan Undang-Undang Kesehatan ini. Anda dapat menemukan sesi diskusi pada link video berikut

video

Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa saat ini memang merupakan sebuah awal dari suatu pengembangan. Oleh karena itu, diharapkan teman-teman pakar IT fokus dalam membantu pemerintah untuk penyusunan peraturan turunan UU Kesehatan ini. PKMK berupaya memfasilitasi hal ini melalui website UU kesehatan www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan ini sehingga produk regulasi turunan UU dapat menjawab berbagai tantangan Sistem Informasi dan Teknologi Kesehatan di Indonesia.

Reporter:
dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM. & Nila Munana, S.HG., MHPM.

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik Sistem Informatika dan Teknologi Kesehatan.
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang