Hari ke IV The 14th World Congress on Public Health

14feb15

Tiga delegasi PKMK (Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan) FK UGM hanya mengikuti sesi plenary pada hari ke-4 konferensi dengan topik “Global Public Health Challenges” di ruang grand theatre. Ruang ini merupakan ruang terbesar diantara ruang lainya tempat sesi concurent, thematic, poster dan presentasi oral berlangsung. Berikut reportase plenary 4 yang diliput oleh dr. Tiara Marthias, MPH.

Co-Chair: Ulrich Laaser, WFPHA Past President (2012-2014)

Speakers:

  • Ilona Kickbush, Professor; Global Health Programme at the Graduate Institute of International and Development Studies Switzerland
  • Vesna Bjegovic, Professor of Public Health & President of Association of Schools of Public Health in the European Region (ASPHER), Belgrade University, Serbia
  • Frederika Meijer, Country Representative, United Nations Population Fund (UNFPA)
  • Tewabech Bishaw, Managing Director, Alliance for Brain-Gain & Innovative Developmetn; and Secreatry General, African Federation of Public Health Assocation, Ethiopia

14feb15

Sesi ini memberikan sejumlah pemaparan mengenai berbagai tantangan komunitas kesehatan masyarakat di level global dan juga negara atau kawasan di dunia. Sesi ini juga bertujuan untuk memaparkan berbagai perspektif seputar solusi-solusi yang dapat dikembangkan untuk menjawab tantangan di era pasca 2015 (atau berakhirnya era MDG).

Beberapa tantangan utama yang masih ada termasuk masih tingginya angka kematian ibu dan anak di berbagai belahan dunia. Meskipun secara global AKI telah dapat ditekan hingga separuh dari angka pada tahun 1990, perkembangan kesehatan ibu dan anak dinilai belum optimal. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, diperkirakan tidak akan dapat mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam MDG 2015. Selain permasalah tersebut, penyakit tidak menular telah menunjukkan beban yang semakin meningkat, baik untuk negara maju maupun berkembang. Tantangan utama yang ketiga adalah keterbatasan dana kesehatan, yang merupakan masalah klasik yang terus-menerus dihadapi oleh berbagai negara.

Salah satu pembicara mengemukakan beberapa problema global yang saat ini ada dan perlu menjadi pertimbangan utama seluruh penduduk dunia karena masalah ini mempengaruhi seluruh negara dan juga lingkungan hidup. Masalah-masalah tersebut antara lain:

  1. Global warming, dimana berbagai bencana alam seperti bajir dan juga kekeringan melanda berbagai negara di belahan bumi
  2. Global divides, yaitu semakin senjangnya status kesejahteraan dilihat dari masih belum tuntasnya masalah kelaparan dan kemiskinan
  3. Global security, masalah keamanan dunia ditunjukkan dengan begitu banyaknya tragedi perang saudara dan juga terorisme
  4. Global instability, dilihat dari sejumlah krisis finansial yang melanda negara-negara di dunia. Krisis ini tentu saja telah mempengaruhi banyak negara lainnya secara tidak langsung.
  5. Global health, dimana kesehatan belummenjadi salah satu hak asasi yang utama

Beberapa permasalahan menarik yang diangkat dalam sesi ini adalah masih buruknya sistem tata kelola atau governance di bidang kesehatan. Hal ini diilustrasikan dengan contoh pinjaman asing untuk kesehatan. Begitu banyak pinjaman dari pihak asing (misalnya World Bank) yang diberikan dengan asumsi negara-negara tersebut akan mampu membiayai kelanjutan program yang diimplementasikan. Padahal, menurut co-chair sesi ini yaitu Ulrich Laaser, pinjaman semacam ini cenderung memberikan kesan bahwa dana tersedia tetapi tidak memberikan kesiapan suatu negara dalam membiayai program tersebut secara mandiri. Sisi negatif lainnya untuk pinjaman asing ini adalah adanya asumsi bahwa setelah 2-3 tahun implementasi proyek pilot, program tersebut harus dan akan bisa dibiayai oleh negara. Faktanya, bukti keberhasilan program tersebut belum tentu positif dan bermanfaat bagi negara tersebut. Sebagai tambahan, pinjaman tersebut merupakan investasi negara (karena harus dibayar di kemudian hari), yang belum tentu terbukti cost-effective.

Hal-hal positif yang telah berhasil dilakukan di level global untuk bidang kesehatan antara lain adalah:

  1. Adanya sejumlah kesepakatan global mengenai visi kesehatan masyarakat, misalnya melalui MDG
  2. Telah adanya sistem akreditasi NGO, sehingga tidak sembarang NGO dapat mengerjakan proyek dan juga untuk menjaga kualitas program
  3. Konsep One Health yang mulai dikembangkan dan diadopsi oleh banyak negara
  4. Telah maraknya SWAp atau Sector-wide approaches dalam mengimplementasikan solusi di bidang kesehatan masyarakat

Beberapa pesan penting yang perlu menjadi catatan dan dibawa pulang dari sesi ini adalah:

  1. Agenda paska 2015 harus mengutamakan perbaikan sistem pembiayaan kesehatan, baik di level negara maupun global antar lembaga donor dan negara pemberi pinjaman
  2. Solusi yang ditawarkan untuk paska 2015 seharusnya tidak lagi terbatas pada solusi teknis atau programatik di bidang kesehatan masyarakat, tetapi lebih mengedepankan perbaikan sistem pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat yang memiliki visi perbaikan status kesehatan bagi semua
  3. Investasi yang “pintar” adalah investasi yang memprioritaskan manusia–bukan program atau negara, atau lainnya–dan mengutamakan populasi yang rentan di bidang kesehatan. Investasi semacam inilah yang akan dapat mulai menjembatani jurang disparitas kesehatan untuk mengangkat status kesehatan seluruh populasi di dunia.

14feb15-1Setelah tiga delegasi PKMK mengikuti plenary, kami membagi policy brief dan pengalaman PKMK dalam menangani bencana dan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Memasuki sesi makan siang, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke exhibition Hangar tempat pameran poster berlangsung, disini terdapat banyak stan –stan menarik seperti Jhon Snow Inc, Taiwan helath promotion, WHO, atlas healthcare software dan lainya.

Konferensi ini juga menyediakan fasilitas untuk berkeliling Kolkata, tiga delegasi PKMK dan dua dari Indonesia lainya mengikuti tour. Kami diajak mengunjungi sungai Gangga. Delegasi Indonesia tidak kaget melihat kondisi sungai Gangga karena fenomena ini ibarat melihat sungai Ciliwung yang berada di Jakarta. Sungai ini digunakan sebagai media transportasi dan bahkan banyak masyarakat yang menggunakan air sungai Gangga untuk mandi. Fenomena lain yang juga menarik dari Kolkata, hampir setiap jalan yang kita lalui, di tepinya selalu ada aliran air sungai Gangga yang digunakan masyarakat kolkata mandi dan mencuci di pinggir jalan.

Reporter: dr. Bella Donna dan Eva Tirtabayu Hasri

 

Hari ke II The 14th World Congress on Public Health

kolkota7

Reporter: dr. Bella Donna, M. Kes; dr. Tiara Marthias, MPH dan Eva Tirtabayu, MPH

Setelah mengikuti pre-kongres sehari sebelumnya, maka tiga delegasi PKMK mengikuti Kongres kesehatan masyarakat yang dimulai hari ini, 12 Februari 2015 di Kolkata.

kolkota7

Kolkata adalah ibu kota dari Bengal Barat dan merupakan kota terbesar di India setelah New Delhi. Kota ini cukup membuat kami selalu terkejut dengan suara klakson mobil maupun motor dari setiap kendaraan yang ada di jalanan. Mereka selalu membunyikan klakson setiap kali jalan, dan yang menarik adalah bahwa setiap kali tiba di perempatan lampu merah maka akan mematikan mesin dan mulai menyalakannya kembali saat lampu menyala hijau.

Pengalaman pertama bagi delegasi PKMK untuk menginjakkan kaki di Kolkata. Infrastruktur, sanitasi dan budaya Kolkata membuat kami bangga menjadi anak Indonesia. Potret kehidupan masyarakat Kolkata menjadi tantangan bagi ahli kesehatan masyarakat. Mungkin ini sebabnya konferensi diselenggarakan di sini.

Kegiatan kongres diselengggarakan di Science City Kolkata, melihat tempatnya maka kami teringat Taman Pintar Yogyakarta, namun bangunan tempat pelaksanaan plennary berlangsung cukup luas dengan ruangan berbentuk teater dan bisa menampung sekitar 2.200 orang. Sementara kegiatan lainnya seperti presentasi oral disiapkan di belakang gedung grand theatre dengan bangunan yang dibangun khusus untuk kongres kesehatan masyarakat yang ke-14.

Berikut laporan dari kongres yang kami ikuti:

Defining the Role of Public Health in Today’s Global Setting

Co-Chairs: Bettina Borisch, Head of WFPHA Geneva Secretariate Dipika Sur, Secretary General, IPHA

Speakers:

  • Reuben Samuel, Representative to India, WHO
  • Eduardo Campos, FIOCRUZ (Brazil)
  • Pekka Puska, President of International Association of National Public Health Institutions (IANPHI)
  • Rudger Krech, Director of Department of Ethics, Equity, Trade & Human Rights, WHO

kolkota2Sesi ini bertujuan untuk memaparkan sejumlah reformasi di bidang kesehatan masyarakat, dengan mengangkat hasil-hasil pembelajarandari sejumlah negara dan kawasan.

Pembicara dari Finlandia memaparkan langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah dan profesional kesehatan masyarakat dalam bidang promosi kesehatan, terutama dalam menjawab tantangan beban penyakit degenatif atau non-communicable disease. Salah satu hasil nyata adalah berhasilnya program pengurangan kadar lemak dalam susu. Upaya ini tidak terlepas dari faktor-faktor kunci dalam mempromosikan perubahan dalam sistem kesehatan, di mana semua faktor saling mempengaruhi:

13feb15

Berdasarkan pengalaman di Finlandia dan dari suksesnya beberapa program promosi kesehatan, instrumen utama yang dibutuhkan adalah adanya dukungan dari kebijakan dan institusi pemerintahan terhadap program tersebut.

Pembicara dari FIOCRUZ/Brazil dalam paparannya yang berjudul “Public health needs to be both technical and political – Brazil experience in sharing health equity agenda” mempresentasikan situasi Brazil yang masih menghadapi sejumlah masalah kesenjangan dalam kesehatan. Namun, satu hal yang sudah didesain dengan baik di Brazil adalah adanya platform kebijakan yang menekankan equity dalam kesehatan. Misalnya, dalam konstitusi Brazil tahun 1988, keadilan kesehatan atau equity in health telah dituangkan dalam setidaknya lima pasal mengenai kesehatan. Konstitusi ini juga telah memberikan dasar hukum untuk implementasi universal health coverage, dengan penekanan pada kualitas dan kesetaraan untuk seluruh masyarakat Brazil.

Brazil, dalam gerakan yang menjadi bagian dari inisiatif health in all policies, berhasil menelurkan sejumlah program kunci (tidak hanya di bidang kesehatan, tetapi menjangkau lintas sektor), terutama setelah dibentuknya komisi untuk determinan sosial kesehatan melalui surat keputusan presiden;

  • Conditional cash transfer – berhasil mengangkat 30 juta populasi dari status kemiskinan
  • Sektor pendidikan – dengan menyediakan pendidikan gratis hingga universitas
  • Pembangungan perumahan skala besar
  • Penyediaan akses universal ke sumber air bersih, listrik, dan sanitasi
  • Pusat-pusat kebugaran di level masyarakat

kolkota1Saat ini, meski tantangan kesehatan masih ada, Brazil telah berhasil menempatkan sistem rujukan berjenjang di seluruh kawasan negara tersebut, dan merupakan negara ke-2 terbesar setelah Amerika Serikat yang menyediakan layanan transplantasi organ yang dibiayai oleh negara, serta memiliki sistem transportasi untuk gawat darurat kesehatan secara universal.

Kunci pembelajaran dari Brazil yang dapat dipetik adalah reformasi di bidang kesehatan dapat berhasil bukan karena masalah teknis atau sekedar berhasilnya program-program kesehatan, tetapi dengan menjangkau sektor-sektor di luar bidang kesehatan dengan cara menyatukan kebijakan-kebijakan agar perbaikan kesehatan dianggap sebagai salah satu tujuan utama yang mendukung perbaikan bangsa.

Pemaparan dari WHO Brazil menunjukkan beberapa tantangan kesehatan di India, termasuk tingginya angka kematian ibu dan prevalensi gizi buruk pada anak. Meskipun terdapat beberapa perbaikan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, masalah kesenjangan kesehatan di India masih sangat besar. Misalnya, tingginya pembayaran out of pocket payment (OOP) yang mencapai 40% serta banyaknya rakyat India yang jatuh ke dalam satus miskin akibat pengeluaran kesehatan (catastrophic expenditure). Faktor kunci yang berperan adalah determinan sosial, dimana kesenjangan ini banyak dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan dan pendidikan masyarakat yang timpang.

Langkah kebijakan yang dianggap penting untuk India adalah tindakan-tindakan yang menggabungkan pendekatan upstream dengan downstream, termasuk mengatasi masalah determinan sosial untuk kesehatan, memastikan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin equity, serta inklusi masyarakat ke dalam program-program kesehatan.

Rudger Krech dari WHO memberikan presentasi menarik tentang bagaimana agenda kesehatan telah menjadi agenda politik. Misalnya dalam pertemuan pimpinan negara G-7 di Jerman pada 2014, tiga dari enam agenda adalah masalah kesehatan. Sementara tiga agenda lainnya juga berhubungan dengan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah isu pemberdayaan perempuan.

Agenda kesehatan menjadi agenda politik karena beberapa hal, terutama di era globalisasi saat ini;

  • Kesehatan mempengaruhi sistem finansial. Di era globalisasi ini, keruntuhan ekonomi di satu negara akan (dan tidak dapat dihindari) mempengaruhi perbankan dan sistem keuangan negara-negara lainnya.
  • Kesehatan telah menjadi isu keamanan, hal ini dapat dilihat dari isu Ebola di Afrika sejak tahun lalu, di mana penyakit tidak mengenal perbatasan ataupun zona wilayah negara.
  • Kesehatan selalu merupakan masalah sosial yang mempengaruhi masyarakat di tingkat global.

Kepentingan politik ini juga telah membuahkan sejumlah inisiatif kesehatan global yang didukung oleh berbagai negara. Banyak sekali organisasi kesehatan global yang didanai oleh pemeirntah, berbagai peneltiian dan proyek kesehatan yang didukung oleh berbagai negara, hingga kolaborasi internasional yang saat ini sangat banyak dan berkembang pesat.

Namun, dari tragedi krisis Ebola yang terjadi akhir-akhir ini di kawasan Afrika Barat, nyata sekali bahwa sistem kesehatan masyarakat global belum dapat berfungsi sama sekali dalam mengatasi bencara semacam Ebola. Kegagalan ini terjadi di dua level:

  1. Di dalam negeri yang mengalami wabah Ebola, di mana tidak ada sistem kesehatan yang berfungsi sehingga kontrol wabah tidak berjalan dengan semestinya. Para pekerja kesehatan tidak didukung oleh pemerintah, baik dari segi alokasi pendanaan maupun regulasi yang mendukung sistem itu sendiri.
  2. Kegagalan kedua adalah di level global, yang lebih banyak dibahas dalam sesi ini. Komunitas kesehatan global ternyata tidak memiliki sistem koordinasi yang berfungsi. Hal ini dapat dilihat dari begitu lambatnya respon global terhadap wabah Ebola, yang menyebabkan kematian ribuan masyarakat dan ratusan pekerja kesehatan di berbagai negara. Komunitas kesehatan global juga mengalami kegagalan dalam memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan, yang juga disebabkan oleh begitu terbatasnya koordinasi antar insitusi dan negara-negara di bidang kesehatan global.

Hasil diskusi sesi ini menggarisbawahi beberapa hal penting, yaitu:

  • Komunitas kesehatan global harus menghentikan kebiasaan eksklusivitas yang telah membatasi hubungan dunia kesehatan dengan bidang lainnya.
  • Tanpa perubahan yang nyata, sistem kesehatan global saat ini tidaklah berfungsi sebagaimana mestinya. Upaya harus dilakukan ke arah yang sama dan didukung oleh berbagai pihak, misalnya dengan mengkoordinasikan institusi dan berbagai negara untuk satu tujuan kesehatan global.
  • Perubahan sistem ini perlu dimulai dari perubahan dalam sistem pendidikan public health yang perlu lebih inklusif terhadap lintas sektor lainnya

kolkota3

Public Health Services in India – Progress and Prospects ‐ Ministry of Health & Family Welfare, Government of India

Ministry of Health, India:

  • Sanjeev Kumar
  • Manoj Jhalani
  • PK Sen
  • P Khasnobis

kolkota4

Sesi ini memaparkan sejumlah program kesehatan yang telah dijalankan di India, serta tantangan dan pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman di India.

India merupakan negara dengan populasi terbesar kedua di dunia, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,2 milyar. India juga menghadapi berbagai tantangan kesehatan, misal Angka Kesehatan Ibu (AKI) di level 240 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 28 per 1.000 kelahiran hidup. Masalah penyakit menular serta tidak menular juga merupakan tantangan besar. Selain itu, disparitas status kesehatan di India cukup menyolok, dengan AKI yang mencapai dua kali lipat di beberapa daerah di India serta kesenjangan antar perkotaan dan pedesaan yang tinggi.

Sejumlah tantangan ini berhubungan dengan sistem kesehatan yang lebih luas, termasuk:

  • Terbatasnya alokasi dana untuk kesehatan, baik dari level pemerintahan union maupun state
  • Terbatasnya ketersediaan layanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan continuum of care
  • Kualitas layanan kesehatna yang bervariasi antar level layanan dan daerah
  • Kurangnya sumber daya manusia untuk kesehatan
  • Keterbatasan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program kesehatan
  • Kurang terkoordinasinya program-program kesehatan yang bersifat vertikal. Hal ini terutama relevan dengan Indonesia yang sama-sama memiliki sistem pemerintahan yang terdesentralisasi seperti India.

Beberapa pembelajaran dari India yang dipaparkan dalam sesi ini adalah:

  • Keberhasilan program imunisasi universal
  • Diwajibkannya pembangunan fasilitas kesehatan khusus ibu dan anak di seluruh negara bagian di India
  • Inisiatif surveilans penyakit (saat terjadi wabah penyakit di India untuk kasus Japanese enchepalopathy) dan penanganan yang telah melibatkan tidak hanya kementerian kesehatan tapi ditanggulangi bersama-sama dengan kementerian lainnya. Selama ini, koordinasi antar kementerian masih terbatas. Namun, dengan adanya wabah ini yang diikuti oleh leadership yang serius, maka koordinasi lintas sektor dapat tercapai.

Community Health Workers: A critical resources in last mile delivery and improved health and nutrition-Bill & Melinda Gates Foundation

Speakers:

  • Shamid Trehan, Chief of Party, Bihar Technical Support Unit
  • C. Haworth
  • A Mukherjee

Sesi ini memaparkan berbagai penelitian dengan bantuan dari Bill & Melinda Gates Foundation. Bill & Melinda Gates mulai membantu India tahun 2003. Fokus bantuan meliputi empat sektor yaitu health, sanitation, financial services, dan agricultural development.

Ketiga pembicara memaparkan lesson learn yang telah dilakukan di Bihar untuk mengatasi masalah kesehatan, nutrisi, dan sanitasi. Kegiatan ini dikenal dengan communit health workers (CHWs).

Atmosfer budaya kesehatan masyarakat Bihar sama halnya dengan negara rural lainnya. Banyak ibu hamil yang tidak mau periksa kandungan ke fasilitas kesehatan, sanitasi juga tidak baik sehingga mereka bertiga membuat komunitas yang dikenal dengan ASHA. ASHA adalah kumpulan perempuan India yang bertugas untuk membrikan edukasi dan sosialisasi kepada ibu hamil hamil dan keluarganya.

Tiga pembicara pada sesi thematic session 2 memberikan Edukasi dan informasi melalui media mobile phone yang dikenal dengan mobile academic dan mobile kunjhi. Mobile academic adalah semacam pelatihan yang diberikan ke group ASHA melaui telpon sehingga mereka akan mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti sebagai trainer. Mobile kunjhi hampir sama dengan dengan mobile academic, mobile kunjhi berupa kartu-kartu yang berisi gambar, tulisan, nomor telpon dokter, emergency call, rumah sakit, primary care yang bisa dihubungi. ASHA memiliki rekaman suara dokter yang menerangkan tentang kenyamanan melahirkan di faslitas kesehatan maupun ditenaga kesehatan. Kegiatan ini ternyata meningkatkan kesehatan, nutrisi, dan sanitasi bagi ibu hamil maupun ibu yang memiliki anak di Bihar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa India mempunyai sanitasi yang tidak adekuat, hal ini terbukti dari 200.000 kematian pada anak-anak setiap tahunnya.

Public Health in the Sustainable Development Agenda

Co-Chairs:

  • Mengistu Asnake, WFPHA President
  • Madhumita Dobe, Organizing Secretary, 14th WCPH, IPHA

Speaker:

  • Maria P. Neira, Direcor of the Department of Public Health, Environment and Social Determinants of Health, WHO
  • Girindre Beeharry, Country Head of Bill & Melinda Gates Foundation
  • Purnima Mane, President and CEO of Pathfinder International
  • Shiriki Kumanyika, President of APHA

kolkota6

Sesi ini mengalami sedikit perubahan, di mana Dr. Michael Marmot belum dapat hadir di konferensi ini. Michael Marmot akan memberikan paparan pada esok hari (Jum’at, 13 Februari 2015) dan saat ini digantikan oleh Maria Neira yang juga merupakan ahli di bidang social determinants of health dari WHO.

Sesi plenari kedua ini bertujuan untuk membahas bagaimana posisi public health di era global seharusnya, framework yang dapat digunakan, serta bagaimana komunitas kesehatan global perlu saling bekerja sama di era pasca MDG yang akan segera dimulai pada tahun 2015.

Sejumlah paparan mengenai visi dan misi berbagai organisasi disampaikan, seperti misalnya APHA (American Public Health Association) yang saat ini mulai fokus ke isu-isu seputar kesehatan lingkungan dan One Health. Beberapa aspek penting yang disimpulkan dari sesi ini adalah:

  • Setiap organisasi memiliki visi dan misi masing-masing, tetapi agenda kesehatan global tetap menjadi target utama
  • Organisasi-organisasi dapat menjadi kuat karena memiliki dasar yang jelas mengenai: (1) apa yang akan dilakukan dalam jangka panjang, menengah, pendek, (2) siapa saja target audience kegiatan organisasi ini, serta (3) bagaimana caranya untuk mencapai agenda organisasi atau apa saja tool yang tersedia dan dimiliki oleh organisasi tersebut dalam melakukan kegiatannya
  • Organisasi seharusnya tidak berdiri sendiri dan bersifat eksklusif, tetapi justru mengedepankan agenda kesehatan dan komunitas di level global karena kita semua adalah pemain utama dan rekanan dalam mencapai status kesehatan global yang optimal.

 kolkota5

Pre conference: A Framework of Global Health Functions (GPHF) and Competencies

14wcph-1
 Hari I Hari II  Hari III  Hari IV  Hari V 

Oleh: dr. Bella Donna, M. Kes

14wcph-1

Pada konferensi ini penulis berkesempatan untuk mengikuti satu sesi dengan topik A Framework of Global Health Functions (GPHF) and Competencies yang digelar pada Rabu (11/2/2015) di Kolkata, India. Sesi ini menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka di bidang kesehatan masyarakat, yaitu:

  1. Prof. Vesna Bjegovic-Mikanovic, ASPHER
  2. Prof Karl Ekdahl, ECDC
  3. Prof. Anders Foldspang, ASPHER
  4. Prof Ulrich Laaser, WFPHA
  5. Dr Dennis Lennaway, CDC
  6. Dr Ehud Miron, Israel
  7. Dr Joanna Nurse, Inggris Raya
  8. Prof. Pekka Puska, Finlandia
  9. Dr. Priscilla Robinson, Australia
  10. Prof. Louise Stjernberg, Swedia
  11. Prof Heather Yeatman, Australia

Dr. Joana memaparkan isu tentang A Global Framework for Public Health Services and Functions. Ada tiga dasar pemikiran kerangka kesehatan global yaitu Changing Public Health Challenges and risks, Demand and costs for health systems are projected to continue increasing, dan Potential to benefit low income as well as middle and high income countries. Berdasarkan tiga alasan tersebut The World Federation of Public Health Associations diminta oleh WHO untuk menjawab semua tantangan dan ancaman kesehatan masyarakat global.

Materi Dr. Joana

World Federation of Public Health Association (WFPHA) mulai mengindentifikasi angka kematian dari tahun 1990-2010, faktanya ada pergeseran pola penyakit, dari comunnicable disease menjadi non-communicable disease. Dr. Joana mengungkapkan permasalahan kesehatan masyarakat mulai dari NCD mengancam pencapaian MDGs pasca 2015, Kesenjangan dana yang signifikan untuk mencapai UHC di negara berpenghasilan rendah, kasus Ebola, dan lain-lain. Untuk menjawab tantangan dan ancaman kesehatan masyarakat global WFPHA berdiskusi dengan beberapa organisasi kesehatan didunia diantaranya WHO, UNICEF, World Bank, American Association of Public Health, dan pada konferensi USA, Eropa. Dari hasil diskusi dihasilkan tujuh unsur penting yaitu governance, information, protection, prevention, promotion, advocacy, dan capacity.

14wcph-2

Permasalahan kesehatan global tidak hanya pada fungsi tetapi juga kompetensi yang dimiliki oleh tenaga kesehatan masyarakat. Faktanya saat ini program magister kesehatan masyarakat belum mempunyai kemampuan yang spesifik karena ilmu pendidikan s1 kesehatan masyarakat dipelajari kembali di magister kesehatan masyarakat. Padahal WHO mempunya list kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga atau ahli kesehatan masyarakat. Prof. Anders Foldspang Co-chair, European Competences Programme merekomendasikan untuk mengunjungi website www.aspher.org.

Materi Prof. Anders Foldspang

 

14wcph-3

Prof. Louise Stjernberg dari Swedia juga menjelaskan isu tentang kompetensi program sarjana kesehatan masyarakat. Dalam presentasinya, Louise mengungkapkan fakta tentang kompleksitas program kesehatan masyarakat. Sebuah studi yang dilakukan di tahun 2011 di sekolah ASPHER, sebesar 23/25 (92%) ECTS credit points adalah hal yang sangat kompleks. Perbedaan kompetensi yang dimiliki oleh berbagai negara terkait dengan kualiatas pendidikan, multi disiplin ilmu, lama pendidikan, dan kompetensi yang diharapkan menjadi tantangan ahli kesehatan masyarakat global.

Materi Prof. Louise

Tiga delegasi Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM juga mengikuti opening ceremony for 14th World Congress on Public Health yang dimulai pukul 16.00-18.00 waktu setempat. Dr Madhumita Dobe menjadi pembuka opening ceremony yang merupakan sekretariat organizing. Semua peserta yang peduli dengan masalah kesehatan masyarakat global berkumpul di ruang auditorium Science City. Kegiatan ini membuka konferensi yang akan diselenggarakan pada 12 hingga 15 Februari 2015.

 

 

Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

www.kebijakankesehatanindonesia.net 

  SEJARAH

Diawali dengan adanya desentralisasi sistim kesehatan, maka di tahun 2000 dibentuklah semacam jaringan informal yang menghimpun para praktisi, peneliti, pemegang dan penentu kebijakan, untuk bersama-sama mengawal euphoria dan semangat desentralisasi kesehatan Indonesia, melalui jaringan dan forum desentralisasi kesehatan, dalam bentuk komunikasi melalui hasil penelitian, pelatihan-pelatihan dan advokasi ke pemegang kebijakan, baik di tingkat pusat dan daerah. Diadakan pertemuan nasional di bandung dengan pelaksana UNPAD-UGM.

Tahun 2010 dibentuklah jaringan kebijakan kesehatan Indonesia, yang telah mengadakan lima kali pertemuan/forum nasional di Jakarta, Makasar, Surabaya, Kupang, dan Bandung dengan tuan rumah/host 4 institusi yaitu PKMK FK UGM, FKM Universitas Hasanuddin Makassar, FKM Universitas Airlangga Surabaya, P2K3 Universitas Nusa Cendana Kupang dan FK Universitas Padjajaran Bandung. Pada tahun 2015 ini akan dilaksanakan forum jaringan keenam di Padang dengan tuan rumahnya adalah Universitas Andalas.

Didalam perkembangan selama 6 tahun ini jaringan ini telah berkembang dengan sangat pesat, berbasis dukungan seluruh anggota yang memiliki visi misi yang sepaham untuk menjadikan jaringan informal ini, berkembang menjadi kekuatan moral melalui karya akademik, berupa penelitian, sosialisasi hasil penelitian dan advokasi ke pemegang kebijakan. Diharapkan proses ini menjadi dasar pijakan pengambilan dan penentuan keputusan di bidang kesehatan secara umum, khususnya pelayanan kesehatan masyarakat.

Infrastruktur jaringan ini, telah dibangun sangat baik melalui dibentuknya jaringan website, jurnal dan kegiatan-kegiatan pelatihan penulisan policy brief, penelitian kebijakan dan kompetisi proporsal penelitian dan policy brief. Jaringan ini bisa diakses melalui www.kebijakankesehatanindonesia.net 

  VISI

Jaringan Kebijakan Kesehatan sebagai wadah para peneliti dan pemerhati kebijakan kesehatan di Indonesia memiliki visi untuk menjadi organisasi yang independen dan profesional dalam meningkatkan kapasitas penelitian kebijakan kesehatan di Indonesia. Selain itu, menjadi referensi dan rujukan bagi para pengambil keputusan dalam menentukan dan menganalisa kebijakan kesehatan yang telah dibuat berdasarkan hasil penelitian dari anggota Jaringan.

  MISI

Misi Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia adalah mengembangkan kemampuan dalam penelitian kebijakan kesehatan serta untuk meningkatkan efektifitas pengambilan keputusan. Anggota Jaringan adalah universitas dan lembaga riset yang bersifat independen. Dengan demikian, kegiatan penelitian dapat dilakukan oleh semua anggota.

17jkki

Pada masa mendatang, diharapkan ada sumber dana yang memberikan ruang untuk independensi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh anggota Jaringan.

  WORKING GROUP PADA JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

Selama pertemuan Nasional yang telah dilaksanakan oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, telah terbentuk beberapa kelompok kerja sebagai berikut :

  1. Kelompok KIA yang telah mulai berkumpul sejak Forum Nasional II di Makassar telah melakukan pengembangan strategi kebijakan melalui pendekatan hulu ke hilir yang mencakup preventif-promotif sampai kuratif. Kelompok ini juga menyadari dan mulai melakukan penggunakan angka absolut dan prinsip surveillance-response kematian ibu dan bayi. Selain itu, telah dilakukan penyebaran policy brief ke seluruh kabupaten-kota dan pengembangan metode telemedia untuk menjangkau 520an kabupaten dan puluhan universitas/kelompok ahli.
  2. Kelompok Pembiayaan Kesehatan yang telah berkumpul sejak Forum Nasional I di Jakarta telah melaksanakan persiapan JKN pada 1 Januari 2014 dan memberikan masukan adanya pertimbangan untuk daerah-daerah yang belum siap fasilitas kesehatan dan SDM untuk diberikan penanganan khusus (investasi ). Selain itu memberikan rekomendasi dan saran kepada pemerintah untuk menaikkan kelengkapan infrastruktur sehingga mengecilkan gap antara daerah maju dengan yang terpencil serta akan melakukan monitoring pelaksanaan JKN akan dilakukan oleh berbagai universitas dengan menggunakan pendekatan multi-center.
  3. Kelompok AIDS yang baru berkumpul pada pertemuan di Forum Nasional IV sedang melaksanakan konsolidasi kegiatan, menggambarkan land-scape kebijakan, mengembangkan agenda kebijakan dan mengembangkan jaringan untuk kebijakan AIDS.
  4. Kelompok Mental Health yang mulai bergabung pada tahun 2014 dengan berbagai kegiatan untuk mengkonsilidasikan peserta dan mengidentifikasikan kegiatan – kegiatan di daerah di Indonesia.
  5. Kelompok Kebijakan SDM dan Pendidikan, Kelompok Gizi Masyarakat, Kelompok Pelayanan Kesehatan merupakan kelompok yang baru bergabung pada Forum Nasional di Bandung tahun 2014, sehingga masih dalam tahap konsidasi dengan peneliti dan rencana penelitian
  6. Kedepannya, akan dibentuk kelompok Disabilities. Anggota kelompok ini akan diundang untuk bergabung dengan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia selanjutnya.


  KEGIATAN TAHUN 2015

Months

Activities

Februari

  • 13 – 14 Februari 2015 di FK UGM, Workshop GP Mental Health
  • Seminar mengenai Masalah Sosial dampak Pembangunan Pada Mental Health (Studi Waduk Dharma)
  • Blended Learning  Pengembangan Kemampuan Perguruan Tinggi dan Policy Maker pada Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Program Kesehatan (Februari – Mei 2015) 
  • Seminar Manajemen Residen di FK UGM dan RSUP Dr. Sardjito
  • Pelatihan rencana strategi bisnis , 23-25 Februari 2015
  • Blended learning Pencegahan, Deteksidan Penindakan Fraud dalam JKN untuk Pimpinan dan Staf Dinas Kesehatan (Februari – april)

Maret

  • ASM: Leadership dalam Penerapan Sistem Remunerasi di RS
  • ASM: Kaitan Peningkatan Risiko Bencana dengan Pencapaian MDG’S
  • 18 Maret dalam rangka Annual Scientific Meeting Fakultas Kedokteran UGM : Seminar Bedah Buku KIA
  • Seminar Pokja Disaster
  • Seminar Pembelajaran Program KIA 

April

  • 2nd Indonesian Economics Association congress and world health day 2015
  • Workshop Integrated Maternal and Child Health Planning and Budgeting through Evidence Based model for district level
  • Seminar Private Sector di RS dan Equity di Era JKN
  • Seminar Safe Hospital and Community Involvement
  • Tentative Pelatihan Policy Brief untuk PTS Kesehatan di Jawa Barat
  • Blended learning Memahami Equity di JKN (dalam rangka INAHEA)

Mei

  • Pelatihan menyusun policy brief

Juni

  • Penyusunan Model Jaringan Telekomunikasi untuk JKKI

Juli

  • Uji-coba system Jaringan Telekomunikasi ke 6 Perguruan Tinggi di Indonesia
  • Pelatihan Menyusun Policy Brief untuk peserta Forum Nasional JKKI di Padang

Agustus

  • Seminar Forum Mutu IHQN ke 11
  • 24 – 26 Agustus 2015 Forum Nasional JKKI VI di Hotel Ina Muara Padang dan penggunaan Live-Streaming serta Sistem Co-Host
  • Workshop mengenai Sistem Kontrak di sektor Kesehatan menghadapi kenaikan anggaran sector kesehatan. Topik di KIA dan AIDS.
  • Workshop mengenai Implementation Research dan Policy Brief
  • Workshop mengenai INA-CBG dan Clinical Pathways

September

  • Evaluasi Kegiatan Jaringan Telekomunikasi dan Pembukaan peserta baru untuk Sistem Telekomunikasi dalam JKKI.
  • Pernyusunan Uji-coba Seminar bulanan melalui Webinar.

Untuk mendapatkan update mengenai kegiatan – kegiatan Jaringan Kebijakan, silakan klik pada www.kebijakankesehatanindonesia.net untuk mendapatkan alert system.

 

  KETERANGAN LEBIH LENGKAP

Hendriana Anggi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile : +6281227938882
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

 

Jadwal Agenda Annual Scientific Meeting 2015

 

No.

Tanggal

Kegiatan

 
1.  20 – 21 Februari dan 6 – 7 Maret 2015  Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) dan Penyiapan Akreditasi Bidang K3  klik
2.  21 Februari 2015  Workshop Manajemen Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Layanan Primer  klik
3.  2 Maret 2015  Seminar Keistimewaan Profesi Promotor Kesehatan Menuju Indonesia yang Lebih Sehat  klik 
4.  6 Maret 2015  Menutup Kesenjangan Millenium Development Goals (MDG) dan Agenda Pasca MDG  klik 
5.  7 Maret 2015  Peran Laboratorium Klinik dalam Upaya Skrining Hipotiroid Kongenital dan Manajemen HIV Ibu dan Anak  klik
6.  7 Maret 2015 Translational In Dermatology klik
7.  7 Maret 2015  Symposium and Video Session “Surgical Management in Corneal and Ocular Surface Disorders”  klik 
8.  10 Maret 2015  Seminar Kemajuan Mutakhir dan Peluang Pengembangan Radiologi Intervensi  klik 

9.

11 Maret 2015

Seminar dan Talkshow Pendekatan Analisa Data Besar (Big Data) di Bidang Kesehatan: Manfaat, Peluang dan Tantangan 

Klik

10.  14 Maret 2015  Nutrition in Critically Ill Patients  klik 
11.  14-15 Maret 2015  Clinical Updates 2015 “Current Management on General Practice and Emergency Cases klik
12. 16 Maret 2015  Seminar mengenai: Kaitan Peningkatan Risiko Bencana dengan Pencapaian MDGs  klik
13.  18 Maret 2015  Seminar Bedah Buku Inovasi KIA sebagai Rangkaian Annual Scientific Meeting (ASM) Tahun 2015 klik 
14.  19 Maret 2015  Seminar Leadership dalam penerapan sistem Remunerasi di Rumahsakit klik
15.  20-21 Maret 2015  Workshop Penyiapan ekstrak terstandar dari Herbal dan Uji aktivitasnya sebagai Imunostimulan klik
16.  24 Maret 2015  Potensi dan Peran Institusi Pendidikan dalam Penyediaan Tenaga Kesehatan untuk Daerah Terpencil, Kepulauan dan Perbatasan  klik
17.  28 Maret 2015  Peran Antioksidan Dalam Penanganan Penyakit Degeneratif dengan Pendekatan Nutrigenomik klik
18.  28 Maret 2015  Seminar “Menakar Implementasi Kartu Indonesia Sehat: Input Untuk Perbaikan Pelaksanaan” klik
19.  31 Maret 2015  Pengembangan Academic Health System (AHS) dalam Menyongsong Era Pasca MDGs  klik 
20.  Maret 2015  Kursus Biologi Molekuler & Imunologi klik 

 

 

 

 

 

CHEPSAA Networking Meeting

1feb15

1feb15Hari ketiga (terakhir) membahas isu-isu penting pengembangan CHEPSAA dan networkingnya. Isu yang dibahas dan relevan untuk Indonesia antara lain Networking; pengembangan bentuk baru Emerging Leaders, penggunaan Web-based untuk program mendatang.

Dalam pembahasan ini juga dilihat adanya berbagai modul yang sudah dihasilkan dan sifat open dari CHEPSAA.

Sejak tahun 2015 ini CHEPSAA berubah dari sebuah Konsorsium menjadi Komunitas (C dalam Consortium menjadi Community). CHEPSAA sebagai konsorsium selesai pada 2015. Diteruskan dengan menjadi sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai interest sama dalam hal kebijakan dan penelitian serta analisis kebijakan kesehatan. Dengan demikian CHEPSAA mulai tahun 2015 masuk ke babak baru yang mempunyai risiko tinggi, karena harus menjadi dynamo dari sebuah masyarakat kebijakan kesehatan di Afrika. Untuk itu kemampuan networking sangat dibutuhkan yang membutuhkan web sebagai dasar komunikasi ke berbagai pihak. Pada poin ini sangat disadari kebutuhan untuk penyebaran ilmu dari hasil CHEPSAA. Dalam diskusi pengalaman PKMK FK UGM yang mengembangkan web menjadi hal yang menarik untuk CHEPSAA di masa mendatang.

Sebagai penutup dari laporan ke Johannesburg, ada beberapa modul dari CHEPSAA yang menarik untuk dipelajari untuk masa depan yang lebih baik sebagai berikut:

 

ICHS thumbnailNEW Introduction to Complex Health Systems: Module
This module covers topics such as the definition of a health system; frameworks for analyzing health systems; complexity in health systems and the importance of agents and their mindsets, interests and power; and leading change in health systems. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides, case studies and handouts.

Get the module

   
 

ICHS thumbnailNEW Introduction to Health Policy and Systems Research: Module
This module covers topics such as the definition of health policy and systems research; generating and framing questions; the important role of researchers’ own perspectives and disciplines in research; study design; rigour and ethics. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides and handouts.

Get the module

   
 

Health Policy Analysis: Module
The module consists of course outline, teaching materials and facilitator notes for health policy analysis. It takes the form of a 1-week course and out-of-class assignments. Designed to be taught at post-graduate level (Health Policy Analysis in Africa (HEPAA)).

Get the module
and appendices

 
 

Managing Human Resources for Health: Module
The module introduces the scope and context of human resource management in the health sector. It covers the following topics: human resources management in context; being a human resource manager and managing people (University of the Western Cape).

Get the module

   
 

ICHS thumbnailBackground to the Development of CHEPSAA’s teaching resources: Background document 
This document explains CHEPSAA’s efforts to develop teaching resources for the field of health policy and systems research and analysis. It highlights the courses and other resources CHEPSAA intends to develop and make available as open educational resources.

Read the document

Modul-modul ini dapat diakses di:

http://hpsa-africa.org/index.php/teaching-materials/modulescourses 

Modul-modul ini disebarluaskan dengan prinsip Open menggunakan perjanjian Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 2.5 South Africa (CC BY-NC-SA 2.5 ZA) . Dengan perjanjian ini maka penggunaan dan pengembangannya dapat lebih cepat terjadi.

CHEPSAA. (2013). Principles and practice of good curriculum design. Cape Town, Consortium for Health Policy & Systems Analysis in Africa.

is licensed under a

Creative Commons Attribution-Non-Commercial-Share Alike 2.5 License

December 2013

  You are free:

 

to Share – to copy, distribute and transmit the work

 

to Remix – to adapt the work

 

Under the following conditions:

 

Attribution. You must attribute the work in the manner specified by the author or licensor  (but not in any way that suggests that they endorse you or your use of the work)

 

Non-commercial. You may not use this work for commercial purposes

 

Share Alike. If you alter, transform, or build upon this work, you may distribute the resulting work but only under the same or similar license to this one

  • For any reuse or distribution, you must make clear to others the license terms of this work. One  way to do this is with a link to the license web page: http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/
  • Any of the above conditions can be waived if you get permission from the copyright holder.
  • Nothing in this license impairs or restricts the authors’ moral rights.
  • Nothing in this license impairs or restricts the rights of authors whose work is referenced in this document.
  • Cited works used in this document must be cited following usual academic conventions
  • Citation of this work must follow normal academic conventions

Dengan sistem terbuka ini , CHEPSAA percaya bahwa pengembangan keilmuan penelitian kebijakan kesehatan dapat semakin cepat dilakukan di Afrika. Tidak ada peraturan kaku tentang copy-right yang dapat menghambat perkembangan ilmu penelitian kebijakan kesehatan.

Refleksi dari pertemuan di Johannesburg:
Apa yang dapat dipergunakan untuk Indonesia?

Materi pertemuan CHEPSAA di hari ke 3 ini dapat dipergunakan untuk memperkuat Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) . Jaringan yang dibina PKMK FK UGM saat ini sudah berada pada tahun ke V. Jaringan ini bersifat independen, dengan anggota unit yang terkait dengan penelitian dan pengembangan kebijakan kesehatan di perguruan tinggi, lembaga penelitian di Departemen, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga pelayanan kesehatan, dan juga pengambil kebijakan. Tujuan utama Jaringan ini adalah menghimpun kekuatan bersama dari para peneliti, dosen, dan ahli kebijakan menuju Indonesia yang lebih sehat, sebagai tenaga ahli kebijakan dan manajemen kesehatan di daerah masing-masing.

Selama 5 tahun pengembangan, terlihat masih ada banyak masalah yang menghambat pengembangan anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Salahsatu masalah besar adalah ketidak siapan sumber daya manusia perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam penelitian kebijakan, memonitor, mengevaluasi, merencana dan melaksanakan sebuah kebijakan kesehatan. Ketidak siapan ini merupakan suatu gejala yang mempunyai sifat “lebih dulu telur atau ayam” dengan masalah lain yaitu ketersediaan dana untuk melakukan kegiatan aktif dalam proses kebijakan kesehatan. Tanpa ada dana riset, akan sulit menambah SDM peneliti. Saat ini riset kebijakan kesehatan masih sedikit dijalankan dan hanya beberapa perguruan tinggi yang mampu melakukan dengan baik.

Kebutuhan akan Monitoring dan Evaluasi secara Independen

Saat ini Kemenkes dan BPJS di era JKN membutuhkan dukungan penelitian, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun setiap tahun. Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani.

Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas system pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten perlu mengawasi mutu pelayanan kesehatan primer dan rujukan. Namun fungsi ini belum dijalankan dengan baik. Oleh karena itu Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan system kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk member perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat kelemahan Dinas Kesehatan dalam pengawas, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.

Masalah

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda di sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.

Di sisi lain, para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan, monev. Secara khusus para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Juga ada beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada 1 unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari 1 pusat.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan:

  1. Memperkuat networking di JKKI. Networking ini dapat bermacam-macam, antara lain:
    • antar universitas di Indonesia
    • antar universitas di daerah dengan BPJS setempat, dinas kesehatan setempat, dan pemerintah daerah
    • di dalam universitas sendiri, antara peneliti di fakultas kedokteran/kesehatan masyarakat dengan peneliti di fakultas sospol.
    • antar universitas dengan penyandang dana.
    • network antara universitas dan Bappenas untuk menyusun kebijakan penganggaran untuk penelitian kebijakan dan monitoring/evaluasi.
    • dan berbagai networking lainnya.

Teknik-teknik networking ini perlu dikembangkan oleh JKKI agar para anggotanya dapat memanfaatkan untuk kepentingan efektifitas pembangunan kesehatan.

  1. Melatih para pemimpin penelitian kebijakan di setiap Propinsi. Di lembaga-lembaga penelitian di universitas atau swasta harus ada peneliti yang mampu memimpin dan berkomunikasi dengan pengambil kebijakan di daerah. Dalam pengamatan, tidak banyak ada peneliti yang mampu memimpin sekelompok staff dan juga berhubugan dengan berbagai pihak terkait dalam jaringan. Perlu dilakukan pelatihan kepemimpinan untuk para peneliti di Indonesia.
  2. Memperkuat web www.kebijakankesehatanindonesia.net  untuk mendukung percepatan peningkatan kemampuan universitas dalam meneliti kebijakan dan melakukan monitoring dan evaluasi. Selama 4 tahun ini, web telah dijalankan. Berbagai kekurangan masih ada. Akan tetapi web ini diakui oleh masyarakat internasional sebagai inovasi baru yang perlu dikembangkan terus di Indonesia.
  3. Pengembangan-pengembangan modul pendidikan dan pelatihan antar pusat-pusat pendidikan di Indonesia perlu dicepat. Pengembangan modul ini perlu dilakukan dengan pendekatan Open-System agar kecepatan pengembangan meningkat. Diharapkan di Indonesia akan ada pengembangan bersama antar universitas, termasuk melakukan adaptasi dari modul-modul yang berasal dari CHEPSAA.

Diharapkan pada tahun 2015 ini berbagai kegiatan di atas dapat dilakukan di Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Bersama ini pula laporan kegiatan dari pertemuan CHEPSAA di Johannesburg diahkhiri. Semoga berguna bagi pengembangan penelitian kebijakan dan system kesehatan, serta analisis kebijakan di Indonesia.

Laksono Trisnantoro
29 Januari 2015, Johannesburg, Afrika Selatan.

 

CHEPSAA Networking Meeting

johannesburg

johannesburg

Pada Selasa hingga Kamis tanggal 27-29 Januari 2015, Ketua Board PKMK FK UGM Prof Laksono Trisnantoro menjadi tamu undangan menghadiri pertemuan jaringan Consortium for Health Policy and System Analysis in Africa (CHEPSAA) di Johannesburg, Afrika Selatan. Tujuan pertemuan ini antara lain: pertama, membagi pengalaman CHEPSAA dalam mengembangkan HPSR+A di Afrika, dan di luar Afrika. Kedua, melakukan refleksi hasil kerja CHEPSAA selama ini. Ketiga, melakukan refleksi pada evaluasi ke CHEPSAA. Keempat, melakukan identifikasi berbagai pelajaran dari pengalaman dan untuk meningkatkan kemampuan melakukan riset kebijakan dan analisis kebijakan di masa mendatang. Misi Prof Laksono Trisnantoro dalam pertemuan ini untuk mempelajari bagaimana jaringan CHEPSAA dapat berkembang dan kemungkinan risiko mengalami kemunduran, untuk keperluan perbandingan dengan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Pertemuan ini dilakukan di Hotel Crowne Plaza yang terletak di tepian kota Johannesburg.

  Sesi 1: Pembukaan

27jan15-1Nonhlanhla Nxumalo dan Lucy Gilson sebagai pemimpin CHEPSAA menyatakan bahwa jaringan ini dimulai pada tahun 2011. Sebelumnya sudah ada kerjasama di tahun 2003-2008, kemudian berkembang menjadi jaringan yang didanai oleh European Union di tahun 2011.

Mengapa ada jaringan ini?

Health Policy and System Research and Analysis merupakan suatu hal yang penting. Namun, di Afrika jumlah lembaga dan peneliti penelitian kebijakan sangat sedikit dan juga permintaan dari pengambil kebijakan juga rendah. Oleh karena itu, perlu pengembangan jaringan ini di Afrika.

Tujuan CHEPSAA:

Tahun 2016 menjadi pilihan untuk beberapa hal yang dirasa penting, yaitu menjadi pengembangan modul dan pelatihan/pendidikan penelitian dan analisis kebijakan yang bermutu. Ada tiga kegiatan penting yaitu Riset, Network, dan Teaching. Oleh karena itu, ada pengembangan secara sistematis dalam:

  1. Pendidikan/Pengajaran riset dan analisis kebijakan di berbagai negara;
  2. Penelitian kebijakan dan sistem kesehatan serta analisis kebijakan.
  3. Pengembangan jaringan dan kemitraan antar partner dengan pengambil kebijakan.

CHEPSAA didukung oleh berbagai perguruan tinggi di Eropa dan didanai oleh berbagai dana penelitian. Framework yang dipergunakan dijelaskan secara detail di website resminya. Silakan kunjungi link berikut untuk memahami lebih detil: http://hpsa-africa.org. Untuk dokumennya, silakan anda klik Health Policy and Systems Research: Needs, challenges and opportunities in South Africa – a university perspective (Marsha Orgill and team).

 


  Sesi 2: Penilaian Aset

Catatan menarik dari pembicara kedua yaitu Tolib Mirzoev dari University of Leeds yang menjadi konsultan CHEPSAA. Dr. Tolieb menyatakan bahwa kapasitas antar anggota sangat berbeda. Hal ini menjadi fokus penting untuk pengembangan di masa mendatang, antara lain: memahami kapasitas, pendekatan dan metodologi, hasil yang dilihat serta refleksi. Cara menilai kapasitas anggota melalui beberapa indikator berikut:

  1. Memahami konsep kapitasi
  2. Konsep pemetaan, termasuk berbagai aset seperti SDM yang mampu meneliti (junior, senior), fasilitas, kesempatan dalam sisten, dan sebagainya.
  3. Mengukur kemampuan organisasi dan individu
  4. Sintesis antar anggota (7 anggota).

Apa yang dinilai dalam konteks kapasitas?

27jan15-2Infrastruktur yang mencakup antara lain: kepemimpinan, kemampuan organisasi (termasuk governance di sini), dan ketersediaan asset seperti stff penelti, termasuk yang senior, fasilitas, dan berbagai hal lainnya. Kegiatan yang dinilai mencakup Riset, Teaching, dan Networking dengan berbagai pihak yang berada dalam Konteks Demand for HSPR + A dan Lingkungan sumber daya. Hasilnya memang sangat bervariasi antar tujuh anggota CHEPSAA.

  1. Berbeda dengan nama
  2. Berbeda sumber income
  3. Jumlah peneliti senior yang sangat berbeda
  4. dan sebagainya

Catatan penting untuk dana:

  1. Demand sedikit
  2. Limited domestic funding, tergantung dari luar negeri.
  3. Bisa ke international funding

Bagaimana hubungan dengan pengambil keputusan:

  1. Kurangnya koordinasi untuk penentuan prioritas riset,
  2. Sedikit dipakai untuk pengambilan keputusan.

Untuk lebih lengkapnya silakan simak laporan-laporan mereka di bawah ini:

  1. Assessment of capacity for Health Policy and Systems Research and Analysis in seven African universities: results from the CHEPSAA project (Tolib Mirzoev and team).
  2. How to do Capacity Assessments for Health Policy and Systems Research in University Settings: A Handbook
  3. A new methodology for assessing health policy and systems research and analysis capacity in African universities


  Bagaimana Lesson-Learnt untuk Indonesia.

Sejak lima tahun yang lalu, Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia sudah lahir dan berkembang. Ada perbedaan dan persamaan antara JKKI dengan CHEPSAA. Lalu, apa yang berbeda?

  1. JKKI hanya di Indonesia, CHEPSAA merupakan network internasional diantara negara Afrika.
  2. Berbeda dengan CHEPSAA yang didanai proyek dari Eropa, JKKI tidak mempunyai dana pengembangan.
  3. Keanggotaan CHEPSAA sangat formal karena terkait sebuah proyek (7 partner dalam Proyek di Afrika dengan beberapa partner dari Eropa) dari EU.

Persamaan yang dimiliki JKKI dan CHEPSAA:

  1. Tujuan. Siapa yang dituju oleh Jaringan: pengambil keputusan, level nasional dan pemerintah daerah, perguruan tinggi dan NGO.
  2. Mengembangkan modul untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
  3. Prinsip keilmuan: menggunakan Health Policy and System Research (HPSR) dan Health Policy and System Analysis (HPSA).
  4. Titik atau poin untuk pengembangan penelitian dan analisis kebijakan bertumpu pada perguruan tinggi.
  5. Perbedaan kapasitas antar anggota merupakan hal yang perlu diperhatikan dan diatasi.
  6. Leadership di setiap anggota jaringan perlu ada.

Tantangan CHEPSAA adalah keberlanjutan, karena proyek pengembangan ini berakhir pada tahun 2015. Apakah para anggota dapat mengembangkan diri. Apakah jika proyek berhenti maka kegiatan juga akan berhenti? Sementara, tantangan untuk JKKI adalah; apakah tanda proyek Jaringan ini dapat berjalan?

Pertanyaan-pertanyaan strategis yang akan dibahas di Indonesia:

  1. Bagaimana JKKI dapat dikembangkan? Darimana dananya?
  2. Bagaimana mengembangkan keanggotaan? Apakah melalui pengembangan Bagian IKM di FK dan FKM yang mengajarkan Kebijakan dan Manajemen Kesehatan?
  3. Bagaimana cara mengembangkan kapasitas di berbagai perguruan tinggi Indonesia yang sangat bervariasi?
  4. Bagaimana dana untuk penelitian kebijakan dan analisis kebijakan dapat diperoleh di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Apakah kebijakan dana Monev dari dalam negeri dapat dilakukan?
  5. Dari mana dana pengembangan? Apakah dari lembaga donor luar negeri, ataukah berasal dari dana dalam negeri khususnya dari perguruan tinggi.

Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dalam kegiatan pengembangan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia setelah berlangsungnya pertemuan di Afrika.

Topik:

Pengembangan Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan dan Sistem Kesehatan

28jan-1Panel Diskusi ini membahas mengenai Emerging Leadership. Program pengembangan ini bertujuan meningkatkan kapasitas dan menambah jumlah peneliti kebijakan kesehatan yang akan menjadi pemimpin ilmu di masa mendatang. Pelatihan ini telah berjalan di lima negara.

Panel dibuka dengan testimoni beberapa peserta pelatihan yang berasal dari berbagai universitas di Afrika.

Pertanyaan umum: Apa yang diperoleh dari pelatihan Emerging Leadership? Berikut ini berbagai jawaban yang ada: pertama, bekerja dalam acara multidisiplin. Kedua, menguatkan kemampuan menyusun argumen dalam riset. Ketiga, meningkatkan kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain. Keempat, meningkatkan team building, dan juga memahami apa kekuatan dan kelemahan kita sebagai peneliti. Kelima, melakukan transformasi diri dan bagaimana cara refleksi terhadap suatu hasil pelatihan. Keenam, memahami kekuatan saya sebagai peneliti dimana saya bisa lebih percaya diri. Ketujuh, dimana posisi saya dalam penelitian kebijakan. Kedelapan, dalam memahami tujuan dan konteks penelitian saya mencoba fokus dan terus melakukan refleksi; dan berbagai hal lainnya.

Apakah ada perubahan di lembaga anda?

Ya, sudah ada perbaikan untuk mengembangkan team kerja. Saat ini, saya sudah memimpin dengan lebih baik. Perubahan lainnya yaitu meningkatan kemampuan mengajar saya. Kemudian, proyek menjadi lebih tertata. Terakhir, perubahan terjadi pada bagaimana mengubah sifat staf penelitian saya.

Apakah ada formal mentorship?

Kita baru saja mulai program mentorship. Memang masih sulit tapi sudah dimulai.

Pendapat dari para peserta menunjukkan bahwa penelitian kebijakan dan sistem kesehatan bukan penelitian biasa. Program pengembangan ini tidak hanya berupa pelatihan metode penelitian, namun juga ada komponen soft-skills training. Hal ini menunjukkan bahwa seorang peneliti kebijakan mempunyai lingkungan dan pihak terkait yang harus dikelola dengan tepat.

  Pertanyaannya:

Apa saja kompetensi dan kapasitas yang dituju? Diagram di bawah ini menunjukkan berbagai kompetensi dan kapasitas yang dituju dalam program Kepemimpinan penelitian ini:

Kapasitas/Kemampuan

Hal-hal kunci

Ketrampilan Perorangan

Ketrampilan komunikasi

Ketrampilan mendengarkan

Kesabaran

Sikap menghargai orang lain yang berbeda perspektif

Menghargai disiplin ilmu lain

Ketrampilan interpersonal

Kemampuan untuk mengenali, menghargai, dan mengurai kerumitan

Mempunyai kesadaran akan karir pribadi

Kemampuan untuk memprioritaskan, mengelola waktu dan kemampuan

Kemampuan menulis

Menulis artikel di Jurnal

Menulis Policy Brief

Menulis laporan

Manajemen Proyek

Merancang sebuah penelitian

Menulis proposal untuk grant

Melakukan kegiatan

Melaporkan

Mengetuai pertemuan-pertemuan ilmiah

Networking

Mengelola network lama

Merintis network baru

Pemahaman akan Penelitian Kebijakan-Sistem Kesehatan dan Analisis Kebijakan

Memahami metodenya

Menggunakan pendekatan multi-disiplin

Memahami Sistem Kesehatan

Kemampuan untuk memahami dan bekerja dalam kerumitan

Ketrampilan Penelitian

Kemampuan untuk merumuskan permasalahan dalam penelitian

 

Rancangan pengumpulan data dan analisisinya

 

Identifikasi dan menilai sumber data dan keterbatasannya

 

Ketrampilan analisis data

 

 

Untuk mempelajari kegiatan Emerging Leadership ini silakan klik 2 referensi di bawah ini:


  Manfaat sesi ini untuk Indonesia.

Sampai saat ini, pelatihan jarang mempunyai kurikulum yang sifatnya soft- skills untuk peneliti. Pelatihan untuk peneliti biasanya berfokus pada metode peneltian. Apa yang dibahas di Johannesburg ini sangat penting untuk dikembangkan di Indonesia, khususnya untuk penelitian kebijakan kesehatan. Pertanyaan penting untuk pelatihan kepemimpinan dalam penelitian kebijakan adalah:

  • Siapa sasaran pelatihan kepemimpinan dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan? Apakah para peneliti senior saat ini, ataukah peneliti muda yang akan menjadi pemimpin di masa mendatang?
  • Dimana lembaga tempat bekerja? Apakah di FK, FKM, atau di Fakultas Sosial Politik? Atau di lembaga-lembaga penelitian lain?.
  • Apakah ada masa depan untuk penelitian kebijakan kesehatan di Indonesia sehingga dapat menarik peneliti untuk mengembangkan diri?

Kegiatan yang direncanakan:

Mulai Februari 2015 akan dimulai pelatihan Blended Learning untuk para peneliti Kebijakan Kesehatan dengan menggunakan isi yang terdiri atas: (1) Hal-hal teknis; (2) Metode Penelitian; dan (3) Soft Skills. Kami akan kirimkan detil kegiatan, cara mengikuti, dan biaya untuk mengikuti.

Curriculum Development

utaHari kedua pertemuan membahas berbagai topik. Salah satu topik menarik yang penting bagi peneliti kebijakan adalah bagaimana cara menyusun kurikulum. Presenter dalam topik ini adalah Uta Lehmann.

Uta menekankan bahwa program pengembangan kurikulum merupakan salah satu kegiatan penting CHEPSAA. Mengapa? Kurikulum merupakan dasar dari program belajar dan mengajar.

Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang digunakan CHEPSAA adalah:

 

  • Allignment, harus ada penyelarasan antara tujuan belajar yang diharapkan, kegiatan belajar dan mengajar serta penilaian yang dilakukan.
  • Relevan dengan kebutuhan lapangan dan pembelajar;
  • Coherence, dimana seluruh bagian dari pengajaran dilakukan berdasarkan pendekatan dan sistem yang sama.
  • Reiterative, artinya penyusunan kurikulum merupakan satu hal yang perlu dievaluasi dan di-review secara terus menerus agar tetap relevan.

Ada empat pertanyaan kunci yang perlu ditanyakan setiap kali ada penyusunan kurikulum, yaitu:

  1. Apa tujuan pendidikan yang akan dicapai;
  2. Apa pengalaman (belajar) yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut?
  3. Bagaimana caranya agar pengalaman belajar dapat diorganisir secara efektif?
  4. Bagaimana cara kita menentukan tujuan-tujuan pembelajaran sudah dapat tercapai?

Proses menyusun kurikulumnya seperti digambarkan bagan berikut:

29janjo

Proses penyusunan kurikulum ini penting bagi:

  1. Para penyusun kurikulum di program Pascasarjana (S2 dan S3);
  2. Para penyusun kurikulum pelatihan singkat bagi eksekutif/pengambil keputusan.

Bagi Anda yang ingin mempelajari lebih lanjut mengenai pengembangan kurikulum untuk program pascasarjana (S2 dan S3) dan pelatihan, terlampir tiga paper yang dapat dipelajari. Silakan klik:


  Bagaimana lesson-learnt untuk Indonesia.

Berbagai perubahan yang ada di Indonesia saat ini membutuhkan banyak pelatihan dan pendidikan pascasarjana (S2 dan S3) untuk berbagai sasaran misalnya:

  1. Pejabat di Kemenkes
  2. Pejabat di Dinas Kesehatan
  3. Pegawai di BPJS
  4. Peneliti-peneliti kebijakan kesehatan dan berbagai pihak lainnya.

Pelatihan dapat dilakukan secara tatap muka, jarak jauh ataupun kombinasi kedua pendekatan tersebut (Blended Learning). Pendekatan-pendekatan pelatihan ini tentunya disesuaikan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti yang ada di atas:

  1. Apa tujuan pendidikan yang akan dicapai. Apakah akan meningkatkan pengetahuan saja (knowledge), ataukah untuk ketrampilan (skills), ataukah sikap ataukah campuran. Juga apakah pendidikan untuk menghasilkan penemuan yang berguna bagi pengembangan ilmu (khususnya di level S3).
  2. Apa pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut? Penentuan program ini menjadi menarik karena akan menyangkut besarnya biaya pendidikan/pelatihan, kemungkinan dikerjakan dengan keterbatasan teknologi pendidikan/pelatihan, dan berbagai hal lain yang perlu dipertimbangkan.
  3. Bagaimana caranya agar pengalaman belajar dapat diorganisir secara efektif? Hal ini membutuhkan ketrampilan penyusun modul secara baik.
  4. Bagaimana cara kita menentukan apakah tujuan-tujuan pembelajaran sudah dapat tercapai. Hal ini terkait dengan system penilaian keberhasilan peserta untuk menempuh ujian dan berbagai cara pengukuran lainnya.

Mengingat tantangan pertanyaan-pertanyaan ini sangat besar, salahsatu kemampuan tingkat tinggi yang sebaiknya dimiliki oleh para peneliti/tenaga ahli dalam kebijakan kesehatan adalah menyusun kurikulum untuk berbagai pelatihan/pendidikan yang dibutuhkan. Pengalaman CHEPSAA dalam menyusun kurikulum ini perlu dipelajari secara seksama.

DIharapkan pasca kunjungan ke Afrika Selatan ini ada kegiatan untuk mengembangkan kemampuan menyusun kurikulum. Untuk itu perlu ada sinergi antar para pengelola pascasarjana yang terkait dengan kebijakan kesehatan dan juga antar para ahli kebijakan kesehatan.

 

1feb15Hari ketiga (terakhir) membahas isu-isu penting pengembangan CHEPSAA dan networkingnya. Isu yang dibahas dan relevan untuk Indonesia antara lain Networking; pengembangan bentuk baru Emerging Leaders, penggunaan Web-based untuk program mendatang.

Dalam pembahasan ini juga dilihat adanya berbagai modul yang sudah dihasilkan dan sifat open dari CHEPSAA.

Sejak tahun 2015 ini CHEPSAA berubah dari sebuah Konsorsium menjadi Komunitas (C dalam Consortium menjadi Community). CHEPSAA sebagai konsorsium selesai pada 2015. Diteruskan dengan menjadi sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai interest sama dalam hal kebijakan dan penelitian serta analisis kebijakan kesehatan. Dengan demikian CHEPSAA mulai tahun 2015 masuk ke babak baru yang mempunyai risiko tinggi, karena harus menjadi dynamo dari sebuah masyarakat kebijakan kesehatan di Afrika. Untuk itu kemampuan networking sangat dibutuhkan yang membutuhkan web sebagai dasar komunikasi ke berbagai pihak. Pada poin ini sangat disadari kebutuhan untuk penyebaran ilmu dari hasil CHEPSAA. Dalam diskusi pengalaman PKMK FK UGM yang mengembangkan web menjadi hal yang menarik untuk CHEPSAA di masa mendatang.

Sebagai penutup dari laporan ke Johannesburg, ada beberapa modul dari CHEPSAA yang menarik untuk dipelajari untuk masa depan yang lebih baik sebagai berikut:

 

ICHS thumbnailNEW Introduction to Complex Health Systems: Module
This module covers topics such as the definition of a health system; frameworks for analyzing health systems; complexity in health systems and the importance of agents and their mindsets, interests and power; and leading change in health systems. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides, case studies and handouts.

Get the module

   
 

ICHS thumbnailNEW Introduction to Health Policy and Systems Research: Module
This module covers topics such as the definition of health policy and systems research; generating and framing questions; the important role of researchers’ own perspectives and disciplines in research; study design; rigour and ethics. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides and handouts.

Get the module

   
 

Health Policy Analysis: Module
The module consists of course outline, teaching materials and facilitator notes for health policy analysis. It takes the form of a 1-week course and out-of-class assignments. Designed to be taught at post-graduate level (Health Policy Analysis in Africa (HEPAA)).

Get the module
and appendices

 
 

Managing Human Resources for Health: Module
The module introduces the scope and context of human resource management in the health sector. It covers the following topics: human resources management in context; being a human resource manager and managing people (University of the Western Cape).

Get the module

   
 

ICHS thumbnailBackground to the Development of CHEPSAA’s teaching resources: Background document 
This document explains CHEPSAA’s efforts to develop teaching resources for the field of health policy and systems research and analysis. It highlights the courses and other resources CHEPSAA intends to develop and make available as open educational resources.

Read the document

Modul-modul ini dapat diakses di:

http://hpsa-africa.org/index.php/teaching-materials/modulescourses 

Modul-modul ini disebarluaskan dengan prinsip Open menggunakan perjanjian Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 2.5 South Africa (CC BY-NC-SA 2.5 ZA) . Dengan perjanjian ini maka penggunaan dan pengembangannya dapat lebih cepat terjadi.

CHEPSAA. (2013). Principles and practice of good curriculum design. Cape Town, Consortium for Health Policy & Systems Analysis in Africa.

is licensed under a

Creative Commons Attribution-Non-Commercial-Share Alike 2.5 License

December 2013

  You are free:

 

to Share – to copy, distribute and transmit the work

 

to Remix – to adapt the work

 

Under the following conditions:

 

Attribution. You must attribute the work in the manner specified by the author or licensor  (but not in any way that suggests that they endorse you or your use of the work)

 

Non-commercial. You may not use this work for commercial purposes

 

Share Alike. If you alter, transform, or build upon this work, you may distribute the resulting work but only under the same or similar license to this one

  • For any reuse or distribution, you must make clear to others the license terms of this work. One  way to do this is with a link to the license web page: http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/
  • Any of the above conditions can be waived if you get permission from the copyright holder.
  • Nothing in this license impairs or restricts the authors’ moral rights.
  • Nothing in this license impairs or restricts the rights of authors whose work is referenced in this document.
  • Cited works used in this document must be cited following usual academic conventions
  • Citation of this work must follow normal academic conventions

Dengan sistem terbuka ini , CHEPSAA percaya bahwa pengembangan keilmuan penelitian kebijakan kesehatan dapat semakin cepat dilakukan di Afrika. Tidak ada peraturan kaku tentang copy-right yang dapat menghambat perkembangan ilmu penelitian kebijakan kesehatan.

Refleksi dari pertemuan di Johannesburg:
Apa yang dapat dipergunakan untuk Indonesia?


Materi pertemuan CHEPSAA di hari ke 3 ini dapat dipergunakan untuk memperkuat Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) . Jaringan yang dibina PKMK FK UGM saat ini sudah berada pada tahun ke V. Jaringan ini bersifat independen, dengan anggota unit yang terkait dengan penelitian dan pengembangan kebijakan kesehatan di perguruan tinggi, lembaga penelitian di Departemen, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga pelayanan kesehatan, dan juga pengambil kebijakan. Tujuan utama Jaringan ini adalah menghimpun kekuatan bersama dari para peneliti, dosen, dan ahli kebijakan menuju Indonesia yang lebih sehat, sebagai tenaga ahli kebijakan dan manajemen kesehatan di daerah masing-masing.

Selama 5 tahun pengembangan, terlihat masih ada banyak masalah yang menghambat pengembangan anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Salahsatu masalah besar adalah ketidak siapan sumber daya manusia perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam penelitian kebijakan, memonitor, mengevaluasi, merencana dan melaksanakan sebuah kebijakan kesehatan. Ketidak siapan ini merupakan suatu gejala yang mempunyai sifat “lebih dulu telur atau ayam” dengan masalah lain yaitu ketersediaan dana untuk melakukan kegiatan aktif dalam proses kebijakan kesehatan. Tanpa ada dana riset, akan sulit menambah SDM peneliti. Saat ini riset kebijakan kesehatan masih sedikit dijalankan dan hanya beberapa perguruan tinggi yang mampu melakukan dengan baik.

  Kebutuhan akan Monitoring dan Evaluasi secara Independen

Saat ini Kemenkes dan BPJS di era JKN membutuhkan dukungan penelitian, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun setiap tahun. Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani.

Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas system pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten perlu mengawasi mutu pelayanan kesehatan primer dan rujukan. Namun fungsi ini belum dijalankan dengan baik. Oleh karena itu Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan system kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk member perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat kelemahan Dinas Kesehatan dalam pengawas, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.

  Masalah

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda di sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.

Di sisi lain, para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan, monev. Secara khusus para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Juga ada beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada 1 unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari 1 pusat.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan:

  1. Memperkuat networking di JKKI. Networking ini dapat bermacam-macam, antara lain:
    • antar universitas di Indonesia
    • antar universitas di daerah dengan BPJS setempat, dinas kesehatan setempat, dan pemerintah daerah
    • di dalam universitas sendiri, antara peneliti di fakultas kedokteran/kesehatan masyarakat dengan peneliti di fakultas sospol.
    • antar universitas dengan penyandang dana.
    • network antara universitas dan Bappenas untuk menyusun kebijakan penganggaran untuk penelitian kebijakan dan monitoring/evaluasi.
    • dan berbagai networking lainnya.

Teknik-teknik networking ini perlu dikembangkan oleh JKKI agar para anggotanya dapat memanfaatkan untuk kepentingan efektifitas pembangunan kesehatan.

  1. Melatih para pemimpin penelitian kebijakan di setiap Propinsi. Di lembaga-lembaga penelitian di universitas atau swasta harus ada peneliti yang mampu memimpin dan berkomunikasi dengan pengambil kebijakan di daerah. Dalam pengamatan, tidak banyak ada peneliti yang mampu memimpin sekelompok staff dan juga berhubugan dengan berbagai pihak terkait dalam jaringan. Perlu dilakukan pelatihan kepemimpinan untuk para peneliti di Indonesia.
  2. Memperkuat web www.kebijakankesehatanindonesia.net  untuk mendukung percepatan peningkatan kemampuan universitas dalam meneliti kebijakan dan melakukan monitoring dan evaluasi. Selama 4 tahun ini, web telah dijalankan. Berbagai kekurangan masih ada. Akan tetapi web ini diakui oleh masyarakat internasional sebagai inovasi baru yang perlu dikembangkan terus di Indonesia.
  3. Pengembangan-pengembangan modul pendidikan dan pelatihan antar pusat-pusat pendidikan di Indonesia perlu dicepat. Pengembangan modul ini perlu dilakukan dengan pendekatan Open-System agar kecepatan pengembangan meningkat. Diharapkan di Indonesia akan ada pengembangan bersama antar universitas, termasuk melakukan adaptasi dari modul-modul yang berasal dari CHEPSAA.

Diharapkan pada tahun 2015 ini berbagai kegiatan di atas dapat dilakukan di Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Bersama ini pula laporan kegiatan dari pertemuan CHEPSAA di Johannesburg diahkhiri. Semoga berguna bagi pengembangan penelitian kebijakan dan system kesehatan, serta analisis kebijakan di Indonesia.

Laksono Trisnantoro
29 Januari 2015, Johannesburg, Afrika Selatan.

Kick Off Meeting

underline

20jan-9

Pada 19 hingga 23 Januari 2015, bertempat di Auditorium Senat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dilakukan pertemuan dalam rangka peluncuran program (Kick-Off Meeting) Penguatan Kapasitas Pengetahuan Asuransi Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan bagi tenaga akademisi di lingkungan Fakultas Kedokteran UGM. Program ini merupakan kerja sama antara Pusat Studi Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) dengan Konsorsium Belanda (Dutch Consortium). Kolaborasi ini direncanakan akan berjalan dalam kurun waktu empat tahun (2015-2018). Kegiatan yang dilakukan mencakup empat area; yaitu Pembahasan Kurikulum untuk Program Pascasarjana terkait Health Economics, Health Insurance, Health Financing (Master dan PhD); Kolaborsi penelitian; Peningkatan kapasitas melalui penyediaan pelatihan dan kuliah umum dengan dosen tamu dari Belanda; serta pembenahan manajemen proyek terkait asuransi kesehatan dan pembiayaan kesehatan.

Dutch Consortium merupakan kolaborasi beberapa institusi akademisi di Belanda yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas dalam rangka bantuan teknis/akademisi terkait ekonomi kesehatan, pembiayaan kesehatan dan asuransi kesehatan. Kolaborasi ini berasal dari Nuffic Program, Vrije Universiteit Amsterdam, AIGHD, dan Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda. Dalam kesempatan ini hadir ekspertise ekonomi kesehatan dari Belanda; Prof. Eddy Van Doorslaer; sebagai project director, dengan tim; Prof Menno Pradhan, Dr. Ellen and de Poel; dan Dr Esther den Hartog; sebagai program manager. Hadir dalam kesempatan ini Prof dr Ali Gufron Mukti MSc, PhD,. Prof dr Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, serta Prof dr Adi Utarini, MSc, PhD, sebagai consortium-partner untuk Indonesia mewakili Fakultas Kedokteran UGM.

Pertemuan tanggal 20 Januari 2015 ini merupakan pertemuan lanjutan sekaligus peluncuran (kick-off) kerja sama akademisi antara UGM dengan Dutch Consortium untuk memberikan dukungan bagi implementasi Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia. Pertemuan inisiasi ini dibuka secara resmi pada Selasa,20 Januari 2015, oleh Wakil Rektor 1 Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Dr Iwan Dwiprahasto, MSc, PhD. Sehari sebelumnya atau Senin (19/1/2015) telah dilakukan diskusi bersama dengan internal tenaga akademisi di lingkungan Fakultas Kedokteran, dan dibuka oleh Dekan Fakultas Kedokteran UGM; dr Teguh Aryandono, SpB (K) Onk.

Kerja sama ini bertujuan untuk ; 1) Peningkatan kapasitas tenaga profesional (dosen dan mahasiswa) untuk lebih memahami dan mampu memberikan dukungan akademisi bagi pemerintah dan penyelenggara jaminan kesehatan di Indonesia, terkait dengan sistem asuransi kesehatan dan pembiayaan kesehatan, 2) Secara aktif akan memberikan advokasi dan mempromosikan isu isu terkini tentang asuransi kesehatan, jaminan kesehatan dan pembiayaan kesehatan kepada para pemangku kepentingan di berbagai tingkat, pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

20jan-10

Prof. Iwan Dwiprahasto, dalam sambutannya menyatakan bahwa UGM sangat menyambut gembira adanya kegiatan ini dalam rangka memperkuat kerjasama internasional lintas akademisi. Kegiatan ini akan memperkuat Visi dan Misi UGM sebagai Universitas Berkelas Internasional (World Class International). Terkait dengan isu terkini, harapannya UGM bisa menjadi pemimpin dalam telaah akademisi dan pendamping pemangku kebijakan terkait dengan Jaminan Kesehatan. Sudah banyak kegiatan, penelitian dan sumberdaya yang dihasilkan oleh UGM terkait dengan pembiayaan kesehatannya. Kegiatan seperti ini akan memperkuat posisi UGM dalam mengawal keberlangsungan kebijakan sistem jaminan kesehatan yang ada.

20jan-5Prof. Eddy van Doorslaer, dalam pidato pembukaan menyampaikan bahwa dunia internasional sedang berada dalam euforia menuju pencapaian Universal Health Coverage. Negara-negara berpendapatan menengah seperti Indonesia mempunyai karakteristik yang menarik dan permasalahan yang kompleks dalam perjalanan menuju pencapaian UHC tersebut. Kasus di beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, dan China bisa diambil beberapa poin penting yang bisa dijadikan pelajaran penting bagi perkembangan UHC di Indonesia, seperti penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai untuk seluruh wilayah Indoneaia merupakan kunci penting tercapainya UHC, bukan dengan mengupayakan peningkatan cakupan kepesertaan. Dengan karakter unik ini dan permasalahan spesifik yang ada di Indonesia ini, yang kemudian menjadi dasar perlunya ada semacam kolaborasi teknis terkait peningkatan kapasitas dalam rangka pemberian bantuan teknis Asuransi Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan terkait Jaminan Kesehatan Nasional.

Materi Presentasi

 

20jan-5Prof Menno Pradhan, menyampaikan bahwa secara statistik umum, kondisi status kesehatan dibandingkan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, menunjukkan kondisi yang lebih baik. Peningkatan ini tidak diimbangi dengan pemerataan penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai di beberapa daerah. Terjadi kesenjangan antar wilayah. Kondisi membaiknya status kesehatan ini hanya terfokus kepada daerah yang maju dan berpenduduk tinggi, seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan, sedangkan Sulawesi, dan Kepulauan Indonesia Timur (seperti Papua, NTT, dan Maluku) justru mengalami penurunan status kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan belum terjadi dan harapannya JKN nantinya akan mereduksi kesenjangan kondisi seperti ini.

materi presentasi

 

20jan-5Prof Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, menyatakan bahwa JKN saat ini berada dalam kondisi yang perlu perhatian khusus, adanya kekurangan tenaga kerja dan fasilitas kesehatan yang belum merata dan tersedia diseluruh pelosok tanah air akan menimbulkan penggunaan dana JKN yang tidak merata. Dana JKN di wilayah yang mengalami kekurangan nakes dan faskes akan selalu sisa, dan justru akan menjadi subsidi ke daerah yang relatif tersedia nakes dan faskesnya. Dalam hal ini wilayah seperti NTT, akan selalu under claim dan Jawa over claim. Terjadi realokasi subsidi dari daerah yang seharusnya dibantu secara pendanaan ke daerah yang justru surplus dari berbagai macam sisi. Maka perlu dilakukan evaluasi dan monitoring kebijakan JKN ini, agar pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia ini tercapai. Memburuknya situasi pemerataan dana JKN ini perlu diantisipasi dalam kerangka perbaikan program kerja pemerintah presiden Jokowi saat ini.

Materi presentasi

 

20jan-8

Prof. dr. Ali Gufron Mukti, Msc, PhD menyampaikan bahwa proses Jaminan Kesehatan di Indonesia sangat tergantung kepada proses politik yang sedang berjalan. Berganti kebijakan kesehatan, berganti pula nama dan kebijakan pembiayaan kesehatan. Itulah yang terjadi dalam kurun dua dasawarsa ini, sehingga akan menjadi tugas yang berat bagi pemerintah dan pemangku-kepentingan menjaga sustainabilitas program pembiayaan kesehatan ini. Perlu dukungan dari berbagai pihak untuk mengawal jaminan kesehatan ini sehingga mencapai tujuan dari jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage). Saat ini merupakan saat yang tepat bagi kaum akademisi untuk membantu pemerintah memperbaiki kebijakan yang ada, dan membantu BPJS sebagai badan pengelola Jaminan Kesehatan Nasional untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang adil, merata dan berkesinambungan

Materi presentasi

 

 

 

Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia VI

bumiminang

bumiminang

Diselenggarakan Oleh:

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
dan
JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

 

  LATAR BELAKANG

Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia adalah suatu jembatan penyambung berbagai pemangku kepentingan dalam keijakan kesehatan di Indonesia. Mereka yang bergabung : para peneliti, akademisi, pemerhati, praktisi kebijakan, kelompok masyarakat, wakil rakyat, birokrat, penamat dari berbagai profesi dan lembaga.

Forum ini telah 5 kali digelar, setiap tahun berturut-turut di Jakarta (UI), Makasar (UNHAS), Surabaya (UNAIR), Kupang (UNDANA), dan Bandung (UNPAD). Pada tahun 2015 ini kota Padang mendapat kehormatan dengan Universitas Andalas (UNAND) sebagai tuan rumah.

Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang dinamis ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia yang dimulai sejak 1 Januari tahun 2014 memberikan andil yang besar terhadap reformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. JKN diharapkan secara bertahap menjadi tulang punggung untuk mencapai Universal Health Coverage di tahun 2019 sebagaimana diamanatkan Undang-Undang. Beberapa isu penting pada era JKN antara lain pemanfaatan bagi masyarakat di daerah, kesiapan anggaran investasi di kementerian dan di pemerintah daerah seperti insfrastruktur, peralatan dan SDM kesehatan. Hal ini juga untuk melihat perjalanan JKN pada tahun kedua, apakah semakin membaik atau memburuk.

Selain itu, Tahun 2015 merupakan tahun untuk mencapai MDGs, sekaligus merupakan tahun KABINET KERJA yang akan menentukan arah kebijakan kesehatan. Masih banyak kendala dan hambatan dalam penerapan JKN dan pencapaian MDGs yang tentu akan dapat berpengaruh terhadap pencapaian UCH tahun 2019. Oleh karena itu, perlu dilakukan Kajian terhadap kebijakan – kebijakan kesehatan menuju UHC 2019.

Tema tahun ini adalah “UPAYA PENCAPAIAN UHC 2019 : KENDALA, MANFAAT, DAN HARAPANNYA”. Dengan sub tema : “Tantangan Upaya Pencapaian Universal Health Coverage – UHC”.

Kelompok kebijakan kesehatan yang akan berkumpul merupakan kelompok yang sudah lebih dahulu berkembang dalam forum sebelumnya serta kajian baru tahun ini:

  1. Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak
  2. Pokja Kebijakan Pembiayaan Kesehatan/Asuransi
  3. Pokja Kebijakan HIV/AIDS
  4. Pokja Kebijakan Pendidikan SDM Kesehatan
  5. Pokja Kebijakan Pelayanan Kesehatan
  6. Pokja Kebijakan Gizi Masyarakat
  7. Pokja Kebijakan Kesehatan Lingkungan
  8. Pokja Penanggulangan Bencana
  9. Pokja Mental Health

 

  TUJUAN

  1. Membahas perkembangan isu – isu strategis kebijakan kesehatan selama dua tahun dilaksanakannya JKN
  2. Membahas reformasi pembiayaan kesehatan dan pelayanan kesehatan di Indonesia dalam mencapai UHC 2019
  3. Meningkatkan kapasitas penelitian oleh perguruan tinggi/pusat penelitiaan dan peneliti dalam penelitian kebijakan kesehatan
  4. Meningkatkan kapasitas peneliti dalam mendiseminasikan hasil penelitian dan menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah lokal dan nasional

 

  WAKTU & TEMPAT

Waktu       : Senin – Rabu/ 24 – 27 Agustus 2015
Tempat     : Hotel Bumi Minang Padang

jadwal 01

 

  PESERTA

Kegiatan Forum Nasional V ini mengundang para pengambil kebijakan, akademisi (dosen dan staf pengajar), peneliti, praktisi kebijakan kesehatan, dan para pengamat serta siapa pun yang tertarik dengan kebijakan kesehatan untuk mengikuti kegiatan ini.

Pendaftaran bagi peserta umum sebagai berikut :

Kegiatan

Early Bird hingga 30 Mei 2015

1 Juni – 23 Agustus 2015

On Site

Seminar (2 Days) 24-25 Agustus 2015

Rp.   750.000

Rp.   850.000

Rp. 1.000.000

Workshop (1 Day) 26 Agustus 2015

Rp.   500.000

Rp.   600.000

Rp.    750.000

Seminar + Workshop 24 -26 Agustus 2015

Rp. 1.000.000

Rp. 1.100.000

Rp. 1.250.000

Field Trip 27 Agustus 2015

Rp.    700.000

Rp.   800.000

Rp. 1.000.000

Biaya dapat ditransfer ke rekening BNI Cab Padang dengan nomor 0374416989 atas nama Panitia FKKI VI.
Biaya sudah meliputi seminar kit, konsumsi selama meeting dan sertifikat ber-SKP. SKP bagi peserta yang disediakan adalah sebagai berikut :

  1. IDI 20 SKP
  2. IAKMI 6 SKP
  3. IBI 5 SKP
  4. PDGI 4 SKP
  5. IAI 15 SKP
  6. PPNI 4 SKP

 

 

  KETERANGAN & PENDAFTARAN

Angelina Yusridar
Hp:  08111498442
Email  : [email protected]

Wisnu Firmansyah
Hp:  081215182789
Email  : [email protected] 

Email : [email protected] 
Web : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

Workshop GP Mental Health

  Latar Belakang

Masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah besar di dunia, karena jumlah penderitanya yang sangat banyak. Laporan badan kesehatan dunia WHO bahkan memperkirakan bahwa setiap 1 dari 4 orang di dunia mengalami gangguan jiwa. Tak mengherankan jika masalah kesehatan mental pun disebut sebagai salah satu penyebab utama kerugian ekonomi, yang juga dapat berakibat disability jika dibiarkan.

Dokter merupakan ujung tombak penanganan kesehatan jiwa di layanan primer karena penderita masalah kesehatan jiwa sebagian besar datang menemui dokter dengan keluhan fisik. Namun berbagai penelitian melaporkan bahwa masalah kesehatan jiwa ini banyak yang tidak terdeteksi dan tidak tertangani karena beban kerja dokter yang sudah overload. Penajaman ketrampilan asesmen, diagnosis dan intervensi kesehatan jiwa menjadi sangat penting bagi dokter di layanan primer. Alur rujukan yang jelas dan kerjasama multidisiplin juga mutlak diperlukan agar treatment gap antara penderita gangguan jiwa dan pelayanan kesehatan jiwa dapat dipersempit.

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan PKMK Fakultas Kedokteran UGM dan CPMH Fakultas Psikologi UGM menginisiasi sebuah training, yang akan menjadi kesempatan emas untuk memperdalam ketrampilan dokter sebagai elemen penting pelayanan kesehatan jiwa primer. Training ini akan dibimbing langsung oleh para pakar dari The University of Melbourne, Australia.

 

  Tujuan

  1. Memberikan gambaran tentang sistem kesehatan jiwa di layanan primer, belajar dari pengalaman global dan Australia.
  2. Memberikan pemahaman tentang peran dan posisi ideal dokter dalam layanan kesehatan jiwa primer.
  3. Memperkuat ketrampilan prevensi, asesmen, diagnosis dan intervensi dokter dalam layanan kesehatan jiwa primer.
  4. Memahami perspektif multidisiplin dalam penanganan kesehatan jiwa di layanan primer.
  5. Membahas arah clinical pathway dalam penanganan depresi di ranah primer.

 

Bentuk Kegiatan

Bentuk kegiatan adalah presentasi dan diskusi selama 2 (dua) hari yang masing-masing terbagi menjadi 5 (lima) sesi presentasi dengan diskusi tanya jawab pada tiap akhir sesi

 

  Waktu dan Tempat

Hari / Tanggal  : Jumat-Sabtu / 13-14 Februari 2014
Waktu             : 08.00 – 17.00
Tempat            : Ruang teater lt.2, Fakultas Kedokteran, UGM

 

Peserta

Workshop ini terbuka untuk dokter Puskesmas dan dokter-dokter umum se-Indonesia

Penyelenggara

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran UGM
Centre for Public Mental Health – Fakultas Psikologi UGM (CPMH UGM)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan – Fakultas Kedokteran UGM (PKMK UGM)

 

  Susunan Acara, Materi, dan Reportase

Day 1:
Experience from Global and Australia

Waktu

Acara

 Detail

Nara Sumber

08.00-08.30

Opening Remarks

  • Mendorong terciptanya pemahaman pentingnya kerjasama multidisipliner dalam pelayanan kesehatan jiwa dalam layanan primer

Kabag Psikiatri Fakultas Kedokteran UGM

PKMK FK – Prof.dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD.

CPMH Fak Psikologi-
Dr. Rahmat Hidayat

08.30-10.00

Global and Australian experience in:
Mental health in primary care

  • Sejarah perkembangan pelayanan kesehatan mental di ranah primer (pengalaman global dan Australia)
  • Peran dokter umum dalam pelayanan kesehatan jiwa di ranah layanan primer

A/Prof Grant Blashki
Ruth Wraith 

materi

10.00-10.30

Coffee Break

 

 

10.30-12.00

Assessment of common mental health problems in primary health care

  • Teknik-teknik asesmen yang cepat untuk dokter umum di layanan primer
  • Pembuatan mental health plan (lembar rencana penganganan kesehatan jiwa, termasuk rujukan)

A/Prof Grant Blashki
Prof. Dr. Sofia Retnowati 

materi 1

12.00-13.00

Lunch break

 

 

13.00-14.00

Children mental health

  • Masalah kesehatan jiwa yang umum pada anak-anak
  • Assesmen dan intervensi masalah kesehatan jiwa pada anak-anak (kompetensi dokter umum)

Ruth Wraith

materi

14.00-15.00

Domestic Violance and Mental Health/Suicide

  • hubungan atara depresi dan kecenderungan bunuh diri
  • deteksi dini kecenderungan bunuh diri pada pasien 

Dr. Erminia Colucci 

materi

15.30-16.00

Coffee Break

 

 

16.00-17.00

Prevention and intervention

  • Keterlibatan dokter umum dalam pencegahan (teknik-teknik pencegahan penyakit jiwa)
  • Berbagai teknik intervensi yang mungkin dipelajari oleh dokter di layanan primer

Ruth Wraith

materi

17.00-17.30

Penutupan Hari I

   Apa yang dapat dimanfaatkan di Indonesia?

dr. Hasta Yoga, SpKJ
Dr. Diana Setiyawati


Day 2:

Pengembangan Pelayanan Kesehatan Jiwa dalam pelayanan Primer di Indonesia di era JKN

Waktu

Acara

 Detail

Nara Sumber

08.00-09.00

Focused Psychological Strategy

Teknik intervensi ringkas untuk problem psikologis

A/Prof. Grant Blashki
Dr. Diana Setiyawati

materi

09.00-09.30

Coffee break

   

09.30-12.00

Kebijakan Pelayanan Kesehatan Mental di Puskesmas dalam era JKN

  • Strategi kesehatan jiwa: posisi dokter umum dalam layanan kesehatan jiwa primer
  • Pendanaan untuk pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer

dr. Herbert Sidabutar, Sp.Kj

materi

12.00-13.00

Lunch Break

   

13.00-14.00

Aspek mutu pelayanan: Hubungan antara dokter dan psikolog

Studi tentang situasi prosedur pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas daerah Sleman

Aspek pelayanan multidisipliner : peran psikolog dalam layanan kesehatan jiwa primer

dr. Hasta Yoga, SpKJ
Dr. Diana Setiyawati

materi 1

materi 2

14.00-15.00

Pengembangan Clinical Pathways dalam penanganan Depresi di Pelayanan Puskesmas

Proposal clinical pathways dalam penanganan Depresi di Pelayanan primer

dr. Hasta Yoga, SpKJ

materi

15.00-15.30

Coffee Break

   

15.30-16.30

Diskusi tentang Penyusunan Clinical Pathways di Puskesmas

 

dr. Hasta Yoga, SpKJ
Dr. Diana Setiyawati

materi

 

 

13febgpm

Workshop GP Mental Health dibuka pada Jum’at (13/2/2015) di Ruang Teater, Perpustakaan FK, UGMK. Acara ini terselenggara atas kerjasama Bagian Psikatri FK UGM, PKMK FK UGM dan Fakultas Psikologi UGM. dr. Mahar Agusno, Sp. KJ (K), Kepala Bagian Psikiatri FK UGM menyatakan, acara ini penting untuk dokter di Puskesmas. Mengapa ini penting? Karena angka kematian maternal tinggi, Perkawinan di bawah 15 atau 20 tahun masih tinggi, sekitar 42%. Selain itu, kemiskinan dan kekurangan gizi, misal minusnya protein dan vitamin dapat memicu gangguan mental. Selain itu, tenaga yang mengurus penyakit jiwa masih sedikit. Persebaran tenaga ini tidak merata di Indonesia. Gangguan jiwa baru diketahui setelah 1 tahun terjadi. Minor terlihat dari fisik dan perilaku yang berubah, mayor terjadi saat perjalanan penyakitnya pelan-pelan. Serta adanya labelisasi, sakit jiwa berat untuk keluarga yang sehat.

WHO berharap pelayanan kesehatan jiwa terintegrasi terutama di layanan primer., salah satu upayanya melalui community empowerment atau kaderisasi. Pasung tidak bisa diatasi bagian jiwa saja, perlu kerjasama erat dengan semua pihak. Semoga acara ini membawa manfaat sebesar-besarnya. Semoga sehat, yang sakit bisa ditemukan sejak dini, ungkap Mahar.

Dr. Rachmad Hidayat, Ketua Central of Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM menyatakan acara ini merupakan kolaborasi lama yang terulang. Kolaborasi tiga bagian di FK ini terjadi sejak 2005 dimana para psikiater, dokter dan psikolog bersatu untuk mendampingi para korban tsunami yang terganggu jiwanya. Acara ini semoga dapat menjadi darma bakti para peserta, agar masyarakat sehat fisik dan jiwa, demi kontribusi kita pada kemanusiaan, tegas Dr. Rachmat Hidayat. Prof. Laksono Trisnantoro menjelaskan, kerjasama dari seluruh pihak mutlak dilakukan di seluruh level, karena membutuhkan kolaborasi banyak ilmu. Dari materi ini, akan disusun pelatihan jarak jauh untuk dijadikan modul yang akan dikembangkan untuk seluruh dokter di Indonesia dalam menangani gangguan jiwa.

Sesi Pagi

grantGrant Bhalsky menyatakan menangani gangguan jiwa merupakan pekerjaan berat. Pasien dengan mental health memerlukan training yang lama. Puskesmas merupakan tempat yang unik untuk bekerja dalam biopschicological model: body, mind, health, social. Salah satu Penelitian children mental health: jika ibu hamil stress-plasenta akan membawa cairan kimia berbahaya untuk perkembangan anak, jadi membahayakan pertumbuhan mental juga. 1 dari 7 anak, kemungkinan mengalami gangguan mental di Australia, jika dideteksi sejak dini, maka resiko kehilangan keluarga, teman dan pekerjaan saat dewasa bisa dihindari. Mental health pada anak-anak terlihat dari fisik mereka yang tidak sempurna. Bahkan di usia 4 tahun jika mereka selalu ngambek dan rewel, maka perlu diperiksa jiwanya.

Grant mempertanyakan, mengapa dokter puskesmas sulit mendeteksi gangguan jiwa pada anak-anak? salah satunya, karena hal ini membutuhkan lebih dari 10 menit untuk pemeriksaan jadi tidak terukur. Jika dipaksa utk tes psikologi, stigma dan labellling di Sleman masih tinggi. Orang tua anak tidak mau anaknya dinilai gila oleh dokter ungkap dr. Rahma dari Sleman. Hal yang terpenting yaitu trust dari dokter ke orang tua anak itu. Maka, untuk memeriksa anak dengan indikasi gangguan jiwa, perlu persuasi yang baik dari dokter ke orang tua.

Di Australia, pada tahun 1960-an orang masih marah jika diagnosisnya karena kesehatan jiwa. Penerimaan atas gangguan jiwa ini diterima karena banyak kampanye agar masyarakat aware pada hal ini. Salah satunya NGO, yaitu Beyond True, jadi sekarang banyak yang mengaku depresi dan ini tidak memakukan. Rahmat H menyatakan, ada pemeriksaan 2 menit: menengarai keluhan. Ketika tidak ada psikiater, maka unexplain medical condition, itu bisa jadi gangguan jiwa. Misalnya: anak ini menyedihkan satu hal yang mendalam, saya akan memberi obat supaya tidak sedih. Masyarakat kita belum menerima hal semacam ini. Faktanya, 5 dari 10 penyebab disability ialah mental disorder. Stigma dan malu adalah dua hal yang membuat pengakuan gangguan ini sulit. Sakit fisik dan mental bersamaan bahkan sudah sangat umum terjadi. Pasalnya, gangguan jiwa dengan dipasung dapat mengakibatkan kelumpuhan dan disabilitas.

Salah satu Puskesmas di Kebumen dapat memberikan pelayanan kesehatan jiwa tanpa dinding, bisa mengumpulkan hingga 160 orang. Ini artinya nakes disana sudah mendapat kepercayaan dari masyarakat dan masyarakat sudah aware atas segala sesuatu yang dialaminya. Kemudian, untuk obat, Dinkes Kulon Progo sudah memfasilitasi Puskesmasnya agar obat untuk gangguan jiwa bisa lengkap dan selalu tersedia (wid).

 

13febgpm1

Sesi setelah makan siang, Dr. Erminia Colluci menegaskan problem kesehatan gangguan jiwa pada rang dewasa biasanya ada hubungannya saat kecil, maka penting kasih sayang dari orang tua untuk anak-anak. cerita yang paling ekstrim, panti asuhan di Rumania, anak-anaknya jarang disentuh dengan lembut saat bayi, maka saat anak-anak itu tidak memiliki ketrampilan belajar, berinteraksi, bahasa dan lain-lain. Pengalaman masa kecil bisa berpengaruh pada perkembangan kejiwaan yang bisa berhenti atau tertunda.

Diskusi

Kasus pertama, ada pasien yang tidak konsumsi absen karena suaminya tidak mengijinkannya. Dia tidak bermanfaat untuk suami dan anak-anaknya, lalu dia pulang ke rumah orang tuanya. Erminia: jika tidak minum obat artinya killing herself. Dia tidak mau ke psikiater/psikolog karena malu, ini karena banyak factor di luar sana. Pertanyaan lain lalu muncul, yaitu bagaimana cara mencegah anak-anak agar tidak bunuh diri karena dia tidak berkomunikasi dengan orang luar. Erminia, salah satunya ada warning site to suicide ada keyakinan bunuh diri tidak baik dan itu harus ditanamkan sejak kecil.

Kemudian, sesi selanjutnya dari BPJS Kesehatan. dr. Doni Hendrawan, MPH, Kepala KCU BPJS DIY menyatakan 60% alokasi dana untuk jasa medic, dan dana ini akan sangat bermafaat jika kita mulai melakukan pendataan dengan baik, dan up todate. Tahun 2014 saja, kasus rujukan jiwa peserta BPJS 148 kasus/tahun di DIY.

Diskusi

Salah satu penanya dari AMC mengungkapkan, terdapat pasien schizopernia paranoid yang dirujuk ke RS Jiwa di Magelang. Tak lama kemudian, muncul keluhan dari keluarga karena tidak ada keringanan. Maka, diusahakan ke BPJS, apakah jika ada pasien gangguan jiwa di RS jiwa tidak bisa dipulangkan, ada jeda per bulan untuk rujukan? Ada pungutan liar dari RS Jiwa di Magelang. Regulasinya seperti apa? Solusinya apa? dr. Doni menjelaskan, RS mungkin takut tidak tertagih, maka dikeluarkan lalu ditagih lagi, kebijakan tiap RS berbeda, sebetulnya tidak perlu seperti itu. Biaya untuk pasien dengan gangguan jiwa satu paket: 9.200.000 dengan maksimal 30 hari. Jika masih membahayakan, maka perlu perawatan lanjutan. Mengapa perlu kapitasi di Puskesmas? Jika prevention dan promotion baik, nakes tetap mendapat insentif tanpa mengobati. Amir (Puskesmas Kota Jogja), untuk rujukan balik banyak masyarakat yang tidak ambil rujukan karena uang transportasi. Jika mendaftar BPJS-apakah aktivasinya setelah 1 bulan?. dr. Doni, kartu BPJS masih aktif setelah satu minggu.

Testimoni

Anto, salah satu korban pasung pada tahun 1999 dan 2000. Anto dipasung di salah satu Puskesmas di Tulungagung karena dianggap gila dan tidak bisa ditangani. Saat ini, Anto mengejar mimpinya yang tertunda yaitu Pendidikan Guru S1 Bahasa Inggris. Anto adalah actor hidup yang mengalami gangguan jiwa, bipolar, schizopernia, dipasung dan akhirnya terbebas dari seluruh belenggu itu. Semuanya diawali dengan depresi mendalam pada 1999, akibat dari shift kerja malam di pabrik kertas dan kuliah di siang hari. Akhirnya, Anto mengalami keanehan dari dirinya, ia makin rajin beribadah, bahkan wiridan.

Banyak dari tetangganya yang menyatakan ia gila. Akhirnya secara tidak sadar, ia mengalami gangguan dalam pikirannya. Kemudian, ia lari dari rumah ke Madura dan seminggu kemudian pulang bahkan meminta bantuan ke Polsek. Setelah itu, ia dipasung berbulan-bulan lamanya. Tanpa wawancara, pemasungan di kaki dan tangan. Konsumsi obat untuk mengurangi.

Anto merasa pasung membuatnya hancur dan merasa tidak memiliki masa depan. Hal ini dianggap tidak aneh, bahkan lumrah pemasungan dilakukan. Melalui lukisan Anto, ia ingin menyampaikan pasung itu menyakiti korban luar dan dalam. Bahkan, setelah dipasung, depresi yang lebih dalam yaitu schizopernia dan bipolar. Korban pasung selalu tidak ada hak dan tidak didengar orang lain. Pasca kejadian itu, Anto bisa mengevaluasi dan menemukan hikmah, harapan itu ada dan memang benar. Akhirnya, Anto instrospeksi, motivasi diri dan terapi medis. Kemudian, Anto menjadi penjahit, guru privat, asisten dokter gigi dan salesman. Tahun 2010, Anto bergabung dengan Komunitas Peduli Skizofernia Indonesia- yang mayoritas anggotanya psikiater, psikolog, pengamat, aktivis dan lain-lain.

dr. Ida menyatakan siapa yang akan disalahkan mas Anto?. Anto menjawab sistem kesehatan masih buruk. dr Ida menegaskan Inisiatif dokter, psikiater dan psikolog masih kurang, menurut literature, stigma terbesar pada petugas kesehatan dan orang-orang yang bergerak di bidang kesehatan. banyak yang terabaikan karena nakes kurang aware. Dokter umum menjadi tangan yang lebih dekat ke pasien ini. Dokter di layanan primer: enggan menulis gangguan jiwa di ICD 10. Maka, terabaikan dalam kebijakan. Mohon jika menemui gejala depresi, mohon dokter umum menuliskan F32 Depresi, itu bisa mengubah sistem kesehatan kita.

dr. Hasta Yoga dalam penutupan acara menyatakan Ruth sudah menegaskan pentingnya untuk aware pada anak-anaknya, kasih saying ke anak yang penting dari kecil, hindari kekerasan. Masih banyak yang malas menulis diagnosis ini, maka mari mulai sadar akan pentingnya diagnosis ini (wid).

Workshop GP Mental Health hari kedua dimulai pukul 08.00 Wib, kali ini pembicara yang hadir antara lain: Prof. Grant Blashki (University of Melbourne), Dr. Diana Setiyawati (CMPH Fakultas Psikologi UGM), dr. Herbert Sidabutar (Direktorat Kesehatan Jiwa, Kementrian Kesehatan), Ruth Wraith (Australian National University), dan dr Hasta Yoga, Sp. KJ.

Sesi 1. Teknik intervensi singkat untuk problem psikologis disampaikan oleh Prof. Grant Balski. Rata-rata kasus di Australia, depresi menimbulkan negative thinking dan beragam konflik lainnya. Sekitar 50% kasus mental health terjadi akibat bullying atau benci dengan pekerjaan yang dijalani. Untuk menangkap gejala gangguan jiwa, maka dilakukan penugasan dari dokter kepada pasien melalui activity planning. Activity planning disampaikan dengan jelas dan lembut, PR pada pasien untuk menulis. Satu aktivitas yang disenangi dan prestasi (misalnya mau mengobrol dengan tetangga dan lain-lain). hasil dari activity planning akan dilihat 1 minggu kemudian. Problem psikologis, diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:

  1. Organic- structural, medication, medical disease
  2. Psychotic- schizopernia, hallucination, delusion
  3. Mood- depresion and bipolar (up and down)
  4. Anxiety- panic
  5. Personality problem

Ada satu fenomena menarik yang sering ditemui dalam masyarakat kita, yaitu panic attack. Salah satu cara untuk mengatasi panic attack yaitu bernafas dengan pelan-pekan, sekitar 10-20 kali tiap menit. Jika bernapas dengan benar, tangan akan terangkat.

Diskusi

Meditasi sangat membantu dalam latihan pernapasan ini. Terdapat satu kasus yaitu jika tidak ada aktivitas rutin yang berat, maka mengalami depresi. Akhirnya disarankan untuk olahraga. Bagaimana mengatasi sulit tidur? Berapa kopi yang diminum? Aktivitasnya apa saja?. Maka, yang terpenting dalam hal ini ialah body clock, seimbang antara tidur dan aktivitas. Ada banyak nasehat dokter untuk pasiennya, para dokter menyatakan jangan terlalu banyak tidur siang dan jangan olahraga sebelum tidur. Ada fakta penting yang sering terulang, hubungan antara tempat tidur dan tidur, faktanya kita harus tidak membawa pekerjaan ke tempat tidur.

Sesi 2 dengan judul materi yaitu Posisi dokter umum dalam layanan primer disampaikan dr. Herbert Sidabutar, Sp. KJ dari Direktorat Kesehatan Jiwa, Kemkes RI. Poin mendasar yang harus disadari ialah sistem kesehatan kita yang buruk. Sayangnya, baru 40% RSU di Indonesia yang memiliki layanan jiwa dan 30% puskesmas di Indonesia yang memiliki layanan jiwa. UU Keswa No 18 Tahun 2014 mengatur nakes dengan kompetensi di bidang jiwa, tenaga professional dan terlatih di bidangnya. Meski sudah ada regulasinya, namun psikolog klinis agak susah ditemui di seluruh daerah. Jadi, keswa belum menjadi menjadi agenda prioritas serta kesadaran masyarakat kurang. Jadi, pemerintah sendiri masih kurang fokus, misalnya APBD Jogja untuk kesehatan jiwa kurang dari 2%.

Strategi yang dapat ditempuh untuk memperbaiki hal ini ialah meningkatkan kolaborasi, dokter, psikiater dan psikolog. Misalnya melalui penyuluhan rutin yaitu gizi, anak, dan lain-lain, tambahkan keswa ke penyuluhan lain agar diterima masyarakat. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya, dari lagu nasional kita sudah disebutkan jiwanya dulu yang dibangun, tegas Herbert.

Diskusi

Arifatul dari RSJ Aceh menyatakan bagaimana peran negara dalam mengatur pemulangan pasien dengan gangguan jiwa jika sudah lintas daerah? Lalu, mohon rekan-rekan dokter di Puskesmas mampu menerima rujukan balik dari RSJ. dr. Herbert menyatakan, ada banyak perubahan sejak 2004 di Aceh, kontrol di dekat rumah dengan memberikan obat sesuai yang di RS. Perlu keselarasan antar pihak terkait untuk program rujuk balik dan pemulangan pasien antar daerah. Marfuah dari Stikes Aisyiah menanyakan bagaimana skema pendanaan khusus untuk keswa?. Herbert menegaskan pendanaan ini perlu diatur agar sesuai yang dibutuhkan.

Kemudian, salah satu program swadaya pendampingan yang berhasil yaitu Puskesmas Kalasan Septina: desa siaga sehat jiwa. Harapan ke depannya, dokter mau dan mampu menjadi garda depan keswa

dr. Hasta Yoga, Sp. KJ menegaskan belum ada sistem terpadu yang melibatkan banyak profesi- bekerja bersama-sama, namun tidak bekerjasama (kolaborasi). Maka, dr.Yoga menyusun disertasi terkait clinical pathway agar para perawat, dokter, psikiater dan psikolog dapat bekerjasama agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik. dr. Hasta mengusulkan, prosesnya, perawat melakukan skrinning awal, lalu dokter memberikan diagnosis, dan tingkat depresi diserahkan pada psikolog. Clinical pathway harus menggunakan standar prosedur operasional dalam penyusunannya. Misal dengan clinical pathway, perawatan depresi dapat dilakukan 10-12 hari saja (wid) .