Berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mencari Menteri Kesehatan untuk Indonesia yang lebih sehat

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran UGM

akan menyelenggarakan diskusi:

“Berbagai Faktor yang Perlu Dipertimbangkan
dalam Mencari Menteri Kesehatan untuk
Indonesia yang Lebih Sehat”

Pada:

Jum’at, 15 Agustus 2014
Tempat di Gedung Granadi, Jl. Rasuna Said, Jakarta
Pukul 13.30 – 15.00 Wib

Bagi yang tidak dapat hadir ke lokasi, Anda bisa mengikuti melalui Webinar
dengan mendaftar terlebih dahulu ke Sdri. Armiatin (082367011312)

Pembicara:

Anjari Umarjianto
(ahli kesehatan masyarakat)

Pembahas:

– Umar Wahid (mantan anggota DPR)
– Laksono Trisnantoro (akademisi)
– Hanna Permana (konsultan manajemen rumahsakit)

Moderator: Heru Ariyadi

Acara akan didahului dengan makan siang.

Peserta tatap muka harus mendaftar terlebih dulu melalui Menik MMR (0818269560)
Pendaftaran di: www.kebijakankesehatanindonesia.net  

 

Diskusi: Calon Menteri Kesehatan

Diskusi:

Siapa Calon Menteri Kesehatan

Diskusi dimulai dari artikel yang menarik dari Yaslis Ilyas tentang siapa calon Menteri Kesehatan dari Kompasiana. Silahkan anda tinggalkan komentar di bawah ini dan ikuti diskusi dengan aktif.

Siapa Menkes Jokowee? Dr. Ribka Tjiptaning?

Oleh Yaslis Ilyas

Hiruk pikuk opini tentang tentang calon Menkes pada kabinet Jokowee mendatang sangat heboh digunjingkan pada sosial media. Tampak, adanya antipati profesional kesehatan kemungkinan terpilihnya dr. Ribka Tjiptaning, poitisi PDIP, sebagai Menkes RI. Sampai2, ada petisi khusus untuk menolak dr. Ribka sebagai kandidat. Penulis sempat membuka situs petisi, begitu banyak alasan yang disampaikan, tetapi umumnya bersifat personal yang kadang diskriminatif contoh: ” Dia kan anak PKI”. Tidak ada anak manusia bisa milih bapaknya, bung! Kalau itu sudah takdirnya, memang kenapa? Ada juga alasan yang lebih rasional disampaikan informan, seperti: ” Yg saya tahu.. Ribka itu.. pernyataannya tidak menyejukkan kalangan praktisi kes terutama dokter.. terlepas dari track record beliau yg saya tdk tahu pasti.. tapi komentar2nya provokatif.. padahal sebagai pejabat sangat penting menjaga ucapan karena masyarakat menilai” Rasanya, yang paling ditolak oleh komunitas kesehatan adalah ” Janji Ribka apabila ditunjuk Menkes oleh Jokowee” Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, berjanji akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait pemidanaan terhadap pengelola rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien yang sakit. Hal itu akan dilakukannya jika Jokowee resmi menjadi presiden dan dirinya ditunjuk menjadi Menkes. Ribka akan membuat PP yang kaitannya dengan Pasal 32 dan Pasal 190 UU Kesehatan mengatur RS atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien dapat dipidana penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Jika penolakan itu menyebabkan kematian pasien, maka RS atau tenaga kesehatan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Sebenarnya, PP ini sesuatu yang diperintahkan UU, tetapi ter-abaikan oleh Menkes saat ini. Tentunya, tidak mudah membuat kebijakan yang tidak populis. Inilah, yang akan dikerjakan oleh dr. Ribka. Sebenarnya, sah sah saja asal untuk kepentingan publik. Hanya cara penyampaian dr. Ribka yang lugas dan ceplas-ceplos, yang menimbulkan efek kejut pada profesional kesehatan. Sebenarnya yang paling penting adalah rekam jejak kandidat itu sendiri!

Bagaimana kriteria Menkes Jokowee?

Lupakan siapa kandidat Menkes! Lebih baik mendiskusikan kriteria Menkes yang dapat disarankan untuk Jokowee. Agar tidak terjadi bias personal, saya broadcast kepada 1200 teman di BB dan WA dengan pertanyaan sebagai berikut: ” Apa karakteristik kandidat Menkes RI era Jokowee?”

Inilah rangkuman jawaban informan tentang karakteristik kandidat Menkes:

  1. Gender tidak harus ditekankan wanita
  2. Usia msh dibawah 55 thn
  3. Pendidikan S2- S3 bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat
  4. Dokter atau dokter gigi
  5. Jujur
  6. Pekerja keras
  7. Administrator yg baik
  8. Profesional non partai
  9. Punya pengalaman di kelas internasional.
  10. Track record baik tdk korupsi, kolusi dll

Disamping kriteria diatas ada penilaian kualitatif kandidat Menkes yaitu:

  1. Mau blusukan kontrol kondisi lapangan kayak Jokowee
  2. Memahami tentang jaminan kesehatan atau managed care karena era JKN-SJSN
  3. Punya kemampuan lobby unt networking/ koordinasi
  4. Tidak akan jadi sapi perah manapun termasuk partai manapun.
  5. Berpengetahuan luas mengenai stakeholder
  6. Mempunyai pengalaman mengelola RS pemerintah dan swasta
  7. Faham kebutuhan masyarakat tanpa merugikan para pelaku layanan kesehatan kesehatan di Indonesia dan dibuktikan dengan pengalaman praktis nya punya ilmu manajemen tentang kesehatan, RS, pelayanan kesehatan dan lingkungan kesehatan.
  8. Mengenal betul masalah kesehatan di Indonesia sehingga bs merangkum semuanya dan membuat terobosan dan solusi utk Indonesia
  9. Mampu menggabungkan fungsi RS-puskesmas-klinik-asuransi-kesehatan sehingga setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, sehat dan menerima pelayanan tanpa harus pusing2 memikirkan dana dan segala macam tetek bengeknya.
  10. Penguasaan planning dan eksekusi, berpengalaman, bersih dan gigih.
  11. Mampu dan memastikan program di eksekusi tepat waktu dan tepat harga.
  12. Mempunyai kompetensi yg luas bukan saja di sektor kes apalagi cuma orientasi kuratif
  13. Mampu mendorong sektor lain utk health in all policy development
  14. Kinerja output oriented yg terukur

Menkes = Profesional Kesehatan Masyarakat, apa alasannya?

Kalau melihat kriteria kandidat Menkes tersebut, tidak lah mudah menemukan Manusia Super yang akan memimpin Kementerian Kesehatan RI 5 tahun mendatang. Sudah puluhan tahun Kemenkes dipimpin dokter klinikus tampaknya indikator kesehatan utama seperti: Angka Kematian Bayi (IMR) 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup di periode 2008-2012., Angka Kematian ibu (MMR) masih tinggi 359 per 100 ribu kelahiran hidup, Balita kurang gizi, Prevalensi Penyakit Menular hampir2 tidak bergeming! Indikator kesehatan menurun dengan lambat dan ada indikator (MMR) malahan naik! Saat ini indikator kesehatan kita sudah tertinggal oleh Vietnam, negara yang hancur akibat perang. Menyedihkan bukan! Ini artinya, program kesehatan masyarakat kita belum berjalan semestinya. Konsep dan program relatif bagus, tetapi implementasinya dan kontrol lapangan lemah! Perlu perubahan program lapangan bukan sekedar dikerjakan, tapi betul2 dilaksanakan dengan orientasi kinerja ouput yang terukur.

Sudah saatnya, Kemenkes RI dipimpin oleh kandidat dengan berlatar belakang Profesional Kesehatan Masyarakat. Kenapa? Ini alasannya: 1. masalah double burden penyakit masih on state. 2 JKN – Universal Health Coverage menjadi prioritas presiden Jokowee, 3. Program kesehatan adalah unsur langsung kesejahteraan rakyat sehingga lebih baik non partai (steril dari kepentingan politik). 4. Perlu mengembangkan public – private partnership bidang kesehatan. 5.Perlu ada koordinasi yang lebih baik antara pusat dan daerah dalam program kesehatan di era otonom ini ( saat ini kurang nyambung). 6. Usaha Kesehatan Perorangan sudah diatur via JKN maka program Usaha Kesehatan Masyarakat harus lebih di kembangkan dengan Public Health Approach. Dengan demikian, program utama kesehatan Kemenkes adalah upaya promotif dan preventif. Yang pasti, kandidat Menkes tersebut harus mampu sukseskan JKN sesuai dengan program Jokowee tentang Kartu Indonesia Sehat buat seluruh rakyat Indonesia!

sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/08/07/siapa-menkes-jokowee-dr-ribka-tjiptaning-678575.html

 

 

Diskusi: Calon Menteri Kesehatan

Diskusi:

Calon Menteri Kesehatan

 

Diskusi dimulai oleh Anjari Umarjianto dengan memasukkan bahan berupa kliping dari Kompas.com yang berisi janji Ibu Ribka Ciptaning kalau jadi Menteri. Masukan ini dibahas oleh banyak pihak. Silahkan mengikuti:

Anjari Umarjianto: Ini Janji Ribka jika Ditunjuk Jadi Menteri Kesehatan oleh Jokowi

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi IX DPR sekaligus salah satu kandidat Menteri Kesehatan, Ribka Tjiptaning, berjanji akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait pemidanaan terhadap pengelola rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien yang sakit. Hal itu akan dilakukannya jika Joko Widodo resmi menjadi presiden dan dirinya ditunjuk menjadi Menkes.

“Pasal 32 Undang-Undang (Nomor 36 Tahun 2009 tentang) Kesehatan itu sudah mengatur kedaulatan rakyat, pidana kepada yang menolak melayani pasien. Tapi belum ada PP-nya. Itu yang membedakan kita nanti,” ujar Ribka di Posko Perjuangan Rakyat (Pospera), Jakarta Pusat, Selasa (29/7/2014).

Ia mengatakan, UU yang ada saat ini sudah cukup mengatur hak rakyat untuk mendapat pelayanan kesehatan, di lembaga pelayanan kesehatan mana pun. Namun, kata dia, belum ada peraturan pelaksana yang mendukung UU tersebut untuk menjamin penegakan hukumnya.

Oleh karena itu, rumah sakit (RS) atau tenaga kesehatan masih abai pada pelayanan pasien. Ia mengatakan, jika ada PP soal pemidanaan penolakan pasien, maka tidak ada lagi RS atau tenaga kesehatan yang berani menolak pasien meski tidak punya uang untuk biaya RS.

“Kalau ada sanksi, ada efek jera, tidak ada lagi yang berani menolak. Karena tenaga kesehatan itu sumpahnya mengedepankan kemanusiaan,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Pasal 32 dan Pasal 190 UU Kesehatan mengatur, RS atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien dipidana penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Jika penolakan itu menyebabkan kematian pasien, maka RS atau tenaga kesehatan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. 

 

Tanggapan Achmad Haryadi

Dear all,
Dengan statemen tsb kita jadi tahu bahwa kalau beliau jadi Menteri Kesehatan, akan fokus pada UKP (upaya kes perorangan). Padahal menkes yang akan datang diharapkan memberikan perhatian lebih pd pengembangan UKM (upaya kes masyarakat).  Ada 34 daerah provinsi dan sekitar 500 daerah kab/kota. Sebagai daerah otonom, mereka butuh pedoman dan pembinaan dalam implementasi otonomi kes di Daerah. Yang baru disediakan adalah pembagian urusan antara pusat dan daerah, belum tentang bagaimana urusan pemerintah yang dibagikan tersebut di proses menjadi wewenang daerah, bagaimana organisasi penyelenggaraannya, bagaimana sistem operasinya, serta bagaimana tenaga dan pembiayaannya. Hal ini jadi penting utk penggerakkan UKM pada 34 kesehatan provinsi dan 500 kesehatan kab/kota. Bagaimana dinkes sebagai penanggung jawab penyelenggaraan otonomi kesehataan daerah akan mengembangkan UKM secara terintegrasi dan mengalokasikan pembiayaan UKM.
Pada akhirnya urusan pembinaan bidang kesehatan adalah tanggung jawab menkes (walaupun diselenggarakan secara otonomi). Disisi lain, kemampuan daerah tidak sama, sehingga perlu kebijakan khusus tentang bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat (DAK, TP, HIBAH dll) untuk UKM dalam setting tersebut (bahwa urusan kesehatan tanggung jawab presiden melalui menkes).
Karena pengelolaan keu Daerah sudah di atur oleh Kemdagri, pengelolaan organisasi Daerah juga sudah diatur oleh KemPAN, maka menkes perlu memahami hal tsb dan membangun kerjasama erat dg kedua kementerian tsb.
Walhasil, banyak PR yg perlu di kerjakan bersama 5 tahun kedepan untuk mengefektifkan implementasi UKM di Daerah. Welcome Menkes yang UKM oriented.
Salam…

Tanggapan balik Pak Anjari

Sepakat dg pak ahmad hariyadi jika Bu Ribka itu UKP banget.. Contohnya krmarin ketika ditanya bagaimana atas tingginya angka kematin ibu bayi? Beliau jawab, akses RS yg kurang makanya dia akan bangun RS Pratama hingga tingkat kecamatan..

Sepanjang saya mengikuti sidang-sidang komisi 9, bu ribka juga sering ungkapkan upayanya bangun rs kelas 3 dan gratis…

Ya tetapi kembali pd asas dasar, siapa saja yg jd Menkes itu hak prerogatif presiden… 😉

Tanggapan Heru Aryadi

Dear all,

Bagi politisi, UKP itu sesuatu banget dan seksi banget

Bagi profesional, UKM itu sesuatu banget dan seksi banget

So, kita tunggu siapa yang bakal jadi Menkes

Tanggapan Laksono Trisnantoro

Pengamatan saya mengenai posisi menteri di bidang kesehatan selama 15 tahun ini memang merupakan posisi politik. Suka2nya Presiden terpilih dan orang-orang di sekitarnya. Jadi setiap 5 tahun sekali, memang ada perjudian besar. Menteri yang terpilih bisa baik bisa buruk. Untuk mengurangi dampak buruk perjudian ini ada sedikit analisis saya sebagai berikut:

  1. Di sektor kesehatan belum ada semacam kekuatan penyeimbang untuk Menteri Kesehatan. Memang ada DPR, namun isinya juga perjudian.
  2. Para peneliti dan pemberi masukan kebijakan kesehatan masih lemah. Para peneliti kita masih belum independen dan belum dapat memposisikan diri sebagai pemberi masukan kebijakan.
  3. Anggaran untuk penelitian kebijakan masih rendah.
  4. Sebagian peneliti kebijakan “menyeberang” ke pengambil kebijakan yang akhirnya menjadi pejabat dengan peran yang membingungkan.

Oleh karena itu perlu penguatan para peneliti dan pemberi masukan kebijakan kesehatan yang independen. Hal ini yang perlu kita perkuat. Jadi siapapun Menterinya, kelompok independen di sektor kesehatan harus memperkuat diri, dan tidak perlu ikut-ikutan “ngotot” memberikan masukan siapa Menterinya. No body is perfect dan bisa menjadi faktor yang membikin tidak independen.

Saya pernah memberi masukan nama untuk Menteri Kesehatan karena diminta lingkaran dalam Presiden terpilih. Setelah Menteri terpilih saya berusaha menjaga jarak agar tidak terjadi bias. Hal ini penting, kecuali kalau kita kemudian ditunjuk menjadi Penasehat Menteri dan kita bersedia. Posisi penasehat ini memang tidak independen. Saya berfikir bahwa Indonesia masih butuh banyak peneliti kebijakan yang independen.

Demikian komentar saya. Jadi mari kita cermati proses pembentukan kabinet dan siapkan materi untuk masukan kebijakan serta kekuatan untuk memberi masukan.

Website Kebijakan Kesehatan Indonesia akan terus dipacu untuk forum kebijakan kesehatan. Silahkan menggunakannya.
Salam

Tanggapan Heru Ariyadi

Sependapat prof Laksono.
Ijin share pendapat ini, karena sdh ada petisi yg kalimatnya mengandung rasa benci sebagian dan sebagian memang obyektif (paling tidak menurut saya )

Salam Keselamatan Pasien

Tanggapan Hanna Permana

Setuju…pak Laksono….. apa yang kita bisa dan mampu harus kita kerjakan….dan jika ada yang baik..serta perlu kebijakan kita berupaya memberikan masukan ke pembuat kebijakan… dengan alasan yang kuat kita harapkan pengkayaan dibidang kesehatan  khusunya kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat… setuju pak Laksono…siapapun menterinya ya harus didukung…oleh profesional dibidang  kesehatan

Tanggapan Anjari Umari

Terima kasih prof atas tanggapan dan pendapatnya. Mencerahnya dan patut jadi pegangan…

Iseng-iseng saya nulis di blog pribadi :

Biarkan Jokowi Mengangkat Menteri Pilihannya

http://anjaris.me/biarkan-jokowi-mengangkat-menteri-pilihannya/

Saya ikut mengisi nama yang diusulkan sebagai calon Menteri Kesehatan dalam “Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR)” yang diinisiasi oleh kelompok relawan “Jokowi Center”. Harapan saya sih sederhana saja, siapa tahu nama yang saya usulkan benar menjadi Menkes. Saya punya keyakinan, haqul yaqin, orang yang saya usulkan mampu mengemban tugas dalam pembangunan kesehatan Indonesia. Alasannya sih (lagi-lagi) sederhana, saya tahu kelayakan dan kepantasan (fit & proper) yang bersangkutan.

Seketika tuntas mengisi KAUR, rasa puas berubah menjadi gamang. Apa hak saya ikut-ikutan memberi usulan kepada Jokowi-JK melalui Jokowi Center? Jangan-jangan kelompok relawan atau non relawan Jokowi-JK juga punya usulan dan proposal calon Menteri. Jika dalam KAUR saja ada ribuan orang usul, bagaimana ditambah dengan usulan lain. Weladalah, tak berselang waktu lama beredar nama calon Menteri ( termasuk Menkes) dari kelompok-kelompok lain yang konon dekat dengan Jokowi-JK. Kalau saya kumpulkan, banyak sekali nama-nama yang berterbangan sebagai calon Menkes. Muncul pikiran nakal saya, dari nama-nama yang muncul ini siapa ya yang ada dalam benak Jokowi? Sama nggak yang ada di pikiran JK? Atau jangan-jangan mereka punya nama selain yang diedarkan ini.

Diantara keriuhan nama-nama calon Menkes, suara “tolak si anu jadi Menkes” semakin kencang. Saya bisa rasakan penolakan itu secara langsung, juga melalui media sosial. Bahkan ada petisi “menolak si anu jadi menkes” yang nampaknya banyak disuarakan dari kalangan dokter.

Rasa gamang saat ikut mengusulkan KAUR tadi semakin menjadi rasa bersalah. Jangan-jangan saya sudah keluar dari batas hak semestinya. Jangan-jangan melalui usulan tadi terselubung maksud “menyodorkan dengan memaksa” Jokowi-JK memilih usulan itu. Tapi kan usulan itu boleh diterima atau ditolak. Nah, di posisi ini saya menjadi tenang. Sepanjang hanya usul, tidak bermaksud mendesak, memaksa kehendak apalagi menyetir kepada Jokowi-JK, rasanya sih asik-asik saja.

Saya yakin bahwa setiap orang yang punya usul calon Menteri tahu bahwa mengangkat Menteri (termasuk Menkes) itu hak prerogatif presiden. Jadi ya biarkan saja secara merdeka bebas pemaksaan kehendak, Presiden nantinya menggunakan hak prerogatifnya. Biarkan, beri kesempatan, Jokowi mengangkat Menteri pilihannya. Bukankah sewaktu mencoblos Jokowi karena percaya Jokowi memiliki kapasitas sebagai Presiden, termasuk mengangkat Menteri?

Dengan membiarkan Jokowi (-JK) mengangkat Menteri pilihannya secara bebas mandiri berarti memberi kesempatan pasangan ini membuktikan janji dan kapasitasnya nya kepada rakyat. Dengan kata lain, Kabinet Jokowi-JK adalah batu uji pertama pasangan presiden/wakil presiden pilihan rakyat. Dengan begitu rakyat bisa ngomong,”ini lho kabinet pilihan presiden kita”. Jadi, Pak Jokowi, Pak JK, tolong abaikan saja usulan nama calon Menkes dari saya. Nanti jika sudah resmi sebagai Presiden/Wapres, monggo gunakan hak prerogatif secara bebas merdeka tanpa paksaan kehendak dari saya untuk tentukan pilihan yang menjadi Menkes. Toh, siapa saya ini. Nanti saya malah bingung njawab kalau Pak Jokowi nanya,”apa sampean nyoblos saya?” ;))

Hingga tulisan iseng ini saya posting, masih gegap gempita orang, termasuk kawan saya, mempetisikan “tolak di anu jadi Menkes”. Disamping itu sibuk pula mempromosikan calonnya untuk jadi Menkes. Alasan kegigihannya menolak dan mengusulkan calon menkes, karena dia nyoblos Jokowi-JK. Dia dulu juga turut mengkampanyekan agar pilih Jokowi-JK. Jadi saat ini dia “merasa berhak” bersuara menolak calon menkes yang tidak kredibel dan juga memberi saran/usul calon Menkes. Saya jadi kepikiran begini; jika satu orang yang dulu mencoblos Jokowi-JK merasa berhak memberi usul/saran calon Menteri, bagaimana lagi dengan sponsor/donatur Jokowi-JK ya?

Ahh, sudahlah. Ayo biarkan Jokowi-JK mengangkat Menteri (termasuk Menkes ya) pilihannya. Ini ujian pertama!

Tanggapan Laksono Trisnantoro

Mantap pak Anjari. Klop benar dengan pendapat saya. Mari kita hadapi segala kemungkinan. Kalau pas dapat baik… mari bersyukur. Kalau pas dapat yang jelek…mari kita tekan untuk menjadi baik. DI sektor lain banyak think-tank yang berani menekan Menteri. Misal di sektor perhubungan, ada berbagai kelompok peneliti yang memberi masukan (bisa disebut juga tekanan) agar Menteri Perhubungan membikin kebijakan tertentu. DI Luar Negeri hal ini sangat jamak sehingga ada kontrol dan penyeimbangan. Oleh karena itu  mari kita perkuat Check and Balance di sektor kesehatan. Siapapun Menteri Kesehatannya.

ARSADA, ADINKES, PERSI, UGM, UI dll  harus siap2. Siapapun Menterinya…kita harus tegakkan logika. Jangan sampai sektor kesehatan menjadi sektor yang tidak logis, gara-gara perilaku Menteri dan Staffnya…

 {jcomments on}

Reportase Simposium VIII

 

Simposium VIII

Pelarangan Iklan Rokok dan Media Komunikasi

Reporter: Jusniar

Simposium VIII rangkaian acara ICTOH telah dilakukan pada Sabtu (31/5/2014) pukul 11.50-13.20 WIB di ruang Rosewood 2, Hotel Royal Kuningan. Peserta yang mengikuti sesi ini sekitar 20 orang dan acara dimoderatori oleh Heri Chariansyah, SH. (Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia). Ada empat pemateri dalam symposium ini, antara lain:

Pertama, Yosef Rabindata Nugraha (Organisasi Indonesia Bebas Rokok). Peran Masyarakat Sipil dalam Media Sosial dalam Upaya Menentang Pameran Inter-tabac Asia. Indonesia dipilih sebagai tuan rumah pameran Inter-tabac, pameran rokok dan aksesoris rokok terbesar yang diinisiasi oelh pemerintah Kota Dortmund, Jerman. Pameran tersebut rencananya akan diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Center pada tanggal 27-28 Februari 2014. Seorang warga kota Dortmund menghubungi pembicara, mengajak bergabung dalam upaya menentang pameran tersebut dengan cara membuat petisi on line. Warga kota Dortmund tersebut merasa sangat malu karena kotanya membuat kegiatan yang merugikan orang Indonesia. Akhirnya, petisi dalam tiga bahasa (Indonesia, Inggris dan Jerman) tersebut ditandatangani oleh lebih dari 12.400 orang. Sekitar 8.000 orang berasal dari Indonesia, 3.000 orang dari Jerman, dan sisanya dari beberapa negara lain. Selain dengan petisi on line, mereka juga mengirimkan foto mereka yang membawa tulisan ” I Made Mangku Pastika Tolak Inter-tabac Asia 2014″ ke twitter Gubernur Bali.

Akhirnya, pameran Inter-tabac Asia 2014 resmi ditunda diselenggarakan di Provinsi Bali. Bahkan, World Tobacco Asia yang semula akan kembali diselenggarakan di Indonesia pada bulan September 2014 resmi di[pindahkan tempat penyelenggaraannya. Peran media sosial dan masyarakat sipil dalam upaya pengendalian tembakau perlu dikembangkan, mengingat masyarakat sudah cukup peduli dengan isu pengendalian tembakau. Jika media sosial digunakan dengan tepat guna, akan sangat bermanfaat dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia.

Kedua, Hendriyani & Nina Mutmainnah Armando (FISIP-UI, Yayasan Pengembangan Media Anak). Panah Tajam Iklan Rokok di Televisi unhtuk Anak Muda. Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang belum melarang iklan rokok di media penyiaran. Iklan rokok di televisi ditujukan kepada anak muda. Anak-anak yang mulai merokok pada usia muda akan memiliki loyalitas yang tinggi. Penelitian dilakukan terhadap 11 stasiun televisi swasta yang melakukan siaran secara nasional dai Jakarta. Iklan rokok yang diteliti adalah iklan rokok pada satu minggu pertama selama empat bulan berturut-turut pada tahun 2012. Data diambil pada bulan Januari – April, kecuali di TransTV pada bulan Mei – Agustus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasar durasi tayangan iklan per minggu, secara berturut-turut stasiun yang paling banyak menayangkan adalah: transTV, RCTI, Trans7, GlobalTV, MNCTV, ANTV, SCTV, Indosiar, TVOne dan MetroTV. Mayoritas iklan ditayangkan di program R-BO (Remaja-Bimbingan Orangtua) yang banyak memiuliki penonton anak muda. Tema-tema yang diangkat sangat khas anak muda, seperti petualangan, gaya hidup, keberanian, pertemanan, semangat, keceriaan, dan lain-lain.

Ketiga, Rizanna Rosemary (Faculty of Social and Political Sciences. The University of Syiah Kuala, Centre for Tobacco Control Studies), Understanding Online Petition as Potential Medium for Tobacco Control Advocacy. Banyak hasil studi menunjukkan bahwa media sosial seperti twitter atau facebook terbukti sangat signifikan bukan hanya untuk mempromosikan rokok, tetapi juga untuk melakukan advokasi kesehatan masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan-kegiatan online, seperti petisi online sebagai sumber gerakan sosial atau perubahan sosial. Potensi media sosial sangat besar untuk mengupas isu-isu tentang rokok. Dukungan yang diberikan oleh media sosial misalnya dalam bentuk petisi online dapat digunakan untuk mendorong stake holder dan pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan pengendalian tembakau. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mencegah konsumsi tembakau dan meningkatkan kesehatan anak muda Indonesia.

Keempat, Vetty Yulianty Permanasari, Santy Yudiastuti, Zakiyah (Tobacco Control Support Center, IAKMI, Melawan Mitos Industri Rokok: Studi Pendapatan Daerah dari Iklan Rokok di 3 Kota di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jumlah pendapatan pemerintah Kota Semmarang, Surabaya dan Pontianak dari semua jenis iklan luar ruang produk tembakau, sponsorship dan CSR pata tahun 2008-2010. Studi dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder dari instansi yang terkait dengan penerimaan pendapatan dari iklan tembakau luar ruang. Hasil peneltian menunjukkan bahwa pendapatan dari pajak iklan sangat kecil, hanya 0,12% – 1,01% dari total pendapatan daerah. Pendapatan yang kecil tersebut tidak mempengaruhi total pendapatan daerah. Penbelitian ini merekomendasikan kepada pemerintah ketiga kota tewrsebut untuk melarang iklan rokok. Potensi iklan yang lebih besar bisa ddapatkan dari produk telepon seluler, otomotif dan perbankan.

Reportase Sesi Pleno I ICTOH

 

Sesi Pleno I ICTOH

Reporter: Jusniar

Sesi Pleno I ICTOH dilaksanakan di Royal Ballroom, pada Jum’at (30/4/2014) pukul 10.05 – 12.00 WIB. Ada dua pemateri yang hadir dalam pleno I ini, yaitu dari WHO Indonesia dan International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases. Dr. Farrukh Qureshi (WHO Representative Indonesia) menyampaikan Impact of FCTC on Reduction of Tobacco Use. FCTC perlu dilaksanakan karena terbukti cost effective. Sejak tahun 2007, WHO telah mengembangkan strategi MPOWER yang perlu dilaksanakan oleh pembuat kebijakan di Indonesia. Ada 15 negara yang sudah menerapkan > 50% permukaan kemasan rokok berisi pictorial warning. Kemudian, ada 107 negara yang sudah menerapkan 30% – 50% permukaan kemasan rokok berisi pictorial warning. Pada tahun 2012 ada 24 negara yang melarang iklan, promosi dan sponsor rokok (TAPS)

Dr. Ehsan Latif (International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases) menyampaikan FCTC and Health Development. Konsumsi tembakau merupakan salah satu faktor risiko penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit kardiovaskuler, penyakitv respiratori kronis dan diabetes. Penyakit tidak menular membunuh 35 juta orang per tahun, 80% di antaranya di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada tahun 2005, rumah tangga di Indonesia yang memiliki perokok mengeluarkan 11,5% pendapatannya untuk produk tembakau, lebih tinggi daripada gabungan pengeluaran untuk ikan, daging, telur dan susu yang 11%. Solusi untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan konsumsi tembakau adalah meratifikasi dan mengimplementasikan FCTC.

Reportase Simposium X

 

Simposium X

Kebijakan dan advokasi pengendalian tembakau

Reporter: Ningrum

Simposium X sebagai bagian dari ICTOH mengambil tema Kebijakan dan advokasi pengendalian tembakau. Simposium telah digelar pada Sabtu (31/5/2014) pukul 11.00-13.00 WIB di ruang Rosewood 4, Hotel Royal Kuningan. Dwi Adi Maryandi kali ini bertindak sebagai moderator dalam simposium. Berikut adalah 5 materi yang sudah disampaikan :

Pertama, Sinergi Pemerintah Daerah dan Perguruan Tinggi dalam Mengupayakan Kebijakan Pengendalian Tembakau di Kabupaten Jember, oleh : Dewi Rokhmah (Universitas Jember). Kabupaten Jember adalah kabupaten kedua setelah Pamekasan yang memberikan konstribusi terkait dengan daun tembakau yang mensuplai ke beberapa perusahan rokok, kemudian terkait dengan faktor histori sudah menjadi semacam budaya juga petani tembakau itu sangat erat di masyarakat Jember. Kalau dilihat dari logo saja, disana ada daun tembakaunya. Ini sebetulnya yang perlu mendapat perhatian semua teman-teman di tobacco control apakah karena ini juga, banyak kendala juga ketika kita berupaya terkait dengan kebijakan pengendalian tembakau. Petani tembakau di Jember saat ini, sudah tidak seperti dulu yang mengatakan bahwa tembakau adalah emas jadi terkait dengan turunnya harga juga kesejahteraan petani tembakau saat ini sudah sangat rendah. Hal Ini dibuktikan melalui penelitian ini yang melibatkan teman-teman mahasiswa di FKM. Kemudian untuk penerapan PHBS yang perlu perhatian juga adalah angka PPOK yang dilaporkan rumah sakit Jember adalah 60% dari mereka mempunyai kebiasaan merokok apalagi dengan kondisi yang sering terpapar asap rokok orang lain. Inovasi langkahnya muncul untuk pemerintah kabupaten mau melakukan kebijakan pengendalian tembakau. Satu hal lagi ini yang terakhir empat hari lalu HM Sampoerna memiliki pabrik rokok untuk cigarette kretek tangan ditutup karena masyarakat sekarang lebih suka dengan cigarette kretek mesin, yang menjadi korban petani tembakau 4000 lebih pekerja di pabrik rokok linting tangan di-PHK seharusnya kita harus bersinergi akademisi dengan pemerintah kabupaten kota khususnya tentang pengendalian tembakau. Untuk penellitian ini dilakukan secara diskriptif dengan kebijakan Bupati Nomor 188 tentang kabupaten sehat dengan pendekatan analisis kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kabupaten Jember dalam SK Bupati no 188.45/243.1/012/2013 tentang forum kabupaten sehat di kabupaten Jember tahun 2013-2018, dapat memberikan dampak yang positif bagi kualitas hidup masyarakat Jember termasuk para petani tembakau. Dalam proses pembentukan kebbijakan kabbupaten sehat ini diawali dari forum kerjasama pemerintah daerah dengan universitas Jember dalam bentuk dialog, kemudian menyelenggarakan workshop dan mensosialisasikan kebijakan dalam forum Jember sehat.

Kedua, Analisis terhadap Lima Draft RUU terkait Pengendalian Tembakau, oleh : Putri Hikmawati (Indonesia tobacco control legal resource center). Hasil penellitian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kejadian relapse pada perokok aktif, dengan variabel hambatan berhenti merokok, kepercayaan diri, motivasi dan tingkat ketergantungan terhadap nikotin namun tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel persepsi terhadap ancaman penyakit dan variabel manfaat berhenti merokok. Analisis regresi logistic menunjukan variabel kepercayaan diri merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap kejadian relapse pada perokok aktif dengan resiko. Factor sosio psikologi sangat berpengaruh terhadap kejadian relaps pada perokok aktif, untuk itu perlunya penguatan pada program yang berbasis social kemasyarakatan untuk memberikan dukungan berhenti merokok pada perokok aktif sehingga mereka mempunyai kepercayaan diri yang kuat bahwa tanpa merokok mereka dapat hidup sehat dan lebih produktif.

Ketiga, Pajak rokok untuk Promosi Kesehatan : Studi Kasus Alokasi 70% Pajak Rokok untuk Pengendalian Tembakau di DKI Jakarta, oleh : Bernadette Fellarika Nusarrivera (Swisscontact Indonesia Foundation). Tantangan dalam advokasi raperda pajak rokok adalah bagaimana agar pasal 8 Raperda tersebut yang semula isinya sama dengan pasal 31 Undang-Undang No 31/2009 dapat diubah menjadi “penerimaan pajak rokok dialokasikan palilng sedikit 50% untuk mendanai promosi kesehatan dan pengendalian dampak merokok serta penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Pertemuan dan lobi oleh koalisis, kemendagri akhirnya menerima argument yang disampaikan pemerintah provinsi DKI. Hasilnya adalah penerimaan pajak rokok dialokasikan paling sedikit 70% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Studi kasus ini adalah yang pertama kali terjadi di Indonesia dimana pemerintah daerah menolak hasil evaluasi raperda dari kemendagri. Implikasi dari keberhasilan ini adalah bahwa daerah-daerah lain di Indonesia akan menjadikan kasus di DKI ini sebagai pertimbangan dalam memanfaatkan pajak rokok untuk sebesar-besarnya upaya promosi kesehatan guna melindungi masyarakat dari bahaya merokok. Langkah tindak lanjut setelah ini adalah penyusunan dan pelaksanaan pedoman penggunaan pendapatan pajak rokok untuk promosi kesehatan seperti yang diamanatkan Perda No. 2/2014. Koalisis SIF akan terus mengadvokasi dan memantau pelaksanaan perda ini

Keempat, Dukungan Masyarakat terhadap Aksesi FCTC di Indonesia, oleh : Deni W Kurniawan. Penelitian ini di lakukan di 11 kota dan 8 provinsidi Indonesia, dengan responden sebanyak 1.444 orang yang dipilih secara acak dengan usia 18 tahun ke atas. Mayoritas responden mendukung pengaturan pengendalian tembakau seperti larangan merokok di seluruh tempat public dan tempat kerja (95%), peringatan kesehatan bergambar (8.7%), pelarangan iklan, promosi dan sponsorship rokok (82.8%), menaikkan pajak dan harga rokok (95.5%), melarang penjualan rokok per batang/ketengan (79%), melarang penggunaan rasa tertentu (80%) dan pengaturan kemasan rokok polos (74%). Responden mendukung aksesi FCTC (90%). Dukungan terhadap aksesi FCTC juga tinggi diantara responden perokok (83.4%), mantan perokok (93.7%) dan mantan perokok (95.4%). Mayoritas masyarakat Indonesia mendukung sangat kuat dari generasi muda (70.8% responden berusia 18-30 tahun) menunjukkan bahwa generasi muda mendukung kebijakan pengendalian tembakau

Kelima, Denormalisasi Industry Rokok Melalui Penggalangan Suara Korban Rokok dalam Advokasi Pengendalian Tembakau di Indonesia, oleh : Nanda Fauziana (Komisi nasional pengendalian tembakau). Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana penggalangan suara korban rokok melalui Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI) dapat mempengaruhi denormalisasi industri rokok di Indonesia. Alat yang digunakan untuk advokasi denormalisasi industry rokok antara lain dengan pembuatan buku testimonial korban rokok, iklan layanan masyarakat dalam media penyiaran maupun medialuar ruang, konferensi pers, dan akun aliansi korban rokok dalam media social. Hingga saat ini AMKRI merupakan aliansi satu-satunya yang pernah dibentuk di Indonesia yang beranggotakan pasien atau survival dan keluarga korban yang pernah atau sedang mengalami sakit terkait rokok. Penggalangan dukungan dalam bentuk aliansi korban rokok merupakan salah satu cara yang efektif untuk advokasi denormalisasi industry rokok di Indonesia. Kegiatan advokasi ini perlu dilanjutkan dan diperbesar menjadi skala nasional untuk mendukung advokasi di daerah-daerah. Selain itu, pembentukan dukungan suara-suara kelompok lain terutama kelompok pemuda perlu dilakukan untuk menambah kekuatan masyarakat dalam melakukan denomalisasi industri rokok.

Reportase Simposium IX

 

Simposium IX

Program Berhenti Merokok

Reporter: Endang

Simposium IX bagian dari ICTOH telah dilaksanakan pada Sabtu (31/5/2014) di ruang Rosewood III, Hotel Royal Kuningan pada pukul 12.00-13.00 WIB. Sugeng Hidayat bertindak selaku moderator dalam simposium yang membahas Program Berhenti Merokok ini. Ada tujuh materi yang dipaparkan, yaitu:

Pertama, Willingness Among Addolecent Non Smokers to Help Smokers Stop Smoking ( Ade permata Surya). Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana keinginan remaja yang tidak merokok untuk menasehati para remaja merokok agar berhenti merokok. Hal ini didasari perokok remaja semakin banyak, sedangkan remaja yang terpapar asap rokok juga banyak. Hasil penelitian 90% remaja bersedia menolong . 68 % merasa kurang nyaman untuk membantu menolong, 70 % dspat membantuperokok berhenti. Umumnya yang ingin membantu merokok adalah remaja putri, remaja yang memiliki orang tua yang merokok dan murid SMA jurusan IPS. Kesimpulan remaja bisa sebagai agen perubahan untuk membantu berhenti merokok.

Kedua, Analisis Sosio Psikologis Terhadap Kejadian Kekambuhan ( relaps) Merokok di Kecamatan Tamalate Makasar ( Ida laela M.Thaha). Kejadian relapse pada perokok sangat sering terjadi. Banyak perokok mencoba berhenti merokok, namun kembali merokok lagi. Penelitian ini untuk mengukur kejadian relapse dihubungkan dengan persepsi perokok, yang ternyata tidak signifikan . Meskipun tahu bahaya rokok, kemungkinan relaps tetap tinggi. Hal-hal yang mempengaruhi relapse diantaranya manfaat, hambatan, kepercayaan diri, motivasi ,dan ketergantungan nikotin. Umumnya orang yang relapse karena merasa terancam. Hasil utama kepercayaan diri sangat berpengaruh terhadap keberhasilan berhenti merokok. Orang dengan kepercayaan diri tinggi, motivasi tinggi akan dapat berhenti merokok dan tidak relapse, demikian sebaliknya.

Ketiga, Klinik Konseling Berhenti merokok di Yogyakarta ( Endang Pujiastuti). Klinik Konseling berhenti merokok di Yogyakarta berdiri sejak 2009. Langkah yang dilakukan untuk klinik adalah melalui penjajakan kepada dinkes dan puskesmas, sosialisasi, pematangan alur, pelatihan konselor,evaluasi. Jumlah pasien yang dikonseling dari tahun ke tahun selalu meningkat. Faktor pendorongnya karena kebiasaan merokok masuk dalam anamneses pasien, layananKBM terintegrasi keseluruh poli, ruang konseling yang representatif, kesediaan dokter untuk merefer pasien ke ruang konseling. Faktor penghambat, tenaga konselor sering merangkap tugas dan dimutasi, tidak ada TOT,belum ada kesadaran masyarakat untukberhenti. Solusi dilakukan refresing, TOT dan penambahan saranadan prasarana.

Kelima, Efektivitas Kombinasi konseling dan Farmakoterapi Pada program Berhenti Merokok di RS Persahabatan Jakarta ( Agus Dwi Susanto). Telah dilakukan penelitian pada pasien dengan dua perlakuan. Satu kelompok intervensi dilakukan konseling dan terapi obat dan kelompok kontrol tidak diberikan obat. Hasil penelitian pasien yang diberikan konseling dan obat berhenti pada hari ke-40. Sedangkan pasien yang hanya konseling saja berhenti pada hari ke-50. Meskipun demikian tingkat keberhasilannya tetap tergantung kepada motivasi pasien. Dengan motivasi tinggi dan dibantu obat, tingkat keberhasilan berhenti merokok semakin tinggi. Untuk itu direkomendasikan konseling berhenti merokok di tingkat primer ditekankan kepada motivasi. Penggunaan obat tidak tersedia di Puskesmas, karena harganya mahal. Namun hal ini memungkinkan untuk dilakukan di rumah sakit.

Keenam, Efektivitas perubahan perilaku merokok Theta Burst TMS Pada penghuni Panti social tresna Werda Budi Mulia 1 (Agus SetiawanSolichen-UI). Theta Burst TMS adalah suatu alat yang digunakan untuk mengganti dopamine yang memberi efek rileks pada orang yang merokok. Alat ini ditempelkan pada kepala dan langsung menembus ke saraf otak dalam waktu 1,5 menit. Penelitian dilakukan pada dua kelompok yang pertama diberikan terapi TB, dan yang kedua hanya berupa placebo. Hasil dari penelitian ini orang yang diberi TB setelah dua hari tidak mau merokok lagi dan berhenti merokok. Untuk terapi ini seharusnya dilakukan selama lima kali, namun ternyata setelah dua hari pasien sudah tidak merokok lagi/berkurang jumlah konsumsi rokoknya. Sekali terapi 200 ribu, bisa direkomendasikan karena lebih murah daripada obat berhenti merokok, serta tidak menimbulkan efek samping dan bisa digunakan untuk terapi yang lain, ketergantungan obat, narkoba atau depresi. Namun sekali lagi tetap diperlukan motivasi tinggi dari perokok untuk berhenti merokok.

Ketujuh, Not On Tabacco” Smoking Cessation Program for Teenagers in Depok, West Java, Indonesia ( Kartika Anggun). Not on Tabacco merupakan suatu program konseling berhenti merokok yang ditujukan kepada remaja. Metode ini diadopsi dari American Lung Association. Metode ini mirip metode konseling kelompok, dengan maksimal 10 orang peserta dan pertemuan selama 10 kali. Dilakukan ujicoba di SMA di Depok dan direkrut dua kelompok. Kelompok pertama diberi konseling dengan metode NOT selama 6 kali pertemuan. Dan kelompok 2 hanya sekali diberikan brief intervensi dan modul berhenti merokok. Enam pertemuan itu berupa pengertian NOT, pemahaman pola merokok ,deklarasi berhenti merokok, pengalaman berhenti merokok, sharing perubahan pada fisikyang sudah berhenti merokok, belajar menghargai pencapaian diri sendiri dan mengajak orang lain berhenti merokok. Hasil intervensi 90 % mengurangi rokok, jumlah rokok yang berhasil dikurangi 3 batang, adiksi menjadi rendah. Sedangkan murid yang hanya diberi brief intervensi sekali juga berhasil mengurangi. Hal ini terjadi karena peran kepala sekolah dan modul yang diberikan sangat lengkap sehingga murid termotivasi uuntuk berhenti merokok. Ke depan akan dilakukan program serupa di 5 sekolah melalui kerjasama dengan Dinkes dan Disdik, serta difasilitasi oleh UI.

Reportase Simposium 7

 

Simposium 7

Kawasan Tanpa Rokok

Reporter: Tutik Istiyani

Pada simposium 7 ini membahas mengenai kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR). Symposium ini dilaksanakan pada pukul 11.45 – 13.00 di ruang Rosewood 1, Hotel Royal Kuningan dengan dimoderatori oleh Dr. Santi Martini, M.Kes dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Dalam simposium ini dihadiri 17 orang termasuk para presenter. Dalam simposium mengenai kebijakan KTR ini, ada empat makalah yang dipresentasikan. Masing-masing presenter diberi waktu presentasi selama 10 menit dan untuk sesi tanya jawab dilaksanakan secara panel. Secara singkat, keempat makalah tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Kawasan Tanpa Rokok di Kota Pontianak. Makalah ini dipresentasikan oleh Mayani dari Dinas Kesehatan Kota Pontianak. Dalam presentasinya dipaparkan bahwa ada tiga hal yang menjadi prinsip Perda KTR Kota Pontianak, yaitu tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup di Kota Pontianak, tidak mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan tanpa rokok, tidak memaparkan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok. Di kota Pontianak juga ada kebijakan pendukung yaitu Surat Edaran Walikota tentang pelaksanaan KTR di semua institusi yang telah ditetapkan sebagai KTR (12 Mei 2011), Surat Edaran Walikota ttg pelarangan iklan rokok di sekitar lingkungan pendidikan (Juli 2012), dan Surat Edaran Walikota ttg larangan pemasangan iklan produk tembakau/rokok dalam bentuk gambar atau foto orang sedang merokok dan asap rokok (tgl 14 Maret 2014). Monitoring di gedung dan ruang juga telah dilakukan sejak tahun 2012 sampai sekarang, meliputi kawasan tempat ibadah, sekolah, tempat kerja, restoran/rumah makan, hotel, mall/supermarket, sarana kesehatan, salon/GOR. Tingkat kepatuhan diukur dengan delapan indikator yang sudah ditetapkan pemerintah.

Kedua, Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di RSUD R. Syamsudin, SH. Makalah ini dipresentasikan oleh Deni Purnama dari RSUD R. Syamsudin, SH Kota Sukabumi. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa secara umum pelaksanaan KTR di RSUD R. Syamsudin, SH sudah cukup baik. Hal ini karena atribut pelaksanaan KTR mulai dari adanya dukungan kebijakan, media promosi kesehatan hingga program kegiatan yang tidak hanya dilaksanakan di RS. Namun dalam implementasinya masih terdapat kelemahan, yaitu konsistensi pengawasan dan pengendalian perilaku merokok di RS. Selain itu SK KTR tidak mencakup pembagian tugas dan fungsi sehingga masih diperlukan revisi.

Ketiga, Penilaian Kualitas Udara akibat Paparan Asap Rokok Orang Lain di Kota Semarang. Makalah ini dipresentasikan oleh Nurjanah dari Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Penelitian ini menggunakan alat Sidepak Aerosol Monitor dan dilakukan di 78 titik lokasi, meliputi perguruan tinggi, kantor pemerintah dan swasta, restoran, kafe, perpustakaan, loket pelayanan umum dan bandar udara. Waktu pengukuran pada tiap lokasi antara 30-60 dengan interval 1 menit. Observasi dilakukan terhadap kondisi lokasi dan perilaku penghuni: ruangan bebas rokok, ruangan diperbolehkan merokok, ruangan tidak merokok dalam gedung yang diperbolehkan merokok (non-smoking section), ruangan merokok dalam gedung dimana terdapat ruang tidak merokok (smoking section). Hasil penelitian menunjukkan kualitas udara pada tempat-tempat yang diperbolehkan merokok mencapai 94,76 dan yang tidak diperbolehkan merokok 34,60. Oleh karena itu, Perda KTR harus diberlakukan dan ruangan harus 100% menjadi KTR karena smoking room yang masih berada dalam satu gedung tidak efektif.

Keempat, Meningkatkan Tingkat Kepatuhan terhadap Perda KTR di Kota Bogor. Makalah ini dipresentasikan oleh Bambang Priyono dari No Tobacco Community. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa digunakan delapan indikator dari pemerintah untuk menghitung tingkat kepatuhan, yaitu adanya orang merokok, adanya ruang khusus merokok, adanya tanda larangan merokok pada pintu masuk, tercium bau rokok, ditemukannya puntung rokok, ditemukannya asbak, pemantik, korek, adanya iklan/promosi rokok, dan adanya penjualan rokok. Adapun proses monev KTR Kota Bogor dilakukan dengan enam tahapan, yaitu training petugas monev, pengambilan data di lapangan oleh petugas, pengumpulan data dari petugas, input data ke dalam SPSS, analisis data menggunakan SPSS, dan publikasi hasil analisis. Sejak tahun 2011 hingga saat ini, di Kota Bogor sudah dilakukan monev sebanyak 7 kali, dengan hasil persentase tingkat kepatuhan cenderung naik, yaitu 26%, 78%, 81%, 68%, 72,2%, 76,5%, dan 81,4%. Untuk terus meningkatkan kepatuhan harus terus dilakukan implementasi dan inspeksi mendadak ke setiap tatanan dan monev juga harus dilakukan secara berkala.

Reportase Pleno II

 

Pleno II

Reporter: Dwie Susilo

Pleno II ICTOH dilaksanakan pada Sabtu (31/5/2014) dan ada beberapa pemateri dalam sesi ini, diantaranya:

Jaka Kusmartata – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan
Topik: Kebijakan Kementerian Keuangan dalam Cukai dan Pajak Rokok

jakaDi awal presentasi, Jaka memaparkan pengertian dasar cukai rokok, yaitu sebagai pajak dan dibayar oleh konsumen. Pengenaan cukai terhadap rokok diharapkan ada pengendalian rokok sehingga harganya akan bertambah. Dengan bertambahnya harga, maka diharapkan konsumsi rokok dapat dikendalikan karena konsumsi rokok dipengaruhi oleh harga dan daya beli konsumen.

Selanjutnya Jaka memaparkan fokus yang dilakukan pemerintah dalam kebijakan cukai, dimana pemerintah masih mempertimbangkan persoalan industri rokok terutama tenaga kerja. Terdapat 902 industri rokok di tanah air yang tercatat secara resmi, namun faktanya diperkirakan lebih dari 1000 industri rokok beroperasi di tanah air. Diperkirakan juga terdapat sekitar 408.000 tenaga kerja yang terkait langsung dengan industri rokok yang tersebar di masing2 industri rokok, khususnya industri rokok dengan tangan.

Jaka menunjukkan tariff cukai 2013-2014 dimana strukturnya yang paling kompleks dibandingkan denga negra2 lain. Terdapat 13 jenis tariff cukai rokok di tanah air. Penerimaan cukai rokok dari 2005-2014 mengalami peningkatan yang signifikan. Tahun 2014, perkiraan penerimanan cukai 110 triliun dari volume 350 milyar batang rokok. Beban perpajakan industri hasil tembakau yang harus ditanggung konsumen ketika menghisap rokok adalah: cukai, pajak rokok 10% dari cukai, PPH 25%, PPN 8,4% dari HJE (untuk industry dengan omset > 4,8 M per tahun). Selain itu dikenakan juga bea masuk 40% (CIF). Beban perpajakan industri hasil tembakau dibedakan menjadi SKM, SPM, SKT.

Beberapa tantangan kebijakan tariff cukai HT ke depan antara lain adalah harmonisasai data produksi HT sebagai dasar perhitungan penerimaan cukai HT, dan kompleksitas tariff cukai rokok. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau sebesar 2% dibagikan kepada 19 provinsi karena didalam prof tersebut ada industry tembakau (pabrik dan perkebunan). Pajak rokok didistribusikan ke seluruh provinsi berdasarkan proporsi jumlah penduduk. Sebanyak 70% untuk kabupaten/kota dan 30% untuk provinsi. Sebanyak minimal 50% dialokasikan untuk kesehatan. Penerimaan sebanyak 10,5 triliun dari pajak rokok untuk kesehatan

Pada akhir pemaparan, Jaka menyampaikan penggunaan pajak rokok, diantaranya adalah untuk keperluan kesehatan masyarakat. Jaka berharap agar dana ini dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kegiatan promotif dan preventif. (DJ)

Abdillah Ahsan – Lembaga Demografi Universitas Indonesia
Topik: Kebijakan Cukai dan Pajak Rokok di Indonesia: Tantangan dan Strategi

 

abdill

Abdillah dalam pembukaan menyampaikan bahwa LDUI ingin membantu kementerian keuangan dalam kebijakan cukai rokok. Selama ini yang datang ke Kemenkeu adalah industri rokok sehingga kebijakan cukai rokok sangat dipengaruhi oleh intervensi pabrik rokok. Beberapa studi tentang cukai rokok dengan data Indonesia menunjukkan bahwa ada korelasi antara penurunan konsumsi dan peningkatan pendapatan cukai rokok. Abdillah menegaskan bahwa pendapatan cukai rokok bukan merupakan sumbangan industry rokok melainkan pajak yang dibayar oleh konsumen. Oleh karena itu, tidak perlu berterima kasih kepada industri rokok.

UU No 39 tahun 2007 tentang cukai rokok menyatakan bahwa cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok. Cukai dikenakan pada barang yang peredarannya perlu diawasidan pemakaiannya berdampak negatif bagi masyarakat n lingkungan hidup. Konstitusi mengamanatkan pengendalian konsumsi rokok sehingga semua pihak harus taat.

Sistem cukai rokok yang rumit dan dampaknya baru dirasakan dalam waktu yang lama. Implikasi system cukai rokok yang rumit mengakibatkan system adminsitrasi yang rumit dan harga rokok menjadi sangat beragam. Harga rokok di pasaran berkisar 250 rupiah per batang hingga 600 rupiah. Kenaikan tarif cukai rokok diharapkan akan menaikan harga rokok sehingga anak-anak tidak sanggup untuk membeli rokok.

Sebagai penutup, Abdillah menyimpulkan bahwa prevalensi merokok di Indonesai masih sangat tinggi dibandingkan dengan Negara-negara di ASIA. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan cukai rokok di Indonesia masih belum berhasil menurunkan prevalensi perokok di tanah air. Abdillah menyarankan agar tariff cukai rokok dibuat sederhana, cukup dua saja, yaitu tariff untuk cukai rokok mesin dan tariff untuk cukai rokok tangan. (DJ)

Prof Savas Alpay – Statistical, Economic and Social Research and Training Center for Islamic Countries (SESRIC)
Topik: Pengalaman Internasional dalam Kebijakan Cukai dan pajak Rokok

savassProf Savas dalam pembukaan presentasinya menampilkan fakta prevalensi merokok laki-laki dan perempuan berusia 15+ antara negara anggota Organisation of Islamic Cooperation (OIC), non OIC, negara berkembang dan negara maju serta dunia. Disajikan juga perbandingan prevalensi merokok dari top 20 negara OIC dan top 20 dunia. Dalam hal prevansi merokok laki-laki, Indonesia menempati urutan pertama dari Negara OIC dan urutan kedua di dunia setelah Timor LEste. Untuk prevalensi perokok perempuan, Indonesia menempati peringkat 19, dimana peringkat pertama Negara OIC ditempati perempuan Lebanon sementara di dunia ditempati Greece.

Selanjutnya Prof Savas menampilkan data total prokok di semua usia. Dari data tersebut diketahui bahwa total perokok mengalami peningkatan dari tahun 1980 hinga tahun 2012, baik di negara OIC maupun global. Indonesia menempati peringkat pertama OIC dan peringkat ketiga di dunia setelah China dan India dari jumlah total perokok dunia.

Prof Savas menekankan pentingnya penandatanganan dan ratifikasi FCTC dalam upaya pengendalian tembakau. Sebanyak 54 anggota OIC dari 176 negara di dunia sudah menandatangani atau meratifikasi FCTC. Hanya Indonesia dan Somalia yang belum menandatangani dan ratifikasi FCTC. Sebanyak 47 negara OIC sudah menerapkan kebijakan pengendalian tembakau dan sebanyak 8 negara melaksanakan survey tembakau untuk dewasa dan anak secara rutin. Beberapa negara OIC sudah menjadi pelopor dalam perlindungan penduduknya dari bahaya rokok.

Selanjutnya Prof Savas menceritakan bagaimana negara-negara OIC berinisiatif melakukan aktivits pertukaran informasi dan berbagai pengalaman dalam kebijakan dan upaya-upaya pengendalian tembakau di negara masing-masing. Beberapa kali pertemuan dilaksanakan secara bergantian di negara anggota. OIC juga mengembangkan OIC Strategic Health Programme of Action (OIC-SHPA) 2013 – 2022 yang merupakan framewok kerja sama diantara Negara anggota OIC. Terdapat beberapa area tematik dalam pelaksanaan kerangka kerja sama tersebut. Selain itu, OIC juga secara periodic melaksanakan pertemuan tingkat Menteri Kesehatan yang menghasilkan beberapa resolusi. Pada pertemuan ke-4 Menteri Kesehatan negara OIC yang dilaksanakna di Jakarta 22 – 24 Oktober 2013 mengadopsi 3 resolusi dalam upaya pengendalian tembakau di Negara anggota. Salah satu kegiatan OIC lainnya adalah program jangka panjang di Indonesia, bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama (NU) mengenai “Tobacco control movement for youth and adult”.

Pada bagian akhir presentasi, Prof Savas memaparkan pengalaman Turki dalam pengendalian tembakau. Upaya yang dilakukan antara lain adalah pelarangan total iklan rokok dalam segala bentuk. Semua stasiun TV dan radio diwajibkan menyiarkan minimal 90 menit dalam sebulan mengenai pendidikan bahaya merokok pada jam-jam premium. Prof Savas mengingatkan bahwa kita berperang melawan industry tembakau yang memiliki dana besar. Mereka tidak akan berhenti melawan karena industry tembakau menghasilkan uang yang sangat besar dari bisnis rokok. Oleh karena itu kerja sama pengendalian tembakau perlu diupayakan oleh semua elemen kecuali industri rokok dan yayasannya. (DJ)

Reportase Simposium VI

 

Simposium VI

Rokok dan Permasalahan Sosial Ekonomi

Reporter: Ningrum

Simposium VIan dari bag ICTOH telah dilaksanakan pada Jum’at (30/5/2014) pukul 15.30 – 17.10 WIB di ruang Rosewood 4, hotel Royal Kuningan. Simposium ini dikoordinatori oleh Tulus Abadi. Berikut adalah empat materi yang sudah disampaikan:

Pertama, Ketahanan pangan dan status gizi keluarga perokok di kecamatan Brastagi Kabupaten Karo, oleh : Juanita, Fakultas kesehatan masyarakat universitas Sumatera Utara. Kabupaten Karo merupakan kabupaten dengan prevalensi perokok tertinggi di Sumatera Utara demikian juga dengan permasalahan anak dengan postur tubuh pendek. Berdasarkan hal ini maka dilakukan penelitian di Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo pada 120 keluarga perokok dengan rancangan cross-sectional. Pengumpulan data ketahanan pangan meliputi data ketersediaan dan konsumsi pangan, serta status gizi. Konsumsi keluarga dikumpulkan dengan metode food list recall. Status gizi dihitung berdasarkan indeks antropometri. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan ketersediaan pangan dengan tingkat konsumsi energi protein dalam rumah tangga perokok, juga dengan status gizi keluarga. Konsumsi energi dan protein mempunyai hubungan dengan status gizi keluarga. Ketersediaan pangan keluarga perokok ditunjukkan dengan adanya rawan kelaparan tingkat ringan (34.2 %). Masih dijumpai keluarga dengan defisiit energi dan protein. Status gizi keluarga perokok yang normal adalah 75.5%. pengeluaran rokok berhubungan dengan ketersediaan pangan, dan konsumsi protein, tetapi tidak dengan konsumsi energi dan status gizi keluarga. Diharapkan keluarga perokok meningkatkan konsumsi energi dan protein serta mengurangi jumlah rokok agar dialihkan untuk makanan keluarga.

Kedua, Integrated marketing communications (IMC) Healthy behavior without tobacco for youth in low income family of Surabaya city, oleh: Sri Widati. Di Surabaya, industri rokok membuat iklan rokok yang berbau anak muda seperti sport dan lain sebagainya untuk menarik konsumennya. Industri rokok juga memasang baliho dengan jarak per 2 meter dari satu baliho ke baliho yang lain, mereka juga memasangnya tidak dalam jumlah yang sedikit, bisa sampai 20 buah dalam satu tempat di Surabaya. Industri rokok juga masih beriklan di kampus di Surabaya, bahkan untuk stand nama fakultas per masing-masing fakultas juga masih menggunakan iklan rokok. Penelitian ini bertujuan bagaimana kita bisa mengimbangi larinya industry rokok dengan intergrated marketing communications-nya (IMC), peneliti ingin mencari IMC-nya untuk orang kesehatan itu seperti apa supaya masyarakat mau berperilaku sehat tanpa rokok. Kemudian peneliti mencarinya di antara orang miskin, karena sebelumnya kita sudah aware bahwa prevalansi merokok lebih tinggi pada masyarakat miskin dan kita tahu prevalensi merokok banyak untuk remaja. Akhirnya peneliti mencari model untuk remaja di lingkungan orang miskin, jadi kemudian tahap pertama peneliti membagi Surabaya menjadi lima wilayah kemudian mencari kantong-kantong orang miskin itu dimana saja dengan metode random sampling dari data BKK. Kemudian kami mendapatkan 400 responden, kami menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data dari mereka. Selain menanyakan tentang riwayat merokok dan tingkat awareness-nya mereka terhadap iklan rokok peneliti juga mengidentifikasi jenis kegiatan yang mereka sukai itu apa, ternyata yang mereka sukai itu ada musik dan olahraga. Namun mungkin industri rokok juga sudah melakukan survey terlebih dulu karena banyak iklan rokok yang menggunakan music dan olahraga untuk promosinya. Dari penelitian yang saya lakukan ternyata tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik responden dengan dampak dari IMC industri rokok. Jadi IMC industri rokok berpengaruh pada seluruh karakteristik responden tanpa membedakannya, maksudnya seperti itu. Kemudian ada pengaruh signifikan antara dampak IMC industri rokok dengan perilaku merokok remaja. Itu ternyata berpengaruh signifikan. Kemudian ada pengaruh signifikan pengetahuan bapak tentang dampak rokok terhadap pengetahuan anak tentang dampak rokok. Akhirnya penellitian ini memberikan edukasi tentang dampak rokok kepada anak-anak tersebut. Perilaku merokok remaja dipengaruhi oleh teman-temannya yang merokok daripada oleh iklan di TV dan IMC industri rokok, jadi IMC industri rokok hanya berpengaruh pada awareness-nya. Kemudian kegiatan favoritnya remaja itu musik dan olah raga dari keseluruhan IMC industri rokok mereka itu paling berpengaruhnya dengan iklan. Jadi model yang disusun peneliti adalah kita ini mengadvokasi apa mengintervensi remaja ini dengan menggunakan musik dan olahraga yang dibagi dalam distrik lokal dan penelliti merekemomendasikan yang dari Dinas kesehatan untuk melakukan pembinaan para pemuda dengan menggunakan musik dan olah raga. Peneliti memulai dari satu wilayah dulu yang kami sebut rumah remaja dan itu menggunakan musik dan olah raga untuk mensosialisasikan dampak rokok dan untuk mengatasi perilaku merokok.

Ketiga, Alih tanam tembakau ke produk sayuran menjadi solusi petani merdeka di desa Deles, oleh Mutia Hariati Hussin dan Sukiman, Muhammadiyah Tobacco Control Center. Tembakau merupakan bahan baku pembuatan rokok yang hanya tumbuh di daerah tertentu saja. Dengan perawatan yang terbilang rumit dan rentan terhadap hama tanaman tembakau membutuhkan perawatan ekstra untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Daerah yang memenuhi kriteria perkebunan tembakau adalah berapa di ketinggian 200-3000 mdpl dengan curah hujan rata-rata 1.500-3.500 mm/tahun dan memiliki temperature antara 21-32.30 C. lereng Merapi merupakan tempat yang sangat strategis dan pas untuk membudidayakan tembakau. Terletak di bawah lereng Gunung Merapi, Deles merupakan salah satu pusat pembudidayaan tembakau. Hampir seluruh kepala keluarga yang dihidup di Deles menjadikan tembakau sebagai sumber pendapatan utama untuk kehidupanm sehari-hari.

Harga tembakau yang seringkali dipermainkan oleh para tengkulak menyebkan penghasilan para petani tidak menentu, apalagi dengan perawatan yang terbilang mahal, para petani tembakau terpaksa berhutang untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Pada tahun 2003 adalah seorang putra Deles yang bernama Sukiman yang berusaha mengubah nasib para petani dengan mengganti tanaman tembakaunya lalu memulai menanam sayuran di ladangnya. Sukiman ini aneh karena tidak biasa. Tanaman tomat, tembang kol, cabai dan beberapa sayuran lain mulai dibudidayakan. Perlahan namun pasti hasil ketekunannya membuahkan hasil, yakni hasil panen tanaman sayur yang bagus. Satu persatu masyarakat mulai bertanya kepada Sukiman dan meniru pola tanam yang dilakukan Sukiman. Secara bertahap sejak tahun 2003 sampai 2014 tiga desa di lereng Merapi sisi timur yaitu meliputi Desa Sidorejo, Desa Sidamulyo, dan Desa Balerante mulai berubah pola tanamnya dari petani tembakau menjadi petani sayuran. Dari jumlah awal 2000 kepala keluarga, 1700 kepala keluarga telah beralih tanam. Tembakau secara perlahan tergantikan oleh komoditi sayuran dan luas lading tembakau lama-lama semakin kecil karena perubahan pola tanam masyarakat ini

Kesadaran untuk dapat merdeka dalam mengatur perekonomian keluarga membuat para petani tidak harus menggantungkan hidupnya dengan bertanam tembakau. Mereka mempu melihat dan menghitung bersadarkan contoh nyata yang dilakukan Sukiman dan bebas dari belenggu hutang karena tembakau dan kemiskinan. Sukiman sudah diundang ke Swiss dan Jepang untuk memberikan testimoni tentang beralih taman, Sukiman juga sudah sering d liput diberbagai media seperti TV One, dan Metro TV.

Keempat, Perilaku merokok keluarga penerima jaminan kesehatan masyarakat (penerima bantuan iuran jaminan kesehatan), oleh : Sandu Siyoto, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mitra Husada Kediri. Untuk mencegah semakin terpuruknya kondisi kesehatan masyarakat, khususnya pada kelompok masyarakat miskin sebagai akibat dari adanya multi krisis sejak tahun 1997, maka pemerintah memberikan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yang berdasarkan UU nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial dan peraturan pemerintah nomor 101 tahun 2012 kelompok masyarakat ini disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan dan badan hokum yang menyelenggarakan program ini disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (PBJS) yang mulai beroperasi per 1 Januari 2014. Melalui program ini, keluarga penerima jamkesmas atau penerima bantuan iuran jaminan kesehatan akan mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis pada tempat-tempat pelayanan kesehatan (provider) yang telah ditetapkan. Pada keluarga penerima jaminan kesehatan masyarakat/penerima bantuan iuan jaminan kesehatan di Kota Kediri, Jawa Timur.

Penelitian ini termasuk jenis observasional dengan rancangan crossectional. Jumlah sampel dalam penelitian adalah sebesar 270 responden, yang diambil dengan menggunakan teknik two stage cluster sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga penerima Jamkesmas (PBI) rata-rata berumur 49.5 tahun, 59.5% memiliki jumlah keluarga lebih dari dan sama dengan 4 jiwa, berstatus keluarga inti (84,1%), sudah memiliki rumah sendiri (94.1%), 21.7% berpendidikan SMU/sederajat, 48.9% bekerja tidak tetap, 67.3% ikut dalam aktifitas/interaksi social dan lebih dari 80% menganggap bahwa kesehatan memiliki nilai yang penting dalam kehidupan keluarga. Penelitian ini juga menemukan bahwa mayoritas responden (67%) berperilaku merokok dalam kehidupan sehari-hari dan dari total rata-rata pengeluaran keluarga perbulan (Rp 1.2 jt), sebesar Rp. 268.948 (21,98%) digunakan untuk belanja konsumsi tembakau/rokok. Dan rata-rata pengeluaran ini menempati rangking II setelah belanja untuk makan yang besaran rata-ratanya Rp. 615.000 perbulan. Hasil penelitian ini merekomendasikan agar perilaku merokok perlu dimasukkan dalam salah satu criteria keluarga penerima jamkesmas/penerima bantuan tunai jaminan kesehatan (PBI-JK), disamping perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengidentifikasi jenis, harga, jumlah batang rokok yang dihisap/konsumsi, waktu awal merokok (lamanya), serta faktor-faktor yang menjadi pemicu dan pemacu perilaku merokok.