Reportase 18th Postgraduate Forum on Health Systems and Policies 2024

high rise building during night time

Selasa, 6 Agustus 2024

PKMK-Kuala Lumpur. Sejumlah peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), FK-KMK, Universitas Gadjah Mada mengikuti konferensi 18th Postgraduate Forum on Health Systems and Health Policies. Tahun ini Postgraduate Forum on Health Systems and Policies mengusung tema Evidence-Based Policy for Health Reform. Kegiatan berlangsung selama dua hari yaitu pada 6-7 Agustus 2024 diselenggarakan oleh Faculty of Medicine, Universiti Kebangsaan Malaysia. Konferensi ini juga merupakan kolaborasi 3 universitas yaitu Universiti Kebangsaan Malaysia, Prince of Songkla University di Thailand dan Universitas Gadjah Mada di Indonesia.

Pada hari pertama, kegiatan dimulai dengan Keynote Address oleh Prof. Emeritus Dato Dr. Syed Mohamed Al-Junid, menyatakan forum ini berfokus pada penggunaan bukti untuk mendukung transformasi kesehatan dan penerapannya dalam kebijakan berbasis bukti di masa depan. Adanya keterlibatan Malaysia, Indonesia, dan Thailand ikut berkontribusi dan memfasilitasi pembelajaran dalam rangka mengikuti perkembangan global.

Keynote Address: Evidence-Based Policy For Health Reform

Prof. Emeritus Dato Dr. Syed Mohamed Al-Junid menyampaikan bahwa reformasi sektor kesehatan melibatkan proses perubahan mendasar yang berkelanjutan dalam kebijakan kesehatan dan pengaturan institusi. Perubahan yang terarah ini bertujuan untuk mencapai efisiensi, keadilan, dan efektivitas dalam sektor kesehatan. Reformasi sektor kesehatan mencakup berbagai aspek, seperti penetapan kebijakan, penyempurnaan kebijakan yang ada, serta reformasi institusi yang menjalankan kebijakan tersebut, termasuk sistem, penyampaian layanan, pendanaan, dan institusi. Di sisi lain, reformasi perawatan kesehatan bersifat lebih luas dan melibatkan sektor sosial lainnya, bukan hanya sektor kesehatan itu sendiri.

Selain itu, kebijakan kesehatan berbasis bukti adalah kunci dalam mengarahkan reformasi kesehatan yang efektif. Aspek-aspek utamanya meliputi penggunaan sistematis dari penelitian, penilaian kritis, transparansi, pemantauan hasil, keterlibatan pemangku kepentingan, dan masalah data. Reformasi sistem kesehatan diperlukan untuk mengatasi masalah seperti akses kesehatan yang tidak memadai, kekurangan sumber daya, penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dan layanan yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Namun, reformasi sering menghadapi berbagai hambatan, termasuk resistensi politik, kurangnya konsensus, serta tantangan dari para profesional kesehatan. Di akhir sesi, Prof. Emeritus Dato Dr. Syed Mohamed Al-Junid juga menyampaikan kolaborasi antara pembuat kebijakan, peneliti, penyedia layanan kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya sangat penting untuk keberhasilan implementasi reformasi berbasis bukti.

pgf1Plenary I

Topic: Evidence from Systematic Review and Network Meta-Analysis: Evidence-Based Healthcare and Practice
Speaker: Prof. Dr. Tippawan Liabsuetrakul (Prince of Songkla University, Thailand)

Setelah keynote address, forum dilanjutkan dengan sesi pleno pertama yang membahas tentang Evidence From Systematic Review and Network Meta-Analysis: Evidence-Based Healthcare and Practice oleh Prof. Dr. Tippawan Liabsuetrakul. Pada pleno pertama, Tippawan menjelaskan tentang systematic review atau tinjauan sistematis merupakan kunci utama untuk sintesis penelitian pada pertanyaan sistematis dengan strategi pencarian komprehensif. Sementara network meta-analysis (NMA) merupakan metode statistik yang dikombinasikan dengan temuan studi individu. Berdasarkan observasi Tippawan, publikasi artikel terkait NMA dari 2002 hingga 2018 mengalami peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Namun, jumlah artikel NMA ini banyaknya dipublikasi dari negara maju atau institusi yang berada di negara maju. Kemudian, Tippawan juga menemukan bahwa ketersediaan artikel publikasi NMA dengan filter systematic review dari 1999 hingga 2024 terdapat 10.519 publikasi.

Tippawan juga memaparkan contoh dari penggunaan systematic review dan network meta-analysis pada penggunaan obat untuk penanganan preeclampsia. Kedua pendekatan dilakukan dengan menggunakan beberapa kata kunci seperti “prevention of preeclampsia,” “medications,” dan “meta-analysis” dengan menerapkan filter “systematic review”. Dari studi tersebut, Tippawan menyampaikan bahwa tidak ada satu evidence terkait pengobatan yang menjadi lebih unggul dari yang lain untuk penanganan preeclampsia. Bentuk pengobatan seperti antiplatelet, calcium dan antioxidants ditemukan lebih bermanfaat dari pada plasebo.

 

pgf2Plenary II

Topic: Post Covid Healthcare Reform in Indonesia
Speaker: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menjadi narasumber kedua pada 18th Postgraduate Forum on Health System and Policies. Laksono membahas reformasi sistem kesehatan di Indonesia pasca COVID-19. Pihaknya menyoroti tiga poin penting: sejarah reformasi kesehatan, pelayanan kesehatan era pandemi, dan kemajuan serta tantangan setelah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berlaku. Reformasi politik tahun 1998 memperkuat undang-undang kesehatan, tetapi implementasinya belum optimal, terutama dalam hal sinergi antar undang-undang, reformasi SDM Kesehatan, layanan medis, dan layanan primer. Akibatnya, selama 20 tahun sebelum COVID-19, sistem kesehatan tidak efektif, efisien, dan adil, tercermin dari disparitas layanan, ketimpangan distribusi SDM kesehatan, dan ketimpangan klaim layanan BPJS Kesehatan.

Meskipun biaya klaim BPJS Kesehatan menurun selama pandemi, tantangan pembiayaan tetap ada. Segmen PBI selalu surplus, sementara segmen lain mengalami defisit, menunjukkan perbedaan akses layanan. Persentase belanja kesehatan dari GDP Indonesia masih rendah, dan peran pembiayaan swasta termarginalisasi. Pandemi COVID-19 memberikan tantangan besar, tetapi juga menjadi momentum bagi Kementerian Kesehatan untuk melakukan reformasi sistem kesehatan melalui Transformasi Kesehatan, yang diperkuat dengan UU Nomor 17 tahun 2023.

Undang-undang ini memperkuat posisi pemerintah dalam sinkronisasi dan koordinasi sektor lain terkait kesehatan. Tantangan ke depan meliputi penguatan layanan primer, perluasan layanan, peningkatan SDM Kesehatan, dan mengatasi tantangan pembiayaan. Kolaborasi dengan organisasi independen untuk memantau implementasi sistem kesehatan juga penting untuk memastikan keberhasilan reformasi kesehatan di Indonesia pasca pandemi.

Reporter: Agus Salim, MPH., Tri Muhartini, MPA., dan Candra, MPH

Rabu, 7 Agustus 2024

Plenary III

Topic: Public-Private Partnership as a Sustainable National Health Model
Speaker: Brig. Jen. Dr. Mohd Arshil Moideen (UPNM)

pgf9

Brig. Jen. Dr. Mohd. Arshil memulai sesinya dengan refleksi atas situasi masa COVID-19, di mana sistem kesehatan di Malaysia mengalami kolaps dan rumah sakit kesulitan untuk mengelola situasi, SDM, alat kesehatan dan obat-obatan untuk menangani pasien COVID-19. Hal ini berakibat pada kebutuhan untuk meninjau ulang sistem kesehatan yang dimiliki Malaysia. Hal pertama yang beliau soroti adalah rendahnya belanja kesehatan publik terhadap Total Health Expenditure, dan salah satu penyebabnya adalah rendahnya proporsi penduduk Malaysia yang membayar pajak pendapatan. Oleh karena itu pemerintah Malaysia menerapkan government service tax, karena GST merupakan skema pajak yang ‘fair’ terhadap orang kaya (yang asumsinya tentu saja mengkonsumsi lebih banyak hal). Dari sisi service delivery, misalnya, jumlah RS swasta di Malaysia (sekitar 200 RS) lebih banyak dari RS pemerintah (sekitar 147 RS) walau pun dalam hal tempat tidur, RS pemerintah jauh lebih besar (hampir 2,5 kali lipat).

Public Private Partnership (PPP) menjadi salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan karena akan ada efisiensi sumber daya, sharing biaya, sharing risiko, inovasi dan potensi untuk menyediakan layanan sesuai continuum of care yang lebih komprehensif dan berkualitas. Sektor swasta juga memungkinkan akses ke CaPex . Referensi-referensi dari WHO, World Bank, ADB, the Global Fund dan The Lancet telah menerbitkan berbagai evidence mengenai potensi keberhasilan PPP.

Namun, tantangan terbesar bagi PPP adalah: political will. Perlu dipastikan adanya penerimaan publik terhadap PPP untuk dapat meningkatkan kemauan politik untuk menginisiasi PPP. Selain itu, tentu saja diperlukan upaya dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang memungkinkan skema PPP, dan perhitungan investasi yang kompleks untuk menunjukkan viabilitas dari sisi ekonomi. Tentu saja kerangka regulasi perlu diupayakan.

Pembicara menjelaskan bagaimana RS di sektor militer dai Malaysia juga telah ada yg dibangun dengan mekanisme private finance initiative (PFI). Arshil menyarankan untuk menginisiasi PPP dalam skala kecil (misalnya di primary care) sebelum beranjak ke skala yang lebih besar (misalnya RS), karena dengan mencoba PPP dalam skala kecil maka kompleksitas dan tantangan yang dihadapi akan lebih kecil skalanya dan lebih memungkinkan untuk ‘berlatih’ menanganinya baik dari sisi komitmen politik, mekanisme service delivery, penerimaan masyarakat, maupun kemampuan ekonomi dan pembiayaannya.

 

Plenary IV

Topic: Health Financing reforms- includes Strategic Purchasing
Speaker: Prof. Dr. Supasit Pannarunothai (Centre for Health Equity Monitoring Foundation, Thailand)

pgf8

Reformasi pelayanan kesehatan adalah proses yang berkelanjutan dan memiliki banyak aspek yang melibatkan penerapan perubahan kebijakan untuk meningkatkan pemberian layanan kepada pasien, dari yang semula hanya mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi (A.L Cochrane, 1972), kemudian mempertimbangkan juga equity (DHSS, 1976). Selanjutnya, dari sisi manajerial, terdapat istilah managed competition dan internal market (AC Enthoven, 1985) untuk meningkatkan kualitas layanan. Selain itu, purchaser- provider split (PPS model) bertujuan untuk menyediakan layanan dalam perawatan kesehatan dimana pembayar pihak ketiga secara organisasi terpisah dari penyedia layanan. Ada pula monopsonistic power yang bertujuan untuk memengaruhi harga dan upah yang menguntungkan.

Supasit menjelaskan bahwa selama lebih dari 2 dekade sebelum adanya Universal Health Coverage (UHC) di Thailand, negara tersebut menghabiskan sekitar 6% dari Produk Domestik Bruto (GDP) untuk biaya kesehatan. UHC dari konteks Thailand digambarkan sebagai berikut pendanaan dari sektor pemerintah yang lebih besar dari swasta, mengandalkan pajak pendapatan/pengeluaran, penggunaan PPS model dan monopsonistic power. Tercapainya UHC ini dibuktikan salah satunya dengan kondisi ketahanan Puskesmas di Thailand yang sudah berjalan baik terutama saat terjadi pandemi COVID-19, termasuk di area pedesaan, justru di Bangkok dan kota besar lain, sistemnya hampir kolaps salah satunya akibat tingginya populasi. Dalam menciptakan reformasi pelayanan kesehatan diperlukan kemauan dan kekuatan dari segi politik agar perbaikan yang dirancang dapat dijalankan secara sah dan sistematis di suatu negara.

Reporter: Ester (PKMK UGM)

 

Panel Discussion

Topic: Healthcare Reform: Are We Really Serious?
Moderator: Assoc. Prof. Dato’ Dr Mohd Husni Jamal

Speaker:

  1. Professor Emeritus Dr. Syed Mohamed Aljunid (Malaysia)
  2. Prof. Dr. dr. Supasit Pannarunothai (Thailand)
  3. dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, PhD (Indonesia)

pgf7

Diskusi panel, sebagai sesi terakhir dari materi di PGF ke-18, mengangkat topik “Healthcare Reform: Are We Really Serious?”. Diskusi panel ini dimoderatori oleh Assoc. Prof. Dato’ Dr Mohd Husni Jamal dan diisi oleh Professor Emeritus Dr. Syed Mohamed Aljunid dari Malaysia, dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, PhD dari Indonesia, dan Prof. Dr. dr. Supasit Pannarunothai dari Thailand.

Diskusi dimulai dengan pertanyaan seberapa serius kita di dalam reformasi pelayanan kesehatan. Husni, selaku moderator, mengajukan pertanyaan kepada setiap narasumber. Tanggapan dimulai dari Aljunid dengan menampilkan beberapa paparan. Paparan berdasarkan The Health White Paper yang mengungkapkan 4 pilar terkait reformasi pelayanan kesehatan. Kemudian,Lutfan menanggapi bahwa reformasi ini sangat penting untuk dilakukan. Keseriusan ini ditampilkan dalam bentuk usaha yang sudah dilakukan terkait efektivitas dan efisiensi dari Kementerian Kesehatan. Hal ini terkait transformasi kesehatan, baik dari pelayanan, sumber daya, dan teknologi. Keseriusan tidak hanya dilakukan dari sisi kementerian, tetapi kolaborasi, seperti dengan akademisi. Terakhir, Supasit ikut menanggapi pertanyaan yang telah diajukan. Reformasi di Thailand saat ini bukanlah hal yang mendapat perhatian besar, tetapi beberapa hal sudah dilakukan, terutama terkait pembiayaan.

Husni bertanya kepada Aljunid, dari keempat pilar yang sudah disebutkan sebelumnya, pilar manakah yang menjadi prioritas. Aljunid menjawab bahwa hal tersebut sangat sulit untuk dijawab. Akan tetapi, berbicara tentang yang mudah dan mungkin untuk dicapai, dari keempat pilar itu adalah pilar 1. Ada sektor dari pilar 1 yang sulit untuk dilakukan, yaitu terkait public private partnership. Selain itu, pilar 1 juga membutuhkan pilar 3. Sedangkan, pilar 3 dan pilar 4 ini termasuk sangat sulit untuk dicapai. Political will adalah isu yang nyata untuk dapat menjadikan reformasi pelayanan kesehatan ini tercapai.

Husni menanyakan kepada Lutfan terkait apakah setuju dengan pernyataan bahwa antara public health dan primary care harus berjalan seimbang dan bagaimana hal tersebut dilakukan. Lutfan menanggapi bahwa hal tersebut tepat dinyatakan, terutama menyangkut 6 pilar yang terdapat di transformasi kesehatan. Teknologi saat ini dibutuhkan untuk meningkatkan primary care juga. Saat ini, sedang dilakukan penggunaan Rekam Medis Elektronik (RME). Husni kembali merespon bahwa terdapat banyak pembelajaran yang kita dapatkan dari era pandemi, termasuk peningkatan pelayanan primer.

Husni melanjutkan pertanyaan kepada Supasit mengenai efektivitas dokter kesehatan masyarakat di sistem kesehatan Thailand. Supasit menyatakan bahwa memang kurang memuaskan. Supasit cukup kritis terhadap mendukung penelitian terkait pelayanan primer di Thailand. Supasit belajar dari pandemi bahwa pelayanan primer perlu ditingkatkan dengan teknologi kesehatan juga. Apabila kita dapat menyeimbangkan pelayanan primer dengan literasi digital, dokter keluarga akan menjadi agen terbaik.

Husni kembali kepada Aljunid terkait seberapa serius menyampaikan kebutuhan reformasi kesehatan ini kepada pemerintah. Aljunid menyatakan bahwa masa ini adalah masa yang krusial bagi malaysia karena akan terjadi perubahan menteri. Kita perlu mendorong pemerintah untuk memulai drafting health financing act, sehingga kita dapat memperoleh komitmen yang jelas untuk reformasi kesehatan ini.

Husni menanyakan kepada Lutfan dan Supasit terkait seberapa jauh Kementerian Kesehatan berkecimpung dalam reformasi kesehatan. Lutfan menyampaikan bahwa implementasi sudah dilakukan berdasarkan data. Implementasi ini sudah dilakukan cukup baik oleh pihak-pihak di lapangan yang lebih dekat dengan situasi nyata. Supasit menambahkan terkait keuntungan kesehatan dan pembangunan single system yang perlu diperhatikan.

Diskusi panel diserahkan kepada peserta untuk ikut bertanya. Pertanyaan pertama disampaikan oleh Haryo dari Universitas Gadjah Mada. Haryo menyampaikan bahwa membandingkan sistem kesehatan di Malaysia dan Indonesia, Kementerian Kesehatan di Indonesia saat ini mengendalikan banyak hal yang sebelumnya bukan milik Kementerian Kesehatan, sehingga apa yang dapat kita pelajari dari sistem kesehatan di Malaysia? Aljunid menyebutkan bahwa ahli itu diperlukan untuk kebutuhan pekerjaan yang saat ini tampak banyak dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Selain kebutuhan ahli, diperlukan juga reorganisasi untuk melihat aspek-aspek apa yang dibutuhkan untuk mendukung pekerjaan di Kementerian Kesehatan. Pertanyaan kedua dari Tri menyampaikan terkait penelitian yang dilakukan universitas dan kebijakan yang dibuat oleh kementerian kesehatan. Aljunid menyebutkan bahwa di universitas kita mendorong untuk membuat publikasi. Apapun penelitian yang dilakukan dan dapat diakses oleh publik, Kementerian Kesehatan akan mencoba mempelajari hal tersebut. Terdapat juga conflict of interest. Pertanyaan ketiga, sebagai penutup diskusi panel hari ini, disampaikan oleh Prof. Tippawan. Sebagai akademisi, skenario apa yang dapat diusulkan terkait kebijakan kesehatan dan politik yang ada. Supasit menanggapi bahwa ini memang cukup sensitif melihat adanya menteri kesehatan yang baru. Lutfan sebagai akademisi ini bekerja sebagai independent. Tidak begitu mempertimbangkan apakah hasil ini nanti akan digunakan oleh kementerian kesehatan atau tidak. Akan tetapi, sangat mengharapkan bahwa kementerian kesehatan juga dapat mempertimbangkan proses implementasi apabila hasil yang diperoleh akademisi ini baik untuk diterapkan. Aljunid menyebutkan bahwa akademisi juga akan terbagi menjadi 2 kelompok. Akademisi ini memang independent dan kita perlu menentukan dengan jelas apa kepentingan kita. Jangan lupa bahwa kita juga perlu menjaga kesehatan masyarakat kita juga.

Reporter: Shita Dewi, Ester dan Sensa Gudya Sauma Syahra (PKMK UGM)

 

Reportase Diseminasi Penelitian Sustainabilitas Pelayanan Kesehatan Esensial di Pandemi COVID-19

Tantangan dan Pembelajaran dari Indonesia

Pada Rabu (24/7/2024) diselenggarakan Diseminasi Penelitian “Sustainabilitas Pelayanan Kesehatan Esensial di Pandemi COVID-19: Tantangan dan Pembelajaran dari Indonesia”. Acara ini bertempat di Hotel City Log Tebet, Jakarta dan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan di bidang kesehatan, termasuk perwakilan dari Kementerian Kesehatan RI, World Bank dan jejaring partner seperti UNICEF, UNDP, Bappenas, BKKBN Nasional, Aliansi Ikatan Profesi, dan para stakeholder yang terlibat langsung dalam penelitian ini.

Sesuai dengan pilar ketiga SDGs yang berfokus pada menjamin kesehatan dan kesejahteraan bagi semua individu di semua usia, penelitian sustainabilitas pelayanan kesehatan esensial di pandemi COVID-19 yang mencakup tantangan dan pembelajaran dari Indonesia ini dilakukan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM yang berkolaborasi bersama Nossal Institute For Global Health, University Of Melbourne.

Acara diseminasi diawali dengan sambutan sekaligus membuka acara oleh Pandu Harimurti sebagai perwakilan dari World Bank. Pandu menjelaskan pentingnya penelitian ini dalam mendokumentasikan respon pemerintah Indonesia terhadap pandemi COVID-19. Pandemi telah menunjukkan berbagai kelemahan dalam sistem kesehatan, namun juga memberikan banyak pembelajaran yang bisa digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan di masa depan. Pihaknya menekankan bahwa salah satu isu utama selama pandemi adalah bagaimana menjamin keberlangsungan pelayanan kesehatan esensial meskipun sumber daya kesehatan harus dialihkan untuk menangani COVID-19. Beliau berharap hasil penelitian ini dapat memberikan panduan untuk mempersiapkan sistem kesehatan Indonesia dalam menghadapi situasi darurat di masa depan.

Sambutan selanjutnya dari dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, Ph.D selaku salah satu peneliti utama, menambahkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk memahami efektivitas upaya mengurangi dampak pandemi terhadap pelayanan kesehatan esensial serta mengevaluasi strategi pemerintah dalam meningkatkan perlindungan layanan kesehatan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method, menggabungkan data kuantitatif dan wawancara kualitatif di beberapa daerah, termasuk Kabupaten Rokan Hulu (Provinsi Riau), Kabupaten Tabalong (Provinsi Kalimantan Selatan), Kepulauan Yapen (Provinsi Papua), Kabupaten Timur Tengah Utara dan Kabupaten Kupang (Provinsi Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan Jakarta Selatan (Provinsi DKI Jakarta).

Budi Perdana, MPH selaku Ketua Tim Kerja Pinjaman dan Hibah, Biro Perencanaan dan Anggaran, Kemenkes menyampaikan apresiasi kepada World Bank atas dukungannya selama pandemi. Budi mengungkapkan bahwa Kemenkes bersama World Bank telah menyiapkan berbagai strategi dan pendanaan untuk mengatasi COVID-19, termasuk pengalokasian dana sebesar 211 triliun rupiah untuk penanganan bencana nasional. Salah satu indikator utama yang dipantau adalah pelaksanaan pelayanan kesehatan esensial, seperti layanan KIA, TB, gizi, dan imunisasi, yang berhasil mempertahankan tingkat utilisasi hingga 90% selama pandemi berkat berbagai inovasi dan adaptasi.

Temuan utama penelitian menunjukkan bahwa pandemi berdampak berbeda pada berbagai jenis pelayanan kesehatan esensial. Kunjungan rawat jalan untuk penyakit tidak menular (PTM) sangat terdampak namun mulai pulih pada awal 2021. Kunjungan untuk tuberkulosis (TB) sangat terpengaruh, sementara layanan HIV relatif tidak terdampak parah. Inovasi dalam bidang kesehatan jiwa berhasil meningkatkan kunjungan selama pandemi. Selain itu, penggunaan telemedicine dan digitalisasi layanan kesehatan turut membantu menjaga keberlanjutan beberapa layanan esensial, meskipun memperburuk ketidaksetaraan akses di beberapa wilayah.

dr. Likke Prawidya Putri, MPH, Ph.D perwakilan tim peneliti, memaparkan bahwa pemanfaatan pelayanan esensial mengalami penurunan antara 10-30% di 3 bulan pertama pandemi, terutama tuberkulosis 30% dan imunisasi anak 25%. Beberapa faktor yang menyebabkan variasi penurunan pemanfaatan pelayanan yaitu terbatasnya peluang untuk self-screening atau pengalihan tugas pelayanan kepada non-petugas kesehatan. Seperti kita ingat bersama, saat pandemi terjadi kekurangan petugas kesehatan karena diperlukan untuk menangani kasus COVID-19. Selanjutnya, peneliti dari Nossal Institute for Global Health, dr. Tiara Marthias, MPH, Ph.D menjelaskan bahwa masing-masing pelayanan esensial sudah menerbitkan pedoman, tetapi dalam tingkat kedetailan dan fleksibilitas yang berbeda. Hal ini turut berkontribusi dalam mempengaruhi penurunan pemanfaatan pelayanan kesehatan esensial.

Diskusi yang berlangsung setelah pemaparan temuan penelitian menyoroti pentingnya pengembangan rencana adaptasi darurat untuk pelayanan kesehatan esensial, penguatan kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta, serta investasi dalam infrastruktur kesehatan digital. Berbagai masukan dan rekomendasi dari para peserta diharapkan dapat memperkaya penelitian ini dan memberikan panduan yang lebih komprehensif untuk kesiapan dan respons sistem kesehatan Indonesia di masa depan.
Acara diakhiri dengan sesi foto bersama dan penutupan. Seluruh peserta berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat besar bagi peningkatan sistem kesehatan di Indonesia, khususnya dalam menghadapi situasi darurat di masa mendatang.

Materi

 

25jl 2

Tim Peneliti:

  • Prof. Linda Bennet, PhD (Nossal Institute For Global Health, Melbourne University)
  • Clare Strachan, MPH (Nossal Institute For Global Health, Melbourne University)
  • Katherine Gilbert (Nossal Institute For Global Health, Melbourne University)
  • dr. Tiara Marthias, MPH, PhD (Nossal Institute For Global Health, Melbourne University)
  • Paramitha Eka Putri, PhD (Nossal Institute For Global Health, Melbourne University)
  • dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, PhD (PKMK FK-KMK UGM)
  • dr. Likke Prawidya Putri, MPH, PhD (PKMK FK-KMK UGM)
  • dr. Luqman Hakim, MPH (PKMK FK-KMK UGM)
  • Monita Destiwi, SKM, MA (PKMK FK-KMK UGM)
  • Perigrinus Sebong, SKM, MPH (PKMK FK-KMK UGM)
  • Iztihadun Nisa, SKM, MPH (PKMK FK-KMK UGM)
  • Hanifah Wulandari, S.Gz, MPH (PKMK FK-KMK UGM)
  • Rio Aditya Pratama, S.Goz (PKMK FK-KMK UGM)
  • Nila Munana, S.HG, MHPM (PKMK FK-KMK UGM)
  • Sensa Gudya, M.Kom (PKMK FK-KMK UGM)

Reporter: Iztihadun Nisa

 

 

 

 

Reportase Webinar Implementation Research for Health System Equity Inclusion and Impact

9 Juli 2024

Accelerate HSS menggelar webinar bertajuk “Implementation Research for Health System Equity Inclusion and Impact” pada 9 Juli 2024 dan menghadikran tiga pembicara dari Ghana, Georgia, dan Indonesia. Pembicara dari Indonesia adalah Astara Amantia Lubis yang merupakan Program Director Health Systems Strengthening Accelerator/Results for Development. Dalam presentasinya yang berjudul “Pilot Testing Inclusive Strategic Purchasing Approaches to Strengthen PHC Providers’ Performance,” Astara membahas berbagai pendekatan strategis untuk meningkatkan kinerja penyedia layanan kesehatan primer (PHC) di Indonesia.

Astara Amantia Lubis membuka presentasinya dengan menyoroti tingginya angka kematian ibu di Indonesia, yang menduduki peringkat kedua tertinggi di Asia Tenggara dengan Maternal Mortality Ratio (MMR) sebesar 189 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan bahwa implementasi layanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (MNH) masih menghadapi berbagai tantangan. Permasalahan utama meliputi tingginya pengeluaran kesehatan untuk MNH di rumah sakit akibat banyaknya rujukan darurat, rendahnya pemanfaatan layanan kebidanan JKN di fasilitas kesehatan primer, serta belum optimalnya standar kualitas layanan. Akibatnya, banyak masyarakat lebih memilih membayar sendiri biaya perawatan daripada memanfaatkan layanan kesehatan yang tersedia.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Astara menekankan pentingnya meningkatkan pembiayaan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, terutama di tingkat layanan primer. Bekerja sama dengan USAID Health Financing Activity, Thinkwell, dan Universitas Gadjah Mada, tim peneliti berfokus pada pendekatan “Strategic Health Purchasing” atau pembiayaan kesehatan strategis. Pendekatan ini bertujuan untuk menggunakan dana secara efisien sambil tetap menjamin kualitas perawatan yang optimal dari penyedia layanan kesehatan.

Salah satu upaya implementasi, dilakukan proyek percontohan di Kabupaten Serang dan Kota Serang. Proyek ini mengadopsi elemen-elemen pembelian strategis, termasuk penyesuaian manfaat, implementasi kontrak, serta pemberian insentif pembayaran bagi penyedia layanan. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, sekaligus mengurangi beban finansial masyarakat.

Keberhasilan proyek ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan sub-nasional untuk mengakomodir perspektif dan kebutuhan dari berbagai pihak terkait. Peran dan tanggung jawab setiap pemangku kepentingan juga telah dipetakan dan disepakati, khususnya dalam hal advokasi kebijakan.

Fase Pilot Project

Fase pilot project terbagi menjadi tiga bagian, yaitu operational research, outcome research (kuantitatif), dan implementation research (kualitatif). Pada operational research terdapat fase desain dan fase implementasi. Fase desain dimulai dengan desain ekosistem, analisis dampak anggaran, analisis infrastruktur, analisis institusional, serta pemetaan beban kerja dan beban di fasilitas kesehatan primer.

Selanjutnya pada fase implementasi, dilakukan outcome research dan implementation research. Pada outcome research, dilakukan survei terkait fasilitas kesehatan dan survei ibu. Fokus utama selama fase implementasi yang berlangsung selama 12 bulan adalah memperkuat pemantauan dan pembinaan penyedia layanan serta koordinasi antara Dinas Kesehatan Kabupaten dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Harapannya, dalam 12 bulan akan terjadi peningkatan akses dan kualitas layanan kepatuhan penyedia layanan terhadap standar layanan yang ditetapkan serta keberlanjutan finansial bagi BPJS Kesehatan.

Selama fase desain dan implementasi, kelompok kerja teknis (TWG) berperan dalam menyempurnakan kebijakan nasional serta pedoman di tingkat subnasional. Berdasarkan penelitian hasil dan implementasi yang dilakukan oleh UGM, indikator yang sama digunakan untuk mengukur akses, kapasitas, dan cakupan layanan dalam meningkatkan akses perawatan neonatal dan postnatal.

Astara menambahkan bahwa dalam 12 bulan implementasi, terlihat dampak positif terhadap efisiensi finansial. Terjadi pergeseran tren dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer untuk perawatan neonatal dan postnatal tanpa risiko tinggi. Sebelumnya, pada 2020, banyak perawatan jenis ini dilakukan di rumah sakit. Namun kini, ibu-ibu dapat dirawat di tingkat layanan primer, yang menurunkan biaya rata-rata layanan.

Penelitian implementasi UGM juga menunjukkan bahwa pendekatan pemantauan dan pembinaan diterima dengan baik oleh pihak-pihak terkait. Sebagai respons positif, wali kota dan bupati mengeluarkan surat keputusan tentang jaminan kualitas menggunakan tata kelola pembinaan dan pemantauan ini. Di tingkat nasional, beberapa hasil penelitian telah diadopsi, termasuk kenaikan tarif berdasarkan analisis dampak anggaran, penerapan indikator kualitas dalam sistem informasi BPJS Kesehatan, dan pembaruan pedoman nasional tentang perawatan Antenatal Care (ANC).

Sebagai penutup, Astara menggarisbawahi pentingnya penelitian implementasi dalam memperkuat strategi pembelian kesehatan yang berkelanjutan. Pihaknya menegaskan bahwa penelitian ini membantu memberikan umpan balik secara real-time dan mengidentifikasi risiko yang disebabkan oleh kebijakan kesehatan nasional di tingkat penyedia layanan, serta memberikan rekomendasi yang konkret dan terukur untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi layanan kesehatan di Indonesia.

Reporter:
Ratri Mahanani (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

Reportase Secure Webinar 15, Kolaborasi Sektor Publik dan Swasta dalam Integrasi Pelayanan Masyarakat, Layanan Primer, dan Rumah Sakit: Pembelajaran dari Singapura

Asian Development Bank (ADB) mengadakan webinar sebagai bagian dari rangkaian “Driving Change: Conversations on Advancing Primary Care Transformation in Southeast Asia” pada 27 Juni 2024. Acara ini berfokus pada integrasi layanan kesehatan primer di Singapura, kolaborasi antara sektor publik dan swasta, serta relevansinya bagi negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Webinar ini menghadirkan pemateri dari Singapura, yaitu Associate Prof Clive Tan, Senior Consultant dari National Healthcare Group, dan Lely Gunawan, Director dari Primary & Community Care Development Agency for Integrated Care. Sementara itu, pembahas dalam kegiatan ini adalah Dr. Rick Chan, Primary Care Sector Leader Singapura, dan Dr. Eduardo Banzon, Principal Health Specialist dari ADB.

Sesi pertama, “Integrated Care in Singapore“, dibuka oleh Dr. Tan yang menyoroti tantangan kesehatan yang dihadapi Singapura. Meskipun memiliki harapan hidup tertinggi di dunia yaitu 84 tahun, penduduk Singapura cenderung menghabiskan sekitar 10 tahun terakhir dalam kondisi kesehatan yang buruk. Dengan populasi mencapai 5,6 juta dan rasio dukungan usia tua sebesar 3,7, Singapura menghadapi tekanan besar dalam mendukung populasi lansia. Pertumbuhan pengeluaran kesehatan yang mencapai 8,2% per tahun jauh melebihi pertumbuhan PDB dan inflasi, menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan sistem kesehatan di masa depan.

Untuk mengatasi tantangan ini, Kementerian Kesehatan Singapura meluncurkan inisiatif “Healthier SG“. Program ini berfokus pada pencegahan melalui kerjasama dengan pihak swasta, menawarkan perawatan terpercaya dari dokter keluarga untuk semua kebutuhan kesehatan, mendukung gaya hidup sehat, dan memberdayakan individu. Dengan konsep “Satu Klinik Keluarga, Rencana Kesehatan Personal untuk Semua”, program ini mendorong hubungan jangka panjang antara pasien dan dokter keluarga untuk mengembangkan dan mengelola rencana kesehatan personal.

Lely Gunawan melanjutkan pembahasan dengan menyoroti transformasi layanan kesehatan primer di Singapura dan program “Age Well SG“. Mengingat proyeksi bahwa 1 dari 4 warga Singapura akan berusia 65 tahun ke atas, pemerintah Singapura mendorong warga untuk memilih klinik atau dokter umum sebagai titik kontak utama untuk semua kebutuhan pelayanan. Program “Age Well SG” diimplementasikan untuk mendukung lansia agar tetap aktif, terhubung secara sosial, dan dirawat dalam komunitas mereka. Lely juga menekankan peran penting Active Ageing Centres (AAC) yang berfungsi sebagai pusat sosial dan pusat rujukan pelayanan bagi lansia, menyediakan pemantauan kesehatan rutin dan berbagai intervensi gaya hidup.

Pada sesi kedua, “Overview of Public and Private Sector Collaboration on Integrated Care: Progress and Opportunities in SEA,” Dr. Eduardo Banzon membahas evolusi sistem kesehatan di Asia Tenggara. Eduardo mengamati adanya perbedaan pendekatan antara Singapura dan negara berkembang lainnya, dimana banyak negara berkembang masih menganut pendekatan yang berorientasi pada sisi penawaran dalam layanan kesehatan primer. Pihaknya mengkritisi pendekatan ini, menjelaskan bahwa sistem seperti ini cenderung kurang memotivasi penyedia layanan untuk meningkatkan kualitas. Sebaliknya, Singapura telah bergeser menuju pendekatan berorientasi permintaan, dimana masyarakat lebih diberdayakan melalui asuransi kesehatan atau mekanisme lain yang ditawarkan oleh negara.

Selama sesi panel diskusi, Dr. Rick Chan menjelaskan bahwa inisiatif “Healthier SG” bertujuan untuk memperkuat Primary Care Networks dengan melibatkan praktisi dokter medis baik solo maupun kelompok. Rick juga menyoroti keterlibatan aktif dokter umum dalam pengembangan program Healthier SG dan pedoman pelayanan preventif. Selain itu, pasien di Singapura memiliki kebebasan penuh untuk memilih klinik layanan kesehatan primer mereka melalui aplikasi HealthHub. Lebih lanjut, Kementerian Kesehatan Singapura juga memberikan subsidi untuk kunjungan ke klinik dokter umum melalui skema Community Health Assistance Scheme (CHAS).

Dr. Tan melengkapi diskusi dengan menekankan pentingnya sistem insentif untuk mendorong penyedia layanan melakukan hal yang benar, seperti penghargaan untuk dokter yang mengikuti pedoman manajemen penyakit sesuai dengan “Healthier SG“. Tan juga menjelaskan bahwa perubahan ke model kapitasi dilakukan secara bertahap untuk memastikan transisi yang mulus.

Secara garis besar, webinar ini menyoroti upaya transformatif Singapura dalam mengintegrasikan layanan kesehatan primer dan mengatasi tantangan populasi yang menua. Acara ini mengeksplorasi kolaborasi inovatif antara sektor publik dan swasta dalam mereformasi sistem kesehatan, dengan fokus khusus pada inisiatif “Healthier SG” dan program “Age Well SG“. Webinar ini menitikberatkan pada stratgi komprehensif Singapura dalam mentransformasi sistem kesehatan primer merka, dengan fokus pada integrasi, pencegahan, dan pemberdayaan masyarakat, serta bagaimana pendekatan ini dapat diadaptasi oleh negara lain di kawasan.

Hal menarik yang dibahas dalam webinar ini antara lain konsep “Satu Klinik Keluarga, Rencana Kesehatan Personal untuk Semua” yang diusung oleh program “Healthier SG” menawarkan perspektif baru dalam membangun hubungan jangka panjang antara pasien dan dokter keluarga. Selain itu, peran Active Ageing Centres (AAC) sebagai pusat sosial dan rujukan pelayanan bagi lansia menunjukkan pendekatan berbasis komunitas yang inovatif. Diskusi tentang sistem insentif untuk mendorong penyedia layanan mengikuti pedoman manajemen penyakit juga menarik, menggambarkan bagaimana Singapura berusaha menyelaraskan kepentingan berbagai pemangku kepentingan dalam sistem kesehatan. Terakhir, pembahasan tentang transisi bertahap menuju model kapitasi memberikan pengetahuan berharga tentang bagaimana perubahan sistem dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan.

Reporter:
Rossa Ratri, SE (Divisi Public Health PKMK UGM)

 

Reportase Health System Strengthening Accelerator (HSSA) Workshop 2024

Igniting HPSR Futures: Empowering Torchbearers in the Asia-Pacific

5-7 Juni 2024 | Gran Melia Hotel, Jakarta Indonesia

Rabu, 5 Juni 2024

Acara HSSA Workshop 2024 adalah sebuah action-oriented workshop yang mencakup kombinasi presentasi pleno, sesi kelompok kecil, dan aktivitas kolaboratif. Kegiatan ini mendorong pemahaman serta pertukaran pengetahuan, memberi informasi tentang peluang penguatan kapasitas, dan memperkuat hubungan kerja antar beragam pemangku kebijakan kesehatan di regional Asia. Acara ini memiliki tema “Strengthening the ecosystem for health policy and systems research for health systems strengthening in Asia” yang memiliki fungsi kritis dalam mengidentifikasi langkah-langkah tindakan ini sangat penting untuk menentukan “pembawa obor,” misalnya, anggota komunitas yang bersedia dan berada dalam posisi yang baik untuk menggerakkan agenda bersama ke depan. Pada akhir lokakarya, peserta akan mengidentifikasi setidaknya dua tindakan penguatan dan pembawa obor di setiap tingkat sistem organisasi, nasional, dan regional.

Reportase ini mendokumentasikan sesi hari pertama pelaksanaan Health System Strengthening Accelerator (HSSA) Workshop 2024. Kegiatan dibuka oleh Dwi Puspasari, SKM, M.Sc selaku Kepala Pusjak Upaya Kesehatan dari BKPK Kementerian Kesehatan. BKPK menceritakan bahwa pandemi COVID-19 telah memberikan pembelajaran yang baik untuk pemerintah Indonesia melakukan transformasi sistem kesehatan dengan memperkuat Health Policy and System Research. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari USAID Indonesia dan USAID Asia dalam penyediaan evidence dan mengaitkan dengan proses kebijakan untuk membangun sistem kesehatan yang berbasis lokal.


Sesi: The HPSR Ecosystem over the past 5 years

Amanda Folsom, Senior Program Director at Results for Development (R4D)

Setelah kata sambutan, kegiatan dilanjutkan dengan sesi pemaparan oleh Amanda Folsom tentang The HPSR Ecosystem over the past 5 years. Amanda menjelaskan tentang perjalanan HPSR yang telah dimulai sejak 2019 hingga 2024 dengan prioritas utama adalah menghubungkan penelitian dan pengambilan keputusan. Dalam 5 tahun ini, terdapat 97 organisasi di 27 negara Asia yang terlibat dalam HPSR. Namun, organisasi yang terlibat dalam HPSR ini masih terbatas untuk melakukan kolaborasi dan belum banyak terlibat dalam platform pembelajaran. Amanda juga menjelaskan, berdasarkan hasil assessment mereka pada 2020, peranan HPSR untuk penguatan sistem kesehatan di Asia mayoritas menghasilkan bukti (98%), analisis data dan menemukan masalah (94%), formulasi solusi (68%), memastikan adopsi usulan kebijakan (47%) dan mengimplementasikan perubahan (6%). Melalui workshop ini, Amanda berharap peserta dapat memperdalam pemahaman tentang kolaborasi penelitian kebijakan dalam dan antara negara, khususnya organisasi yang bergabung dalam HPSR dengan pengambil keputusan pada kebijakan kesehatan.



Setelah Amanda Folsom menjelaskan perjalanan HPSR dalam 5 tahun terakhir, peserta diajak untuk berpartisipasi melakukan refleksi yang sudah dilakukan oleh organisasi dari 2019-2024. Peserta diminta untuk menuliskan kegiatan yang sudah dilakukan selama terlibat dalam HPSR di tingkat global, regional, nasional dan organisasi.

Sesi: The HPSR Ecosystem Now: Making a plan

Dr. Vivian Lin, Professor of Public Health Practice, The University of Hongkong

Sesi The HPSR Ecosystem Now: Making a plan adalah salah satu sesi interaktif setelah coffee break dan opening network pada hari pertama (5 Juni 2024) workshop. Pada sesi hybrid ini, peserta merefleksikan visi dari ekosistem Health Policy and System Research (HPSR) sebelumnya, dengan berdiskusi mengenai aspek-aspek pada visi yang dapat di-update serta mendiskusikan fungsi dari berbagai aktor “torchbearers” dalam memperkuat ekosistem HPSR di tingkat lokal maupun regional. Sebagai output dari sesi ini yaitu draft mengenai versi terbaru dari visi ekosistem HPSR beserta peranan dan fungsi dari aktor/ torchbearers sebagai komponen dari rencana aksi (action plan).

Dr. Vivian Lin membuka sesi The HPSR Ecosystem Now: Making a plan dengan membawakan pengantar mengenai visi HPSR Ecosystem yaitu Asia HPSR Ecosystem Vision (2021) dengan membahas aspek-aspek penting dalam visi ekosistem sebagai berikut:

Asia HPSR Ecosystem Vision (2021), a stronger enabling HPSR ecosystem of the future that is highly responsive to countries’ needs. HPSR ecosystem yang kuat dikarakterisasi dari

  • tingginya demand dan penggunaan akan evidence
  • meningkatnya domestically financing
  • memperkuat engagement dengan regional dan global platform.
  • matriks untuk mengukur performa ekosistem

Sementara prioritas area dalam penguatan visi HPSR ekosistem meliputi: implementasi research partnership, networks dan forums, peningkatan training, research agenda-setting, financing frameworks, catalog learning and training opportunity, monev ecosystem.

Mengingat bahwa sesi yang diadakan bersifat hybrid, maka Dr. Vivian mengundang partisipasi peserta yang mengikuti sesi secara daring dengan berpartisipasi dalam pooling mengenai 3 topik prioritas berdasarkan 2021 vision of HPSR Ecosystem

Setelah sesi pooling diadakan agenda interaktif dengan menggunakan perantara puzzle yang mengharuskan peserta dalam satu meja untuk berkolaborasi untuk menyelesaikan puzzle tersebut. Banyak lessons learned yang didapatkan dari games puzzle tersebut seperti halnya bagaimana HPSRIs dapat bekerjasama untuk mencapai satu tujuan yaitu memperkuat HPSR ecosystem.

Sesi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai policy environment sebagai salah satu enabler dalam ekosistem HPSR. Policy environment yang ada saat ini belum memiliki gambaran besar mengenai orientasi penelitian, perlu adanya peningkatan kapasitas (peneliti perlu benar-benar belajar tentang bukti yang baik, perantara kebijakan, pembuat kebijakan untuk memahami), perlunya melakukan lebih banyak koordinasi lintas sektoral, dampak di tingkat komunitas, inklusivitas- bagian dari komunitas, di luar penelitian dan praktik, ekonomi politik, pemetaan sumber daya.

Sesi workshop diakhiri oleh Dr. Vivian Lin dengan sebuah refleksi mengenai bagaimana cara kita dapat menerjemahkan HPSR Ecosystem vision ini menjadi sebuah aksi karena sejatinya sebuah visi yang baik adalah visi yang dapat dilaksanakan dengan membuat rencana aksi/action plan.

Kamis. 6 Juni 2024

Acara HSSA Workshop 2024 adalah sebuah action-oriented workshop mencakup kombinasi presentasi pleno, sesi kelompok kecil, dan aktivitas kolaboratif yang mendorong pemahaman dan pertukaran pengetahuan, memberi informasi tentang peluang penguatan kapasitas, dan memperkuat hubungan kerja antar beragam pemangku kebijakan Kesehatan di regional Asia. Acara ini memiliki tema “Strengthening the ecosystem for health policy and systems research for health systems strengthening in Asia” yang memiliki fungsi kritis dalam mengidentifikasi langkah-langkah tindakan ini sangat penting untuk mengidentifikasi “torchbearer” yang dimana adalah anggota komunitas yang bersedia dan berada dalam posisi yang baik untuk menggerakkan agenda bersama ke depan. Pada akhir workshop, peserta akan mengidentifikasi setidaknya dua tindakan penguatan dan pembawa obor di setiap tingkat sistem organisasi, nasional, dan regional.

Reportase ini mendokumentasikan sesi hari kedua Health System Strengthening Accelerator (HSSA) Workshop 2024. Pada hari ke-2 pelaksanaan workshop membahas kolaborasi pemerintah Indonesia dalam melakukan penelitian dan penyusunan kebijakan. Kegiatan ini dalam bentuk virtual field trip dengan dua breakout room yakni: pembelajaran dari implementasi piloting Pusjak PDK BPKPK Kemenkes dengan Health Financing Activity (HFA) – USAID; dan pembelajaran peningkatan kapasitas untuk menerjemahkan hasil penelitian ke proses kebijakan dengan Pusjak UK BKPK Kemenkes, PKMK UGM dan Poltekkes

Sesi Breakout room 1 – Peningkatan Kapasitas Menerjemahkan Hasil Penelitian untuk Proses Kebijakan

Di breakout room 1, diskusi dilakukan bersama Dewi Puspasari dari Pusjak UK, BKPK Kemenkes, Tri Muhartini dari PKMK UGM dan Dodoh Khodijah dari Poltekkes Medan. Diskusi dipandu oleh Shita Listyadewi dari PKMK UGM. Para narasumber menceritakan pengalaman dalam melaksanakan dan mengikuti pelatihan terkait knowledge translation untuk menjembatani hasil penelitian dan proses kebijakan. Narasumber pertama yakni Dewi Puspasari mempresentasikan tentang pengalaman Pusjak UK melakukan Implementation Research untuk menyediakan evidence dalam penyusunan kebijakan kesehatan di Kementerian Kesehatan. Dewi juga menjelaskan bahwa proses pelaksanaan Implementation Research ini dilakukan secara kolaborasi dengan perguruan tinggi seperti Universitas dan Poltekkes. Pelaksanaan Implementation Research juga dimulai dengan membekali peneliti di BKPK Kemenkes dan perguruan tinggi mendapatkan pelatihan yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Pendekatan riset dilakukan sebagai wujud dari Pusjak UK untuk mewujudkan transformasi sistem kesehatan di Indonesia.

Penyelenggaraan pelatihan dari UGM untuk BKPK ini bukan merupakan hal yang pertama. Pemaparan dari Tri Muhartini selaku peneliti dari PKMK UGM menjelaskan bahwa telah ada beberapa pelatihan yang diselenggarakan untuk mendukung proses Kementerian Kesehatan melakukan transformasi secara internal, khususnya untuk mengubah peran peneliti menjadi analisis kebijakan. PKMK UGM telah menyediakan pelatihan knowledge translation terdiri dari penelitian kebijakan, analisis kebijakan, penyusunan policy brief, dan advokasi kebijakan untuk mendukung BKPK Kementerian Kesehatan menghubungkan atau memanfaatkan hasil penelitian sebagai landasan penyusunan kebijakan kesehatan. Baru-baru ini, Kementerian Kesehatan memiliki agenda untuk memberdayakan Poltekkes membantu proses monitoring program dan kebijakan kesehatan di daerah. PKMK UGM, berperan dalam agenda tersebut dengan menyediakan pelatihan knowledge translation untuk Poltekkes. Pelatihan disediakan karena Poltekkes merupakan perguruan tinggi di bawah Kementerian Kesehatan yang berfokus untuk menyediakan tenaga kesehatan dan belum masuk dalam HPSRI di Indonesia untuk menyediakan evidence kebijakan.

Moderator, Shita Listya Dewi, mempersilahkan kepada Poltekkes untuk memaparkan manfaat dan perubahan setelah mengikuti pelatihan knowledge translation. Salah satu Poltekkes dari Medan yang diwakili oleh Dodoh Khodijah menceritakan pengalamannya. Setelah mengikuti pelatihan, Poltekkes Medan secara pemahaman mengalami peningkatan untuk mengenal tentang penelitian kebijakan, analisis kebijakan, penyusunan policy brief dan advokasi kebijakan. Dodoh juga menyatakan bahwa pembelajaran tentang knowledge translation merupakan hal baru untuk mereka sehingga masih terdapat banyak tantangan dan membutuhkan sumber daya baru untuk melakukannya. Tantangan besar yang dihadapi Poltekkes Medan untuk ke depannya memproduksi knowledge translation secara mandiri adalah kemampuan praktik yang terbatas sehingga membutuhkan pelatihan tindak lanjut. Selain itu, sumber daya keuangan masih terbatas untuk Poltekkes dapat melakukan penelitian kebijakan, pendanaan yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan memiliki syarat yang masih sulit untuk diakses. Manajemen penelitian di Poltekkes dijelaskan juga masih belum memiliki kapasitas untuk mengelola penelitian.

Dari diskusi breakout room 1, Shita Listyadewi berharap peserta dari di Asia dapat mengambil untuk dapat mereka implementasikan dalam memperkuat kapasitas HPSRI di negaranya masing-masing. Kapasitas untuk menyediakan evidence dan menghubungkannya dengan proses kebijakan.

Sesi breakout room 2 – Success story of the pilot implementation dari Pusjak PDK – BKPK unit and USAID Health Financing Activity Project

(Dr. Iko Safika, MERLA Specialist & Amalia, Health Financing Specialist, USAID Health Financing Activity)

Gambar. Success story of the pilot implementation- Pusjak PDK – BKPK unit and USAID Health Financing Activity Project

Pada breakout room 2 ini menghadirkan 2 orang pembicara yang terlibat langsung dalam kegiatan USAID HFA yaitu Dr. Iko Safika dan Amalia. Sesi ini dimulai dari brief mengenai konteks project HFA yang disampaikan oleh Iko yaitu JKN di Indonesia telah mengcover hampir 95-985 dari total populasi di Indonesia, sehingga merupakan suatu hal yang bersifat kritikal dalam memberikan paket esensial pada pelayanan Kesehatan. BPJS Kesehatan sebagai purchaser dan Kementerian Kesehatan sebagai regulator bekerja sama dalam Menyusun regulasi yang efektif khususnya mengenai strategic purchasing. Masuk ke dalam konteks kegiatan HFA, Iko menyebutkan bahwa angka kejadian/prevalensi kematian ibu dan anak (maternal and neonatal care) Indonesia masih menduduki peringkat pertama kematian ibu dan anak tertinggi di asia tenggara. Maka dari itu diperlukannya pembangunan knowledge dan kapasitas mengenai strategic purchasing di Indonesia khususnya dalam sektor Maternal dan Neonatal care.

Presentasi dilanjutkan oleh Amalia selaku Health Financing specialist USAID dengan judul paparan yaitu “Revising the standard tariff of social health insurance for maternal and neonatal health service based on evidences”. Amalia memulai presentasi mengenai background adanya penyesuaian tarif BPJS selama 2 tahun, sehingga perlu adanya inovasi dan pembaharuan dalam pembiayaan Kesehatan guna memaksimalkan implikasi dan impact dari pelayanan Kesehatan tersebut. Pusjak PDK sebagai salah satu fungsi dari BKPK memiliki beberapa inovasi terkait revisi tarif guna keberlanjutan program JKN.

Sehingga dilakukan pengadopsian Strategic Health Purchasing (SHP) ke dalam program nasional dengan beberapa tahapan seperti misalnya tahap design (melakukan analisis dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sektor publik dan sektor swasta pada level Kesehatan primer serta adjustment on payment mechanism) sampai akhirnya dilakukan pengadopsian SHP pada Kesehatan ibu dan anak dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2023 mengenai perubahan aturan tarif dalam pelayanan JKN.

Selanjutnya, mengapa SHP perlu berfokus pada maternal and neonatal care?
Saat ini, di Indonesia, masih terdapat 189 kematian bayi pada 100,000 angka kelahiran hidup sehingga hal ini masih di bawah target nasional Indonesia yaitu terjadinya 173 kematian bayi pada 100,000 angka kelahiran bayi hidup.
Untuk itu, kegiatan pilot yang dilakukan melalui skema USAID HFA berupaya meningkatkan akses serta memperkuat quality assurance dalam pemberian pelayanan maternal and neonatal health (MNH) di Indonesia. 

Sebagai gambaran hasil dan impact dari kegiatan USAID HFA di Indonesia, diketahui bahwa dalam aspek access, terjadi kenaikan klaim pelayanan terkait MNH pada fasilitas Kesehatan tingkat dasar dengan compliance dan kualitas pelayanan yang meningkat dengan mengedepankan prinsip efisiensi pada sistem pelayanan MNH.

Sebagai pembelajaran inti (learning), dari pilot USAID HFA di Indonesia yang bekerjasama dengan BKPK, dapat dipelajari dua hal yaitu:

  1. Perlu adanya keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kebijakan pada tahap desain sampai implementasi untuk menurunkan kemungkinan adanya resistensi kebijakan.
  2. Memastikan kualitas evidence dan proses adopsi sampai adanya output seperti perubahan tarif pada Peraturan Menteri Kesehatan merupakan contoh nyari dari evidence to adoption process.

Sebagai penutup, Iko menyampaikan closing statement bahwa engagement dengan seluruh pemangku kebijakan bukan hanya Kementrian Kesehatan namun juga para mitra pembangunan, pihak universitas/riset, sub-national level adalah sebuah hal yang esensial dalam mendukung adanya proses evidence uptake into policy seperti contohnya USAID HFA dalam memberikan evidence melalui perubahan tarif pelayanan Kesehatan ibu dan anak di Indonesia pada keputusan Menteri Kesehatan.

 

Reporter: Tri Muhartini, MPA (PKMK UGM) dan Kadek Darmawan

 

Priorities 2024, Shaping the Future of Health Prioritization: Strategies for Sustainable Solutions

Bangkok, 8 – 10 Mei 2024

Konferensi ini diselenggarakan oleh International Society for Priorities in Health, dan kali ini tuan rumahnya adalah Health Intervention and Technology Assessment Program (HITAP) Thailand. Tema yang diusung berfokus pada pendekatan-pendekatan dan praktik-praktik baik serta prakiraan tren ke depan untuk melakukan penapisan teknologi agar dapat menentukan prioritas-prioritas intervensi kesehatan yang efektif dan equitable.

Ancaman COVID-19 baru saja berlalu, tetapi lebih banyak lagi kemungkinan ancaman baru akan segera terjadi. Perubahan iklim, konflik geopolitik, pertumbuhan ekonomi yang rendah, kendala keuangan, dan teknologi perawatan kesehatan baru dapat menimbulkan tantangan bagi sistem perawatan kesehatan yang sedang berjuang untuk mencapai cakupan kesehatan semesta. Oleh karena itu, pendekatan holistik yang komprehensif untuk memprioritaskan kesehatan diperlukan untuk memastikan ketahanan dan solusi berkelanjutan untuk kesehatan. Konferensi ini menyampaikan apa yang bisa dipetik dari pengalaman dan inovasi berbagai negara dalam mengalokasikan sumber daya untuk kesehatan, apa yang dibutuhkan dalam sistem perawatan kesehatan berkelanjutan dan mampu menahan tantangan dan ancaman baru.

Beberapa sesi kunci yang dibahas adalah:

From Data to Action: Leveraging AI and RWE for Informed Priority Setting

Real-World Evidence (RWE) dan Artificial Intelligence (AI) telah ada selama lebih dari beberapa dekade, dan berfungsi sebagai alat yang berharga untuk dukungan prioritas. Perdebatan berlanjut pada isu-isu seperti apakah RWE dan AI merupakan realita baru atau apakah mereka hanya sesuatu yang trendi, dan apakah yang pro terhadap RWE dan AI lebih besar daripada yang kontra, termasuk dapatkah mereka benar-benar membantu dengan prioritas. Selain itu, juga dibahas bagaimana, dan hal-hal apa yang harus diperhatikan di RWE dan AI jika masyarakat kita akan semakin bergantung pada teknologi itu, termasuk bagaimana membuat AI dapat lebih di pertanggungjawabkan.

Ethics at the Heart of Health Priority Setting: Striking the Balance between Efficiency and Equity

Dalam upaya menciptakan sistem perawatan kesehatan yang tangguh dan berkelanjutan, keharusan untuk mengatasi kesetaraan kesehatan menjadi semakin penting. Para pembicara membahas faktor-faktor penentu sosial, efek distribusi, dan interaksi antara efisiensi dan kesetaraan, dan dapat memetakan arah menuju masa depan perawatan kesehatan yang tidak hanya efektif tetapi juga adil. Beberapa hal yg dibahas, misalnya:

  1. Mengapa kita perlu peduli dengan pemerataan kesehatan? Kesetaraan kesehatan bukan hanya keharusan moral tetapi pondasi penting untuk sistem perawatan kesehatan yang kuat dan berkelanjutan. Sesi ini menyelidiki faktor penentu sosial dalam perawatan kesehatan dan efek distribusi yang sering menyebabkan perbedaan dalam hasil kesehatan.
  2. Kepentingan relatif efisiensi dan kesetaraan (individu, sistem kesehatan, pengambil keputusan), mengeksplorasi trade-off yang dapat diterima dan tidak dapat diterima yang harus dinavigasi oleh individu, sistem kesehatan, dan pembuat keputusan.
  3. Proses kebijakan, dengan fokus pada Penilaian Teknologi Kesehatan (HTA), dan metode penelitian seperti analisis efektivitas biaya distribusi (DCEA) merupakan potensi untuk melihat tentang kapan Analisis Efektivitas Biaya (CEA) mungkin gagal dan mengeksplorasi pendekatan alternatif yang lebih baik mengatasi nuansa kesetaraan dalam perawatan kesehatan.
  4. Menerjemahkan bukti dari penelitian kesetaraan kesehatan ke dalam kebijakan yang efektif merupakan upaya yang menantang. Sesi ini mengidentifikasi dan mengatasi tantangan ini sambil mengeksplorasi cara-cara inovatif untuk menjembatani kesenjangan antara penelitian dan kebijakan.
  5. Pertimbangan kesetaraan dalam pengambilan keputusan perawatan kesehatan (seberapa besar pembuat keputusan menilai kesetaraan). Keputusan yang dibuat di tingkat kebijakan sangat berdampak pada kesetaraan kesehatan. Melalui diskusi dengan pembuat kebijakan yang berbicara dalam sesi ini, terungkap faktor-faktor yang mempengaruhi pembuat kebijakan terdapat dialog komprehensif tentang dimensi etika penetapan prioritas kesehatan.

Konferensi ini juga membahas beberapa praktik baik dari penerapan berbagai pendekatan yang dipakai dalam penapisan teknologi dan pilihan prioritas untuk intervensi serta penentuan paket manfaat kesehatan, misalnya, Cost-effectiveness threshold (CET), Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA), Distributional Cost-Effectiveness Analysis (DCEA), Evidence-Informed Deliberative Processes (EDPs), dan seterusnya.

Sebagai contoh, salah satu sesi bertajuk “What’s the Risk of Making the Wrong Decision ?” membahas metode CEA digunakan untuk Menyusun Paket Manfaat dalam Jaminan Kesehatan.

Memprioritaskan layanan dalam paket manfaat kesehatan (HBP) adalah proses yang menuntut data yang luar biasa banyak. Seringkali, HBP diprioritaskan berdasarkan berbagai kriteria seperti efektivitas biaya, dampak biaya/anggaran, kelayakan, dan ekuitas. Analis dihadapkan dengan metode adaptasi untuk menuntut kendala waktu dan berbagai tingkat data lokal yang tersedia. Ini menjadi masalah yang sangat akut ketika perlu dilakukan revisi paket manfaat secara penuh, dimana permintaan data sangat intensif sehingga terpaksa menggunakan data dari sektor lain, perkiraan global, nilai default, dan/atau pendapat ahli. Meskipun ada upaya dalam beberapa tahun terakhir untuk mengumpulkan bukti global untuk menginformasikan prioritas HBP, menggabungkan data dari berbagai sumber atau mengadaptasinya dari konteks lain secara inheren bersifat tidak pasti.

Pada waktunya, menggunakan informasi yang tidak pasti dalam desain HBP dapat menimbulkan risiko tinggi, atau biaya / opportunity cost, terutama dalam konteks negara dengan tingkat sumber daya yang rendah.

Dalam ekonomi kesehatan, analisis ketidakpastian biasanya berfokus pada kisaran dan ketidakpastian nilai yang mungkin digunakan untuk membuat parameter analisis efektivitas biaya (CEA). Demikian juga, nilai analisis informasi (VOI) digunakan untuk mengukur risiko dengan memanfaatkan analisis sensitivitas dari CEA ini untuk memperkirakan nilai pengurangan ketidakpastian. Namun, mengevaluasi risiko dalam HBP adalah tantangan. Pertama, ketidakpastian dalam HBP melampaui ketidakpastian parameter. Misalnya, ketidakpastian struktural, perbedaan dalam sistem kesehatan, dan ketidakpastian mentransfer perkiraan dari yurisdiksi lain harus dipertimbangkan. Kedua, HBP biasanya menggunakan CEA sekunder, dan memperoleh nilai yang diperlukan untuk menghitung VOI tidak selalu memungkinkan. Akhirnya, kerangka kerja untuk mengevaluasi ketidakpastian dan risiko sebagian besar telah dikembangkan di negara-negara berpenghasilan tinggi tetapi jarang dipertimbangkan dalam konteks desain HBP yang biasanya terkonsentrasi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs).

bangkok24 

Reporter:
Shita Dewi (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

Reportase World Health Summit – Regional Meeting 2024

“Shaping the future of health across Asia and the Pacific”

Melbourne, 22-24 April 2024

22apr 2Pertemuan Regional KTT Kesehatan Dunia 2024 yang diselenggarakan oleh Monash University berfokus pada kesehatan masa depan di Asia Pasifik, mengeksplorasi bagaimana sains, inovasi, dan kebijakan dapat bersatu untuk mengatasi tantangan kesehatan paling kritis di kawasan kita.

Pertemuan Regional 2024 berfokus pada pembentukan masa depan kesehatan di seluruh Asia dan Pasifik. Selama tiga hari, kurang lebih 200 pembicara yang berasal dari 40 negara dan dari berbagai sektor, disiplin ilmu dan budaya berbagi pengetahuan, mengkatalisasi kemitraan baru, menginspirasi peluang penelitian baru, dan mengeksplorasi kebijakan yang dapat memberikan dampak yang terukur dan bermakna pada hasil kesehatan. Peserta ditantang untuk mempertimbangkan pertanyaan: Apa yang diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi orang-orang di Asia-Pasifik selama 5-10 tahun ke depan? Apa kekuatan yang tersedia untuk membangun? Serta sistem apa yang perlu diubah atau berkembang?

Beberapa sesi penting dalam konferensi ini membahas tentang:

From Climate Change Evidence to Action: Accelerating pathways for healthy people and a healthy planet

Perubahan iklim adalah tantangan global yang membutuhkan koordinasi di tingkat regional. Kawasan Asia Pasifik sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk naiknya permukaan laut, peristiwa cuaca ekstrem, dan perubahan pola curah hujan. Selain itu, masalah lingkungan seperti polusi udara sering melampaui batas negara. Kolaborasi regional sangat penting untuk mengembangkan strategi adaptasi dan mitigasi untuk mengatasi dampak ini secara efektif. Sesi ini membahas bagaimana memperkuat kolaborasi dan kemitraan regional dalam kesehatan lingkungan di kawasan Asia Pasifik. Ini juga akan mengatasi tantangan lingkungan bersama, mempromosikan pembangunan berkelanjutan, untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan masa depan. Secara khusus, untuk regional Asia Pasifik, dampak perubahan iklim sangat mengancam kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan termasuk kelompok masyarakat adat yang rentan. Beberapa pembicara menyoroti bagaimana ancaman perubahan iklim utama yang berdampak pada masyarakat adat, contoh tanggapan masyarakat adat terhadap ancaman perubahan iklim, serta apa yang dapat dilakukan masyarakat internasional untuk mendukung masyarakat adat dalam menanggapi ancaman perubahan iklim.

Geopolitics and Health: Achieving equity in a divided world

Di dunia yang semakin terpolarisasi, konsensus tentang isu-isu global menjadi semakin sulit dipahami, dan ketidakadilan dalam akses ke perawatan kesehatan semakin melebar. Dalam mengatasi tantangan kritis zaman ini, kita harus mempertimbangkan pendekatan baru yang bergerak melampaui keterbatasan sistem multilateral global saat ini, yang sering berjuang untuk mengatasi tantangan kesehatan yang kompleks secara efektif dalam pengaturan yang beragam, menuju model yang mendukung pemberdayaan lokal dan menyelaraskan lebih dekat dengan kebutuhan aktual populasi. Memastikan bahwa pemberian layanan kesehatan dilakukan dengan cara yang tidak memihak dan netral, secara konsisten selama masa krisis dan perdamaian, adalah kunci untuk mencapai tujuan ini.

Dalam rangka mengimplementasikan agenda transformatif ini, penguatan mekanisme regional dan aliansi plurilateral dengan keterlibatan yang kuat dari masyarakat sipil dan akademisi akan sangat penting. Masyarakat sipil menawarkan wawasan dan advokasi akar rumput, memastikan bahwa inisiatif kesehatan tetap fokus pada kebutuhan masyarakat yang paling mendesak sambil menjaga dari pengaruh bias lokal. Demikian pula, akademisi menyumbangkan kerangka kerja berbasis bukti dan analisis kritis, memberikan kredibilitas dan kedalaman pada pemrograman kesehatan. Pendekatan kooperatif ini bertujuan untuk mengurangi dampak kompleksitas geopolitik dan mempromosikan distribusi sumber daya kesehatan yang lebih adil. Dengan memanfaatkan kapasitas lokal dan kekuatan beragam pemangku kepentingan yang berkomitmen untuk mempertahankan pemberian layanan kesehatan yang tidak memihak dan netral, pendekatan ini dapat memetakan jalan ke depan.

The power of finance and investments for addressing the commercial determinants of health

Sesi ini membahas sejumlah contoh sukses dalam mempengaruhi lembaga keuangan dan investor dan pelaku komersial lainnya untuk mempertimbangkan dan mempengaruhi kesehatan dalam operasi dan pengambilan keputusan mereka. Peserta didorong untuk mengeksplorasi manfaat dan risiko bekerja dengan pelaku komersial untuk mendukung kesehatan dan memahami peran lembaga promosi kesehatan dalam mempengaruhi pelaku komersial. Beberapa pembelajaran kunci dari sesi ini antara lain: pertama, pentingnya pembelajaran akan contoh sukses dalam mempengaruhi lembaga keuangan dan investor dan pelaku komersial lainnya untuk mempertimbangkan dan mempengaruhi kesehatan dalam operasi dan pengambilan keputusan mereka. Kedua, pentingnya memahami manfaat dan risiko bekerja sama dengan pelaku usaha untuk mendukung Kesehatan serta memahami peran lembaga promosi kesehatan dalam mempengaruhi pelaku komersial.

22apr

Emerging and re-emerging infectious health threats: Opportunities for effective regional coordination and leadership

Sesi ini mengeksplorasi lanskap kompleks ancaman kesehatan menular yang muncul dan muncul kembali di kawasan Asia Pasifik. Narasumber memeriksa lanskap ini melalui lensa tiga program kolaboratif yang secara aktif menangani ancaman infeksi utama di kawasan ini termasuk penyakit yang ditularkan melalui vektor, penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin dan tuberkulosis serta penyakit udara lainnya. Setiap program diwakili oleh dua pembicara dari negara mitra yang berbeda, menawarkan beragam perspektif.

Sesi akan dimulai dengan presentasi singkat pada setiap program, diikuti dengan diskusi panel interaktif dengan perwakilan program. Dipimpin oleh ketua sesi, diskusi mengeksplorasi pendekatan program untuk keterlibatan masyarakat, penguatan sistem dan terjemahan penelitian ke kebijakan (evidence-to-policy). Pembahasan berpusat pada apa praktik-praktik yang telah berhasil, tantangan yang terus-menerus, dan ide-ide untuk meningkatkan koordinasi dan kepemimpinan regional dalam mengatasi ancaman kesehatan ini. Selanjutnya, pembicara juga mengeksplorasi bagaimana pembelajaran dan infrastruktur yang dibangun dalam program ini dapat dimanfaatkan untuk mengatasi ancaman kesehatan lainnya atau memperluas respons di masa depan.

Selain sesi pemaparan, terdapat pula beberapa booth yang menunjukkan berbagai intervensi Kesehatan masyarakat berbasis komunitas yang dilakukan oleh VicHealth, salah satunya adalah kampanye anti-vaping yang diprakarsai dan dilakukan sepenuhnya oleh anak muda (usia 15-24 tahun). Ini merupakan kampanye besar-besaran di Victoria dalam upaya mengedukasi dampak berbahaya dari vaping namun dilakukan sepenuhnya oleh anak muda yang penah memiliki kebiasaan vaping namun telah berhenti dan menyadari perlunya mencegah penggunaan vaping.

22apr 1

Reporter:
Shita Dewi (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

 

Reportase Consortium of Universities for Global Health (CUGH) Conference

“Global Health without Borders: Acting for Impact”

Los Angeles, 7-10 Maret 2024

710march 2Konferensi tahunan ini ialah bagian dari konsorsium beberapa universitas di dunia yang merupakan pemerhati dan peneliti dalam isu-isu kesehatan global. Tema konferensi kali ini adalah “Kesehatan Global Tanpa batas: Bertindak untuk Menghasilkan Dampak”. Konferensi berlangsung selama 4 hari, dan berikut ini adalah beberapa sesi kunci yang dibahas.

Sesi “Dekolonisasi Pembiayaan Kesehatan Global: Jalan yang Adil ke Depan” membahas perlunya dekolonisasi pembiayaan kesehatan global dan menemukan jalan yang adil ke depan. Hal ini bertujuan untuk mengatasi ketidakseimbangan historis dan dinamika kekuasaan dalam pendanaan kesehatan global serta mengeksp lorasi cara-cara untuk memastikan distribusi sumber daya yang lebih adil.

 

710march

Pembahasan topik ini diperdalam melalui sesi -sesi tambahan seperti, “Menavigasi Kesenjangan Akses Teknologi dan Imperatif Etis untuk Kesehatan Global yang Adil dan Berkelanjutan. Sesi ini berfokus pada kesenjangan dalam akses teknologi dalam kesehatan global dan keharusan etis untuk memastikan aktivitas Kesehatan global yang adil dan berkelanjutan, serta mengeksplorasi strategi untuk menjembatani kesenjangan teknologi dan mempromosikan praktik etis dalam penggunaan teknologi untuk inisiatif kesehatan global.

Sementara, sesi “Power, Resources & Equitable Partnerships in Global Health Research & Practice” menyoroti pentingnya dinamika kekuatan, alokasi sumber daya, dan kemitraan yang adil dalam penelitian dan praktik kesehatan global. Pembicara membahas strategi untuk memberdayakan masyarakat yang terpinggirkan, memastikan distribusi sumber daya yang adil, dan membina kemitraan kolaboratif untuk intervensi kesehatan global yang efektif.

Selain itu, sesi “Politik, Tata Kelola & Kesehatan Global: Peluang untuk menghasilkan Dampak” mengeksplorasi persimpangan politik, tata kelola, dan kesehatan global dan peluang untuk dampak. Pembicara membahas bagaimana struktur politik dan pemerintahan dapat mempengaruhi hasil kesehatan global dan mengidentifikasi strategi untuk memanfaatkan kemauan politik dan sistem tata kelola untuk hasil kesehatan yang positif.

710march 1

Sesi bertajuk “Membangun Tenaga Kesehatan Global yang Tangguh” membahas strategi dan pendekatan untuk memperkuat dan meningkatkan tenaga kerja kesehatan global. Ini bertujuan untuk mengatasi tantangan dan peluang dalam membangun tenaga kerja yang tangguh yang dapat secara efektif menanggapi masalah kesehatan global dan keadaan darurat. Sesi ini mencakup topik-topik seperti pelatihan dan pengembangan kapasitas, keragaman dan inklusivitas tenaga kerja, retensi dan motivasi profesional kesehatan, dan peran kepemimpinan dan tata kelola dalam membangun tenaga kerja yang tangguh. Sesi ini juga mengeksplorasi pendekatan inovatif dan praktik terbaik dari berbagai negara untuk membangun tenaga kerja yang mudah beradaptasi, terampil, dan dilengkapi untuk mengatasi lanskap kesehatan global yang berkembang.

Tema besar lain dalam konferensi ini adalah mengenai perubahan iklim. Sesi “Bagaimana Mengatasi Perubahan Iklim Dapat Berdampak pada Faktor Penentu Sosial Kesehatan”, misalnya, berfokus pada hubungan antara perubahan iklim dan faktor penentu sosial kesehatan. Sesi ini membahas bagaimana mengatasi perubahan iklim dapat memiliki dampak signifikan pada berbagai faktor penentu sosial kesehatan, seperti akses ke air bersih, ketahanan pangan, dan perumahan, dan mengeksplorasi strategi untuk mengurangi dampak kesehatan dari perubahan iklim.

Sesi berjudul “Planetary Health, One Health, Climate Change, Biodiversity Crisis, Pollution” adalah tentang mengeksplorasi keterkaitan faktor-faktor ini dan mendiskusikan dampaknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Para pembicara panel menyampaikan berbagai aspek yang meningkatkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia, termasuk peningkatan risiko penyakit menular, penyakit terkait cuaca ekstrim, dan kerawanan pangan dan air. Sesi ini juga menyoroti pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan peran yang dimainkannya dalam menjaga kesehatan dan ketahanan ekosistem. Selain itu, sesi ini membahas efek merugikan dari polusi pada kesehatan manusia, termasuk polusi udara, polusi air, dan paparan bahan kimia, dan mengeksplorasi strategi untuk mengurangi polusi dan mempromosikan praktik berkelanjutan. Sesi ini menekankan perlunya pendekatan terpadu dan solusi kolaboratif untuk mengatasi tantangan global yang kompleks ini.

Secara garis besar, konferensi ini menyoroti bahwa isu kesehatan global yang harus didekati dengan perspektif equity dan dekolonisasi akses terhadap pengetahuan, sumber daya, dan juga jejaring. Selain itu, konferensi ini juga menitikberatkan pada ancaman-ancaman ksehatan masa depan khususnya perubahan iklim, kekerasan, selain ancaman-ancaman ‘tradisional’ seperti penyakit tidak menular dan penyakit menular yang semakin rawan penyebarannya akibat mobilitas global manusia.

Hal yang menarik dalam konferensi ini, sesi tidak hanya disampaikan melalui presentasi maupun poster, tetapi juga film-film pendek. Bahkan diselenggarakan pula lokakarya dari Pulitzer (sebuah media jurnalisme ternama di dunia) yang memberikan keterampilan dasar mengenai penyusunan kerangka penyampaian isu kesehatan global melalui film pendek.

Reporter:
Shita Dewi (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

Reportase Webinar Innovative Concept Regarding Structures For Early Detection and Treatment of Hearing Problems in Children and Babies in Indonesia

Webinar ini merupakan kerjasama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, RSAB Harapan Kita dan Universitas Gadjah Mada pada 4 Maret 2024. Pembicara dalam kegiatan ini diantaranya: Prof. Dr. med. K. Neumann yang merupakan Director of the Clinic for Phoniatrics and Pedaudiology at the University Hospital of Munster, Germany lalu Peter Bottcher selaku CEO PATH Medical, kemudian Prof. Dr. Nyilo Purnami yang merupakan Guru Besar dalam Bidang Neurologi Aspek Komunitas Universitas Airlangga. Pembahas webinar ini antara lain dr. Adeline Eva, Sp.THTBKL dari RSAB Harapan Kita dan dr. Ashadi Prasetyo akademisi dari Universitas Gadjah Mada dengan moderator dr. Dian Kesumapramudya Nurputra. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD memberikan pengantar dalam kegiatan ini.

World report hearing 2021 menyebutkan 1,5 Milyar orang di dunia mengalami gangguan fungsi pendengaran dari ambang batas pendengaran kurang dari 20 desibel atau ambang batas pendengaran normal. Jika hal ini tidak diatasi akan menjadi beban pembiayaan tinggi di dunia. Hampir 80 persen orang dengan gangguan pendengaran berada di negara menengah ke bawah. Pemerintah RI berfokus pada upaya penurunan penderita gangguan pendengaran yang membutuhkan dukungan puskesmas, RSUD, RS Tersier dan dukungan lintas sektor untuk meningkatkan akses masyarakat agar gangguan pendengaran dapat dicegah. Simak dokumentasi kegiatan tersebut melalui link berikut

readmore

 

Reportase Dialog Bersama Tim Sukses Capres-Cawapres: Estafet Akhir Menuju Eliminasi TBC 2030

  Narasi Newsroom, 31 Januari 2024

Pemaparan Situasi dan Urgensi Penanganan TB

Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc., Sp. P (K) menjadi pakar pertama yang memberikan pemaparan mengenai peluang eliminasi TB dan strategi akselerasi melalui inovasi upaya penanggulan TB. Erlina menyinggung tentang stigma dan diskriminasi yang masih dialami oleh para pengidap TB yang berhubungan dengan baik efek samping pengobatan maupun faktor sosial ekonomi lainnya. Di sisi lain, Indonesia saat ini menjadi negara dengan komitmen yang sangat baik dalam mengadopsi panduan pengobatan jangka pendek untuk TB meskipun masih memiliki gap angka antara pasien berobat dengan total pasien terkonfirmasi TB. Pada 2022, pasien TB sensitif obat (TB-SO) yang memulai pengobatan adalah sebanyak 809.000 orang, sedangkan TB-RO 8.145 kasus pasien. Dalam pemaparannya, Erlina juga sempat menyinggung salah satu inovasi upaya penanggulangan TB melalui vaksin TB yang memiliki efektivitas lebih tinggi dibandingkan BCG, seperti Vaksin m72 dan TB Inhalasi. Oleh karena itu, anggaran penanggulangan TB dari pemerintah sangat penting dan bersifat pasti dengan tidak hanya mengandalkan donasi saja meskipun jumlahnya jauh lebih besar.

Pemaparan kedua dilakukan oleh perwakilan Perhimpunan Organisasi Pasien TB (POP TB) Indonesia, Khoirul Anas. Seperti Erlina, Khoirul juga menekankan masalah stigma dan diskriminasi yang diterima oleh pasien TB. Salah satu inovasi yang telah dilakukan oleh POP TB dalam menanggapi isu tersebut adalah pembuatan kanal aduan Lapor TB yang memberikan fasilitas baik kepada pasien TB, keluarga maupun kolega yang mengalami kesulitan terkait pengobatan TB, stigmatisasi dan diskriminasi. Hal tersebut dilakukan supaya peran komunitas terdampak dalam upaya penanggulanan TB menjadi sedikit lebih optimal di Indonesia.

Sebagai seorang peneliti dan akademisi, dr. Ahmad Fuady, M.Sc., PhD yang menjadi pakar ketiga memfokuskan pemaparan mengenai perlindungan sosial bagi orang terdampak TB. Ahmad menjelaskan bahwa dampak TB bukan hanya mempengaruhi status kesehatan pasien tersebut, namun juga berimbas pada kehidupan finansial. Secara tidak langsung, TB menyebabkan besarnya biaya katastropik akibat penyakit tersebut, kehilangan pekerjaan, depresi dan penurunan kualitas hidup, serta stigma masyarakat. Dalam mengatasi hal tersebut, diperlukan dukungan psikososio-ekonomi dari pemerintah dengan melakukan baik kontrol dampak sosioekonomi maupun kontrol determinan sosial.

Dr. Nurul Luntungan, MPH selaku perwakilan STPI menutup sesi pemaparan pakar dengan menyampaikan pentingnya kolaborasi multi stakeholder dalam upaya penanggulan TB di Indonesia. Kerja sama lintas sektoral tersebut dibutuhkan demi mencapai taget penurunan insidensi TB menjadi 65 kasus per 100.000 penduduk pada 2030 mendatang sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 yang mengamanahkan penanggulangan TB kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemangku kepentingan, masyarakat, institusi pendidikan, organisasi profesi atau ilmiah, asosiasi, dunia usaha, media massa, lembaga swadaya masyarakat dan mitra pembangunan.

 rep2feb1

rep2feb2

Gambar 1. Keempat orang pakar yang memaparkan tentang situasi dan urgensi penanganan TB. (a) Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc., Sp. P (K); (2) Bapak Khoirul Anas; (3) dr. Ahmad Fuady, M.Sc. PhD; dan (4) dr. Nurul Luntungan, MPH.

Dialog Bersama Tim Sukses Capres-Cawapres

Setelah pemaparan dari keempat orang pakar, Nitia melanjutkan acara diskusi publik tersebut dengan mengundang masing-masing perwakilan tim sukses capres-cawapres ke atas panggung. Dialog dibuka dengan masing-masing perwakilan menanggapi paparan yang telah disampaikan para pakar.

Perwakilan tim sukses pasangan calon (paslon) nomor urut 1, dr. Ganis Irawan, Sp. PD menanggapi dengan menjelaskan penanggulangan untuk mempercepat eliminasi TB 2030 tertuang dalam visi perubahan, baik dalam perumusan regulasi maupun kolaborasi dengan berbagai sektor. Ganis menyampaikan bahwa kolaborasi dilakukan dengan membentuk kebijakan berbasis pendapat yang muncul dari berbagai sektor dan menghimbau partisipasi warga secara mandiri.

Berbeda dengan dr. Benny Oktavianus, Sp.P selaku perwakilan tim sukses paslon nomor urut 2 yang menyatakan bahwa saat ini sudah terdapat perubahan stigma yang cenderung membaik, terutama dari generasi Milenial dan Gen Z. Benny memberikan contoh mengenai sanatorium dimana pada generasi dahulu merupakan suatu stigma negatif karena pasien harus dikarantina dan kehilangan pekerjaan.

Tanggapan terakhir oleh perwakilan tim sukses paslon nomor urut 3, dr. Dripa Sjabana, M.Kes menanggapinya dengan mengunggulkan visi digitalisasi kesehatan. Terdapat tiga hal yang menjadi sorotan Dripa yaitu program 1 desa, 1 tenaga kesehatan, 1 fasilitas kesehatan; penggandaan anggaran untuk kesehatan; dan pemberantasan korupsi terutama dalam sektor kesehatan.

rep2feb3

Gambar 2. Ketiga perwakilan tim sukses capres-cawapres. (a) dr. Ganis Irawan, Sp. PD selaku perwakilan paslon nomor urut 1; (b) dr. Benny Oktavianus, Sp.P selaku perwakilan paslon nomor urut 2; dan dr. Dripa Sjabana, M.Kes selaku perwakilan paslon nomor urut 3.

Selanjutnya, Nitia memandu jalannya dialog secara interaktif dengan menanyakan tindakan dan langkah nyata apa yang paling dapat dilaksanakan terlebih dahulu dari masing-masing program capres-cawapres. Setelah Erlina mendapat kesempatan memberikan tambahan keterangan yang menyoroti program kolaborasi dengan stakeholder yang masih belum terlihat hasilnya pada peraturan presiden yang sudah ada saat ini, Ganis menekankan bahwa paslon nomor 1 dapat melanjutkan dan memperbaiki peraturan presiden yang sudah ada. Konsep health in all policy menjadi dasar perumusan kebijakan di semua lembaga yang mana ditanamkan prinsip health in mind sebagaimana kesehatan menjadi hak masyarakat, salah satunya termasuk program untuk mengubah stigma terhadap pengidap TB.

Lain halnya dengan Benny, Nitia menanyakan langkah-langkah yang dilakukan untuk menurunkan kasus TB dimana paslon nomor urut 2 telah menyebutkan angka nyata penurunan kasus sebanyak 50% pada 2025. Terdapat 3 dari 8 program terbaik cepat dari pemerintahan presiden Jokowi yang merupakan bidang kesehatan, yaitu penanggulangan stunting, pemberantasan TBC, dan pembangunan faskes di kabupaten/kota. Benny menambahkan bahwa akan ada usulan mengenai pembentukan Badan Pemberantasan TB Nasional yang terinspirasi melalui penanganan pandemi COVID-19 lalu apabila paslon nomor 2 terpilih nantinya.

Menanggapi pertanyaan terkait langkah praktis yang akan dilakukan untuk penanggulangan TB, secara sederhana Dripa menekankan tentang perihal anggaran. Dripa menegaskan bahwa saat ini paslon nomor 3 dan tim sudah melakukan pengkajian dan menyiapkan program-program kesehatan. Setidaknya anggaran minimal 5% akan dipersiapkan untuk kesehatan dan diimplementasikan salah satunya dengan mewujudkan program 1 desa, 1 nakes, 1 faskes.

Nitia kemudian menampilkan hasil polling yang dilakukan STPI terkait prioritas penanggulangan TB dimana sebanyak 46% menyuarakan untuk mendorong ketersediaan dan akses layanan TBC berkualitas berbasis hak dan gender di faskes pemerintah atau swasta. Kemudian, Kiki dari Memento Game Studio mendapatkan kesempatan untuk bertanya kepada tiga perwakilan capres-cawapres mengenai program khusus dalam meniadakan diskriminasi pengidap TB.

Ganis menyebutkan pemanfaatan media, salah satunya TVRI sebagai TV nasional untuk memuat edukasi kesehatan dan melakukan pengukuran kesuksesan edukasi kepada target campaign. Sementara itu, Benny menekankan kerja sama lintas sektoral yang harus ditambahkan dengan baik dan memberikan kesempatan kepada Sumariyati untuk menjelaskan penambahan anggaran untuk penanganan TB mengingat target penurunan TB sebesar 17% per tahun. Di sisi lain, Dripa menjelaskan mengenai pendekatan darat (menambah jumlah faskes dan mengaktifkan kembali posyandu dan kadernya) dan pendekatan udara melalui integrasi program KTP Sakti terkait digitalisasi kesehatan; mengatasi stigma dengan memperkuat penegakkan hukum; serta komitmen anggaran.

Penutup

Dialog bersama tersebut kemudian ditutup dengan pembacaan surat terpilih dari para penyintas TB oleh masing-masing perwakilan tim sukses capres-cawapres yang penuh haru. Setelah tanggapan singkat, maka masing-masing perwakilan tim sukses capres-cawapres melakukan pembacaan dan penandatanganan komitmen eliminasi TBC 2030 yang meliputi 3 poin utama, yaitu (1) Pelibatan komunitas terdampak TBC secara bermakna dalam upaya penanggulangan TB; (2) Pembiayaan TBC di tingkat nasional dan daerah dalam sektor politik–kesehatan; dan (3) Ketersediaan akses TBC berkualitas berbasis hak dan gender di faskes pemerintah/swasta.

Rekaman kegiatan dapat diakses melalui:

video rekaman

Reporter: Ika Eryani