Reportase The 19th Postgraduate Forum on Health System and Policy

Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM bersama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan 19th Postgraduate Forum on Health System & Policy pada Selasa (17/5/2025) di Yogyakarta.

Postgraduate Forum (PGF) merupakan forum kolaborasi akademik tingkat regional yang diinisiasi oleh Universitas Gadjah Mada, Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Prince of Songkla University pada 2007. Tema yang diangkat tahun ini adalah “Policy and Action for Sustainable Healthcare 2030” PGF diharapkan dapat menjadi platform bagi akademisi, mahasiswa, dan praktisi untuk bertukar gagasan terkait solusi berkelanjutan untuk menghadapi tantangan kesehatan.

Opening Remark

Prof. Yodi Mahendradhata - Postgraduate forum 2025Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc, Ph.D,FRSPH selaku Dekan FK-KMK UGM membuka kegiatan dengan menyampaikan bahwa keberlanjutan sistem kesehatan di masa mendatang bergantung pada kebijakan dan keputusan, serta aksi yang kita lakukan saat ini. PGF bukan hanya forum akademik melainkan forum untuk mentransformasi pengetahuan menjadi aksi dan aksi menjadi upaya keberlanjutan guna memperkuat sistem kesehatan dalam rangka transformasi kesehatan.

Sistem kesehatan di seluruh dunia saat ini menghadapi berbagai tantangan seperti perubahan iklim, tantangan demografi, kegawatdaruratan, dan pandemi. Untuk mengatasinya, dibutuhkan solusi yang tidak hanya berupa solusi ilmiah, melainkan juga political will, leadership, strategic financing, resiliensi sistem dan adaptability.

Keynote Speech

Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD, Ph.D. selaku Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia (RI). Prof. Dante menegaskan bahwa pembangunan sistem kesehatan Indonesia kini berfokus pada upaya preventif, sebagaimana tercermin dalam slogan “sedia payung sebelum hujan”.

Harapannya sistem kesehatan yang dibangun saat ini mampu melindungi masyarakat di masa mendatang. Perubahan iklim saat ini memberikan dampak besar terhadap sektor kesehatan. Prof. Dante menilai solusi bagi permasalahan sektor kesehatan tidak terbatas pada kesehatan saja, melainkan multi sektoral. Integrasi isu kesehatan ke dalam kebijakan lintas sektor seperti pertanian, infrastruktur, dan pendidikan menjadi sangat penting, terlebih dengan kolaborasi lintas negara. Di saat yang sama, penguatan sistem kesehatan yang berkelanjutan juga terus dilakukan, seperti penguatan laboratorium kesehatan masyarakat dan pemberdayaan puskesmas sebagai pelayanan kesehatan primer.

Program cek kesehatan gratis yang dimulai tahun ini juga merupakan upaya preventif untuk menurunkan kasus kegawatdaruratan. Selain pencegahan, percepatan respons terhadap dampak perubahan iklim juga menjadi prioritas dengan didukung tenaga kesehatan cadangan dan peningkatan koordinasi lintas pemerintahan. Sementara itu, transformasi kesehatan yang telah dimulai pemerintah sejak 2022 merupakan pondasi dalam membangun ketahanan sistem. Prof. Dante menutup dengan mengajak semua pihak agar mengambil bagian dari upaya preventif saat ini demi melindungi kelompok rentan, menjaga keberlanjutan generasi mendatang, dan membangun sistem yang tangguh menghadapi tantangan masa mendatang.

Reporter:
Mashita Inayah (PKMK UGM)

Link terkait Postgraduate forum 

Innovations and Solutions for Sustainable Health Systems

Pada sesi ini terdapat 5 pembicara yang dimoderatori oleh Andreasta Meliala, Dr. dr. DPH., MKes, MAS.

Materi sesi pertama disampaikan oleh Kristin Darundiyah, S.Si, MSc. PH selaku Ketua Tim kerja Pengamanan Limbah dan Radiasi, Direktorat Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Indonesia. Kristin mengangkat topik “The Ministry of Health’s Strategy for Advancing Environmentally Friendly Healthcare Services” sebagai bentuk strategi Kementerian Kesehatan untuk memajukan pelayanan kesehatan yang ramah lingkungan. Kristin menjelaskan AMR dan perubahan iklim telah menjadi ancaman global akhir-akhir ini. Ketika digabungkan, keduanya memperburuk kerentanan dan mempercepat penyebaran penyakit. Pemerintah Indonesia telah mengamanatkan dalam peraturan dan strategi nasional 2020-2024 untuk meningkatkan kualitas kesehatan melalui pengendalian penggunaan antibiotik secara intensif dan beberapa inovasi untuk kesehatan lingkungan, seperti penggunaan WASH FIT, ME-SMILE, dan inisiatif lain yang menggunakan teknologi dan alat AI. Lebih lanjut, Kristin menggarisbawahi perlunya kolaborasi multisektor untuk mendorong upaya pengendalian AMR dan kesehatan lingkungan, serta strategi terpadu untuk meningkatkan sanitasi dan penggunaan kerangka hukum di seluruh Indonesia.

Sesi kedua dibawakan oleh Prof. Dato’ Dr. Syed Mohamed Aljunid, selaku Professor Kebijakan & Ekonomi Kesehatan, di UKM & IMU, Malaysia. Aljunid mengangkat topik “Health Financing for Universal Health Coverage: Current and Future Challenges” untuk menampilkan kondisi terkini dan tantangan masa depan keuangan kesehatan untuk UHC. Aljunid menjelaskan bahwa UHC memastikan semua orang memiliki akses ke pelayanan kesehatan esensial tanpa kesulitan keuangan. Hal ini penting untuk mendorong pemerataan kesehatan dan meningkatkan hasil kesehatan populasi. Namun, untuk mencapai UHC, ada banyak perselisihan dan tantangan yang harus diatasi. Kapasitas fiskal yang terbatas, biaya out-of-pocket yang tinggi, dan mekanisme pendanaan yang terfragmentasi adalah beberapa tantangan, terutama dalam pembiayaan kesehatan untuk UHC. Di sisi lain, tantangan yang muncul, seperti meningkatnya PTM, populasi yang menua, pandemi, dan krisis, dapat membalikkan keadilan kesehatan dan memperdalam kesenjangan. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan harus lebih menaruh perhatian pada UHC yang harus dicapai dengan keuangan yang bijaksana. Aljunid menutup dengan pernyataan bahwa pendekatan strategis dan inisiatif inovatif harus diambil untuk mengatasi tantangan-tantangan ini.

Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., AAK selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan Indonesia melanjutkan sesi dengan materi bertajuk “Aligning UHC with Preventive and Primary Care in Indonesia’s National Health Insurance” sebagai bentuk penyelarasan UHC dengan perawatan preventif dan primer dalam Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia. Di Indonesia, paradigma yang selama ini dianut adalah bahwa masyarakat miskin tidak boleh sakit, namun sejak adanya BPJS Kesehatan, masyarakat miskin tidak perlu membayar jika sakit dan berobat. Itulah fungsi utama BPJS yang dicanangkan sejak 2004. Secara rinci, BPJS memiliki 3 fungsi, yaitu: Strategic Purchasing, Revenue Collection, dan Risk Pooling. BPJS Kesehatan sedang mengupayakan transformasi mutu dengan tiga indikator: lebih mudah, lebih cepat, dan non diskriminasi. Pemanfaatan BPJS meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir yakni sekitar 1,6 milyar rupiah. Dengan selisih yang sangat besar tersebut, BPJS berupaya untuk menggalakkan pelayanan yang lebih preventif dan promotif terhadap masyarakat, khususnya untuk deteksi dini penyakit diabetes melitus tipe 2, hipertensi, dan kanker. BPJS juga mengembangkan Mobile JKN dengan fitur baru bernama BUGAR untuk membantu penyediaan layanan kesehatan digital bagi seluruh masyarakat. Ada pula beberapa inovasi yang digagas BPJS untuk semakin membantu pencapaian UHC di Indonesia. Pada 2024, BPJS Kesehatan berhasil meraih ISSA Good Practice Award.

Sesi keempat dibawakan oleh Prastuti Soewondo, S.E., M.P.H., PhD selaku Staf Khusus Keuangan Kesehatan. Prastuti membawakan topik “Strategic Health Financing for System Sustainability in an Era of Global Realignment” terkait strategi pembiayaan kesehatan untuk sistem yang berkesinambungan di era penyelarasan global. Pengeluaran sektor kesehatan Indonesia yang lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia, dengan hanya 2,7 per PDB pada 2024. Dengan adanya beberapa masalah kesehatan yang muncul di Indonesia, pembiayaan kesehatan menjadi salah satu hal yang menjadi perhatian pemerintah dalam masa jabatannya. Pembiayaan kesehatan telah dimasukkan ke dalam ketahanan transformasi sistem kesehatan yang baru saja diperkenalkan sebagai pilar keempat. Pemerintah Indonesia bekerja dengan pembiayaan inovatif untuk sistem kesehatan yang berkelanjutan, seperti mobilisasi sumber daya non-tradisional, berorientasi pada hasil, model pembagian risiko, keberlanjutan dan efisiensi, serta fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi. Pembiayaan inovatif ini digunakan untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan kesehatan, meningkatkan keberlanjutan, mendorong efisiensi dan akuntabilitas, mendukung UHC, dan mengatasi tantangan lainnya. Prastuti menyampaikan bahwa terdapat agenda yang berkolaborasi dengan World Bank dan membentuk 3 tingkat sumber daya PFM.

Pembicara terakhir, Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B.Subsp.onk. (K) selaku Direktur Utama RS Akademik UGM, menyampaikan materi tentang Upaya Green Hospital di Indonesia. Darwito menyampaikan RSA UGM berupaya mengimplementasikan beberapa hasil penelitian lingkungan. Pertama, pemanfaatan air untuk kebutuhan industri (pelayanan kesehatan). Inisiatif ini menggunakan sistem GAMA Rain, program vokasional di UGM. Rumah sakit memanfaatkan kolam resapan untuk pengolahan air limbah dan air perkolasi untuk menyiram tanaman di sekitar rumah sakit. Kedua, rumah sakit memanfaatkan pembangkit listrik mikrohidro dari tekanan air untuk penerangan taman dan panel surya untuk sumber energi rumah sakit. Ketiga, rumah sakit memiliki sistem pengelolaan limbah organik dengan biokonversi maggot. Hasilnya adalah kompos organik untuk pupuk di kebun rumah sakit. Keempat, rumah sakit menggunakan kolaborasi dan integrasi untuk pengembangan kewirausahaan gizi dengan akademisi, industri, dan masyarakat.

Sesi Diskusi

Setelah sesi materi, beberapa tamu undangan dan narasumber memberikan tanggapan untuk materi yang telah disampaikan. Prof Laksono  menyampaikan bahwa Indonesia tidak boleh hanya bergantung pada satu sumber pendanaan untuk sistem pelayanan kesehatannya, begitu pula dengan negara lain, seperti BPJS Kesehatan. Pembicara sebelumnya, Prastuti, telah menyampaikan pentingnya mencari sumber pendanaan lain untuk mendanai sistem pelayanan kesehatan.Jika dibandingkan 30 tahun yang lalu, situasi dunia kini lebih rumit dan isu kesehatan yang berkaitan dengan perubahan iklim meningkatkan potensi perkembangan penyakit yang lebih membutuhkan pendanaan. Pendanaan sistem kesehatan yang inovatif menjadi kunci untuk mencapai UHC.

Prof. Supasit Pannarunothai juga menambahkan bahwa kini merupakan saat bagi para generasi muda untuk memaksimalkan potensi penelitian dan menemukan mekanisme pendanaan baru untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di dunia. Prof. Dato’ Dr. Syed Mohamed Aljunid menggarisbawahi pentingnya melakukan pemetaan sumber-sumber pendanaan dan peruntukannya dengan berbagai institusi yang terlibat. Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., AAK menanggapi bahwa BPJS Kesehatan telah membagi tugas dengan Kementerian Kesehatan dan institusi terkait lainnya untuk mendefinisikan hal ini.

Sesi ditutup dengan salah satu peserta yang membagikan hasil rangkumannya atas sesi ini dan pemberian kenang-kenangan kepada seluruh narasumber dan moderator.

Reporter:
Sensa Gudya Sauma Syahra dan Alif Indiralarasati (PKMK UGM)

 

Strengthening Community and Preventive Health Approaches

Sesi plenary 2 dimoderatori oleh dr. Likke Prawidya Putri, MPH., PhD dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Kesehatan di Universitas Gadjah Mada.

Pembicara pertama adalah Dr. Maarten Kok yang membahas tentang “Can AI Help Us Decide? Are More Expensive Medicines Worth It”. Dalam presentasi ini, Dr Maarten menceritakan beberapa studinya di Indonesia. Salah satunya menjelaskan tentang sejarah dari pelaksanaan universal health coverage di Indonesia yang menghasilkan jaminan kesehatan nasional sebagai aset politik presiden.

Kemudian, studi keduanya menunjukkan capaian dari UHC yang diharapkan untuk dapat memeratakan akses pelayanan kesehatan, khususnya obat. Namun, terdapat tantangan untuk memperluas pelayanan kesehatan yang berkualitas dan memastikan sistem yang terjangkau.

Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa biaya dari obat tidak memiliki pengaruh terhadap kualitas dari pelayanan. Studi Dr Maarteen juga menunjukkan bahwa di Indonesia masih memberikan obat dengan harga yang murah khususnya di publik sektor tetapi memiliki kualitas bagus. Kemudian, keberadaan AI menurutnya dapat menghasilkan publikasi yang tidak relevan dengan tujuan penelitian. Dari 10 AI yang diinvestigasi menunjukkan pula bahwa terdapat banyak studi yang terlewatkan dalam proses tinjauan sistematik.

Dari seluruh studi yang dilakukan Dr Maarteen, dapat disimpulkan bahwa tujuan Indonesia melaksanakan UHC memiliki dampak pada penyediaan obat yang terjangkau dengan kualitas baik. Sementara itu, AI tidak bisa menjadi alat utama dalam melakukan penelitian.

Pembicara kedua adalah Prof. Quazi Monirul Islam  dari Prince of Songkla University, Former WHO Director yang membahas tentang “Challenges and Priorities of Public Health in 21st Century: Can we achieve SDGs?”. Prof Quazi menjelaskan bahwa terdapat beberapa aspek transisi yang mempengaruhi kesehatan masyarakat. Pertama perubahan epidemiologi, yang mempengaruhi penyakit menular dapat menjadi penyakit tidak menular.

Sementara itu, penyakit tidak menular memiliki pengaruh besar terhadap kematian di dunia, mencapai 76%. Penanganan penyakit tidak menular sendiri berpengaruh besar dari tahapan preventif dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi. Kesehatan masyarakat dipengaruhi pula oleh faktor demografi mengenai angka kematian dan harapan hidup. Faktor demografi memiliki pengaruh penting untuk memastikan seluruh generasi, khususnya yang masih muda dapat memiliki kualitas hidup yang baik pada masa lanjut usia. Di sisi lain, kesehatan masyarakat juga dipengaruhi oleh kondisi migrasi masyarakat dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Faktor ini dapat berisiko pada penyebaran penyakit menular. Prof Quazi juga menjelaskan terdapat perubahan iklim yang baru-baru ini mempengaruhi kesehatan masyarakat sehingga sistem kesehatan perlu memiliki strategi untuk mengurangi dampak negatif yang dua hasilkan.

Pembicara ketiga adalah Prof. Dr. Tuti Ningsih Mohd Dom mengenai Resilience in Health Systems: Why Sustainable Financing Must Include Dental Care. Prof Tuti menjelaskan 3.7 orang di dunia yang memiliki penyakit mulut yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Prof Dr Tuti menjelaskan permasalahan mulut ini memiliki risiko besar terhadap penyakit tidak menular dan penyakit menular. Sayangnya, risiko yang besar tersebut tidak membuat perawatan mulut menjadi bagian terpenting dalam kesehatan masyarakat ataupun sistem kesehatan. Perawatan mulut ataupun gigi masih dilihat sebagai kebutuhan kesehatan yang tidak mendesak dan membutuhkan biaya besar sehingga dapat mengakibatkan OOP.

Dibutuhkan strategi kebijakan yang integrasi untuk mendorong perawatan gigi dapat diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat. WHO merekomendasikan empat aksi prioritas yang berkaitan dengan UHC dan dental care. Strategi ini perlu dilakukan karena pelayanan gigi juga memiliki pengaruh besar terhadap ketahanan dari sistem kesehatan.

Pembicara keempat adalah Prof. Tippawan Liabsuetrakul, MD, Phd  mengangkat topik “Communication Strategies and Community Engagement for Sustainable Healthcare”. 

Prof. Tippawan menyampaikan pentingnya strategi komunikasi dan keterlibatan komunitas dalam layanan kesehatan yang berkelanjutan. Prof. Tippawan menekankan bahwa partisipasi aktif masyarakat lokal harus menjadi hal yang penting dalam setiap intervensi kesehatan, mengingat konteks sosial dan sumber daya lokal yang berbeda-beda. Komunitas tidak hanya dipahami sebagai entitas geografis, tetapi juga sebagai kelompok dengan kepentingan dan nilai bersama. Untuk itu, kerangka interactive Evidence to Decision (iEtD) dari WHO diperkenalkan sebagai alat bantu dalam merancang kebijakan yang mempertimbangkan bukti ilmiah, nilai-nilai masyarakat, keadilan, hingga sumber daya yang dibutuhkan.

Prof. Tippawan juga memperkenalkan model Social Behaviour Change Communication (SBCC) yang mengacu pada kerangka Socio-Ecological ModelSocial Behaviour Change Communication (SBCC) merupakan pendekatan strategis yang digunakan untuk mendorong perubahan perilaku individu maupun sosial melalui pemahaman hubungan antara manusia dan lingkungannya. Melalui dua studi kasus yang dipresentasikan yaitu peningkatan cakupan vaksinasi di Bangladesh dan penguatan vaksin COVID-19 di wilayah perbatasan selatan Thailand terlihat bahwa kolaborasi antara akademisi, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat menjadi kunci dalam menyusun strategi yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga dapat diterima secara sosial.

Materi ini memperkaya diskursus akademik terkait praktik komunikasi kesehatan yang berbasis bukti dan kontekstual, serta membuka peluang kolaborasi lintas negara dalam pengembangan intervensi yang adaptif terhadap kebutuhan komunitas lokal.

Pembicara terakhir adalah Assoc. Prof Dr Mohd Fairuz bin Ali dari Universiti Kebangsaan Malaysia yang membahas tentang Universal Health Coverage (UHC) for the Aging Population: Optimising Preventive Care for Older Patients at Primary Care”.

Prof. Dr. Mohd Fairuz bin Ali (Universiti Kebangsaan Malaysia) menggarisbawahi urgensi penguatan layanan kesehatan primer dalam menghadapi tantangan populasi lansia yang terus meningkat. Diperkirakan pada 2050, jumlah penduduk dunia berusia 65 tahun ke atas akan mencapai 1,6 miliar, dengan hampir 60% di antaranya berada di Asia. Kondisi ini menuntut transformasi sistem kesehatan, terutama di negara berpendapatan rendah dan menengah, untuk memastikan tercapainya cakupan kesehatan secara universal atau Universal Health Coverage (UHC) yang inklusif bagi kelompok lansia.

Dr. Fairuz menekankan bahwa layanan primer merupakan fondasi UHC yang mencakup promosi kesehatan, deteksi dini, rehabilitasi, serta perawatan jangka panjang yang terintegrasi dan berpusat pada pasien. Ia memperkenalkan pendekatan Integrated Care for Older People (ICOPE) dari WHO yang menitikberatkan pada pemeliharaan kapasitas fungsional lansia melalui asesmen komprehensif, rencana perawatan individual, dan intervensi yang terkoordinasi. Tantangan besar seperti keterbatasan tenaga medis, kesenjangan pelatihan, dan fragmentasi layanan sosial-medis, memerlukan strategi bottom-up yang melibatkan komunitas, pengasuh, dan kebijakan nasional yang berpihak pada lansia.

Promosi kesehatan dan upaya pencegahan harus menjadi pilar utama dalam sistem layanan kesehatan, guna mendukung terwujudnya proses penuaan yang sehat. Selain itu, tenaga kesehatan di layanan primer perlu diberdayakan, dibekali pelatihan yang memadai, dan didukung secara sistematis agar mampu memberikan pelayanan yang menyeluruh dan berpusat pada individu, khususnya bagi populasi lanjut usia yang kian meningkat.

Sesi diakhiri dengan diskusi tanya jawab, dimana empat peserta menyampaikan pertanyaan kepada pembicara, dan selanjutnya ditutup secara resmi oleh moderator.

Reporter :
Tri Muhartini dan Karlina Dewi Sukarno (PKMK UGM)

 

Health System Resilience & Global Governance

Sesi ini dipandu oleh Shita Listyadewi, S.IP., MM, MPP, peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK UGM). Shita membuka sesi dengan menjelaskan sistem kesehatan menghadapi berbagai tekanan, mulai dari tekanan jangka pendek (seperti penyakit musiman), hingga tekanan jangka panjang (seperti perubahan iklim). Dengan demikian, berbagai pilar sistem kesehatan perlu diperkuat untuk membangun sistem yang resilien.

Pembicara pertama pada sesi plenary ketiga ini adalah Dr. Somil Nagpal yang merupakan Senior (Lead) Health Specialist di The World Bank. Paparan Somil mengambil tajuk “Financing Resilient Health Systems in the Face of Global Crises”

Dalam paparannya, Somil, melalui studi kasus kawasan Asia Pasifik Timur (East Asia Pacific/ EAP), menggarisbawahi bahwa tantangan keberlanjutan pendanaan sistem kesehatan dapat mempengaruhi pencapaian sistem kesehatan dalam kerangka Universal Health Coverage (UHC). Kondisi finansial berbagai negara pasca pandemi COVID-19 beragam. Sebagian negara, seperti Vietnam, Indonesia, Kamboja, dan Filipina, mampu mencapai kondisi keuangan yang melampaui kondisi pra pandemi, namun beberapa negara lain, misalnya Palau dan Vanuatu, mengalami penurunan Gross Domestic Product (GDP) per kapita, bahkan mencapai dibawah kondisi pra pandemi 2019.

Somil juga menggambarkan capaian indikator cakupan pelayanan kesehatan UHC, di mana kawasan Pasifik menempati peringkat kedua terendah dibandingkan kawasan lain dalam tahun-tahun terakhir. Dengan demikian, jalan menuju UHC masih terlihat panjang sekaligus berliku dengan adanya kesulitan-kesulitan finansial yang dialami berbagai negara. Somil menutup presentasinya dengan menekankan bahwa repriotisasi adalah kunci untuk mendukung keberlanjutan pendanaan kesehatan di tengah berbagai krisis.

Sesi dilanjutkan dengan paparan dari Associate Professor Dr. Aznida Firzah Abdul Aziz dari Department of Family Medicine, Faculty of Medicine Universiti Kebangsaan Malaysia, dengan judul “Measuring UHC Progress: What Indicators Matter Most for the Malaysian Healthcare System?”

Aznida memaparkan kondisi pencapaian indikator-indikator terkait UHC di Malaysia dalam tahun-tahun terakhir. Pada 2023, 64% indikator sustainable development goals (SDG) Malaysia berstatus on track. Cakupan populasi yang menerima pelayanan kesehatan di Malaysia meningkat dari 70% pada 2018 menjadi 73% pada 2020, namun persentase masyarakat yang memiliki pengeluaran out-of-pocket (OOP) mencapai 38.3% pada 2023, yang diakui sebagai salah satu persentase tertinggi di kawasan. Walaupun Malaysia telah mengalami perubahan-perubahan signifikan dalam hal pelayanan kesehatan primer sejak 1960, beberapa isu kesehatan kontemporer, seperti populasi yang menua dan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular menjadi tantangan bagi sistem kesehatan di Malaysia.

Aznida juga menjelaskan bahwa indikator-indikator UHC yang saat ini berlaku di Malaysia, perlu dikaji ulang dengan indikator tambahan. Sebagai contoh, aspek penyakit tidak menular yang diukur dengan diabetes screening rates, perlu ditambahkan dengan indikator terkait demensia atau stroke.

Pembicara ketiga adalah Profesor Maria Nilsson, Chair of Lancet Countdown in Europe, Umeå University dengan judul “Driving University Collaboration for Global Health through the Sustainable Health Partnership (SHIP)”.

Maria menjelaskan bahwa SHIP dibentuk sebagai wadah kolaborasi transdisipliner untuk mengusung tantangan-tantangan global yang kompleks dan berimplikasi pada kesehatan. SHIP dibentuk karena kesadaran bahwa tantangan-tantangan seperti perubahan iklim atau deforestasi, bukan lagi tantangan sektor lingkungan semata, melainkan juga sektor kesehatan.

SHIP bertujuan untuk mendukung pertukaran dan produksi pengetahuan secara kolektif, serta menciptakan perspektif baru untuk memfasilitasi translasi pengetahuan menjadi aksi. Melalui SHIP, peserta akan mendapatkan akses ke collaborative space, berbagai instrumen dan metode, serta beragam ekspertis. SHIP tidak hanya beranggotakan universitas di Swedia, namun juga beragam universitas lain di seluruh belahan dunia.

Pembicara selanjutnya adalah dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D, Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM dengan judul  Harnessing Digital Transformation for Sustainable Health.

Lutfan menekankan pentingnya transformasi digital dalam sektor kesehatan sebagai strategi mitigasi perubahan iklim dan penguatan sistem kesehatan yang berkelanjutan. Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia memiliki peluang besar untuk menurunkan jejak karbon melalui pemanfaatan teknologi kesehatan digital, seperti telemedicine, yang terbukti mampu mengurangi emisi karbon hingga 40–70 kali dibandingkan kunjungan fisik. Transformasi digital tidak hanya tentang efisiensi, tetapi juga merupakan langkah strategis menuju model pelayanan kesehatan rendah emisi.

Universitas Gadjah Mada melalui proyek Climate Change Mitigation and Adaptation Policies (CCMAP) dan sistem peringatan dini demam berdarah memanfaatkan teknologi telemedicine sebagai strategi mitigasi perubahan iklim. CCMAP merupakan kolaborasi lintas sektor yang berfokus pada eHealth untuk adaptasi iklim di wilayah seperti Gunungkidul, sementara sistem peringatan dini demam berdarah dikembangkan sebagai alat bantu pengambilan keputusan yang mengintegrasikan data kesehatan, cuaca, dan pendidikan, serta didukung oleh kerjasama antar lembaga lokal dan internasional. Untuk menjamin keberhasilan transformasi digital ini, strategi digital harus mendukung agenda prioritas nasional, memperkuat jaminan kesehatan nasional, terintegrasi dengan sistem yang ada, bersifat inklusif, dan mampu diperluas secara berkelanjutan.

Pembicara terakhir dalam sesi plenary ini adalah Profesor Ming Xu. MD, PhD selaku dekan Department of Global Health, School of Public Health, Peking University dengan judul “Global Public Goods for Health in the Fight Against Infectious Diseases”.

Prof. Ming menyoroti pentingnya menjadikan produk kesehatan sebagai barang publik global (global public goods) yang non-rivalrous dan non-excludable, tujuannya untuk menjamin akses setara terhadap obat dan alat kesehatan, terutama dalam penanganan penyakit menular.

Prof. Ming juga menjelaskan bagaimana pengadaan publik global harus transparan dan berbasis regulasi ketat, serta bagaimana strategi market shaping seperti medicines patent pool (MPP), penetapan harga, dan kemitraan pengembangan produk dapat memperkuat inovasi, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Contoh sukses seperti Medicines for Malaria Venture (MMV) dan inisiatif global seperti ACT-A dan AVMA memperlihatkan peran kolaborasi internasional dalam mempercepat akses terhadap vaksin dan terapi di negara berkembang. Pendekatan ini menegaskan bahwa produk kesehatan perlu dikelola sebagai barang publik global untuk memastikan keadilan dan efisiensi dalam respons kesehatan dunia.

Sesi kemudian dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab yang dipandu oleh moderator. Dalam sesi ini, terdapat empat topik bahasan utama, yakni tentang pengukuran penurunan emisi karbon yang dihasilkan dari penerapan telemedicine, penyedia layanan bantuan kesehatan mental di Malaysia, inovasi yang telah dilakukan negara dalam rangka meningkatkan ketahanan layanan kesehatan (health service resilience), serta penerapan pendekatan riset transdisipliner dan transformasi hasil pengetahuan dari riset tersebut menjadi aksi nyata.

 

Reporter:
Monita Destiwi & Mentari Widiastuti (Divisi Public Health, PKMK)

Talkshow : Bridging Policy, Science, and Community Action for Sustainable Healthcare

 

Sesi talkshow dimulai dengan pembahasan terkait dengan bagaimana kaitan antara policy dan science serta peran masing-masing untuk keberlanjutan sistem kesehatan di negara berkembang, terutama di Indonesia, Thailand, dan Malaysia.

Professor Emeritus Dato’ Dr Syed Mohamed Aljunid menjelaskan bahwa keterlibatan penelitian saat ini sangat penting bagi keberlanjutan sistem kesehatan, dimana peran dari penelitian tersebut berupa rekomendasi solusi bagi masalah kesehatan di suatu negara.

 

Berikutnya, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D memaparkan bahwa saat ini tantangan yang dialami berupa menerjemahkan penelitian itu sendiri, utamanya terkait dengan sistem kesehatan. Hal tersebut dikemukakan berbasis fakta dimana Indonesia saat ini sedang dalam masa transformasi yang memungkinkan banyak kendala, terutama terkait dengan advokasi kepada stakeholders kunci.

Peran science dalam bidang kebijakan kesehatan dapat menggunakan kerangka konsep benchmark. Harapannya, benchmark ini dapat digunakan sebagai pembelajaran bagi negara-negara berkembang terhadap implementasi program dari negara-negara maju. Selain itu, monitoring dan evaluasi dari implementasi suatu program kesehatan juga penting untuk keberlanjutan sistem kesehatan, dimana di Indonesia sendiri masih susah untuk memastikan keberlangsungan tindakan tersebut.

Prof. Virasakdi Chongsuvivatwong  menceritakan pengalamannya dalam melakukan observasi terhadap pelaku sistem kesehatan, bahwa konsep dan mindset sebagai dasar untuk menciptakan suatu keputusan itu adalah hal mutlak yang sulit untuk diubah. Namun, sebagai pengamat sistem kebijakan, yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut yaitu melakukan adaptasi, strategi, dan tindakan terhadap keputusan yang telah diambil. Selain itu, sebagai pelaku dalam sistem kebijakan, kita juga harus menyadari bahwa suatu kebijakan masih memiliki batasan-batasan.

Pembahasan berikutnya terkait langkah nyata dalam menjaga keberangsungan sistem kesehatan dijelaskan oleh Laksono, bahwa saat ini Fakultas Kedokteran (FK-KMK) telah berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) untuk mendalami lebih lanjut pengetahuan terkait kebijakan dan manajemen kesehatan. Hal tersebut dilakukan dengan dasar bahwa pengetahuan terkait medis dan kesehatan saja tidak cukup untuk menunjang ilmu terkait dengan manajemen dan politik yang nantinya akan sangat berpengaruh dalam keseluruhan sistem kesehatan. Kolaborasi untuk peningkatan skill tersebut juga disetujui oleh Aljunid, dimana peningkatan skill tersebut memang tidak bisa didapatkan secara murni dari satu bidang, namun harus disertai dengan dukungan dari lintas sektor atau dari bidang yang lain.

Virasakdi menambahkan bahwa tidak hanya peningkatan skill, namun konsep mendasar berupa cara berpikir, terutama untuk mengatasi isu kesehatan, juga pasti berbeda-beda dari setiap negara, terutama negara maju seperti Amerika, sehingga mungkin tidak semua program yang negara-negara tersebut miliki dapat diadaptasi kedalam negara-negara berkembang. Masalah kesehatan dapat digambarkan dengan konsep iceberg, dimana masalah yang sering dianggap kompleks adalah yang terlihat di superfisial, seperti masalah terkait pembiayaan. Namun, sebenarnya sistem kesehatan itu masih memiliki masalah yang lebih kompleks dan lebih berdampak terhadap sistem kesehatan secara keseluruhan. Selain itu, budaya yang berkembang di suatu negara juga dapat mempengaruhi image negara tersebut bagi negara lain. Contoh nyata yang terjadi yaitu terkait budaya kebebasan di Thailand, akibatnya beberapa negara enggan melakukan pengiriman tenaga medis/tenaga kesehatan ke Thailand karena adanya budaya tersebut.

Sesi diskusi dibuka dengan pertanyaan bagaimana kebijakan yang berlandaskan evidence dan science itu dapat berubah akibat pengaruh dari minat dan perspektif stakeholders kunci, dimana hal tersebut akan berdampak nyata bagi sistem kesehatan. Emeritus menjelaskan bahwa saat ini kita harus bisa berkolaborasi dan berdiskusi dengan para politisi terutama untuk mewujudkan implementasi kebijakan kesehatan, dimana kolaborasi tersebut harus dapat menghasilkan rekomendasi dalam mengatasi isu kesehatan. Laksono berikutnya menambahkan kemampuan influencing juga merupakan kemampuan yang penting dalam proses implementasi kebijakan. Influencing ini harus didasari dengan kemampuan komunukasi, sehingga kesuksesan dalam advokasi kebijakan, utamanya kepada stakeholders kunci di bidang kesehatan, dapat dicapai. Sebagai penutup, Virasakdi juga mengemukakan bahwa minat untuk meningkatkan kemampuan diri untuk mempelajari kebijakan kesehatan sangat penting, seperti training, riset, serta metode pengembangan diri lainnya.

Talkshow diakhiri dengan bahasan barrier dalam kebijakan sistem kesehatan yang masih dialami oleh negara berkembang saat ini. Laksono menjelaskan bahwa tantangan terbesar saat ini memang masih terkait dengan pembiayaan kesehatan, namun sebenarnya masih banyak masalah kesehatan lainnya yang juga cukup kompleks, seperti dalam bidang clinical sciences, diantaranya masalah kardiovaskuler dan stunting. Harapannya forum seperti PGF ini juga dapat dikembangkan tidak hanya untuk kebijakan terkait pembiayaan kesehatan, namun juga untuk masalah-masalah kesehatan seperti clinical sciences tersebut. Terkait masalah pembiayaan kesehatan di Malaysia yang dipaparkan oleh Aljunid, bahwa ke depannya diharapkan implementasi kebijakan yang lebih komprehensif di bidang tersebut, karena saat ini sistem pembiayaan itu dinilai masih tertinggal dibandingkan negara lainnya. Berbeda dengan sistem pembiayaan negara Thailand yang dijelaskan oleh Virasakdi, bahwa pembiayaan kesehatan tersebut masih dipengaruhi oleh alokasi sumber daya dan regulasi yang berlaku. Alokasi sumber daya tersebut nantinya akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan teknologi, seperti penggunaan Internet of Things (IoT) yang saat ini digunakan dalam sistem kesehatan, sehingga harapannya pengembangan tersebut dapat disertai dengan dukungan, baik riset maupun kebijakan yang berlaku.

Rangkaian kegiatan PGF 2025 ini ditutup dengan closing remarks yang disampaikan oleh dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D. Ucapan terimakasih disampaikan kepada seluruh peserta yang telah berpartisipasi, para pembicara,  pihak sponsor, panitia kegiatan, serta Universiti Kebangsaan Malaysia dan Prince of Songkla University, Thailand yang telah turut mendukung terselenggaranya rangkaian kegiatan PGF 2025. Harapannya, rangkaian kegiatan PGF ini dapat memberikan dampak positif bagi sistem kesehatan serta dapat menjadi sebuah landasan inovasi dalam mengembangkan riset terkait kebijakan kesehatan. PGF berikutnya terjadwal akan dilaksanakan di Prince of Songkla University pada Juli 2026.

Reporter :
Bestian Ovilia Andini (PKMK UGM)

 

Regional Knowledge Event: The Strategic Role of Private Health Insurance (PHI) for Health System Goals and to Advance Universal Health Coverage

Hong Kong 2025

Welcome Remarks

Prof. dr. Laksono Trisnantoro – Profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM.

materi

Hari pertama kursus kebijakan (6/5/2025) dimulai dengan sambutan dari Prof Laksono selaku chairman ANHSS membuka kursus kebijakan dengan memperkenalkan para anggota ANHSS yang berasal dari seluruh negara di Asia-Pasifik, yakni Thailand (diinisiasi oleh Prof Supakankunthi dan Prof Chantal Herberholz), Malaysia, Filipina, Indonesia (Prof Laksono), dan Hongkong selaku host.

Dalam pembukaan kali ini, Prof. Laksono menekankan pentingnya kolaborasi dari lintas sektor di Asia Pasifik dalam upaya memperkuat sistem kesehatan. Dimulai pada 2011, Laksono menekankan pentingnya agenda diskusi kebijakan terutama dalam isu-isu strategis, salah satunya adalah Asuransi Kesehatan Swasta (AKS). Laksono berharap dengan adanya kursus kebijakan ini, peserta dapat mengeksplorasi cara baru serta jejaring dalam kolaborasi dalam riset ataupun peningkatan kapasitas terutama dalam mengoptimalkan peran AKS. 

Structure of the Course

Prof. Eng-kiong Yeoh – Direktur Centre for Health Systems and Policy Research, JC School of Public Health and Primary Care, The Chinese University of Hong Kong (HKSAR, China)

materi

Prof. Yeoh menjelaskan struktur kursus kebijakan yang berfokus pada kerangka konsep keterlibatan sektor swasta dalam mewujudkan tujuan sistem kesehatan. Dalam konsep tersebut, Yeoh menjelaskan keterlibatan sektor swasta dapat diwujudkan untuk tujuan seperti memperbaiki ekuitas, perlindungan terhadap resiko finansial, efisiensi dan efektivitas, serta kontinuitas serta integrasi layanan kesehatan. Adapun peran dari sektor swasta dapat terwujud dalam banyak hal, seperti payers, providers dalam memberikan layanan kesehatan, atau suppliers seperti pemasok obat atau alat kesehatan.

The Role of the Private Sector in Health Financing

Materi kedua mengenai Peran Sektor Swasta di dalam Pembiayaan Kesehatan yang disampaikan oleh Profesor Siripen Supakankunti selaku Profesor, Pusat Keunggulan Ekonomi Kesehatan, Fakultas Ekonomi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand.

Prof. Siripen memaparkan peran sektor swasta dalam pembiayaan kesehatan di Asia Pasifik. Dalam sistem kesehatan, pihaknya menjelaskan bahwa sistem kesehatan publik dan swasta harus terjalin. Dalam negara yang mengandalkan sumber pembiayaan dari pajak dan jaminan kesehatan sosial, sumber pembiayaan swasta seperti asuransi kesehatan swasta, pinjaman, investasi dan ekuitas serta kontribusi dari filantropi dapat digunakan untuk menutup kekurangan atau defisit dari pembiayaan kesehatan.

Akan tetapi, secara umum, Siripen menyampaikan bahwa progress dari tiap negara untuk mengintegrasikan sumber pembiayaan swasta berbeda-beda. Di Asia Pasifik contohnya, India dan Lao PDR belum memiliki payung regulasi yang mewadahi asuransi kesehatan swasta untuk menjadi bagian dari lanskap sistem kesehatan negara masing-masing. Terdapat banyak variasi antar negara di Asia Pasifik, terutama negara berkembang, mengenai upaya mengoptimalisasi peran asuransi kesehatan swasta.

Di akhir sesi, Siripen menyimpulkan bahwa asuransi kesehatan swasta sejatinya dapat digunakan sebagai suplemen atau ‘katup’ dari sistem kesehatan publik. Asuransi kesehatan swasta menawarkan alternatif-alternatif kepada individu untuk akses terhadap spektrum layanan yang lebih luas. Selain itu, asuransi kesehatan swasta dapat menstimulasi pengembangan infrastruktur, seperti gedung rumah sakit atau klinik serta alat teknologi, yang dapat meningkatkan kapasitas. Namun, pengembangan ini harus diperhatikan agar tidak memperlebar jurang ekuitas.

materi

Integration of Financing and Provision of Primary Healthcare in the Private Sector

Pembicara: Dr. Yat Chow, Direktur Medis Eksekutif, Asuransi BUPA & Layanan Medis Kesehatan Berkualitas (HKSAR, China)
Dr. Chow membahas integrasi pembiayaan dan layanan primer di sektor privat melalui mekanisme yang selama ini dijalankan oleh BUPA. BUPA terdiri dari tiga entitas, yakni BUPA sendiri sebagai asuransi kesehatan swasta, Quality sebagai provider layanan kesehatan, dan BLUA yang merupakan aplikasi integrasi layanan kesehatan. Terdapat tiga model layanan yang ditawarkan oleh entitas BUPA, yakni layanan asuransi konvensional yang menjamin full coverage, subskripsi atau kapitasi rawat jalan yang bersifat partially insured, serta partnership dengan pemerintah berupa outsourcing (pembiayaan pemerintah HK untuk provider BUPA yakni Quality Healthcare)

Private Health Sector Assessment

Pembicara: Shita Dewi – Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM (Indonesia)
Pada sesi siang, paparan materi dipimpin oleh Shita Dewi dari PKMK dengan judul Private Health Sector Assessment (PHSA). PHSA memiliki banyak tujuan; PHSA dapat digunakan untuk mengidentifikasi peran sektor swasta dalam sebuah negara, mendiagnosa hubungan sektor swasta dan publik, menganalisa market dari sektor swasta, hingga merumuskan langkah strategis keterlibatan sektor swasta.

Dalam PHSA, penting untuk mengetahui apa saja spektrum informasi baru yang ingin diketahui terkait dengan sektor kesehatan swasta. Hal ini dikarenakan asesmen sektor swasta memiliki variasi metode yang sangat luas, tergantung dengan tujuan atau objective yang ingin diraih. Setelah disusun tujuan dari PHSA, maka langkah berikutnya adalah mengembangkan strategi asesmen. Guiding questions yang dapat digunakan untuk menyusun strategi tersebut antara lain

  • Data kuantitatif apa saja yang dibutuhkan untuk peran dari sektor swasta?
  • Data kualitatif apa yang dibutuhkan untuk mengetahui motif, peluang, serta tantangan sektor swasta?
  • Apa metode koleksi data yang paling tepat?
  • Apa luaran yang ingin diraih dari PHSA?

Setelah pemberian materi, masing-masing peserta diminta untuk berkumpul sesuai dengan negara untuk melakukan case reading. Adapun case reading bertujuan untuk menyusun strategi PHSA berdasarkan informasi yang didapat dari jurnal yang telah dibagikan sebelumnya.

materi


Reporter:

dr. Ryan Rachmad Nugraha, MPH
(Departemen Kedokteran Keluarga & Komunitas, FK-KMK UGM)

Regional Knowledge Event merupakan pertemuan berkala yang diselenggarakan ANHSS sebagai forum diskusi antara para pembuat kebijakan, legislator, praktisi, pelaku industri, dan akademisi di region. Pada event kali ini (Mei 2025) dihadiri oleh lebih dari 120 peserta dari 8 negara di kawasan Asia.

Pembukaan disampaikan oleh tiga host acara ini, yaitu Professor Philip Wai-Yan Chiu, Dekan Faculty of Medicine, The Chinese University of Hong Kong (HKSAR, China), Professor Samuel Yeung-Shan Wong, Direktur JC School of Public Health and Primary Care, The Chinese University of Hong Kong (HKSAR, China) serta Professor dr. Laksono Trisnantoro, Profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK, Universitas Gadjah Mada (Indonesia).

Ketiga sambutan menekankan bahwa prinsip-prinsip Universal Health Coverage (UHC) mendasari upaya untuk mensinergikan sumber daya sektor publik dan swasta. Peran swasta sangat krusial untuk menjadi mitra pemerintah dan berperan sebagai penambah (supplementary) dan pelengkap (complementary) dari sistem publik. Pada regional event kali ini, peran yang ditekankan adalah peran dari asuransi kesehatan swasta (AKS).

Sesi pagi hari diisi oleh beberape keynote speech dengan topik seputar peran AKS tersebut ditinjau dari berbagai perspektif: akademisi, pembuat kebijakan dan praktisi. Pertama, dari perspektif akademisi, disampaikan bagaimana posisi dan peran AKS dalam sistem Kesehatan ditinjau dari kerangka dan konteks UHC.

Topic: Review of the Role of PHI and Challenges in the Global Context

Speaker: Professor Eng-Kiong YEOH, Director, Centre for Health Systems and Policy Research, JC School of Public Health and Primary Care, The Chinese University of Hong Kong (HKSAR, China)

Prof. Yeoh menyampaikan bahwa asuransi pada dasarnya adalah tentang bagaimana risiko sakit (dan biaya) di-pooling untuk berbagi beban, sehingga tidak membebani pihak yang mengalami kejadian penyakit.

Pilihan dalam pooling:

  • No pooling (Masyarakat menanggung sendiri risiko melalui pembayaran langsung atau out of pocket/ OOP).
  • Unitary pooling/single pool (seluruh dana dan risiko digabung dalam satu pool. Contoh: Indonesia).
  • Fragmented pooling (dana dan risiko di-pool di beberapa ‘kantong’, misalnya sesuai wilayah (contoh: Jerman), risiko (contoh: UK), kelompok populasi (contoh: Thailand, Jepang))
  • Integrated pooling (terdapat kemungkinan untuk menggunakan dana dari pool lain ketika dibutuhkan (misal: dalam situasi yang “luar biasa” untuk sistem kesehatan).

Peran AKS sangat krusial untuk menjadi mitra pemerintah dan berperan sebagai penambah(supplementary) dan pelengkap (complementary) dari sistem publik, dalam hal ini khususnya dari sisi pembiayaan kesehatan tersebut.

Selanjutnya keynote speech diberikan dari perspektif pembuat kebijakan dan praktisi, masing-masing meninjau bagaimana AKS mendukung pencapaian tujuan-tujuan sistem kesehatan.

Topic: Strategic Roles of PHI: Regulation Perspective

Pembicara: Mr. Clement LAU Chung-Kin, Executive Director, Policy and Legislation, Insurance Authority (HKSAR, China)

Insurance Authority adalah lembaga pemerintah Hong Kong yang bertugas untuk membuat kebijakan-kebijakan terkait asuransi dan mengawasi para penyelenggara asuransi. Lau menegaskan mandat pemerintah sebagai regulator, sebagai pihak yang harus memastikan perlindungan bagi masyarakat namun juga mendukung industri asuransi untuk tetap berkesinambungan. Asuransi memiliki pula peran sosial: ada tidaknya asuransi dapat membentuk atau mengubah pola perilaku individu maupun kelompok.

 

Topic: Health Insurance and Sustainability of Hong Kong’s Healthcare System

Pembicara: Mr. Sam HUI, JP, Deputy Secretary for Health 1, Health Bureau (HKSAR, China)

Hui menyampaikan bahwa pembiayaan kesehatan di sektor non pemerintah di Hong Kong yang bersumber dari skema asuransi swasta masih terbatas (sekitar 30%) sementara komponen terbesar masih dari pembiayaan langsung/OOP sekitar 60%). Artinya, masih terbuka pasar yang uarbiasa besar bagi asuransi swasta. Namun untuk itu, paket layanan yang dijual harus:

  • Renewable hingga 100 tahun
  • Tidak ada cap terhadap total klaim sepanjang usia hidup
  • Perlindungan harus mencakup segala risiko termasuk pre-kondisi sejak tahun kedua keanggotaan, dan perlindungannya harus secara progresif diperluas sejak tahun ke-4 dari keanggotaan

(hal-hal ini merupakan ketentuan/diatur dalam regulasi pemerintah).

Hal lain yg dituntut pemerintah adalah transparansi harga dan menghilangkan asimetri informasi. Namun sayangnya, pemerintah Hong Kong juga memiliki tantangan untuk memperoleh informasi yang terkonsolidasi mengenai asuransi swasta. Oleh karena itu pemerintah secara rutin membuka dialog bersama para pelaku industri (Perusahaan asuransi swasta) untuk menginisiasi bagaimana hal ini dapat diupayakan bersama.

Topic: Strategic Roles of PHI for Universal Health Coverage

Pembicara: Dr. Eduardo P. BANZON, Director, Health, Human and Social Development Sectors Group, Asian Development Bank (The Philippines)

materi

Eduardo memulai sesinya dengan mengingatkan kita bahwa prinsip ‘universal’ dalam UHC mengartikan bahwa setiap orang harus memiliki akses terhadap layanan yang dibutuhkan, dan bagaimana pergeseran penyedia pelayanan dari public ke swasta terjadi hampir di seluruh negara di kawasan Asia, kecuali di negara-negara dimana pemerintah secara kuat sengaja membatasi sektor swasta. Seiring dengan itu, pemerintah mengembangkan sistem jaminan sosial untuk melindungi masyarakatnya.

Namun, AKS masih memiliki potensi bertumbuh di negara-negara dimana secara ‘population coverage’ belum terpenuhi dalam UHC. Dalam hal ini AKS dapat menjadi ‘substitute’. Namun, dari perspektif pemerintah, AKS tidak menguntungkan sebagai ‘substitute’ karena ini mengurangi porsi revenue sources bagi pool jaminan sosial nasionalnya. Oleh karena itu, yg perlu dilakukan agar AKS tetap bisa tumbuh di negara-negara dengan system jaminan sosial adalah AKS sebagai pelengkap/komplementer/suplementer dalam hal ‘service coverage’ dan dalam hal ‘financial protection’ sebagai salah satu sumber prepaid health. Di Filipina, voluntary AKS ini merupakan bagian dari non-taxable dan hanya bisa dibeli oleh mereka yang menjadi anggota Philhealth (system jaminan sosial), sehingga ini menarik bagi kelompok middle to lower-middle income population. Coordination of benefit pernah diinisiasi di Indonesia namun dihentikan (untuk sementara) sejak 2020.

Topic: Role of Health Insurance from Insurers’ Perspectives Contributing to Health System Goals

Pembicara: Mr. Alger FUNG, Chief Executive Officer, AIA Hong Kong and Macau (HKSAR, China)

Fung membawakan perspektif pelaku industri. Fung tidak hanya membahas dari sisi bagaimana asuransi Kesehatan swasta (AKS) menyediakan perlindungan Kesehatan tetapi menunjukkan bagaimana AKS juga berkepentingan untuk menjaga pelanggannya sehat, oleh karena itu Fung memfokuskan presentasinya social value yang dimiliki oleh AKS. AKS dapat membuat program-program dan skema untuk mempromosikan gaya hidup sehat bagi para pelanggannya. Misalnya, AIA menyediakan insentif pengurangan premi untuk pelanggan yang indikator-indikator kesehatannya membaik (misal: BMI), membuat taman umum di kota dan menyelenggarakan acara gratis kelas-kelas yoga, boxing, tenis, dan lain-lain.

 

Topic: Strategic Role of PHI for Health System Goals in Singapore

Pembicara: Professor Jeremy LIM, Chief Executive Officer, AMILI; Associate Professor (Adjunct), Saw Swee Hock School of Public Health, National University of Singapore (Singapore)

materi

Dalam konteks Singapura, Jeremy menyediakan sistem yang multitiered untuk dapat melayani masyarakat umum namun juga masyarakat kelas atas yang tidak ingin disamakan seperti masyarakat umum. Selain itu, Singapura memiliki banyak ekspatriat yang juga memiliki demand yang berbeda. Dalam sistem ini, tersedia MediFund untuk mereka yang tidak bisa membayar OOP, kemudian progam tambahan top up (Medisave, dan memungkinkan adanya co-payment).

MediShield tadinya dicanangkan pada 1990 untuk melindungi masyarakat secara umum namun ternyata terjadi adverse selection. Pada 2005 Medishield direformasi dan berhasil mencakup 90% masyarakat (sekitar 3.6 juta orang). AKS memiliki peran untuk menjadi opsi bagi mereka yang tidak tergabung dalam Medishield (misal: non warganegara) namun membutuhkan perlindungan (sekitar 2,4juta orang). Sementara itu, HealthierSG juga diluncurkan pada 2023, dan berfokus pada preventive care (melalui pembiayaan pajak) senilai SGD5 milyar per tahun.

Diskusi Panel

Setelah para pembicara menyampaikan keynote speech, sesi pagi ditutup dengan diskusi panel. Acara ini dimoderatori oleh Dr. Libby Ha-Yun LEE, Under Secretary for Health, Health Bureau (HKSAR, China). Para pembicara membahas beberapa hal yang memungkinkan AKS untuk hadir dan berperan dalam sistem kesehatan. Salah satu faktor yang dianggap penting adalah regulasi yang kuat. Namun regulasi yang kuat membutuhkan kapasitas menjalankan tata kelola yang baik dan juga membutuhkan data. Oleh karena itu, perlu dibangun sistem yang transparan dan akuntabel yang dapat memungkinkan data dimanfaatkan bersama untuk kepentingan pengembangan kebijakan dan pemantauan.

 

The Strategic Role of Private Health Insurance (PHI) for Health System Goals and to Advance Universal Health Coverage

Keynote Speech: Strategic Role of PHI in Advancing UHC: Industry and Country Experiences
Topic: Private health insurance under Universal Public Health Insurance System
Prof. Soonman Kwon – Professor/Former Dean, Seoul National University (SNU), Korea Selatan

materi

Prof. Kwon mengawali sesi siang dengan berbagi mengenai caveat dari Asuransi Kesehatan Swasta (AKS) di Korea Selatan. Di Korsel, PHI memiliki karakteristik eksternalitas fiskal dikarenakan sifat AKS yang berfungsi sebagai ‘katup’ dari skema asuransi publik. AKS di Korea Selatan turut meliputi co-payment dari asuransi kesehatan publik, sehingga turut meningkatkan utilisasi layanan kesehatan publik (efek moral hazard). Selain itu, AKS meliputi layanan yang secara umum tidak ditanggung oleh asuransi kesehatan publik. Di Korea Selatan, pemberi layanan kesehatan melakukan bundling layanan yang ditanggung dan tidak ditanggung oleh skema publik. Adapun skema care bundling ini memiliki dampak peningkatan utilisasi langsung baik dari layanan swasta, serta layanan yang ditanggung oleh skema publik.

Health Insurer’s Perspective BUPA

Dr. Yat CHOW dari BUPA menjelaskan bahwa utilisasi tertinggi dalam AKS adalah layanan rawat jalan. Di Hongkong, layanan rawat jalan primer memiliki utilisasi (dan return) tertinggi, yang mana terbagi atas Traditional Chinese Medicine (TCM) serta Western Medicine. Terlebih lagi, dalam layanan rawat jalan primer, porsi pembiayaan dari kantong sendiri (out-of-pocket) tetap mendominasi.

Hal unik dalam layanan kesehatan di Hong Kong adalah porsi yang setara diakibatkan oleh blending-in pembiayaan dan layanan antara publik dan swasta. Sebagai contoh, layanan rawat jalan didominasi oleh pembiayaan individu ($29bn.) dan sebagian dibiayai oleh skema pemerintah ($6.8bn.). Porsi pembiayaan antara publik dan swasta pun hampir setara. Secara umum, pembiayaan dari publik tahun fiskal 2023 adalah sebesar $150.4bn (58%) sedangkan pembiayaan swasta yakni sebesar $109.7bn (42%).

Country Experiences: Thailand, Malaysia, and Indonesia

Sesi dilanjutkan dengan country sharing dimana masing-masing pembicara membagikan pengalaman serta potensi AKS dalam lanskap sistem kesehatan. Di Thailand, Prof Herberholz membagikan bahwa secara umum di Thailand, AKS terbagi oleh dua (2) plan: plan asuransi kesehatan pribadi untuk individu dengan high-income, serta plan asuransi kesehatan berkelompok seperti pada sektor formal dan perusahaan. Hal ini juga diamini oleh Indonesia dan Malaysia dimana struktur asuransi kesehatan berdiri sendiri dengan dua plan tersebut, dan terpisahkan dengan pemberi layanan. Hal ini berbeda dengan negara Hong Kong dimana terdapat dualitas dari entitas asuransi kesehatan yang tidak hanya berperan sebagai insurer namun juga sebagai pemberi layanan kesehatan.

Adapun dari sharing berbagai negara, didapat beberapa isu yang homogen atau sama. Prof. Laksono dari Indonesia menyebutkan bahwa secara umum, asuransi kesehatan publik memiliki dua isu besar, yakni isu ekuitas dan sustainabilitas. Di Indonesia, isu inekuitas disebabkan oleh klaim asuransi publik yang cenderung selalu meningkat, dengan klaim rasio tinggi. Namun, klaim rasio yang tinggi ini memiliki kecenderungan terpusat, yang mana klaim tinggi dirasakan secara mayoritas di kota besar dengan infrastruktur memadai bahkan advanced. Di satu sisi, klaim rasio yang tinggi terus menerus mengancam sustainabilitas dari pembiayaan asuransi kesehatan publik. Selama pandemi COVID-19, klaim menurun drastis dikarenakan oleh turunnya utilisasi layanan. Namun setelah COVID-19, tren klaim meningkat sehingga menjadi salah satu penyebab asuransi kesehatan publik mengalami defisit.

Di Malaysia, sebagaimana disampaikan oleh Prof. Sharifa tingginya appetite terhadap layanan kesehatan telah diakomodasi dengan layanan kesehatan swasta yang juga didukung oleh medical tourism. Hal ini menyebabkan menjamurnya AKS dan layanan kesehatan swasta, yang diregulasi oleh Central Bank of Malaysia. Akan tetapi, inflasi medis serta peningkatan utilisasi menyebabkan premium asuransi swasta terus meningkat. Prof. Sharifa menambahkan diantisipasi pada 2025 premium asuransi swasta akan meningkat sebesar 40-70%.

Speakers:

Topic: Topic: Review of the Role of PHI and Challenges in the Global Context
Speaker: Professor Eng-Kiong YEOH, The Chinese University of Hong Kong (HKSAR, China)

materi

Topic: Strategic Roles of PHI: Regulation Perspective
Speaker: Mr. Clement LAU Chung-Kin, Executive Director, Policy and Legislation, Insurance Authority (HKSAR, China)

materi

Topic: Strategic Roles of PHI for Universal Health Coverage
Speaker: Dr. Eduardo P. BANZON, Director, Health, Human and Social Development Sectors Group, Asian Development Bank (The Philippines)

materi

Topic: Role of Health Insurance from Insurers’ Perspectives Contributing to Health System Goals
Speaker: Mr. Alger FUNG, Chief Executive Officer, AIA Hong Kong and Macau (HKSAR, China)

materi

Topic: Strategic Role of PHI for Health System Goals in Singapore
Speaker: Professor Jeremy LIM, Chief Executive Officer, AMILI; Associate Professor (Adjunct), Saw Swee Hock School of Public Health, National University of Singapore (Singapore)

materi

Topic: Private Health Insurance under Universal Public Health Insurance System
Speaker: Professor Soonman KWON, Professor/ Former Dean, Seoul National University (South Korea)

materi

Topic: Health Insurer’s Perspective: Bupa
Speaker: Dr. Yat CHOW, Executive Medical Director, Bupa HK (HKSAR, China)

materi

Topic: Private Health Insurance in China: Progress, Gaps, and Paths Forward
Speaker: Professor Yingyao CHEN, Deputy Dean, School of Public Health, Fudan University (China)

materi

Topic: The Role of Private Health Insurance in Achieving UHC in the Philippines
Speaker: Professor Maria Elena B. HERRERA, Adjunct Faculty of Asian Institute of Management, Makati City, Metro Manila (The Philippines)

materi

Topic: Country Experiences in the Development of PHI: Thailand
Speakers: Professor Siripen SUPAKANKUNTI, Professor, Centre of Excellence for Health Economics, & Professor Chantal HERBERHOLZ, Director, Centre of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University, Bangkok (Thailand)

materi

Topic: Indonesia’s Private Health Insurance Current Situation
Speaker: Professor Dr. Laksono TRISNANTORO, Professor of Health Policy and Management, Department of Health Policy and Management, Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, Universitas Gadjah Mada (Indonesia)

materi

Topic: Malaysia’s Experience with Health Insurance
Speaker: Professor Dr. Sharifa Ezat WAN PUTEH, Professor of Public Health and Hospital Management Faculty of Medicine, Dean of Centre of Liberal Science, Universiti Kebangsaan Malaysia (Malaysia)

materi

 

Reporter:

  • Shita Dewi – Peneliti Divisi Kebijakan Kesehatan, PKMK FK-KMK UGM
  • dr. Ryan Rachmad Nugraha, MPH, Departemen Kedokteran Keluarga & Komunitas, FK-KMK UGM

 

Setelah peserta mengikuti rangkaian knowledge event dan kursus kebijakan pada 6-7 Mei 2025, panitia ANHSS bersama otoritas City University of Hong Kong (CUHK) Medical Center mengadakan hospital tour pada 8 Mei 2025. Hospital tour ini dipandu oleh Prof. Hong Fung selaku direktur utama CUHK Medical Center (atau disingkat CUHKMC).

Kuliah Umum Sistem Kesehatan Hong Kong & Asuransi Swasta: Studi Kasus CUHK Medical Center

Rangkaian acara diawali dengan sesi pemaparan yang disampaikan oleh Prof. Hong Fung. Dalam presentasi ini dijelaskan mengenai Layanan Kesehatan Swasta di Hong Kong, utamanya peranan Rumah Sakit serta Fasilitas Kesehatan Swasta dalam Lanskap Kesehatan Hong Kong.

Dalam presentasinya, Prof Fung menjelaskan bahwa dalam lanskap sistem kesehatan di Hong Kong, tidak boleh ada satu pun warga yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini menjadi dasar dari penyusunan kerangka sistem kesehatan di Hong Kong. Layanan Kesehatan Swasta (LKS) bersifat sebagai komplementer dari layanan yang bersifat publik (layanan kesehatan RS publik diatur skemanya oleh agensi Hospital Authorities atau HA).

Dalam prinsipnya, Hong Kong tetap memenuhi kebutuhan kesehatan di tengah tantangan epidemiologi seperti populasi yang mayoritas adalah usia lanjut. Di dalam skema ini, CUHMKC memiliki layanan khusus yang dapat memberikan kenyamanan serta kontinuitas. Misalnya, CUHKMC memiliki program unggulan seperti chronic disease co-care scheme sebagai perwujudan Public-Private Mix. Selain itu, CUHKMC memiliki layanan kanker komprehensif dengan skema mixed financing. Peran CUHKMC tidak hanya ada pada prevensi di hulu, namun hingga paling hilir seperti layanan paliatif (layanan end-of-life) serta survivorship (layanan kesehatan keluarga untuk pasien yang mengalami remisi).

Selain pelayanan yang komprehensif, salah sat keunggulan CUHKMC serta kolaborasi antara faskes di Hong Kong adalah transparansi harga. Di CUHKMC, seluruh harga paket pemeriksaan dibagikan kepada konsumen secara transparan. Untuk perubahan paket, Prof Fung menjelaskan bahwa administrasi akan membagikan perubahan tersebut minimal 3 bulan sebelum diterapkan. Hal ini memiliki manfaat yakni trust dari pasien kepada faskes.

Selain itu, dalam penetapan harga paket layanan umum, CUHKMC menerapkan prinsip seperti Diagnosis-Related Group (DRGs), yang mana disebut sebagai Diagnosis-Intervention Package (DIP). Dengan penetapan paket layanan umum yang bersifat evidence-based serta dilakukan update secara berkala, variasi harga antar pasien menjadi sedikit sehingga layanan menjadi efisien. asd

materi

Fasilitas & Program Unggulan

Hospital tour dimulai dari ruangan rawat inap umum. Di ruangan rawat inap, terdapat rak obat yang memiliki kunci dengan sensor. Kunci rak obat tersebut hanya dapat dibuka dengan fingerprint oleh staf bangsal. Hal ini dapat memitigasi risiko kehilangan obat.

Setelah itu, dalam ruangan bangsal OBGYN, juga terdapat ruangan rawat inap. Dalam CUHKMC, terdapat 3 kategori ranap

  • Private, yaitu 1 ruangan 1 bed
  • Semi-private, yakni 1 ruangan dengan 2 bed
  • Sharing, yakni 1 ruangan dengan 4-8 bed

Untuk private dan semi private, pembiayaan ranap menggunakan skema umum atau asuransi swasta. Sedangkan ruangan sharing dibiayai menggunakan asuransi publik.

Dalam ruangan ranap OBSGYN, masing-masing pasien diberikan monitor yang terhubung dengan CCTV. Dengan CCTV tersebut, pasien dapat dimonitor keberadaannya (layaknya Apple “Find my phone”). Selain itu, monitor juga diberikan kepada pasien ibu dan anak baru lahir, sehingga memudahkan identifikasi bayi.

Hal yang inovatif yang dilakukan oleh CUHKMC yakni adalah automasi peresepan. Dalam gudang farmasi, sistem automasi akan mengelompokkan obat dalam hitungan dosis, serta mengelompokkan obat-obatan untuk 1 pasien dalam 1 hari. Obat tersebut diberikan kepada pasien per hari nya, dan digabung menggunakan gelang. Dikarenakan obat tersebut digabung per hari, resiko ketinggalan minum obat dapat diminimalisir.

Reporter:
dr. Ryan Rachmad Nugraha, MPH
(Departemen Kedokteran Keluarga & Komunitas, FK-KMK UGM)

 

Reportase The 26th WONCA Asia Pacific Regional (APR) Conference 2025

Reportase The 26th WONCA Asia Pacific Regional (APR) Conference 2025

PKMK-Busan. Sejalan dengan Upaya pencapaian Sustainable Development Goals ke 3, khususnya SDG 3: Good Health and Well-being, Konferensi WONCA Asia Pasifik 2025 resmi dibuka di Busan dan perwakilan dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM berkesempatan menghadiri konferensi internasional ini (24/4/2025). Acara dibuka dengan sambutan dari Walikota Busan, yang menyambut hangat para peserta internasional serta menyoroti komitmen Busan dalam mendukung transformasi kesehatan global. Busan sendiri telah dinobatkan sebagai kota paling layak huni ke-6 di Asia selama dua tahun berturut-turut, mencerminkan kualitas hidup dan layanan publik yang tinggi—termasuk dalam bidang kesehatan.

Transformasi Layanan Primer: Kunci Mewujudkan Kesehatan Universal

Sesi pembukaan dilanjutkan oleh Ketua Panitia Konferensi, Dr. Sung Sunwo, yang memberikan pengantar mengenai pentingnya transformasi layanan kesehatan primer (primary care) dalam menjawab tantangan global, terutama peningkatan penyakit tidak menular (non-communicable diseases/NCDs).

Presiden Korean Academy of Family Medicine, Dr. Jae-Heon Kang, bersama Presiden WONCA Asia Pacific Region, Brian Chang, menekankan bahwa pelayanan primer bukan hanya soal akses, tetapi juga menyangkut nilai, kualitas, dan pemerataan layanan kesehatan. Negara dengan sistem PHC yang kuat terbukti memiliki akses kesehatan yang lebih setara, terutama bila mengedepankan pendekatan berbasis masyarakat (people-centred care).

Peran Vital Dokter Keluarga dalam Sistem Kesehatan Berkelanjutan

Dr. Karen Flegg, Presiden WONCA Global, menyampaikan bahwa dokter keluarga (family doctors) memainkan peran sentral dalam mengubah wajah layanan kesehatan. Dengan pendekatan yang komprehensif dan berbasis komunitas, PHC yang diperkuat oleh kedokteran keluarga mampu memberikan hasil terbaik dengan biaya terendah, sekaligus meningkatkan kepuasan pasien.

Karen menyoroti tiga pilar penting dalam mewujudkan cakupan kesehatan semesta (UHC):

  1. Menekan biaya layanan kesehatan,
  2. Meningkatkan investasi pada pelayanan primer, dan
  3. Mengalihkan pendanaan dari rumah sakit sekunder dan tersier ke layanan primer.

“A health system where primary care is the backbone and family medicine the bedrock, delivers best outcomes, lowest cost, and better satisfaction,” ujar Dr. Flegg, mengutip Margaret Chan, mantan Dirjen WHO.

WONCA sendiri berperan sebagai advokat utama bagi penguatan family medicine, mulai dari pengakuan peran tenaga medis dalam sistem PHC, pentingnya investasi dalam pendidikan kedokteran keluarga, hingga perlunya strategi kesehatan yang sadar akan krisis iklim (climate-conscious healthcare), dimana layanan primer memiliki peran penting dalam mengatasi isu-isu lingkungan dan kesehatan.

Mengenali Kebutuhan Gen Z: Pelayanan Kesehatan yang Culturally Competent

Dalam upaya menjembatani kesenjangan generasi, Indonesian College of Family Medicine memimpin sesi workshop bertajuk “Meeting Gen Z Where They Are”, yang bertujuan mengembangkan layanan kesehatan yang culturally competent dan relevan bagi generasi muda.

Dr. Fitriana Ekawati, MPH, PhD, Sp.KKLP dari FK-KMK UGM membuka sesi dengan menggambarkan karakter Gen Z serta perbedaan ekspektasi mereka terhadap pelayanan kesehatan, dibandingkan dengan penyedia layanan yang mayoritas dari generasi sebelumnya. Mahasiswa UGM turut memberikan perspektif langsung mengenai kebutuhan dan harapan mereka terhadap sistem kesehatan yang lebih fleksibel, interaktif, dan berorientasi pada pengguna.

dr. Trevino Aristarkus Pakasi, FS, MS, Sp.KKLP, PhD dari Universitas Indonesia menambahkan pentingnya inovasi dan adaptasi dalam pelayanan primer di berbagai negara. Inovasi yang dibahas mencakup layanan digital, klinik khusus remaja, hingga penyediaan fasilitas seperti colokan listrik dan ruang konsultasi yang nyaman serta aman bagi remaja. Trevino menekankan enam prinsip layanan ramah Gen Z: lingkungan inklusif, pemisahan ruang dewasa dan remaja, fasilitas ramah remaja, layanan sensitif budaya, fleksibilitas, dan kolaborasi. Fokus utama adalah pada penanganan NCD, kesehatan mental, kesehatan reproduksi, penyalahgunaan zat, dan layanan akut.

Keterampilan Dokter dalam Memberdayakan Pasien Muda

Dr. dr. Dhanasari Vidiawati Sanyoto, M.Sc., CM-FM., Sp.DLP mengakhiri sesi dengan membahas kompetensi penting yang harus dimiliki tenaga kesehatan dalam membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan pasien remaja. Diantaranya adalah komunikasi empatik, fleksibilitas waktu layanan, penghargaan terhadap kemandirian pasien, serta penekanan pada pentingnya consent dan confidentiality dalam setiap konsultasi. Dokter harus mampu menjadi mitra yang memberdayakan, bukan sekadar penyedia layanan, serta membuka ruang diskusi yang jujur dan saling menghargai.

Implikasi Kebijakan

Bagi Indonesia yang saat ini tengah menjalankan transformasi sistem kesehatan, perlu mengemas integrasi layanan primer dan cek kesehatan gratis, dua perubahan terkini di pelayanan primer, dengan pendekatan berbasis keluarga. Temuan dan rekomendasi dari forum ini menegaskan pentingnya investasi pada kedokteran keluarga, pengembangan kompetensi tenaga kesehatan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan generasi muda, adopsi inovasi berbasis teknologi, serta dukungan JKN untuk pelayanan yang berbasis family medicine. Kebijakan Indonesia ke depan perlu semakin menekankan pada pendekatan people-centred care yang berkelanjutan, adil, dan efisien guna mendukung pencapaian Universal Health Coverage dan SDG 3 secara nasional.

 

PKMK-Busan. Hari kedua 26th WONCA Asia Pacific Regional Conference 2025 memperlihatkan dinamika penting dalam transformasi layanan kesehatan, dengan fokus pada sistem pembayaran berbasis nilai (Value Based Payment) dan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk memperkuat koneksi antara pasien dan penyedia layanan.

Sesi pertama dibuka oleh Prof. Serng-Bai Pak dari National Health Insurance Ilsan Hospital, Korea, yang membawakan materi berjudul “Toward Value-based Payment in Korean Healthcare: Challenges and Opportunities in Crisis”. Dalam paparannya, Prof. Pak menjelaskan bahwa value-based care (VBC) berfokus pada peningkatan kualitas pelayanan, koordinasi antarpenyedia layanan, pengalaman pasien, serta penggunaan insentif berbasis hasil. Model ini menggeser pendekatan tradisional fee-for-service menuju sistem yang mendorong pencegahan, intervensi dini, serta perawatan berbasis data.

Prof. Pak mencontohkan pengembangan Accountable Care Organization (ACO) di Korea, yang mengintegrasikan rumah sakit, fasilitas layanan primer, dan komunitas. Langkah awal pembangunan ACO adalah melakukan implementasi pilot untuk menguji keterbatasan sistem pembayaran berbasis jasa yang ada, disertai dengan pemetaan penyedia layanan kesehatan yang tersedia dan keterlibatan pemangku kepentingan. Tahap berikutnya adalah integrasi sistem informasi antar fasilitas kesehatan dan pembentukan Korean Community Health Management Network (K-AHCN), yang berfungsi untuk mengelola kinerja kolaboratif para penyedia layanan kesehatan.

Kim Yu dari MD, FAAFP, DABFM dari American Board of Family Medicine mendeksiripsikan lebih lanjut mengenai ACO di United States. Organisasi ACO ini didukung oleh struktur pusat (hub hospitals) yang bertugas mengalokasikan sumber daya berdasarkan kebutuhan pasien, meningkatkan kualitas layanan melalui pendidikan dan program perbaikan mutu, serta mengelola jaringan medis secara keseluruhan. Di tingkat layanan primer, penyedia layanan diharapkan untuk mendaftarkan pasien, mengembangkan rencana perawatan individual, dan memperluas aksesibilitas layanan. Pembayaran dalam sistem ini menggunakan blended payment model, yang mengombinasikan dana prabayar, pembayaran berkala, serta insentif kinerja. Evaluasi performa dilakukan melalui pengukuran kepuasan pasien, utilisasi sumber daya, dan retensi pasien. Skema shared savings diterapkan untuk mendorong efisiensi biaya: penyedia layanan yang berhasil mengurangi biaya sambil mempertahankan kualitas layanan berhak atas tambahan insentif.

Konferensi juga mengangkat perspektif reformasi layanan primer di Australia, yang dibawakan oleh Michael Wright, MBBS, MPH, PhD, FRACGP, GAICD,, yang selama ini mengandalkan fee-for-service melalui Medicare, namun dalam tiga decade terakhir memperkenalkan program seperti Practice Incentives Program (PIP) dan MyMedicare untuk memperkuat pendekatan multidisipliner, meningkatkan akses ke layanan primer, serta mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi kesehatan.

Sesi plenari bertema “Connection & Relation, AI”, yang dimoderatori oleh Sung Sunwoo (Korea) dan Tesshu Kusaba (Jepang), menyoroti pentingnya membangun hubungan berkelanjutan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan melalui pemanfaatan teknologi digital.

HEE HWANG dari Kakao Healthcare memaparkan bagaimana tantangan utama dalam sistem kesehatan saat ini adalah ketidakmampuan untuk memantau kondisi pasien diantara kunjungan konsultasi. Untuk mengatasi hal ini, Kakao Healthcare mengembangkan Personalized Accessible Supportive Tech-enabled Affordable (PASTA) — platform berbasis AI untuk manajemen diabetes yang lebih holistik.

PASTA memungkinkan pasien diabetes untuk melakukan pencatatan rutin kadar gula darah melalui aplikasi yang langsung terhubung dengan dokter. Data tersebut kemudian diolah menjadi laporan personalisasi, yang tidak hanya mencatat hasil pemeriksaan rutin, tetapi juga mengintegrasikan hasil kunjungan dokter dan memberikan rekomendasi berbasis AI. Aplikasi ini juga memotivasi perubahan perilaku dengan memberikan tantangan gaya hidup sehat, seperti mengingatkan pasien untuk berjalan 1.000 langkah setelah makan atau meningkatkan konsumsi sayuran.

Selain itu, PASTA menawarkan umpan balik langsung dari tenaga kesehatan yang didukung teknologi AI, serta menggunakan fitur pemindaian makanan melalui kamera untuk menilai kualitas nutrisi makanan pasien. Inovasi ini memperkuat kontinuitas perawatan, mempromosikan kepatuhan pasien terhadap terapi, dan mengoptimalkan manajemen penyakit kronis berbasis data. Evaluasi awal satu tahun menunjukkan peningkatan signifikan dalam kebiasaan sehat pasien, penghematan dalam penggunaan alat tes gula darah, serta peningkatan outcome klinis secara keseluruhan.

HEE HWANG juga menguraikan tantangan besar dalam pengelolaan data kesehatan: mulai dari data rumah sakit yang tidak terstruktur, sulitnya standarisasi, hingga isu privasi data untuk riset multisite. Untuk menjawab tantangan ini, Kakao Healthcare membangun sistem federated learning yang memungkinkan pengolahan data secara aman tanpa harus memindahkan data dari masing-masing institusi. Mereka juga merekonstruksi data sensitif untuk analisis prediktif penyakit, saat ini bekerja sama dengan 17 rumah sakit di Korea.

Melalui sesi ini, konferensi menegaskan pentingnya adopsi sistem pembayaran berbasis nilai dan pemanfaatan teknologi digital untuk memperkuat hubungan antara pasien dan penyedia layanan, serta meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan layanan kesehatan di masa depan.

Implikasi pada Kebijakan

Transformasi menuju value-based care menuntut reformasi sistem pembayaran untuk mendorong pelayanan yang berorientasi pada kualitas dan hasil pasien. Pengalaman Korea dan Australia menunjukkan pentingnya integrasi layanan primer dan rumah sakit, penggunaan blended payment model, serta insentif berbasis performa. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital seperti AI dan pengelolaan data terstandar menjadi kunci memperkuat koordinasi antar penyedia layanan. Reformasi ini perlu diikuti dengan dukungan regulasi, pembiayaan berkelanjutan, dan penguatan kapasitas data kesehatan.

Reporter:
dr. Likke Prawidya Putri, MPH, PhD (PKMK UGM)

Reportase Prince Mahidol Award Conference (PMAC) 2025

“Harnessing Technologies in an Age of AI to Build a Healthier World”

28 Januari-2 Februari 2025

PKMK-Bangkok. Prince Mahidol Award Conference merupakan agenda yang diselenggarakan khusus untuk memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh di bidang klinis/medis dan kesehatan masyarakat yang memberi kontribusi terbesar dalam kemajuan bidang medis dan kesehatan masyarakat. Sejak diselenggarakan 19 tahun lalu, penghargaan telah diberikan kepada 32 ilmuwan dari berbagai penjuru dunia, dan 6 diantaranya bahkan merupakan penerima Nobel. Tahun ini penghargaan diberikan kepada:   

  1. Prof. Tony Hunter (Salk Institute for Biological Studies, San Diego, Amerika Serikat)
    Prof Hunter adalah tokoh yang menemukan tyrosine kinase (enzim abnormal yang melakukan aktivasi seluler yang mendorong pertumbuhan sel kanker). Penemuan ini membuahkan manfaat luarbiasa bagi pengembangan targeted inhibitor dalam obat kanker pada 2001.
  2. Jonathan Shepherd (Cardiff University)
    Prof. Shepherd mengembangkan Cardiff Model yaitu model yang digunakan untuk menggabungkan data gawat darurat di rumah sakit dengan data polisi sehingga meningkatkan kemampuan para penegak hukum untuk menyusun strategi dalam mengatasi dan mengurangi kekerasan. Model ini dikembangkan karena Prof Sheperd menyadari bahwa banyak kasus injury di ruang gawat darurat terjadi karena kekerasan (public atau pun domestic) namun polisi jarang terlibat karena polisi hanya bertindak berdasarkan laporan sementara mayoritas korban tidak melakukan pelaporan.  Prof Shepherd menyadari bahwa injury (dalam hal ini yang disebabkan oleh kekerasan) merupakan isu kesehatan masyarakat.

Pembukaan PMAC secara resmi dilakukan oleh HRH Princess Mahacakri Sirindhorn. Tesis dasar dari tema PMAC tahun ini bahwa artificial intelligence (AI) merupakan teknologi yang tidak terelakkan, namun bagaimana AI dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesehatan.  Sektor kesehatan menjadi lebih aktif dalam perubahan yang dapat menandai era baru untuk penyediaan perawatan kesehatan. Teknologi baru seperti AI dan genomic sequencing menawarkan kesempatan untuk menata ulang penyediaan layanan kesehatan.

Telehealth, yang telah dipraktikkan dalam satu atau lain bentuk, mendapatkan momentum selama pandemi COVID-19, ketika jarak sosial dibatasi dan dapat dilakukan dengan pengurangan dramatis dalam mobilitas manusia. Ketersediaan platform teknologi memfasilitasi penggunaan telehealth dalam skala besar dan dengan biaya yang lebih rendah. Memperkuat sistem informasi dan rezim perlindungan data yang lebih baik juga telah menciptakan ruang yang lebih besar untuk penggunaan analitik Big Data yang dapat meningkatkan pengalaman pasien dan penyediaan perawatan. Kesehatan seluler memiliki potensi untuk merevolusi kesehatan masyarakat dan juga menawarkan peluang untuk meningkatkan akses ke layanan kesehatan dan mendorong manajemen kesehatan mandiri, sehingga memberdayakan masyarakat.

Media sosial menjadi alat yang ampuh dan tidak hanya dapat meningkatkan kesadaran akan isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan di kalangan masyarakat umum, tetapi juga menciptakan gerakan untuk kesehatan yang lebih baik dan meningkatkan akuntabilitas. Teknologi digital dapat digunakan di seluruh spektrum perawatan kesehatan, pencegahan, diagnostik, dan pengobatan. Janji teknologi untuk meningkatkan akses dan mengurangi ketidaksetaraan dalam kesehatan menggarisbawahi tujuan yang diharapkan oleh Cakupan Kesehatan Universal (UHC) dan ditandai oleh komitmen global terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun catatan pencapaian SDGs menunjukkan bahwa dunia telah keluar jalur (off-track) dalam mencapai tujuannya pada tahun 2030 dan terdapat kebutuhan untuk memikirkan kembali pendekatan yang dapat dimungkinkan oleh teknologi inovatif.

Namun, hambatan tetap ada dalam memanfaatkan potensi yang ditawarkan teknologi ini dan risiko yang harus diakui. “Gelombang yang Akan Datang”  dari teknologi bukan hanya dapat mengubah cara kita melakukan banyak hal, melainkan juga mengancam keberadaan kita. Terdapat kekhawatiran seputar siapa yang menggunakan teknologi ini dan untuk apa. Banyak orang miskin di dunia tidak memiliki akses ke teknologi seperti ponsel dan internet. Privasi dan keamanan data tetap menjadi perhatian dan penerapan sistem yang dapat dioperasikan masih menjadi tantangan. Selain itu, terdapat risiko teknologi ini yang memperburuk ketidaksetaraan yang ada daripada menguranginya. Bias dalam algoritma AI dapat melanggengkan bias dan membatasi akses ke perawatan.

Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menghadapi tantangan unik tentang cara mengembangkan dan memanfaatkan teknologi ini secara efektif. Terdapat kebutuhan untuk transfer teknologi dari negara berpenghasilan tinggi ke negara berpenghasilan menengah dan rendah, seperti yang cukup ditunjukkan dalam pengembangan dan distribusi vaksin COVID-19. Penerimaan dan penerapan teknologi baru diantara pengguna juga perlu dipertimbangkan dengan cermat.

Beberapa sesi PMAC dapat dikelompokkan seperti berikut

    1. Isu seputar pemanfaatan teknologi digital untuk pembiayaan kesehatan yang lebih efisien dan efektif
    2. Isu seputar pengembangan kapasitas tenaga kesehatan di era teknologi digital
    3. Pemanfaatan teknologi digital untuk pelayanan Kesehatan di isu-isu prioritas global
    4. Isu seputar tata kelola dan etika pemanfaatan teknologi digital

 

 

Reportase Seminar Launching 7 Topik Prioritas dalam Penggunaan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) berdasarkan Prinsip Transformasi Kesehatan

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Seminar: Launching 7 Topik Prioritas dalam Penggunaan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) berdasarkan Prinsip Transformasi Kesehatan pada Rabu (22/01/2025). Kegiatan dibuka oleh moderator M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH.

Sesi 1: Pengantar Konsep dan Aplikasi DaSK

Sesi 1 diawali dengan pemaparan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD selaku Guru Besar FK-KMK Universitas Gadjah Mada memperkenalkan inovasi Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) sebagai platform berbasis data yang dirancang untuk mendukung analisis kebijakan kesehatan di Indonesia. Dengan berfokus pada tujuh masalah kesehatan prioritas, termasuk stunting, diabetes melitus (DM), tuberkulosis, katarak, kematian ibu, stroke, dan jantung. DaSK menawarkan data terkini dan visualisasi yang intuitif untuk mendukung pengambilan keputusan strategis. Studi kasus DM menyoroti pentingnya transformasi kebijakan yang integratif, inovatif, dan berbasis bukti untuk mengurangi beban penyakit. Platform ini juga mendorong kolaborasi lintas sektor, melibatkan lembaga pendidikan, penelitian, dan pemerintah, serta memanfaatkan pendekatan transdisiplin untuk mengatasi tantangan kesehatan secara komprehensif. Harapannya, DaSK dapat menjadi landasan dalam memperkuat sistem kesehatan nasional melalui transformasi layanan, pembiayaan, teknologi, dan sumber daya manusia.

video   materi

Dwi Puspasari, M.Sc., selaku pelaksana tugas Kepala Pusat Kebijakan Upaya Kesehatan BKPK Kementerian Kesehatan RI, menyampaikan apresiasi kepada tim PKMK FK-KMK UGM atas inisiatif pengembangan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK). Pihaknya menekankan bahwa keberadaan DaSK memungkinkan akses data kesehatan yang lebih luas bagi berbagai pihak, termasuk universitas, dinas kesehatan, dan pemerintah daerah. Kolaborasi dengan Kementerian Kesehatan melalui Pusdatin telah mengintegrasikan data-data strategis, seperti hasil survei status gizi dan data survei lainnya, yang dapat diakses melalui platform seperti https://layanandata.kemkes.go.id  Dwi juga menyoroti pentingnya DaSK sebagai alat untuk analisis koheren yang menghubungkan data monitoring, evaluasi rutin, hingga data global sebagai referensi.

Selain mendukung pengolahan data di tingkat daerah, Dwi menegaskan potensi kolaborasi lebih lanjut antara Kementerian Kesehatan dan PKMK UGM untuk memanfaatkan DaSK dalam penyebaran informasi yang terpercaya dan meningkatkan kualitas kebijakan berbasis data. Dwi menutup dengan harapan bahwa DaSK dapat menjadi salah satu instrumen untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

video

Sesi 2: Kemitraan Analisis Data Kesehatan

Dalam pengantarnya, Prof. Laksono menjelaskan konsep Kemitraan Analisis Data Kesehatan sebagai upaya kolaboratif antara UGM dan berbagai perguruan tinggi di Indonesia, termasuk Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Poltekkes, STIKes, serta lainnya. Kemitraan ini bertujuan membangun jejaring analis data kesehatan untuk mendukung kebijakan berbasis bukti melalui pemanfaatan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) dan Digital Data Corner. UGM, sebagai pusat kemitraan, menyediakan layanan analisis data, visualisasi, dan pelatihan kepada anggota kemitraan. Prof. Laksono menekankan pentingnya kontribusi anggota dalam menghasilkan laporan tahunan terkait kebijakan kesehatan, seperti diabetes melitus (DM) atau kematian ibu di level provinsi atau kabupaten, dengan pendekatan berbasis transformasi kesehatan. Harapannya, perguruan tinggi dapat menjadi pusat analis data yang membantu pengambil kebijakan, termasuk pemerintah daerah dan pihak swasta, yang seringkali memiliki keterbatasan waktu atau kemampuan dalam mengolah data. Beliau juga menjelaskan bahwa kemitraan ini berbasis keanggotaan tahunan dengan biaya yang terjangkau, menawarkan manfaat besar, termasuk kontribusi dalam kebijakan kesehatan nasional dan potensi kolaborasi lintas sektor. Prof. Laksono menutup dengan harapan bahwa kemitraan ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat sistem kesehatan melalui sinergi antara berbagai institusi pendidikan, pemerintah, dan sektor lainnya.

Sensa Gudya Sauma Syahra, S.Kom., M.Cs selaku peneliti di PKMK FK-KMK UGM dan tim Digital Data Corner UGM, memperkenalkan inovasi Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) yang dikembangkan oleh PKMK FK-KMK UGM. DaSK dirancang sebagai platform berbasis data yang mencakup tujuh topik kesehatan prioritas, seperti diabetes melitus, stunting, tuberkulosis, dan lainnya, yang akan diluncurkan secara bertahap mulai Februari 2025. Dalam pemaparannya, Sensa menjelaskan bahwa Kemitraan Analisis Data Kesehatan merupakan program eksklusif yang melibatkan individu maupun instansi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan lainnya untuk mengoptimalkan analisis kebijakan kesehatan berbasis data melalui portal DaSK. Kemitraan ini menawarkan manfaat seperti akses data untuk penelitian, kolaborasi lintas institusi, dan kesempatan networking antara universitas serta pemangku kebijakan di berbagai daerah. Pelayanan yang disediakan meliputi konsultasi analisis kebijakan kesehatan, pengolahan data deskriptif, hingga visualisasi data dalam bentuk dashboard interaktif dengan tools seperti Apache Superset. Anggota kemitraan diwajibkan menyusun laporan tahunan yang mencakup analisis kebijakan dan data berdasarkan topik serta wilayah yang dipilih. Program ini diharapkan menjadi katalisator dalam meningkatkan kualitas kebijakan kesehatan nasional, mendorong kolaborasi antar sektor, serta memperkuat sistem kesehatan berbasis data di Indonesia.

video   materi

Prof. Dr. dr. Sabarinah, M.Sc., Ketua 1 AIPTKMI, mengapresiasi inisiatif pengembangan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) dan Digital Data Corner oleh PKMK FK-KMK UGM, yang dianggap mendukung analisis kebijakan kesehatan di tingkat nasional dan daerah. Pihaknya mengkhawatirkan pembatasan wilayah dalam program kemitraan yang dapat menghambat akses institusi.

Selain itu, Prof. Sabarinah meminta klarifikasi terkait Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) hasil analisis kebijakan dan mengusulkan perluasan kolaborasi lintas sektor dengan kementerian terkait untuk memperkuat sinergi kebijakan kesehatan. Ia menutup dengan apresiasi terhadap potensi DaSK sebagai platform strategis.

video

Prof. drg. Suryono, S.H, M.M, Ph.D., selaku ketua umum Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia (AFDOKGI) memberikan apresiasi atas peluncuran Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) yang dinilai sebagai inovasi futuristik untuk mendukung kebijakan berbasis data di berbagai sektor, termasuk dunia pendidikan kedokteran gigi. Ia menekankan pentingnya penyediaan data yang valid, representatif, dan terkini untuk memudahkan pengambilan kebijakan. Prof. Suryono juga mengusulkan diversifikasi topik dalam DaSK agar mencakup isu kesehatan gigi dan mulut, sehingga dapat memberikan manfaat lebih luas bagi institusi pendidikan kedokteran gigi dalam menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi, terutama pengabdian masyarakat. Selain itu, ia berharap platform ini mampu mendorong kolaborasi yang efektif antara dinas kesehatan, institusi pendidikan, dan Kementerian Kesehatan, guna mendukung pemerataan pelayanan kesehatan serta mencapai target pembangunan kesehatan nasional secara lebih terintegrasi.

video

Dr. dr. Suryani Yuliyanti, M.Kes., dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung, memberikan apresiasi terhadap inisiatif pengembangan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) dan Digital Data Corner (DCC) yang dinilai sangat membantu dalam menyajikan data terkini untuk mendukung kebijakan kesehatan berbasis bukti. Pihaknya menyoroti pentingnya data yang valid, representatif, dan mudah diperbarui untuk mengatasi tantangan kebijakan kesehatan, terutama di Jawa Tengah, yang memiliki tantangan besar terkait penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan jantung. Dr. Suryani mengapresiasi pelatihan analisis data yang disediakan DCC, yang dapat meningkatkan kompetensi dosen dalam menyediakan data bagi pengambil kebijakan.

Namun, pihaknya juga menggarisbawahi tantangan utama seperti alokasi waktu dosen dan keterbatasan pendanaan kelompok studi kebijakan kesehatan. Dengan model kemitraan yang ditawarkan, ia berharap program ini dapat mendorong partisipasi perguruan tinggi swasta dalam penelitian berbasis data, menciptakan kebijakan yang lebih efektif, serta meningkatkan kontribusi institusi pendidikan sebagai penggerak perubahan dalam pembangunan kesehatan nasional.

video   materi

 

Sesi 3: Pengantar 7 Topik Prioritas dalam Penggunaan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) dalam Annual Scientific Meeting (ASM) FK-KMK UGM

Shita Listya Dewi, S.IP., M.M., MPP, memaparkan peran dan potensi Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) sebagai alat penting dalam proses knowledge translation untuk kebijakan kesehatan berbasis bukti. Dalam kerangka Annual Scientific Meeting (ASM) FK-KMK UGM, yang tahun ini mengusung tema tuberkulosis, DaSK diperkenalkan sebagai platform yang dapat menganalisis, menyimpan, dan menyebarkan pengetahuan melalui pendekatan transdisiplin. Dengan tujuh topik prioritas, termasuk diabetes melitus, stunting, dan kematian ibu, DaSK menyajikan data yang dapat diakses hingga level desa, yang kemudian ditransformasi menjadi kebijakan atau tindakan melalui analisis berbasis kerangka transformasi kesehatan. Shita menekankan pentingnya kolaborasi antara akademisi, peneliti, dan pengambil kebijakan dalam memanfaatkan DaSK untuk menghasilkan analisis yang tepat sasaran, termasuk dalam pengembangan kapasitas dan advokasi. Pihaknya juga memaparkan jadwal peluncuran analisis kebijakan dari masing-masing topik prioritas pada Januari-Februari 2025, serta mendorong partisipasi aktif para mitra dalam kegiatan ini, yang berpotensi menjadi kontribusi berkelanjutan untuk pembangunan kesehatan nasional.

 video   materi

 

Reporter: Via Angraini (PKMK UGM)

 

 

Reportase Webinar Perluasan Pelayanan Cath-Lab untuk Menjalankan Amanah UUD 1945, ataukah Sebuah Proyek Mercusuar?

PKMK FK-KMK UGM menyelenggarakan webinar terkait Bukti dalam Kebijakan Kesehatan pada 16 Januari 2025 (waktu Yogyakarta) atau 15 Januari 2025 (waktu Boston), dengan tema “Perluasan Pelayanan Cath-Lab untuk Menjalankan Amanah UUD 1945, ataukah Sebuah Proyek Mercusuar?” Webinar ini dihadiri oleh para akademisi, praktisi kesehatan, serta pembuat kebijakan, dan menampilkan dua pembicara ahli yang berada di lokasi berbeda, yaitu Boston dan Yogyakarta.

Pengantar Dikusi oleh Prof. Laksono Trisnantoro

Diskusi dibuka dengan pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM, yang melihat adanya perbedaan pendapat mengenai perluasan Cath-Lab. Di satu sisi ada pihak yang menilainya sebagai proyek kuratif mercusuar dan di sisi lain ada yang mendukung pelaksanaannya. Perbedaan ini perlu dibahas dengan evidence yang ada, risiko perluasan, dan dibahas dalam perspektif keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

video   materi

Paparan Pertama dari Boston.

dr. Farizal Rizky Muharram, mahasiswa S2 Harvard Medical School memaparkan data distribusi Cath-Lab di Indonesia antara tahun 2017-2022. Dalam paparannya, ia menjelaskan terjadi tren peningkatan jumlah Cath-Lab, terutama di wilayah perkotaan besar. Namun yang terjadi adalah adanya ketimpangan distribusi Cath-Lab antara daerah maju dan daerah tertinggal dan dampak ketidakmerataan akses terhadap pemerataan pelayanan kesehatan jantung. Analisis ini menggunakan metode geospatial, dan ukuran-ukuran inequity menggunakan Rasio Gini.

video

Paparan Kedua (Yogyakarta)

M. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH, peneliti di PKMK FK-KMK UGM melanjutkan dengan analisis perkembangan klaim BPJS untuk tindakan medis menggunakan Cath-Lab pada periode 2015-2023. Poin-poin utama dari paparannya meliputi peningkatan jumlah klaim tindakan Cath-Lab setiap tahun terutama di Regional 1 (Jawa). Peningkatan di Regional 1 sangat tajam, sementara di Regional 5 (Papua dan Maluku) mendatar. Terjadi disparitas yang melebar. mencerminkan ketidak adilan pelayanan CathLab di antara anggota BPJS. Faozi juga menekankan perlunya pengaturan pembiayaan dan kebijakan strategis agar layanan Cath-Lab dapat diakses lebih luas tanpa membebani sistem pembiayaan kesehatan.

video   materi

Pembahasan oleh Prof. Laksono Trisnantoro

Laksono menegaskan, hingga saat ini Cath Lab merupakan salah satu teknologi yang belum merata karena berdasarkan data yang disampaikan dr Farizal, jika di satu lokasi sudah tersedia layanan Cath Lab, maka terjadi kecenderungan jumlah layanan Cath Lab akan bertambah. Sementara, jika di lokasi lain tidak tersedia Cath Lab cenderung akan selalu terjadi kekosongan. Pada masa JKN, perkembangan Cath Lab masih berdasar mekanisme pasar. Hal ini disayangkan, karena BPJS harapannya mengurangi tekanan pasar yang murni melalui intervensi pemerintah. Fakta lainnya, disparitas rendah dalam klaim saat BPJS, namun semakin meningkat antar regional. Berdasarkan data, pelayanan Cath Lab tidak merata dalam 10 tahun terakhir, bahkan disparitasnya semakin buruk. Sehingga, perluasan layanan Cath Lab harus merata agar prinsip pemerataan akses kesehatan tercapai. Hal ini sejalan dengan sila kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial untuk Seluruh Rakyat Indonesia.

video   materi

Diskusi dan Kesimpulan

Sesi diskusi berlangsung interaktif dengan penanggap ahli-ahli jantung (kardiologist), neurologist, sampai ke peneliti implementasi. Penanggap mengangkat berbagai isu, termasuk kendala infrastruktur di daerah terpencil, pelatihan tenaga medis untuk penggunaan Cath-Lab, dan peran pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung layanan kesehatan berbasis teknologi tinggi. Tidak ada yang menyatakan sebagai proyek mercusuar. Banyak penanggap menyatakan perlu persiapan matang, termasuk sampai ke pentahapan program untuk mencapai seluruh Indonesia.

Dalam kesimpulannya, Laksono menegaskan bahwa kebijakan perluasan Cath-Lab diperlukan untuk meningkatkan akses layanan di daerah-daerah sulit dengan pertimbangan geospatial yang baik. Risiko kegagalan sistem perlu dimonitor dengan penelitian implementasi. Pendanaan pelayanan kesehatan perlu dilakukan secara baik. Diharapkan ada pemahaman bahwa perluasan pelayanan Cathlab ke daerah sulit bukan sebagai proyek mercusuar, namun menjalankan perintah UUD 1945 dengan berbagai keterbatasan teknis dan anggaran.

video

Reportase: RM. Reksonegoro

 

 

 

Reportase Peluncuran Buku Konsep, Implementasi, dan Dampak JKN

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyelenggarakan peluncuran buku Konsep, Implementasi, dan Dampak JKN Perjalanan Satu Dekade pada Rabu (11/12/2024).

Kegiatan diawali dengan sambutan oleh Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Prof. dr. Abdul Kadir, Ph.D, Sp.THT-KL(K), M.ARS. Perjalanan BPJS Kesehatan selama 1 dekade penuh dengan tantangan dan lika-liku. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dampak penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) luar biasa. Seluruh masyarakat Indonesia mendapat hak yang sama terhadap pelayanan kesehatan. Namun masih terdapat tantangan dalam pelaksanaannya, seperti distribusi fasilitas kesehatan yang tidak merata. 70% lebih faskes terdistribusi di Jawa, sementara di Indonesia bagian timur masih terbatas. Tantangan lainnya adalah pemahaman tenaga kesehatan masih ada yang belum sejalan dengan konsep JKN dan kesadaran masyarakat akan pentingnya jaminan kesehatan. Saat ini, pemerintah sedang menyiapkan beberapa peraturan turunan dari UU Kesehatan untuk mendukung JKN.

Sambutan selanjutnya dari Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., AAK selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan. Buku ini hadir untuk memberikan gambaran perjalanan JKN selama satu dekade. Buku ini tidak hanya menyajikan sejarah JKN, melainkan juga filosofi jaminan sosial, capaian kepesertaan, penjaminan layanan kesehatan, dan sebagainya. Hadirnya program JKN memberikan berbagai dampak konstruktif bagi masyarakat meskipun di awal penyelenggaraan JKN terdapat berbagai tantangan. Hingga saat ini masalah masih ada, namun sudah on the right track. Masalah utama yang dihadapi adalah terkait keuangan dan pemahaman semua pihak. Pemahaman ini terkait dengan tanggung jawab BPJS. BPJS tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap supply side.

Selanjutnya, Muhaimin Iskandar selaku Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat RI memberikan keynote speech. Capaian Universal Health Coverage (UHC) 98,37% saat ini sudah cukup bagus. Namun ada beberapa masalah yang perlu dihadapi. Kepesertaan yang lebih aktif masih perlu ditingkatkan, pengelolaan dana JKN harus lebih transparan, akuntabel, dan berbasis teknologi. Muhaimin juga berharap FKRTL dan FKTP harus memenuhi standar sesuai kelasnya, perlu kredensialing dan rekredensialing dengan ketat, dan BPJS terus meningkatkan inovasi pelayanan yang bermutu.

Sesi Talkshow

Kegiatan dilanjutkan dengan talkshow yang menghadirkan 3 narasumber dan 2 penanggap. Narasumber pertama, yakni Mundiharno selaku Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan. Mundiharno menjelaskan bahwa penulisan buku ini bertujuan untuk mendokumentasikan perjalanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selama satu dekade. Buku ini juga dimaksudkan sebagai referensi utama bagi berbagai pihak, termasuk mahasiswa, akademisi, dan para pemangku kepentingan. Salah satu alasan pentingnya buku ini adalah untuk memberikan pemahaman mendalam tentang JKN, terutama bagi mereka yang baru mengenal program ini. Selain itu, buku ini menyajikan pembahasan yang komprehensif tentang konsep, implementasi, serta tantangan dan dampak dari JKN. Mundiharno menekankan bahwa referensi tentang JKN masih terbatas, sehingga buku ini hadir untuk mengisi kekosongan tersebut.

Buku ini terdiri dari 37 bab yang terbagi dalam empat bagian, dengan total 755 halaman dengan detail sebagai berikut:

  • Konsep dan Latar Belakang JKN: Bagian ini membahas fungsi makro Jaminan Kesehatan sebagai sistem sosial, termasuk konsep gotong royong nasional yang menjadi dasar kebijakan JKN. Selain itu, dijelaskan juga dinamika politik dan perjuangan dalam mewujudkan jaminan sosial di Indonesia, termasuk proses legislasi yang penuh tantangan.
  • Implementasi: Membahas perjalanan implementasi JKN, mulai dari penyusunan regulasi hingga pelaksanaan. Bagian ini juga menggambarkan kerja keras dan kolaborasi berbagai pihak untuk merealisasikan sistem jaminan kesehatan nasional.
  • Dampak: Mengulas hasil dan dampak yang dihasilkan dari implementasi JKN, baik bagi masyarakat maupun sistem kesehatan di Indonesia.
  • Tantangan ke Depan: Bagian ini membahas proyeksi tantangan yang akan dihadapi JKN dalam 10 tahun mendatang.

Narasumber kedua, yakni Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, pakar jaminan sosial, menjelaskan bahwa JKN menggabungkan konsep budaya gotong royong dengan kewajiban ilmiah. Gotong royong merupakan nilai budaya di mana masyarakat saling membantu. Namun, dalam konteks JKN, gotong royong yang bersifat sukarela saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan kesehatan. Oleh karena itu, partisipasi dalam JKN diwajibkan. Kewajiban ini didasarkan pada fakta bahwa manusia tidak dapat memprediksi kapan mereka akan sakit, sehingga perlindungan kesehatan harus disiapkan sebelumnya. Hasbullah juga menekankan bahwa kesehatan adalah modal dasar manusia untuk bisa hidup produktif, belajar, bekerja, dan beribadah. Dengan adanya JKN, masyarakat tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga membantu orang lain yang membutuhkan. Narasumber mengingatkan bahwa JKN bukanlah konsep dagang seperti asuransi komersial, tetapi lebih mirip dengan sedekah sekaligus investasi jangka panjang. Pola pikir masyarakat perlu diubah untuk memahami bahwa semua orang akan membutuhkan layanan kesehatan suatu saat nanti, sehingga keikutsertaan dalam JKN adalah bentuk tanggung jawab bersama.

Dalam menjawab pertanyaan tentang mengapa JKN mencakup Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia tetapi tidak mencakup WNI yang tinggal di luar negeri, Hasbullah menjelaskan bahwa WNA di Indonesia yang tinggal atau bekerja di Indonesia diwajibkan ikut JKN karena jika mereka sakit dan tidak mampu membayar biaya pengobatan, hal itu dapat membebani sistem kesehatan nasional. Dengan bergabung dalam JKN, mereka juga berkontribusi pada sistem gotong royong yang melindungi semua orang. Sedangkan, WNI di luar negeri itu tidak termasuk karena sistem JKN berbasis layanan, bukan berbasis uang tunai. Oleh karena itu, sulit untuk menjamin layanan kesehatan bagi WNI yang berada di luar negeri, mengingat perbedaan sistem kesehatan dan fasilitas di berbagai negara.

Narasumber ketiga adalah Timboel Siregar seorang Praktisi Jaminan Sosial. Menurut Timboel, JKN merupakan produk reformasi yang paling nyata. Ekosistem JKN dipengaruhi oleh berbagai sektor dan telah menunjukkan perkembangan ke arah yang positif, terutama dengan dukungan berbagai regulasi. JKN kini tidak hanya diperuntukkan bagi orang sakit, tetapi juga memberikan manfaat bagi orang yang sehat. Meski demikian, diperlukan perbaikan di semua stakeholder terkait untuk memperkuat ekosistem JKN. Evaluasi terhadap pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 juga perlu dilakukan agar JKN tetap berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Buku ini hadir sebagai sarana untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, sekaligus mendorong mereka untuk bersuara dalam memperjuangkan hak atas pelayanan kesehatan yang layak.

Penanggap pertama, yakni Chazali Situmorang yang pernah menjabat sebagai Ketua DJSN pertama menyampaikan bahwa dampak pelaksanaan JKN selama 10 tahun ini sudah terlihat. Dampak ini mencakup semua lini dan mempengaruhi semua aspek kehidupan. Chazali mengamati, kata kunci pelaksanaan JKN selama 1 dekade terletak pada political will. Sepanjang dukungan politik pemerintah tinggi. maka apa yang diperintahkan dalam UU itu dapat diimplementasikan. Proporsi iuran 30-40% dari pemerintah dan 70% dari masyarakat juga menjadi kesempatan yang besar bagi keberlanjutan program ini, tinggal bagaimana menyelesaikan persoalan di masyarakat. Termasuk masalah supply side seperti pemerataan tenaga kesehatan dan faskes. Meskipun beberapa memang bukan ranah BPJS, namun diharapkan UU Kesehatan bisa menjembatani permasalahan supply side.

Penanggap kedua, Nunung Nuryartono yang merupakan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional mengungkapkan bahwa buku ini menarik karena menjelaskan secara komprehensif JKN 1 dekade. Salah satu isu yang disorot adalah ketersediaan big data. Memang tidak mudah untuk mempunyai big data, namun hal tersebut perlu diusahakan. Big data dapat menjadi pedoman untuk pengembangan kebijakan dan program JKN ke depan. Menurut Nunung, sistem juga harus terus disempurnakan untuk memperkuat program JKN.

Sebagai penutup, masing-masing narasumber memberikan closing statement. Hasbullah mengajak semua pihak untuk berusaha bersama menyelesaikan permasalahan yang ada, terutama terkait pendanaan. Mundiharno menyampaikan bahwa JKN telah memberikan manfaat yang besar. Semua pihak harus berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dan harapannya seluruh ekosistem mendukung upaya JKN ini. Terakhir, Timboel mengajak semua pihak untuk terus mendukung program JKN melalui 3 isu utamanya, yakni kepesertaan, layanan, dan pembiayaan. Timboel juga berharap adanya political will untuk memastikan keberlangsungan dan kualitas layanan kesehatan di daerah.

Dokumentasi kegiatan dapat disimak melalui link berikut Video   buku   

Reporter:
Via Anggraini dan Mashita Inayah (PKMK UGM)

 

 

Reportase Kursus Kebijakan terkait Transformasi Sistem Kesehatan: Mendorong Keterlibatan Sektor Swasta untuk Integrasi Sistem Pelayanan Kesehatan Berbasis Layanan Primer

Salah satu pilar utama dalam transformasi sistem kesehatan Indonesia adalah penguatan layanan primer. Transformasi ini merupakan langkah krusial dalam meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk mencapai tujuan program-program kesehatan yang lebih komprehensif dan efektif, kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta perlu didukung. Kemitraan ini bertujuan untuk menciptakan integrasi layanan kesehatan yang lebih baik, di mana sektor swasta berperan aktif dalam mendukung dan melengkapi layanan yang disediakan oleh sektor publik. Melalui sinergi antara kedua sektor ini, diharapkan tercipta sistem kesehatan yang lebih efisien, terjangkau, dan mampu menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

Asia-Pacific Network for Health Systems Strengthening (ANHSS) berkolaborasi dengan Centre of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University, menyelenggarakan Kursus Kebijakan terkait Transformasi Sistem Kesehatan: Mendorong Keterlibatan Sektor Swasta untuk Integrasi Sistem Pelayanan Kesehatan Berbasis Layanan Primer. Kegiatan telah diselenggarakan pada 25-28 November di Bangkok, Thailand. Acara ini menghadirkan narasumber dari berbagai negara, yang berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dalam bidang kesehatan. Reportase dan Informasi kegiatan dapat diakses pada link berikut.

Hari pertama   hari kedua   hari ketiga   Hari Keempat

 

Reportase The 8th Global Symposium on Health Systems Research 2024

Health Systems Global (HSG) adalah sebuah organisasi internasional yang berfokus pada penelitian dan pengembangan sistem kesehatan di seluruh dunia. Organisasi ini berperan sebagai wadah untuk memfasilitasi kolaborasi antara peneliti, pembuat kebijakan, praktisi, dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam sistem kesehatan dan kebijakan kesehatan global. Tujuan utama HSG adalah untuk meningkatkan pemahaman dan praktik dalam penguatan sistem kesehatan agar dapat memberikan layanan kesehatan yang lebih baik, merata, dan berkelanjutan bagi semua orang. HSG menyelenggarakan simposium dua tahunan untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan pengalaman di bidang penelitian sistem kesehatan dan kebijakan.

Pada tahun 2024, tema simposium yang diusung oleh HSG adalah “Building just and sustainable health systems: centering people and protecting the planet”. Perubahan iklim mempengaruhi kesehatan dan sistem kesehatan. Sistem kesehatan yang kuat sangat penting untuk mencapai kesehatan bagi semua orang, yang merupakan tujuan dari HSG dan tujuan kesehatan internasional, sebagaimana tecermin dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Dengan landasan pemikiran ini, simposium tahun 2024 mengambil fokus pentingnya sistem kesehatan yang berfokus pada manusia, yang merespons perubahan global, dan berupaya melindungi lingkungan di masa depan.

Simak reportase kegiatan HSR Global Symposium on Health System Research 2024 pada link berikut

Pra-Konferens   Hari kedua   Hari ketiga   Hari keempat   Hari kellima

 

Reportase 20th National Health Research for Action (NHRFA) Evidence Summit

25okt

Las Piñas, Filipina, 22 – 25 Oktober 2024

PKMK-Filipina. Setiap tahun, Departemen Kesehatan Filipina mengadakan konferensi untuk menyampaikan temuan-temuan kunci dari berbagai penelitian prioritas kesehatan yang dilakukan oleh Center for Health Development/CHD (semacam Dinas Kesehatan). Di Filipina terdapat 17 CHD yang mengelola kesehatan di 81 Provinsi. Tahun ini kegiatannya berlangsung di Manila, pada 22 – 25 Oktober 2024, dan peneliti PKMK berkesempatan menjadi salah satu pembicara tamu.

Terdapat dua stream dari Evidence Summit ini, stream pertama adalah pada evidence-based medicine, sementara stream kedua adalah evidence dari penelitian sistem dan kebijakan kesehatan. Beberapa kegiatan dilakukan sekaligus, yaitu: launching dari online repository dari seluruh penelitian yang telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Center for Health Development/CHD, launching online repository dari National Clinical Guidelines, launching dari laporan National Health Account 2023 (yang disusun oleh Badan Statistik Filipina), launching dokumen resmi tentang topik-topik prioritas dalam agenda riset nasional (NUHRA/national unified health research agenda) untuk periode 2023-2028, forum Data-to-Policy, serta dibentuknya network institusi penelitian riset sistem dan kebijakan kesehatan nasional.

25okt

Ada beberapa hal menarik yang bisa kita cermati. Pertama, Departemen Kesehatan Filipina memiliki komitmen dan dukungan terhadap peran dari evidence dan penelitian sistem dan kebijakan kesehatan. NHRFA Evidence Summit tahun ini telah mencapai tahun ke-20. Adanya penelitian yang dilakukan CHD juga menunjukkan ada upaya sungguh-sungguh untuk mendorong CHD memanfaatkan data rutin dan melakukan riset sistem dan kebijakan kesehatan yang berfokus pada evidence lokal dan kebutuhan lokal, dan didukung sepenuhnya oleh pendanaan lokal, serta upaya untuk menjembatani evidence dengan proses kebijakan. Lebih jauh lagi, sebagai steward dari arah kebijakan nasional, Pemerintah melalui Philippine Council for Health Research and Development menyusun dokumen resmi (NUHRA) yang menjabarkan topik-topik prioritas kesehatan apa yang mereka harapkan akan dilakukan penelitian-penelitiannya dalam lima tahun.

25okt 1

Kedua, Upaya yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk menyampaikan hasil-hasil riset sistem dan kebijakan yang dilakukan di seluruh wilayah Filipina oleh Departemen Kesehatan dengan Center for Health Development/CHD. Dalam Evidence Summit ini, dilakukan forum Data-to-Policy. Forum ini merupakan ajang dimana CHD mengirimkan abstrak hasil penelitian yang mereka lakukan, kemudian dipilih beberapa CHD yg lolos seleksi untuk presentasi poster dan policy brief berdasarkan riset yang mereka lakukan tersebut.

Data-to-Policy telah dilakukan setiap tahun sejak 2018. Forum Data-to-Policy menjadi forum penting untuk berbagi temuan dan strategi mengatasi beberapa permasalahan kesehatan di regional yang berbeda. Selain itu, adanya online repository memudahkan mereka untuk menelusuri manuskrip dan laporan-laporan penelitian tersebut. Forum Data-to-Policy ini juga memberi kesempatan bagi masing-masing regional untuk menyampaikan policy brief yang disusun berdasarkan penelitian mereka kepada para pengambil kebijakan Pusat (Departemen Kesehatan).

Dalam forum Data-to-Policy ini, para pemateri dari regional dibahas langsung oleh asisten/staf khusus Menteri Kesehatan dan direktur dari berbagai direktorat di Departemen Kesehatan, termasuk Direktur Perencanaan Kesehatan. Poin yang lebih menarik lagi, di dalam policy brief-nya, mereka juga menyertakan (1) roadmap, (2) estimasi budget untuk masing-masing opsi kebijakan yang mereka suguhkan, termasuk (3) perbandingan dengan budget kebijakan saat ini serta (4) budget impact analysis atau cost-effectiveness analysis-nya. Para pengambil kebijakan dapat melakukan “window shopping” untuk beberapa opsi kebijakan yang potensial untuk diadopsi dan diterapkan secara nasional, bukan hanya sebagai kebijakan regional.

25okt 2

Ketiga, Departemen Kesehatan secara serius mendorong dan memberi penghargaan atas kerjasama dengan mitra-mitra mereka, termasuk sektor swasta. Sebagai contoh, salah satu mitra mereka adalah Vital Strategies. Vital Strategies telah bekerjasama dengan Departemen Kesehatan selama 8 tahun terakhir dalam menyediakan peningkatan kapasitas penelitian implementasi dan riset operasional, dan juga komunikasi riset termasuk penyusunan policy brief.

Hasilnya adalah saat ini telah tersedia 21 modul pelatihan penelitian implementasi dan riset operasional di platform pelatihan online milik Departemen Kesehatan, tersedianya 16 pelatih di Departemen Kesehatan, dan telah dilatihnya lebih dari 60 peneliti dari berbagai Departemen Kesehatan dan CHD. Vital Strategies dapat melakukan hal ini berkat dukungan dari dana filantropi. Selain itu, Departemen Kesehatan tahun ini memperkuat hubungan kemitraan dengan berbagai institusi riset dengan meresmikan Jejaring Nasional untuk Riset Sistem dan Kebijakan Kesehatan, yang terdiri dari semua CHD dengan institusi riset yang terafiliasi dengan Universitas, dan beberapa institusi riset swasta. Jejaring ini menjadi platform bagi Departemen Kesehatan untuk mewadahi program-program pengembangan kapasitas, fellowship, data-to-policy initiative, pendanaan riset, dan lain-lain.


25okt shitaReporter:
Shita Dewi – Peneliti PKMK FK-KMK UGM