Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Perencanaan Kesehatan di Indonesia

Laman ini diperuntukkan untuk menyebarkan pengetahuan
dan ketrampilan perencanaan kesehatan di pusat, propinsi dan kabupaten / kota

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Dinas Kesehatan Provinsi

Perencanaan Kesehatan di Indonesia

Laman ini diperuntukkan untuk menyebarkan pengetahuan
dan ketrampilan perencanaan kesehatan di pusat, propinsi dan kabupaten / kota

Dinas Kesehatan Provinsi

Dinas Kesehatan Provinsi NTT

Perencanaan Kesehatan di Indonesia

Laman ini diperuntukkan untuk menyebarkan pengetahuan
dan ketrampilan perencanaan kesehatan di pusat, propinsi dan kabupaten / kota

Dinas Kesehatan Provinsi NTT

Perencanaan Strategis Dinas Kesehatan

Perencanaan Kesehatan di Indonesia

Laman ini diperuntukkan untuk menyebarkan pengetahuan
dan ketrampilan perencanaan kesehatan di pusat, propinsi dan kabupaten / kota

Perencanaan Strategis Dinas Kesehatan

Rencana strategis Dinas Kesehatan kini memegang peran kunci dalam mengarahkan transformasi layanan kesehatan di daerah, terutama di tengah perubahan kebijakan nasional pasca UU Kesehatan 2023 dan dinamika pemerintahan hasil Pilkada. Renstra tidak hanya harus responsif terhadap kebutuhan lokal, tetapi juga selaras dengan arah pembangunan nasional melalui integrasi dengan Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK). Keselarasan ini penting untuk memastikan kesinambungan kebijakan, efektivitas program, dan pencapaian target kesehatan hingga 2045. Halaman ini disiapkan sebagai sumber pembelajaran dan referensi strategis bagi Dinas Kesehatan dalam menyusun Renstra yang adaptif, terukur, dan berdampak.

INSPIRE Health Forum 2025: Kegiatan & Relevansinya bagi Indonesia

Catatan Akhir dari Tim UGM

Inclusive, Sustainable, Prosperous, and Resilient Health Systems in Asia and the Pacific (INSPIRE) merupakan forum kesehatan pertama yang telah sukses diselenggarakan oleh Asian Development Bank (ADB) pada 7–11 Juli 2025. Forum ini mempertemukan aktor lintas sektor dari 25 lebih negara untuk mendorong transformasi sistem kesehatan melalui inovasi, pembiayaan strategis, dan kolaborasi regional. Lebih dari 50 sesi panel, paralel, dan simposium membahas isu-isu utama seperti Universal Health Coverage (UHC), perubahan iklim, kesiapsiagaan pandemi, dan digitalisasi kesehatan. Climate-resilient health systems di kawasan Asia Pasifik juga menjadi salah satu fokus utama. Diskusi menekankan pentingnya integrasi adaptasi iklim ke dalam kebijakan kesehatan, infrastruktur tahan bencana, serta sistem peringatan dini berbasis data. Selain itu, forum ini juga memperkuat urgensi kolaborasi lintas sektor dan pembiayaan inovatif di sektor kesehatan. Sejumlah inisiatif strategis juga diluncurkan untuk memperkuat sistem kesehatan di kawasan Asia dan Pasifik, sebagai berikut:

  1. Climate & Health Initiative, sebuah komitmen multipihak untuk mendorong integrasi perubahan iklim ke dalam perencanaan dan investasi sistem kesehatan melalui data, layanan adaptif, dan model tata kelola baru.
  2. Leadership Course, program pelatihan kepemimpinan untuk membekali generasi baru pengambil kebijakan kesehatan;
  3. UHC PEERS, platform pembelajaran dan pertukaran kebijakan antarnegara untuk mendukung Universal Health Coverage; serta
  4. ExCITD, inisiatif regional untuk mengakhiri penyakit tropis kompleks melalui riset dan investasi kolaboratif.
  5. Asian Coalition for Financing Research, Vaccine Development, and Innovations serta memulai dialog teknis untuk Connected Health Systems guna mendorong interoperabilitas digital lintas aktor.
  6. Inovasi-inovasi dari sektor publik dan swasta ditampilkan dalam Innovations Marketplace, menjadi ruang kolaboratif bagi solusi kesehatan kontekstual dan berkelanjutan di Asia-Pasifik.

Implikasi untuk Indonesia dan Daerah

Dari forum INSPIRE ini, perlu dikembangkan di Indonesia berbagai hal sebagai berikut:

Penguatan Kepemimpinan untuk Koordinasi Lintas Sektor dan Antardaerah

INSPIRE menegaskan bahwa keberhasilan reformasi kesehatan, baik dalam menghadapi pandemi maupun perubahan iklim, sangat bergantung pada kepemimpinan yang kolaboratif, adaptif, dan visioner di semua level pemerintahan. Kepemimpinan yang kuat dibutuhkan untuk mengoordinasikan lintas dinas kesehatan, lingkungan, perencanaan, Pendidikan, dan memastikan kebijakan berjalan secara terpadu, terutama di tingkat daerah. Pelatihan dan penguatan kapasitas pimpinan daerah, termasuk kepala dinas dan bupati/wali kota, menjadi kunci untuk mendorong sinergi antar program dan sektor, serta mengoptimalkan sumber daya yang tersedia. Inisiatif seperti Future Health Accelerator Course dapat menjadi model pengembangan kepemimpinan kebijakan yang dapat diadopsi dan dikembangkan di Indonesia.

Kesiapan Pendanaan dan Pembiayaan Inovatif untuk Kesehatan

Sesi-sesi tentang pembiayaan multilateral dan blended financing memberi arah bagi Indonesia untuk mengeksplorasi mekanisme pendanaan baru seperti Advance Market Commitments dan Dana Khusus Pandemi. Ini membuka peluang kerja sama antara pemerintah pusat, daerah, Multilateral Development Banks (MDBs), dan mitra swasta. Sehingga sangat penting untuk menambah dana yang saat ini digali melalui Social Health Insurance, melalui pengembangan Private Health Insurance.

Peningkatan Urgensi Climate-Resilient Health Systems

INSPIRE memperkuat kebutuhan Indonesia, terutama sebagai daerah rawan bencana dan wilayah pesisir, untuk segera mengembangkan sistem kesehatan yang tangguh terhadap krisis iklim. Ini mencakup perencanaan infrastruktur tahan bencana, sistem peringatan dini kesehatan, serta integrasi data iklim ke dalam manajemen risiko kesehatan.

Untuk persiapan pertemuan INSPIRE di tahun-tahun depan perlu ada pembicara lebih banyak dari Indonesia. (LT)

———

 

Baca reportase kegiatannya pada link berikut:

Reportase  Kegiatan

 

 

 

Demand & utilization of health services

   21 Juli 2025

Quality and Demand in Mixed Primary Health Care Systems: Evidence from the Soweto Primary Care Study

 Comparing the Quality and Efficiency of Primary Care Providers in Soweto. A Standardised Patient Audit

Blaauw menyatakan studi ini menggambarkan penyedia layanan milik pemerintah maupun swasta. Studi ini mengambil studi untuk beberapa penyedia layanan kesehatan. Studi menemukan bahwa kualitas teknis penyedia layanan rendah di semua penyedia layanan di tingkat publik dan swasta yang hanya 40% kasus ditangani sesuai pedoman berbasis bukti. Dokter umum swasta sedikit lebih unggul (45.2% penanganan benar) dibandingkan klinik publik (38.1%) dan MLW swasta (37.4%).

Manajemen kasus PPD relatif baik, tetapi pengujian dahak untuk TB sangat kurang. Patient-centredness lebih baik di penyedia swasta, sementara klinik publik kurang dalam aspek ini. Namun, penyedia swasta (khususnya GP) menunjukkan inefisiensi signifikan. Penyedia layanan swasta meresepkan lebih banyak obat (+1.441) dari penyedia layanan publik, terutama yang tidak perlu. Untuk biaya total obat lebih tinggi (R30.442) dari pada penyedia layanan publik, termasuk obat tidak tepat (R13.136). Pada penggunaan obat generik lebih rendah (-6.6%) dari penyedia layanan publik dan klinik MLW swasta juga meresepkan lebih banyak obat, tetapi biaya obat tidak tepat lebih rendah (R-4.967).

Terdapat know-do gap serius dalam kualitas teknis di semua sektor PHC. Penyedia swasta, meski lebih patient-centred, cenderung boros dan kurang efisien. Peningkatan kualitas teknis, efisiensi, dan patient-centredness di semua penyedia PHC—melalui model kontrak NHI yang mendorong nilai (value)—penting untuk kesetaraan hasil kesehatan di Afrika Selatan.

Examining Patient Choice and the Role of Quality Information in Healthcare Markets in South Africa

Stacee mengatakan bahwa reformasi kesehatan berbasis penyedia swasta—seperti skema Asuransi Kesehatan Nasional (JKN) di Afrika Selatan—mengasumsikan kompetisi pasar akan meningkatkan kualitas dan efisiensi. Namun demikian hal in tergantung pada respons permintaan terhadap kualitas di pasar layanan kesehatan kompleks. Hal ini terjadi karena kualitas pelayanan masih sulit untuk dinilai. Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi: (1) faktor penentu pilihan penyedia layanan kesehatan (kualitas dengan kedekatan/jenis penyedia), dan (2) dampak informasi kualitas terhadap pilihan pasien. 

Studi menggunakan pendekatan eksperimen lapangan yang melibatkan kurang lebih 850 rumah tangga di Soweto dengan akses gratis kepada jaringan kecil penyedia publik/swasta selama 3 bulan. Model pilihan yang dipilih dianalisis berdasarkan karakteristik penyedia layanan yaitu jarak, kualitas (persepsi), tipe (dokter/swasta), dan kategori (perawat/dokter). Pada fase kedua (2 bulan tambahan) studi, separuh klaster secara acak menerima informasi tentang 2 penyedia berkualitas terbaik. 

Hasil studi utama menunjukkan bahwa: Pertama, jarak mengalahkan kualitas dan kedekatan geografis menjadi faktor dominan dengan elastisitas jarak: 0.11 km. Penyedia swasta dianggap lebih berkualitas (persepsi) yaitu 93% rumah tangga (area kontrol) memilih klinik publik terdekat meski kualitasnya dinilai rendah. Kedua, Informasi yang kualitas tidak mengubah perilaku. Pada kelompok ini yang menerima informasi tentang penyedia terbaik tetap memilih penyedia terdekat (bukan yang berkualitas lebih tinggi). Respons permintaan terhadap kualitas tidak elastis. Ketiga, hasil ini menunjukkan bahwa overuse bernilai rendah yang berarti bahwa akses gratis dapat meningkatkan kunjungan kesehatan sebesar 53%, namun hal ini didominasi oleh low-value visits dengan rasio 3:1  berbanding dengan high-value visit, terutama di penyedia swasta.

Hal ini menunjukkan bahwa temuan mempertanyakan asumsi efisiensi pasar di sektor kesehatan dalam reformasi JKN Afrika Selatan. Ketidakefektifan informasi kualitas dan dominasi faktor jarak mengindikasikan bahwa perlunya intervensi pasokan (supply-side), seperti penempatan strategis penyedia dan insentif berbasis kualitas. Hal ini untuk mendorong efisiensi alokatif pada peneydia layanan baik ditingkat publik maupun swasta.

Free Access, Indirect Barriers and Healthcare Efficiency: Experimental Evidence from Soweto

Mylene Lagarde menyatakan bahwa studi ini mengevaluasi dampak akses ke penyedia layanan kesehatan primer (PHC) swasta di Soweto terhadap pola pemanfaatan layanan kesehatan, dengan fokus pada peran jarak geografis. Metode yang diapaki adalah randomized controlled trial (RCT) terhadap 1.400 rumah tangga berpenghasilan rendah (memiliki anak di bawah 6 tahun tanpa asuransi swasta), dan membandingkan tiga kelompok yaitu kelompok kontrol (akses publik standar), kelompok dengan akses ke penyedia swasta terdekat (rata-rata 1.79 km), dan kelompok dengan akses ke penyedia swasta lebih jauh (rata-rata 6.69 km). Dalam studi dijelaskan bahawa kartu kesehatan memberikan akses gratis ke penyedia swasta selama tiga bulan. Gejala penyakit dan kunjungan dicatat dalam pictorial diary, kemudian dianalisis menggunakan pedoman WHO (c-IMCI) untuk mengidentifikasi kunjungan tepat, tidak perlu, atau tidak bermanfaat. 

Hasil studi ini menunjukkan bahwa pertama, terjadi penginkatan utilisasi. Hal ini terjadi karena akses gratis ke penyedia swasta meningkatkan kunjungan kesehatan sebesar 53%, terutama di kelompok penyedia terdekat dengan persentase (+38 poin)  untuk kelompok jauh sebesar (+17 poin). Kedua, pada hasil lainnya menunjukkan bahwa ada efisiensi namun tidak optimal. Hal ini digambarkan dengan adanya kunjungan tepat meningkat 2 kali, namun ini diimbangi oleh peningkatan tajam pada kunjungan yang tidak perlu dengan rasio 3:1.  Pada kunjungan tidak bermanfaat (underuse) tetap tinggi (tidak ada perubahan signifikan).  Ketiga, ada pengaruh jarak, dimana jarak mengurangi kedua jenis kunjungan dengan elastisitas yaitu 0.13 untuk nilai yang rendah dan 0.09 untuk *nilai yang tinggi. Keempat, terkait dengan biaya, pada pengeluaran biaya farmasi menagalami penuruan, namun biaya transportasi tetap naik, khususnya pada kelompok yang jauh dari jaringa penyedia layanan. 

Reportase
M Faozi Kurniawan (PKMK UGM)


 

   22 Juli 2025

Understanding Mental Health Prevalence, Service Use and Economic Consequences

Beban gangguan kesehatan mental, terutama kecemasan dan depresi, meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC), namun prevalensi dan konsekuensinya masih kurang dipahami. Sesi ini berfokus pada Indonesia, menyoroti tantangan kesehatan masyarakat yang berkembang dari gangguan kesehatan mental dan memberikan bukti untuk menginformasikan kebijakan, penyusunan rencana pelayanan kesehatan, dan intervensi yang dibutuhkan.

Orang dengan penyakit mental di Indonesia ditengarai menghadapi hambatan yang signifikan untuk mengakses perawatan, termasuk stigma, isolasi sosial, keterbatasan ketersediaan penyedia layanan kesehatan, dan rendahnya kesadaran kesehatan mental. Bukti saat ini tentang prevalensi kesehatan mental dan pemanfaatan perawatan kesehatan terutama bergantung pada data survei dan surveilans, dengan penggunaan data berbasis register yang terbatas. Oleh karena itu, berbagai penelitian tambahan dengan sumber data yang berbeda diperlukan untuk merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran.

Laura Anselmi (University of Manchester) melakukan penelitian yang menganalisis data dari sampel Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS), yang mewakili 1% individu yang diasuransikan (data tahun 2015-2020) , untuk menilai prevalensi penyakit mental, karakteristik pasien, dan pemanfaatan perawatan kesehatan. Temuan ini dibandingkan dengan data dari RISKESDAS untuk mengidentifikasi kesenjangan dari kondisi kesehatan mental yang dilaporkan sendiri dan didiagnosis.

Dengan menggunakan data sampel BPJS (2015–2020), prevalensi penyakit jiwa dilacak berdasarkan usia, jenis kelamin, dan provinsi, dengan statistik deskriptif tentang pemanfaatan kesehatan. Regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan antara diagnosis penyakit mental dan karakteristik individu seperti jenis kelamin, usia, status perkawinan, segmentasi asuransi, dan provinsi. Temuan prevalensi dan penggunaan layanan dibandingkan dengan data RISKESDAS untuk mengevaluasi kesenjangan antara penyakit mental yang dilaporkan sendiri (self-reported) dengan penyakit mental yang didiagnosis.

Analisis regional menunjukkan bahwa kemungkinan untuk didiagnosis bervariasi antar Provinsi, mengindikasikan adanya perbedaan akses ke pelayanan yang menyediakan diagnosis. Prevalensi depresi yang dilaporkan sendiri pada RISKESDAS (6,1%) jauh lebih tinggi daripada tingkat yang didiagnosis pada data BPJS (0,04%). Namun, kesenjangannya berkurang untuk kasus depresi yang diobati (0,55% vs 0,05%).

Temuan ini menyoroti perlunya mengatasi kesenjangan regional dan demografis dalam diagnosis dan perawatan kesehatan mental di Indonesia. Kontras yang mencolok antara depresi yang dilaporkan sendiri dan didiagnosis menggarisbawahi pentingnya memperluas akses ke layanan kesehatan mental dan meningkatkan kapasitas diagnostik. Pembuat kebijakan harus memprioritaskan wilayah dan kelompok dengan kebutuhan tinggi yang belum terpenuhi, yaitu pekerja non-penerima upah (sektor informal), laki-laki (yang secara umum terbukti memiliki prevalensi lebih tinggi) khususnya di usia lebih dari 50 tahun. Selain itu, kebijakan berpendekatan system diperlukan di provinsi-provinsi tertentu yang memiliki kecenderungan kurangnya penyakit mental terdiagnosis untuk memastikan perawatan kesehatan mental yang setara.

Kesehatan mental memiliki dampak ekonomi negative terhadap seseorang karena memengaruhi kemampuannya untuk bekerja. Jon Gibson (Universitas Manchester) melakukan pendalaman dengan melakukan segregasi data lebih jauh untuk melihat dampak dari Kesehatan mental terhadap produktivitas. Penelitiannya menunjukkan bahwa kesehatan mental secara signifikan memengaruhi produktivitas. Depresi dan kecemasan meningkatkan kemungkinan ketidakhadiran dan presenteeisme, meskipun efeknya bervariasi menurut jenis pekerjaan. Namun, dampaknya (ketidakhadiran) sedikit lebih kecil di sektor formal, dibandingkan dengan kategori pekerjaan lainnya.

Dengan kata lain, pekerja di sektor formal lebih terlindungi dari Kesehatan mental yang buruk dalam hal dampak produktivitas, kemungkinan besar karena adanya kebijakan dan sistem pendukung di tempat kerja yang terstruktur. Temuan ini menekankan pentingnya intervensi kesehatan mental di tempat kerja, dan perlunya perhatian lebih untuk mengupayakan tersedianya system dukungan serupa untuk pekerja sektor informal dan pengangguran, untuk mengatasi kehilangan produktivitas yang terkait dengan ketidakhadiran dan presenteeisme. Hal ini penting dilakukan untuk melindungi mereka yang khususnya bekerja sebagai kepala keluarga untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga.

Asri Maharani (University of Manchester) mengeksplorasi aspek lain dari kesehatan mental. Studinya menyelidiki perilaku pencarian, pemanfaatan, dan pengeluaran out-of-pocket (OOP) untuk perawatan kesehatan mental (mental health disorder/MHD) di kelompok usia dewasa di Indonesia dengan melakukan survei terhadap 19.236 orang dewasa berusia 18+ tahun pada bulan Juli dan Oktober 2023.

Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 2.119 (11%) responden mencari perawatan kesehatan mental, dengan 615 orang menerima perawatan rawat jalan dan 39 orang menerima perawatan rawat inap. Rata-rata biaya OOP adalah Rp140.359  untuk pelayanan rawat jalan dan Rp1.372.000  untuk pelayanan rawat inap.

Hanya 36% pengguna rawat jalan dan 56% pengguna rawat inap yang menggunakan asuransi kesehatan, dengan asuransi kesehatan sosial (JKN) menjadi asuransi yang paling umum digunakan. Kemungkinan MHD diidentifikasi pada 849 (4,42%) responden dengan depresi, 2.339 (12,17%) dengan kecemasan, dan 602 (3,13%) dengan keduanya. Perilaku pencarian bantuan lebih sering dilakukan oleh mereka yang memiliki kemungkinan MHD (19%) dibandingkan dengan yang tidak memiliki (10%), dan biaya OOP untuk perawatan Kepemilikan asuransi (khususnya JKN), usia yang lebih tua,  jenis kelamin perempuan, dan berada di kuintil terkaya, juga dikaitkan dengan peluang yang lebih tinggi untuk mencari bantuan.

Hal ini mengindikasikan bahwa gangguan kesehatan mental meningkatkan pemanfaatan perawatan kesehatan dan biaya OOP, namun tetap ada ketidaksetaraan. Orang yang lebih kaya dan mereka yang memiliki asuransi lebih mungkin mengakses perawatan kesehatan mental. Kebijakan untuk memperluas cakupan asuransi Kesehatan akan meningkatkan akses ke perawatan yang terjangkau, dan mengatasi kesenjangan. Namun ini harus diimbangi dengan peningkatan investasi dalam intervensi pencegahan, promosi, dan pengobatan.

Manajemen dan pemulihan yang efektif untuk individu dengan gangguan kesehatan mental bergantung pada perawatan kesehatan mental yang tepat. Di Indonesia, layanan kesehatan mental disediakan melalui pengaturan perawatan psikiatri dan non-psikiatri. Di Indonesia telah tersedia Pedoman Klasifikasi Diagnosis Gangguan Mental Indonesia III (berdasarkan ICD-10) yang memberikan kriteria diagnostik standar, namun sejauh mana pengaturan non-psikiatri mematuhi standar ini dan memberikan perawatan masih belum jelas.

Sri Idaiani (University of Manchester) mencoba mengeksplorasi distribusi diagnosis kesehatan mental di tingkat layanan klinis (RS D, C, B, A dan RS khusus jiwa) dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pola dan jalur pengobatan (care pathway) di Indonesia.  Sri menganalisis 4.335 kunjungan rawat jalan dengan diagnosis kode ICD-10 F yang tercatat dalam database Badan Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS-K) dari tahun 2019–2020. Data tersebut dikaitkan dengan informasi dari Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2019 tentang ketersediaan psikiater, psikolog klinis, dan rumah sakit jiwa.

Sri menemukan sebagian besar pasien dengan gangguan kesehatan mental di Indonesia dirawat di RS khusus jiwa. Namun, diagnosis spesifik, seperti gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku onset masa kanak-kanak, dan gangguan mental organik, ternyata lebih sering dikelola dalam pengaturan non-psikiatri (RS D,C,B,A) daripada di RS khusus jiwa. Perawatan juga lebih banyak dilakukan di RS A. Temuan ini mengungkapkan kesenjangan dalam sistem perawatan kesehatan mental Indonesia, terutama untuk kasus-kasus kompleks yang membutuhkan perawatan khusus. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan untuk memperkuat sistem rujukan dan meningkatkan akses ke spesialis kesehatan mental, yang akan menjadi sangat penting untuk meminimalkan kesenjangan ini.

Sesi ini menunjukkan bahwa di Indonesia masih terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi kesehatan mental yang didiagnosis dan dengan kondisi yang dilaporkan sendiri (self-reported), dan hal ini menggarisbawahi keterbatasan akses untuk dapat menyediakan layanan diagnosis kesehatan mental. Sesi ini juga membahas penggunaan klinik non-psikiatri untuk perawatan kesehatan mental, yang mencerminkan hambatan terhadap layanan khusus (klinik psikiatri) dan kebutuhan untuk memperkuat sistem perawatan. Konsekuensi ekonomi dari gangguan kesehatan mental dieksplorasi melalui dampaknya terhadap produktivitas di tempat kerja, dengan ketidakhadiran dan perilaku presenteeisme.

Studi ini berkontribusi dalam memahami kesehatan mental di Indonesia, menawarkan wawasan yang dapat menginformasikan pembuat kebijakan dan penyedia layanan kesehatan dalam mengatasi tantangan kesehatan mental dan meningkatkan outcome-nya dengan cara mendisain kebijakan yang setara dan inklusif untuk mendukung kesehatan mental. Hal lain yang juga penting dieksplorasi lebih lanjut adalah mengenai kualitas layanan dan juga kontinuitas layanan, serta pengayaan informasi melalui studi-studi kualitatif.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)

Referensi-referensi

Perencanaan Kesehatan di Indonesia

Laman ini diperuntukkan untuk menyebarkan pengetahuan
dan ketrampilan perencanaan kesehatan di pusat, propinsi dan kabupaten / kota

Referensi-referensi

Buku

Tentang Laman ini

Perencanaan Kesehatan di Indonesia

Laman ini diperuntukkan untuk menyebarkan pengetahuan
dan ketrampilan perencanaan kesehatan di pusat, propinsi dan kabupaten / kota

Tentang Laman ini

Laman ini dikembangkan dengan tujuan:

  1. Menjadi pusat pembelajaran (learning center) mengenai perencanaan kesehatan di Indonesia, di level pusat, propinsi dan kabupaten kota.
  2. Menjadi forum komunikasi berbagai pihak untuk mengembangkan dan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan mengenai perencanaan kesehatan

 

Siapa Pengguna laman ini?

  • Pimpinan Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten se Indonesia
  • Pimpinan RS-RS di Indonesia
  • Para konsultan kebijakan dan manajemen kesehatan
  • Dosen
  • Peneliti kebijakan dan manajemen kesehatan
  • Mahasiswa

 

 

coba heading

heading 1 asdasda sdasdasd

ce atau bukti ini dapat diartikan sebagai ‘kebijakan berbasis bukti’ (Evidence Based Policy) yang sering dianggap sebagai hasil evolusi dari gerakan kedokteran berbasis bukti (Evidence Based Medicine / EBP). Pendekatan ini mengarahkan untuk setiap keputusan diambil untuk menyelesaikan suatu masalah kesehatan telah mempertimbangkan bukti atau evidence yang ada. Ada banyak bentuk Knowledge Translation Product yang menjadi prioritas materi pelatihan, dua diantaranya; Policy Brief dan Briefing Notes

Heading 2 asdasdasd

ce atau bukti ini dapat diartikan sebagai ‘kebijakan berbasis bukti’ (Evidence Based Policy) yang sering dianggap sebagai hasil evolusi dari gerakan kedokteran berbasis bukti (Evidence Based Medicine / EBP). Pendekatan ini mengarahkan untuk setiap keputusan diambil untuk menyelesaikan suatu masalah kesehatan telah mempertimbangkan bukti atau evidence yang ada. Ada banyak bentuk Knowledge Translation Product yang menjadi prioritas materi pelatihan, dua diantaranya; Policy Brief dan Briefing Notes

Heading 3 asdasdasdasd

ce atau bukti ini dapat diartikan sebagai ‘kebijakan berbasis bukti’ (Evidence Based Policy) yang sering dianggap sebagai hasil evolusi dari gerakan kedokteran berbasis bukti (Evidence Based Medicine / EBP). Pendekatan ini mengarahkan untuk setiap keputusan diambil untuk menyelesaikan suatu masalah kesehatan telah mempertimbangkan bukti atau evidence yang ada. Ada banyak bentuk Knowledge Translation Product yang menjadi prioritas materi pelatihan, dua diantaranya; Policy Brief dan Briefing Notes

Regional Knowledge Event

The Strategic Role of Private Health Insurance (PHI)
for Health System Goals and to Advance Universal Health Coverage

Alva Hotel by Royal, 1 Yuen Hong Street, Shatin, Hong Kong
Selasa – Kamis, 6-8 Mei 2025

Webinar Asuransi Kesehatan Swasta

Asuransi Kesehatan Swasta (PHI) berperan penting dalam pembiayaan kesehatan dengan melindungi masyarakat dari beban biaya medis besar. Dalam konteks tekanan pendanaan BPJS dan keterbatasan anggaran pemerintah, PHI menjadi alternatif yang bersifat suplementer, komplementer, atau substitutif. Peran ini diperkuat dalam UU Kesehatan 2023 dan PP 28/2024, namun pemahaman publik masih terbatas.

Untuk mendorong diskusi dan pemahaman lebih lanjut, PKMK FK-KMK UGM mengadakan forum webinar nasional yang telah dilaksanakan pada Kamis, 27 Maret 2025 dengan tema “Asuransi Kesehatan Swasta Sebagai Katup Pengaman BPJS: Apakah mungkin terjadi?”

link

Proposal Riset Kebijakan dalam rangka pengembangan Asuransi Kesehatan Swasta (Private Health Insurance) di Indonesia

Pertemuan pembahasan proposal ini bertujuan mengajak berbagai pihak yang tertarik untuk aktif sebagai peneliti dalam Riset Kebijakan Pengembangan Askes Swasta di Indonesia. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari persiapan menuju pertemuan internasional yang akan dilaksanakan di Hong Kong pada Mei 2025.

Draft proposal penelitian

Pertemuan 1. Penyajian awal proposal secara terbuka kepada semua pihak yang berminat untuk terlibat dalam riset ini

Hari/tanggal: Selasa, 15 April 2025
Waktu: Pukul 13.00 – 15.00 WIB

link zoom

Meeting ID: 890 0721 0423
Passcode: PHI

Pertemuan 2. Persiapan keberangkatan di Hongkong

Hari, tgl: Selasa, 29 April 2025
Peserta: Peneliti yang akan aktif terlibat dalam kegiatan pengembangan asuransi kesehatan swasta (undangan terbatas)

 

Tentang Acara

Sistem kesehatan di seluruh dunia menghadapi tekanan luar biasa akibat penuaan populasi dan meningkatnya biaya layanan kesehatan, yang mengancam stabilitas keuangan nasional dan daerah. Para pembuat kebijakan yang berupaya memperkuat sistem kesehatan mencari mekanisme pembiayaan alternatif untuk memastikan akses yang adil terhadap layanan kesehatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Dapatkah Asuransi Kesehatan Swasta (PHI) mengisi kesenjangan dan membantu sistem kesehatan dalam mencapai Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)?

Topik penting ini akan dibahas dalam Regional Knowledge Event bertajuk “Peran Strategis Asuransi Kesehatan Swasta (PHI) untuk Tujuan Sistem Kesehatan dan Memajukan Cakupan Kesehatan Semesta,” yang akan diadakan pada Rabu, 7 Mei 2025, di Hong Kong. Acara ini diselenggarakan oleh Asia-Pacific Network for Health Systems Strengthening (ANHSS) bekerja sama dengan Centre for Health Systems and Policy Research di Jockey Club School of Public Health and Primary Care, The Chinese University of Hong Kong.

Latar Belakang

Pembiayaan kesehatan publik, seperti sistem berbasis pajak atau Asuransi Kesehatan Sosial (Social Health Insurance – SHI), memainkan peran penting dalam sistem kesehatan global dengan memastikan cakupan luas dan perlindungan keuangan. Di sisi lain, Asuransi Kesehatan Swasta (PHI), yang dibeli secara individu untuk melengkapi, mendukung, atau menggantikan mekanisme pembiayaan publik, juga berkontribusi dalam mengurangi risiko keuangan dan meningkatkan akses layanan kesehatan.
Meskipun skema pembiayaan publik menyediakan cakupan dasar, meningkatnya permintaan akan solusi pembiayaan inovatif telah meningkatkan perhatian terhadap PHI sebagai alat potensial untuk mendukung sistem publik dan memperluas akses layanan kesehatan. Namun, peran PHI dalam mencapai tujuan sistem kesehatan dan UHC masih menjadi perdebatan penting.

Salah satu tujuan sistem kesehatan sebagaimana yang ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) PBB, Target 3.8, adalah Cakupan Kesehatan Semesta (UHC), yang didefinisikan sebagai “akses ke seluruh layanan kesehatan berkualitas, kapan dan di mana pun dibutuhkan, tanpa kesulitan finansial.” Meskipun UHC menjadi prioritas global, kemajuannya telah mengalami stagnasi bahkan sebelum pandemi COVID-19.

Di negara-negara OECD, belanja kesehatan diproyeksikan tumbuh sebesar 2,6% per tahun, lebih cepat dari pertumbuhan pendapatan pemerintah yang hanya 1,3%, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan keuangan.

Sementara itu, tren global seperti penuaan populasi dan meningkatnya penyakit kronis serta tidak menular menambah tekanan pada sistem kesehatan agar dapat memberikan layanan yang tepat waktu dan merata. Sistem pembiayaan tunggal seperti SHI memang memberikan perlindungan dasar, namun banyak negara menghadapi defisit fiskal yang semakin meningkat, dengan suntikan anggaran tambahan yang diperlukan untuk menjaga keberlanjutan keuangan.

Akibatnya, para pembuat kebijakan di seluruh dunia mengeksplorasi pendekatan pembiayaan kesehatan yang inovatif dan pelengkap. PHI semakin mendapat perhatian karena potensinya untuk mengurangi beban sektor publik, meningkatkan akses layanan kesehatan, dan mengurangi biaya langsung (out-of-pocket costs) bagi individu. Dengan mempertimbangkan tantangan dan peluang ini, diskusi mendalam mengenai peran PHI dalam mencapai tujuan sistem kesehatan dan UHC menjadi sangat penting dan relevan.

Gambaran Acara

Acara ini akan memberikan pemahaman menyeluruh tentang peran strategis PHI dalam konteks tujuan sistem kesehatan di kawasan Asia-Pasifik, dengan menghadirkan wawasan dan pengalaman dari akademisi senior, pembuat kebijakan, regulator, ekonom, dan pelaku industri asuransi.
Para peserta akan berpartisipasi dalam diskusi mengenai:

  • Prinsip Cakupan Kesehatan Semesta – Memahami UHC, perspektif para pemangku kepentingan, serta upaya kolektif dalam mencapainya.
  • Tujuan Sistem Kesehatan, Kebutuhan Populasi, dan Perspektif Pasien – Menelusuri bagaimana desain sistem kesehatan yang berbeda mengatasi tantangan yang sama.
  • Peran Strategis Asuransi Kesehatan Swasta – Menganalisis bagaimana PHI dapat melengkapi dan mendukung skema nasional yang sudah ada.
  • Lingkungan Bisnis dan Regulasi – Membahas persyaratan yang diperlukan agar PHI dapat berfungsi sebagai alat pembiayaan yang berkelanjutan.
  • Studi Kasus dari Asia-Pasifik – Mempelajari pengalaman spesifik dari berbagai negara dan praktik terbaik dalam penerapan PHI.

Acara ini akan menjadi platform unik bagi para pemangku kepentingan utama untuk bertukar pengetahuan, berbagi strategi, dan mengeksplorasi pendekatan berbasis bukti dalam memanfaatkan PHI untuk mendukung UHC.

Tujuan Acara

  • Menganalisis peran PHI dalam mencapai tujuan sistem kesehatan dan UHC di kawasan Asia-Pasifik.
  • Mengkaji kebutuhan dan tantangan sistem kesehatan dari perspektif berbagai pemangku kepentingan, termasuk pembuat kebijakan, regulator, ekonom, dan industri asuransi.
  • Mengeksplorasi berbagai model pembiayaan kesehatan, kelebihan, keterbatasan, dan potensi sinerginya dengan PHI.
  • Mendorong pertukaran pengetahuan tentang strategi untuk mengatasi tekanan finansial dalam layanan kesehatan sambil menjaga aksesibilitas dan kesetaraan.
  • Mendiskusikan kebijakan dan kerangka regulasi yang diperlukan untuk memastikan kontribusi PHI yang berkelanjutan dalam pembiayaan kesehatan.
  • Menyajikan studi kasus nyata yang menggambarkan pengalaman berbagai negara dan pelajaran dalam mengintegrasikan PHI ke dalam sistem kesehatan.

Pembicara dan Tamu Undangan

  • Dr. Eduardo P. BANZON (Director, Health Sector Group, Asian Development Bank, Philippines)
  • Professor Ying-Yao CHEN (Professor, Fudan University, China)
  • Mr. Clement CHEUNG (CEO, Insurance Authority, Hong Kong SAR, China)
  • Professor Philip Wai-Yan CHIU (Dean of Medicine, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong SAR, China)
  • Dr. Yat CHOW (Executive Medical Director, Bupa HK, Hong Kong SAR, China)
  • Shita DEWI (Health Policy and Public Health Division, CHPM, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
  • Dr. FUNG Hong, Executive Director and CEO of CUHK Medical Centre, HKSAR, China)
  • Professor Chantal HERBERHOLZ (Professor, Chulalongkorn University, Thailand)
  • Mr. Sam HUI (Deputy Secretary for Health 1, Health Bureau, Hong Kong SAR, China)
  • Professor Soonman KWON (TBC) (Professor, Seoul National University, South Korea)
  • Dr. Libby Ha-Yun LEE (Under Secretary for Health, Health Bureau, Hong Kong SAR, China)
  • Ms. Sarah LEONG (TBC) (Director, Finance Partnerships and Governance, Ministry of Health, Singapore)
  • Professor Chung-Mau LO (TBC) (Secretary for Health, Health Bureau, Hong Kong SAR, China)
  • Professor Siripen SUPAKANKUNTI (Professor, Chulalongkorn University, Thailand)
  • Professor Laksono TRISNANTORO (Professor, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
  • Professor Sharifa Ezat WAN PUTEH (Professor, Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia)
  • Professor Samuel Yeung-Shan WONG (Director, JC School of Public Health and Primary Care, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong SAR, China)
  • Professor Eng-Kiong YEOH (Director, Centre for Health Systems and Policy Research, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong SAR, China)

Sasaran Peserta

  • Pembuat kebijakan, regulator, ekonom kesehatan, perusahaan asuransi, penyedia layanan kesehatan, dan peneliti yang terlibat dalam penguatan sistem kesehatan dan pembiayaan.
  • Pejabat pemerintah yang menangani kebijakan kesehatan, pemangku kepentingan asuransi kesehatan swasta, serta organisasi internasional yang berfokus pada pencapaian UHC.
  • Profesional dari lembaga multilateral, administrator rumah sakit, dan kelompok advokasi pasien yang ingin memahami strategi pembiayaan kesehatan inovatif serta peran PHI dalam melengkapi sistem kesehatan publik.

Kursus Kebijakan


LINK PENDAFTARAN

 

 

Narahubung

Ratri / 0851-5517-2030