Soal Kesehatan, Indonesia Tertinggal dari Tetangga
Jakarta - Indikator kesehatan Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan. Namun, laju perbaikan itu dinilai masih lambat. Situasi kesehatan Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bahkan, Indonesia sudah disalip Vietnam yang beberapa tahun lalu masih di belakang.
Salah satunya, angka kematian ibu (AKI). Berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan Program Pembangunan PBB 2013, AKI Indonesia masih 220 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara negara tetangga di ASEAN, seperti Singapura, mencatatkan angka 3, Brunei 24, Malaysia 29, Thailand 48, Vietnam 59, dan Filipina 99. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Laos, dan Timor Leste.
Lambatnya penurunan AKI, menurut Endang L Achadi, Koordinator Positive Deviance Resource Centre Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Selasa (21/5), karena sekitar 40 persen kabupaten belum punya rumah sakit yang bisa melayani kegawatdaruratan obstetri ginekologi akibat tak ada dokter spesialis. "Distribusi dokter kurang, terutama di kawasan Indonesia timur," katanya.
Hal senada dikatakan Kartono Mohamad, aktivis kesehatan dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Selain melihat indikator makro, seperti AKI, angka kematian bayi (AKB), dan cakupan imunisasi, indikator mikro juga harus dilihat. Misalnya, jumlah pengidap HIV/AIDS yang terus meningkat, masih tingginya pengguna narkoba, angka bunuh diri, dan gangguan kejiwaan; masalah sanitasi dan lingkungan, serta pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,4 persen tiap tahun.
Kendur di pelaksanaan
Menurut Endang, perencanaan pembangunan kesehatan di tingkat pusat dilakukan dengan baik. Masalahnya, di tingkat pelaksanaan sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah. Pemimpin daerah sering kali punya visi misi sendiri.
Untuk itu, pemerintah pusat perlu melakukan advokasi lebih kuat dalam menyamakan persepsi dan komitmen pemerintah daerah. Perlu ada terobosan serta reward and punishment. MDG Award merupakan salah satu cara memotivasi daerah untuk berkomitmen pada pembangunan kesehatan. Distribusi bidan desa dan Program Jaminan Persalinan (Jampersal) adalah terobosan pemerintah pusat untuk menurunkan AKI. Pemberian beasiswa untuk dokter di daerah juga dapat meningkatkan distribusi dokter dan dokter spesialis.
"Yang terpenting perlu ada komitmen, tidak hanya eksekutif, tetapi juga legislatif, dalam pembangunan kesehatan," katanya.
Kepedulian menurun
Di Cirebon, aktivitas posyandu mengalami pasang surut. Soal fasilitas, posyandu di era Reformasi kondisinya lebih baik. Di sisi lain, koordinasi lintas sektoral dan kepedulian masyarakat untuk mendukung posyandu menurun.
Seperti dituturkan Sri Nurhayati (37), kader posyandu di RW 001, Blok Mukidin, Kelurahan Tukmudal, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Senin (20/5). Kondisi posyandu di tempatnya jauh lebih baik dibandingkan masa Orde Baru. Ibunya, Ana Rohanah (60), dulu kader posyandu sejak tahun 1986 ketika program itu digulirkan pemerintah. "Sekarang kami memiliki timbangan berdiri dan timbangan duduk. Dulu hanya timbangan beras digantungi sarung," ujarnya.
Ana mengenang, dulu kader harus susah payah mendatangi warga dan mengajak mereka menimbang bayi di posyandu. Untuk pemberian makanan tambahan (PMT) kader harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri.
Kini, kesadaran warga memeriksakan bayi ke posyandu cukup baik. Mereka juga patungan untuk pengadaan PMT. Di sisi lain, minat untuk menjadi kader turun. Sebab, menjadi kader adalah kegiatan sosial yang tidak mendatangkan uang.
Hal ini diakui Kepala Bidang Bina Perilaku dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Anang Yuwana. Minimnya anggaran dan kader membuat kegiatan posyandu kurang bergairah.
Di Kota Medan, posyandu dibiayai penuh APBD sehingga kader mendapatkan biaya transpor Rp 50.000 per bulan.
Kader posyandu Teluk Sepang, Bengkulu, Kartini, menuturkan, dibandingkan dengan masa Orde Baru kesadaran masyarakat terhadap kesehatan saat ini sudah meningkat. Kian banyak ibu hamil dan anak balita yang datang ke posyandu. Hal serupa terjadi di Nusa Tenggara Timur. Fasilitas kesehatan makin meningkat. Namun, kondisi geografis dan kurangnya akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil masih menyisakan tingginya AKI dan AKB di wilayah itu.
Menurut Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Slamet R Yuwono, faktor geografis, tenaga kesehatan yang belum merata, dan komitmen pemerintah daerah dalam memandang kesehatan menjadi tantangan pembangunan kesehatan. (ATK/K12/REK/DMU/WSI/ADH/KOR)
(sumber: health.kompas.com)