PLENO 3
Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional
Para narasumber dalam sesi Pleno 3Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),di bawah naungan BPJS,telah berjalan hampirsembilan bulan. Masih banyak ditemui kekurangan dalam pelaksanaan program ini.Butuh pemikiran dan terobosan untuk memperbaiki program agar lebih sesuai harapan.Isu ini ditangkap penyelenggara Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (Fornas V JKKI) 2014. Diskusi berbagai usulan untuk menciptakan program JKN yang lebih baik difasilitasi dalam sesi pleno 3 Fornas V JKKI 2014 ini.
Sesi yang digelar di Ballroom 1 dan 2 hotel Trans Luxury Bandung ini dimoderatori oleh Prof. Dr. HM. Alimin Maidin, dr., MPH.Sebelum mempersilakan pembicara menyampaikan paparan, Alimin membuka sesi dengan pernyataan "JKN harus suskses namun dengan cara yang beda. Karena kita akademisi maka kita kritisi kebijakan JKN ini."
Pembicara pertama sesi ini adalah dr. Tono Rustiano, MM dari BPJS Kesehatan. Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Resiko ini menyoroti empat masalah yang harus diperhatikan selama pelaksanaan JKN. Pertama terkait kepesertaan. "Di kepesertaan kita harus berupaya mendapatkan peserta sehat, muda dan bekelompok," tutur alumnus Unpad ini. Permasalahan lainnya terkait menciptakan mekanisme pengumpulan iuran yang cepat tepat waktu, masalah di fasilitas kesehatan, serta terkait tarif yang dibangun agar lebih adil bagi semua pihak.
Permasalahan terkait pelaksanaan JKN ini juga diamati oleh dr. Adang,perwakilan Dewan Jaminan Sosial Nasional(DJSN). Hasil Monev JKN oleh DJSN menghasilkan beberapa temuan penting. Pertama dari aspek regulasi. Diakui dr. Adang, penyusunan regulasi ini sudah tersendat-sendat dari awal. Regulasi belum secara jelas dijabarkan pada peraturan turunan atau pedoman pelaksanaannya. Selainitu terdapat produk hukum penyelenggaraan JKN yang tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang lebihtinggi.Dari aspek kepesertaan ditemukan banyaknya peserta mandiri yang baru mendaftar sebagai anggota BPJS bila sudah sakit. Aspek fasilitas dan layanan kesehatan dalam era JKN ini ditemukan masih belum baik. Aspek manfaat dan iuran juga belum optimal.
Menyikapi berbagai temuan ini, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Ph.D dari PKMK UGM menyampaikan tanggapannya. "Kami lihat, masalah terdapat pada desain kebijakannya. Ada pasal maupun Permenkes yang tidak benar. Bukan pada pelayanannya." Laksono juga menyampaikan solusi untuk berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaan JKN ini. Pertama adalah perlu ada perubahan kebijakan dan penambahan anggaran kesehatan. BPJS diharapkan harus dapat mengatasi problem adverse selection di non-PBI Mandiri. Perlu juga ada kebijakan investasi di daerah sulit termasuk penggunaan dana kompensasi. Terakhir, Laksono menekankan perlunya monitoring dan evaluasi lebih lanjut dengan menggunakan data empirik.
Harapan dan usulan untuk JKN yang lebih baik juga disampaikan oleh Dr. Henni Djuhaeni, dr. MARS. Henni berharap pelayanan kesehatan yang diberikan dapat lebih bermutu dan profesional. "Artinya sesuai standar dan memuaskan pelanggan. Pelanggan disini bukan hanya masyarakat atau pelanggan eksternal tetapi juga pelanggan internal yaitu provider."Agar JKN lebih baik, Henni mengingatkan akan pentingnya kejujuran menerima kekurangan diri. "Kalau BPJS ada kekurangan, harus mau menerima masukan dari akademisi misalnya FK atau dari forum seperti JKKI," jelasnya. Dalam penyusunan regulasi, Henni berharap disusun sebuah undang-undang sistem kesehatan, bukan hanya undang-undang kesehatan.
Reporter: drg. Puti Aulia Rahma, MPH
PLENO 4
Universal Coverage Lesson Learnt from Several Countries
Sesi ini seharusnya dapat menjadi sesi yang paling menarik dalam Forum Nasional V JKKI karena membahas topik yang tidak pernah lepas dibahas pada berbagai pertemuan kesehatan, yaitu Cakupan Semesta dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Apa benar tahun 2019 seluruh masyarakat Indonesia akan tercakup dalam skema jaminan kesehatan?
John LengenbrunnerJohn Lengenbrunner (juga senang dipanggil sebagai pak Joko) sebagai pembicara pertama membahas mengenai hubungan antara MDG dengan UHC. Lengenbrunner yang juga memiliki pengalaman bekerja di Word Bank tersebut mengatakan bahwa sebenarnya sulit untuk menghubungkan hal tersebut.
Di awal presentasinya, Lengenbrunner mengungkapkan berbagai pencapaian dan tantangan MDG di Indonesia (pernyataan-nya cukup keras, mengatakan kinerja Indonesia "seperti di negara miskin") kemudian menggabungkannya dengan konsep UHC dari WHO yang terkait dengan cakupan, manfaat dan proteksi finansial. Pencapaian MDG dan pencapaian konsep UHC tersebut kemudian digabung untuk menjelaskan hubungan diantara keduanya, namun pada pembicaraan selanjutnya pak Joko ini lebih memfokuskan diri ke tantangan yang dihadapi oleh Indonesia untuk mencapai konsep UHC dari WHO.
Cakupan semesta mendapatkan tantangan dari belum tercakupnya (atau sangat lambatnya) peserta dari sektor informal, namun Thailand, Cina, Philiphina dan Vietnam sudah memiliki pengalaman untuk mengatasi hal ini. Ini menarik dan dapat dipertimbangkan oleh Indonesia. Manfaat pelayanan kesehatan mendapatkan tantangan dengan adanya fragmentasi pembiayaan dan pelayanan untuk penyakit-penyakit tertentu seperti TB HIV/AIDS, sistem rujukan antara pelayanan primer ke tingkat lanjut. Dicontohkan Thailand baru dapat membangun sistem rujukan yang baik setelah berusaha sejak tahun 1985-an. Proteksi finansial juga mendapatkan tantangan dimana peningkatan cakupan asuransi belum menurunkan biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh masyarakat.
Prof. Ascobat GaniBerbeda dengan pembicara pertama, Ascobat Gani sebagai pembicara kedua menekankan tentang kebiasaan pengambil keputusan di Indonesia yang sering mengikuti trend/mode kebijakan internasional tanpa memperhatikan konsep dasar kebijakan baru dan keberlangsungan antar kebijakan serta alokasi sumber daya untuk meneruskan kebijakan lama. Presentasi Gani lebih menekankan kritiknya tetang JKN yang tidak memperhatian aspek kesehatan masyarakat.
Gani kembali menjelaskan konsep UHC yang menekannya pentingnya baik pelayanan kuratif maupun preventif (WHO dan World Bank pada bulan Mei 2014). Peningkatan pelayanan public health memerlukan Dinas Kesehatan yang kuat, Puskesmas yang efektif, dana yang cukup, tenaga kesehatan masyarakat yang cukup. Sedangkan di pelayanan kesehatan diperlukan proteksi keuangan, suplai tenaga kesehatan dan alat yang cukup serta efektivitas sistem gate keeper di Puskesmas. Setiap tantangan dan inisiatif ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam presentasi professor yang juga pernah menjabat sebagai Dekan FKM UI ini.
Sedangkan Peter Hyewood sebagai pembicara terakhir memilih fokus pembahasan dalam hal teknis, yaitu penggunaan teknologi informasi (IT) dalam pelayanan kesehatan khususnya untuk distribusi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan tingkat primer.
Staf pengajar dari Universitas Sydney ini mengawali presentasinya dengan menjelaskan situasi jumlah dan distribusi tenaga kesehatan ditingkat kabupaten berdasarkan hasil penelitian di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009. Hasil penelitian tersebut kemudian menjadi dasar dari Hyewood untuk mengusulkan pengembangan sistem informasi tenaga kesehatan yang dapat membantu perencanaan dan monitoring dan evaluasi tenaga kesehatan.
Sesi presentasi dilanjutkan dengan sesi diskusi yang sangat dinamis, peserta dari beragam kalangan menanyakan dan memberikan padangan berbagai hal terkait dengan topik pembicaraan, antara lain tentang peran Puskesmas (apakah perlu dibubarkan saja?), integrasi berbagai program kesehatan di daerah (apa perlu kembali ke sistem sentralisasi?), kemampuan perencanaan kegiatan dan anggaran dinas kesehatan (mengapa dana berlimpah tapi tidak dapat di serap?)
Kesimpulan utama dari sesi pleno ini, adalah bahwa Indonesia memiliki tantangan besar untuk mewujudkan konsep UHC dari WHO dan Indonesia perlu memberikan fokus perhatian yang seimbang untuk pelayanan preventif disamping untuk pelayanan kuratif (hd).
PLENO 5
Mengupas masalah implementasi JKN di berbagai daerah.
Para pembicara dalam sesi Pleno 5Sesi pleno 5 pada Kamis (25/9/2014) dibuka dengan pemaparan Prof. Dr. Nanan Sekarwana, dr., Sp. A (K)., MARS., mengenai permasalahan implementasi JKN di Jawa Barat. "Sistem yang baru berjalan perlu perbaikan dimana-mana karena distribusi beban yang tidak merata" ucap dr Nanan mengawali sesi ini. JKN yang baru saja berjalan selama hampirsembilan bulan memang masih sarat dengan masalah masalah yang perlu terus diatasi. Pelayanan JKN yang merata merupakan harapan besar dari berbagai pihak. Tidak hanya peserta, hal tersebut juga menjadi harapan besar dari provider kesehatan maupun penyelenggara (BPJS). Namun, apakah implementasi JKN sudah memenuhi harapan itu? Tentu saja belum. Ada beberapa masalah implementasi JKN di Jawa Barat yang diungkapkan oleh Guru besar FK UNPAD ini, antara lain: permasalahan sistem rujukan, kurang optimalnya implementasi clinical pathway, perbedaan keinginan antara BPJS dengan dokter, kurangnya pemahaman terhadap buku panduan layanan BPJS, banyaknya kepesertaan mendadak, dan keterlambatan klaim. Permasalahan tersebut jika tidak diatasi dapat berdampak besar pada kendali mutu dan kendali biaya.
Permasalahan implementasi JKN lainnya dipaparkan oleh dr. Koamesah Sangguana, MMR., MMPK yang mengulas secara jelas kendala dan permasalahan JKN di Provinsi NTT. "NTT adalah provinsi dengan pulau yang banyak. Kesulitan akses masih sering kali dialami apalagi untuk implementasi JKN," tuturnya saat menjelaskan gambaran daerah Provinsi NTT. Rumah sakit yang ada di NTT sebagian besar adalah Tipe D dan C sehingga klaim yang diajukan sebagian besar adalah klaim sederhana. Masalah lainnya yang dihadapi oleh rumah sakit saat ini adalah klaim yang belum terbayar sejak Mei hingga saat ini. Keterbatasan tenaga dokter menjadi sumber masalah dalam penetapan dana kapitasi Puskesmas. Masalah JKN di Puskesmas menjadi semakin rumit dengan belum adanya Puskemas yang berstatus BLUD sehingga dana kapitasi yang sudah ada masuk ke kas daerah. Kondisi tersebut menambah masalah baru, karena dana yang masuk ke kas daerah cenderung sulit keluar. Masalah lainnya adalah sebanyak 34,89% masyarakat di Provinsi NTT belum ter-cover. Hambatan lainnya menyangkut fasilitas non-kesehatan, seperti ketersediaan transportasi, serta sosialisasi.
Presentasi penutup di sesi Pleno 5 ini dipaparkan oleh dr. Eka Widrian Suradji. P.D yang mengulas implementasi Jaminan Kesehatan di Kabupaten Bintuni, Papua Barat. Sebelum JKN diimplementasikan, Masyarakat di Kabupaten Bintuni sudah terbiasa dengan pelayanan kesehatan bebas biaya. Hal ini terjadi karena adanya keberpihakan Pemda untuk memberikan pelayanan kesehatan terjangkau kepada masyarakat di Kabupaten Bintuni. Rata-rata sebesar 9% dana APBD dialokasikan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan bebas biaya. Dengan demikian, tenaga kesehatan di Kabupaten Teluk Bintuni relatif terpenuhi dan pembangunan fasilitas kesehatan yang berkembang pesat. Implementasi JKN ini menyebabkan adanya pengalihan dana kesehatan dari Pemda, antara lain untuk:
- Peningkatan Insentif tenaga kesehatan
- Menanggung beban biaya pengobatan pasien saat merujuk ke luar Kabupaten Bintuni,
- Menambah dana operasional Puskemas untuk kegiatan preventif-promotif.
Implementasi JKN juga memberi dampak negatif pada pelayanan kesehatan di Kabupaten Bintuni, antara lain:
- Pendataan kepesertaan yang masiih amburadul, masyarakat harus belajar membawa kartu,
- Terjadi konflik internal antara tenaga kesehatan dalam Puskesmas maupun antar Puskesmas
- Menurunkan kegiatan preventif-promotif.
" Implementasi JKN merupakan kemunduran bagi Kabupaten Bintuni" ujar dr. Eka. Di akhir presentasinya, pria yang menjabat sebagai Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten Bintuni ini menyatakan utilisasi pelayanan kesehatan tidak hanya permasalahan biaya, namun perlu keberpihakan Pemda setempat.
Reportase oleh: Nurul Jannatul Firdausi, S.KM