Kesehatan Jemaah Haji: Kemenkes Antisipasi Penularan Virus Mers dan Ebola dari Jemaah Haji
Kementerian Kesehatan akan terus memantau kesehatan jemaah haji yang telah kembali ke Tanah Air, sebagai antisipasi kemungkinan penularan virus Mers dan Ebola. Mereka diminta rutin memeriksa kesehatan di embarkasinya masing-masing selama 2 minggu setelah kedatangannya.
"Apalagi jemaah yang mengalami panas tinggi setelah sampai kampung halaman. Segera lapor ke embarkasi masing-masing untuk diperiksa dan diambil tindakan jika kemungkinan terjangkit virus Mers atau Ebola," kata Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron Mukti kepada wartawan, di ruang kerjanya, di Jakarta, Senin (6/10).
Kekhawatiran tersebut beralasan, mengingat kedua virus berbahaya tersebut ditularkan melalui udara. Jika ditangani dengan cepat, takutnya virus yang dibawa jemaah haji itu akan menjadi wabah di Tanah Air.
"Saat tiba di Indonesia, para jemaah haji ini harus melalui thermal scanner untuk deteksi awal. Selanjutnya masing-masing embarkasi diminta untuk proaktif untuk memantau kesehatan jemaah hajinya," ucap Wamenkes.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu menjelaskan, jemaah haji yang meninggal dunia selama musim haji hingga 6 Oktober 2014 tercatat sebanyak 117 orang, dengan rincian 109 orang meninggal di Arab Saudi dan 8 orang meninggal di embarkasi masing-masing.
Dibanding tahun lalu, menurut Ali Ghufron, jumlah jemaah yang meninggal memang lebih besar. Tahun 2013 sebanyak 86 orang. "Tetapi jika merujuk pada data 2011, jumlah jemaah haji yang meninggal lebih banyak 145 orang. Dan tahun 2012 sebanyak 141 orang," ujarnya.
Di tanyakan jumlah jemaah haji yang meninggal masih tinggi dari tahun ke tahun, Ali Ghufron mengatakan, pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menolak keberangkatan haji yang menderita sakit atau berisiko tinggi. Meski kondisi kesehatan jemaah haji sudah diketahui sejak di Tanah Air.
"Hasil pemeriksaan di Tanah Air memang ada 74.940 orang yang berangkat ke Tanah Suci tahun 2014 ini menderita sakit kronis dan 42.728 lansia yang berisiko tinggi. Tetapi kami kan tidak bisa menghalangi-halangi jemaah yang sakit maupun lansia untuk haji, karena keputusan itu ada di Kementerian Agama," ujarnya.
Sedangkan dari Arab Saudi dilaporkan ada sekitar 118.848 jemaah haji Indonesia yang berobat jalan maupun rawat inap di rumah sakit di tiga kota. Saat di Arafah, sebanyak 138 jemaah harus menjalani safari wukuf dan 147 jemaah yang diwakilkan karena dirawat di rumah sakit.
"Jumlah jemaah yang berobat lebih banyak karena dilaporkan suhu mencapai 45 derajat celcius. Banyak jemaah haji yang dehidrasi karena kipas maupun air conditioning tidak cukup menurunkan hawa panas di Tanah Suci," ujarnya.
Ditanyakan kemungkinan rekam medis jemaah menjadi salah satu syarat bisa menunaikan ibadah haji, Ali Ghufron mengatakan, kemungkinan itu bisa saja dilakukan. Namun, wacana ini harus dibahas dulu dengan para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan haji.
"Memang dilematis jika rekam medis jemaah menjadi syarat, karena untuk bisa pergi haji di Indonesia itu antriannya cukup lama bisa mencapai 7-9 tahun. Sehingga rasanya sulit untuk mencoret jemaah yang sakit lantaran mereka sudah antri sejak lama," tutur Ali Ghufron.
Kendati demikian, lanjut Ali Ghufron, wacana rekam medis jemaah jadi pertimbangan keberangkatan haji bisa jadi masukan pemerintah. Karena hal itu selaras dengan himbauan dari Kementerian Kesehatan Arab Saudi yang meminta agar pertimbangan pergi haji tidak hanya mampu secara finansial, tetapi juga mampu secara fisik.
"Surat himbauan ini diberikan agar jadi masukan pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kemampuan fisik, selain ekonomi. Selain juga meluruskan pandangan masyarakat Indonesia bahwa meninggal di Tanah Suci itu bukanlah jaminan sorga. Sehingga jumlah jemaah Indonesia yang meninggal bisa diminimalisasi," kata Ali Ghufron menandaskan. (TW)
{jcomments on}