SESI I
Sambutan dan Pembukaan
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Komisariat Fakultas Kedokteran UGM, pada hari Sabtu, 13 Desember 2014 menyelenggarakan Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional. Seminar yang bertempat di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM tersebut mengangkat tema "Bagaimana Mengurangi Kesenjangan Geografis yang Semakin Besar?". Membuka acara seminar, Dekan Fakultas Kedokteran UGM Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB (K)Onk memberikan apresiasi kepada tim PKMK FK UGM dengan salah satu program Sister Hospital-nya di beberapa daerah khususnya daerah tertinggal, terbukti mengangkat derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Sehingga harapannya program dan dukungan ini dapat diteruskan.
Sementara itu Penanggung Jawab kegiatan, dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD mengemukakan dalam sambutan pembukaannya, bahwa fakta menarik dan paling mencolok yang ada di Indonesia adalah masalah kesenjangan. Baik kesenjangan dari pembangunan infrastruktur, sosial, ekonomi, termasuk pembangunan sektor kesehatan. Dan yang paling memprihatinkan, fenomena yang terjadi adalah kecenderungan banyaknya warga negara Indonesia di perbatasan yang memilih pindah ke negara tetangga karena merasa kurang diperhatikan di Indonesia.Sulitnya berbagai akses menuju kesejahteraan, salah satunya pelayanan kesehatan menjadi alasan maraknya fenomena tersebut. Oleh karena itu seminar kali ini, diharapkan akanmenghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat diaplikasikan ke tataran kebijakan, untuk kemudian dipraktekkan melalui aksi-aksi nyata jangan hanya sampai pada tataran teoritis saja.
Demikian pula disampaikan oleh Ketua Kagama, Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA bahwa memang ketersediaan SDM dan fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan utama sektor kesehatan di daerah tertinggal. Oleh karena itu UGM yang menjadi pioneer pembangunan daerah tertinggal, tidak pernah berhenti untuk membantu perjuangan masyarakat di daerah tertinggal guna mendapatkan keadilan pembangunan, termasuk di bidang kesehatan.
SESI 1: Situasi terkini pelayanan kesehatan di daerah tertinggal
Kementerian Kesehatan
Mengawali sesi pertama kegiatan seminar, Staf ahli Kementrian Kesehatan RI Bidang Peningkatan Kelembagaan dan Desentralisasi, dr. Bambang Sardjono, MPH menjelaskan bahwa sesuai 9 agenda prioritas (nawa cita) Pemerintahan Jokowi-JK salah satunya ialah pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam NKRI. Namun fakta memprihatinkan yang terjadi di lapangan, masyarakat di perbatasan justru lebih senang mencari akses pelayanan kesehatan di negara tetangga karena dirasa lebih mudah. Bambang Sardjono juga membenarkan bahwa masalah kesenjangan masih merupakan persoalan utama yang terjadi antar daerah di Indonesia, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Sehingga pendekatan yang perlu dibuat adalah, khusus untuk masyarakat di daerah tertinggal khususnya di pedalaman tidak hanya sekedar dibuatkan kartu sehat saja namun perlu ada sistem khusus yang diberlakukan untuk mereka.
Selain itu, kendala lain dalam upaya pembangunan di daerah tertinggal yakni masalah lokalitas. Banyaknya SDM yang kurang kompeten duduk di jajaran pembuat kebijakan daerah, lebih disebabkan oleh faktor lokalitas yang berkaitan dengan kondisi politik di daerah tersebut sehingga maksimalisasi program kebijakan sulit tercapai. Belum lagi masalah ketidaktersediaannya infrastruktur pendukung, seperti sumber daya listrik dan air menyebabkan sulitnya mencari tenaga kesehatan yang mau bertugas di daerah tertinggal.Sehingga perlunya menanamkan nilai pengabdian kepada calon-calon tenaga kesehatan Indonesia, untuk mau berkontribusi mendukung pemerataan pembangunan.
Pembahasan materi (Kagama Kedokteran)
Menanggapi penjelasan dari Kementrian Kesehatan, dr. Budiono Santoso, PhD, SpF (K) dari Kagama mengemukakan agar pemerintah jangan hanya menggunakan parameter statistik dalam mengukur keberhasilan suatu program, karena banyak laporan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Budiono Santoso mencontohkan, seperti ketersediaan oksitosin di puskesmas di Indonesia, berdasarkan laporan statistiknya angkanya cukup merata antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, namun faktanya ada over stock di beberapa daerah, demikian pula ada under stock di beberapa daerah lain. Selain itu, dengan Rancangan Teknokratik yang masih sangat birokratis dan terpusat, menyulitkan bottom up planning dari daerah sebagai garis depan penerap kebijakan sehingga diperlukan desentralisasi perencanaan kebijakan, serta koordinasi vertikal dan horizontal antar lembaga. Budiono berpendapat, bila tidak kunjung diperbaiki, akan selalu ada kesenjangan antara outcome program dengan praktek di lapangan.
SESI DISKUSI
Sementara itu dalam diskusi yang berlangsung cukup menarik, muncul beragam masukan, gambaran, serta pendapat dari para peserta seminar. Seperti dikemukakan oleh Sunarno selaku tenaga kesehatan yang pernah bekerja di Papua, tentang pentingnya pendekatan kultural untuk bisa menyentuh masyarakat di daerah tertinggal dalam penerapan program pemerintah, termasuk bidang kesehatan. Karena faktor budaya memainkan peran penting dalam keberhasilan program, bila mau memahami karakter dan kebiasaan masing-masing masyarakat di daerah tertinggal khususnya pedalaman.
Demikian pula disampaikan oleh salah satu peserta dr. Aisyah, bahwa perlunya membuat puskesmas percontohan di daerah tertinggal dan program residensi tenaga kesehatan, dimana tentunya hasil program tidak dapat diukur dalam waktu yang singkat, namun setidaknya membutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun atau 3 periode kementrian untuk melihat efektifitas program.
SESI II
Pengalaman Empirik: Berasal dari Riset dan Kegiatan Konsultasi PKMK FK UGM
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Masih berkaitan dengan Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal, dr. Hanibal Hamidi, M.Kes dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengakui bahwa memang ada gap yang besar antara daerah maju dengan daerah tertinggal di Indonesia, termasuk gap dalam bidang pelayanan kesehatan.
Berdasarkan laporan yang masuk ke Kementrian Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Angka Kematian Ibu (AKI) di 28 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal sebagian besar masih jauh dari target MDG's 2015 sebanyak 102 kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2012. Demikian pula dengan Angka Kematian Bayi (AKB) maupun Angka Kematian Balita (AKABA), meski telah mencapai target MDG's 2015 namun faktanya masih menjadi persoalan. Sementara itu untuk ketersediaan air minum layak di daerah tertinggal masih jauh dari target MDG's yang sebesar 68, 87%, yakni hanya sebesar 41, 67% pada tahun 2011, demikian pula untuk status sanitasi layak. Menyusul masalah gizi buruk dan gizi kurang yang masih diatas 20% untuk daerah tertinggal. Adapun untuk ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan, terdapat 303 kecamatan yang belum punya puskesmas, 11.910 desa belum punya poskesdes, kekurangan sebanyak 2.448 dokter puskesmas, dan kekurangan sebanyak 1.897 bidan di daerah tertinggal.
PKMK FK UGM
Sementara itu menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM; pada tahun 2014 PKMK FK UGM bekerjasama dengan 10 Fakultas Kedokteran di Indonesia melakukan monitoring tahap awal pelaksanaan JKN. Monitoring ini merupakan tahap awal penelitian yang akan berlangsung hingga tahun 2019 mendatang, guna melihat efektifitas pelaksanaan JKN kaitannya dengan pencapaian Universal Health Coverage (UHC) 2019.
Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di level provinsi pada bulan April 2014, provinsi-provinsi tersebut dikelompokkan dalam 2 bagian yakni : 1) Kelompok yang sudah maju dan 2) Kelompok yang belum maju. Pembagian ini berdasarkan pada ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung., dan faktanya terdapat perbedaan yang ekstrim dalam ketersediaan tenaga kesehatan ini diantara kedua kelompok tersebut. Skenario optimis tercapainya UHC 2019 diberikan oleh peneliti di wilayah DKI, DIY, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian kota/kabupaten di Jawa Barat, sebagian kota di Jawa Tengah, dan sebagian Sulawesi Selatan. Sedangkan skenario pesimis ringan hingga berat diberikan oleh peneliti di NTT, Kalimantan Timur, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.
Hasil dari skenario menunjukkan adanya potensi ketidakberhasilan pelaksanaan amanat UU SSJN, bahkan ada kecenderungan peningkatan kesenjangan dalam akses JKN antara daerah tertinggal dengan daerah maju. Karena akses JKN di daerah tertinggal lebih banyak didominasi oleh kalangan masyarakat mampu, sehingga manfaat JKN minim diperoleh oleh masyarakat di daerah tertinggal.Sehingga solusinya adalah pemberian Dana Kompensasi sebagaimana tertuang dalam UU SSJN tahun 2004. Menurut Laksono, pemberian Dana Kompensasi ini wajib hukumnya bagi daerah-daerah yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai.Pengertian Dana Kompensasi diatur lebih lanjut dalam Permenkes No. 71 tahun 2013 yang isinya antara lain :
- Dalam hal di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi.
- Penentuan daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta ditetapkan oleh dinas kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan.
- Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk : penggantian uang tunai;pengiriman tenaga kesehatan; danpenyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.
- Kompensasi dalam bentuk penggantian uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa penggantian atas biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
- Besaran penggantian atas biaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetarakan dengan tarif Fasilitas Kesehatan di wilayah terdekat dengan memperhatikan tenaga kesehatan dan jenis pelayanan yang diberikan.
- Kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan dan penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat bekerja sama dengan dinas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan.
Pembahasan Materi (Kagama)
Menanggapi materi seputar tema seminar, dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK dari Kagama Kedokteran lebih menyoroti tentang dilematis pemerintah terhadap risiko fiskal dari alokasi dana sektor kesehatan dengan kebutuhan utama pembangunan sektor kesehatan. Dimana berbagi permasalahan pembangunan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari masalah politik dan ekonomi negara.
SESI III
Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM kesehatan
Sesi ini lebih banyak membahas "Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM Kesehatan". Sesi ini dimoderatori oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro dengan sharing experience dari dr. R. Arian D (RS Panti Rapih) dan Diah Saminarsih (staf Ahli Kemkes dan Co-Founder Pencerah Nusantara). Acara diawali dengan komunikasi langsung melalui webinar dengan RS Ende, dr. Surip Tintin mengungkapkan RS Ende masih kekurangan nakes hingga saat ini.
Kemudian, komunikasi berlanjut dengan RS Soe melalui sambungan telepon, dr. Karolina Ria Tahun menyampaikan, untuk dokter penyakit dalam tidak ada di Soe, hal ini menyebabkan banyak pasien yang dirujuk ke Kupang. Hal ini menjadi kekurangan RS Soe, karena pasiennya masih banyak yang dirujuk ke RS yang lebih tinggi. Beruntung, melalui program Sister Hospital (SH), saat ini RS Soe memiliki dokter kandungan, anak, anestesi, bedah, dan lain-lain. Sementara, untuk merujuk kasus bedah, Soe membutuhkan waktu sekitar 3 jam.
Pengalaman Pencerah Nusantara
Pemaparan pertama disampaikan Diah Saminarsih, sebagai co-founder Pencerah Nusantara (PN), Diah menyampaikan bahwa awalnya PN merupakan gerakan sosial. Gerakan ini melibatkan pemerintah, masyarakat serta mass media. Jadi, sifatnya kolaboratif yaitu multi aktor dan lintas sektor. Beberapa hal yang diberikan PN pada masyarakat ialah penguatan layanan primer, infrastruktur dasar, info gaya hidup sehat dan sebagainya. PN bergerak di Sikakap (Mentawai), Pakis Jaya (Karawang), Lindu Obotua (Sulteng), Kelai (Kalbar), dan Tosari (Probolinggo).
Kegiatan PN merupakan bentuk penerjemahan framework ke real action. Informasi lebih jauh tentang PN dapat disimak di Youtube chanel Pencerah Nusantara. PN ini disponsori oleh funding atau hibah, gerakan semacam ini membutuhkan investasi skill dan financing, pesan utamanya ialah primary care ditangani sebagai sesuatu yang serius.
Pengalaman RS Panti Rapih dalam SH NTT
dr. Arian langsung memaparkan pengalaman RS Panti Rapih selama mendampingi RS Ende (Pertengahan 2010-Maret 2015). RS Panti Rapih terlibat karena ada kontrak dengan SH NTT, kontrak ini yang mendorong RS Panti Rapih untuk pendampingan PONEK 24 jam RS Ende dan capacity building. Berkaca dari pengalaman tersebut, ada banyak catatan positif yang direkap Arian.
Pertama, dalam kolaborasi antar institusi dalam SH ini, RS swasta lain bisa bergabung jika bersedia. Kedua, pendampingan dalam SH NTT ini sejalan dengan misi RS Panti Rapih yaitu membantu yang berkekurangan dan masih tertinggal. Ketiga, RS Panti Rapih mampu bermitra dengan mitra baru, misalnya bersama dengan RS Panembahan Senopati RS Panti Rapih membantu menyusun Renstra RS Ende. Keempat, RS makin terkenal, hal ini tak dapat disangsikan lagi. Kelima, makin lama mengerjakan PONEK RS Ende, RS Panti Rapih makin baik. Mengapa hal ini terjadi? Mengejutkan, ketika RS Panti Rapih mengadakan Monev RS Ende per tiga bulan, RS Panti Rapih menemukan banyak kekurangan di internal RS-nya. Tantangan ke depan, RS Panti Rapih dan RS Ende akan mendorong Pemda NTT untuk mengalokasikan dana APBD dan BLUD untuk melanjutkan SH.
Skema Pembiayaan
Sejauh ini, PN menjalankan skema pembiayaan yaitu budget payment system atau dibayarkan sebelum pelayanan kesehatan dilakukan. Dana ini berasal dari swasta atau sponsor dan hibah. Dari sisi pemerintah, terkait dana kompensasi, telah diatur melalui peraturan direktur BPJS. Jika tidak ada faskes- maka pembayaran via kompensasi atau bisa juga kirim tenaga. Hal ini disampaikan Ari, perwakilan dari BPJS.
Diah menegaskan, perlu verifikasi detail gerakan nasional ini, sehingga pembiayaannya sustainable. Harapannya, gerakan ini bisa diadopsi dengan catatan mana yang kurang dapat dibantu dan diperbaiki, jadi bisa direplikasi.
Prof. Laksono menggarisbawahi, Pencerah Nusantara/Panti Rapih/FK apakah bisa menjadi kontraktor untuk pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit ini? Kemudian, Ari menegaskan, ketersediaan faskes merupakan tugas Pemda, termasuk nakes sesuai UU No 32 Tahun 2002 tentang pelayanan.
dr. Hanibal Hamidi, MKes (perwakilan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) mengajukan pendapat, BPJS memiliki beban tinggi atas kinerja, yaitu menjaga kualitas. Sejauh ini BPJS mengemban tugas sesuai amanat UU, yaitu promotif dan preventif yang sifatnya UKP.
Poin penting yang masih menjadi pekerjaan rumah ialah bagaimana mengajak dokter-dokter agar mau mengabdi di daerah. Kesimpulannya, seluruh perubahan diawali dari gerakan sosial dengan motivasi tinggi untuk mengabdi di seluruh pelosok Indonesia (wid).
SESI IV
Gagasan ke depan: Pengembangan pengiriman tenaga medik ke daerah sulit.
Sesi 4 membahas mengenai Gagasan Ke Depan: Pengembangan pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit. dr. Rukmono Siswishanto, M. Kes, SpOG (K) mewakili RS Sardjito, dan dr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS yang aktif terlibat di PPSDM Kemenkes RS.
Pengembangan residen ke daerah sulit ini menjadi poin penting karena tenaga kesehatan masih sangat terbatas di sejumlah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepualuan (DTPK). Perlu assessment, apa saja yang diibutuhkan di lokasi, misalnya sharing penganggaran. Melalui SH NTT ini, kami mendorong agar RS mampu menjadi lokomotif perbaikan klinis dan modern, ungkap dr. Rukmono. Hal yang menjadi catatan, pertama, program perbaikan mutu dan pemenuhan nakes ini masih ada yang kurang tepat. Misalnya, tugas belajar atau tubel kurang sustainable, karena tidak menjamin ketersediaan tenaga pasca program. Penilaian Mutu sebaiknya dilakukan oleh yang diberi pelayanan. Poin yang ingin disampaikan SH, ialah pemberdayaan melalui people and education. Para residen yang dikirim, umumnya diterjunkan dalam tim. Mengapa tim? Karena mereka lebih terorganisir dan lebih terarah jika bekerja secara tim.
dr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS menyampaikan di Indonesia ada dua pembagian daerah, yaitu daerah masalah kesehatan dan non kesehatan serta daerah diminati dan kurang diminati. Problem yang dihadapi Indonesia ialah masih banyak daerah konflik, tidak diminati, terpencil, yang belum terjangkau akses pelayanan kesehatan. Maka, perlu kolaborasi antara health system dan health outcome untuk menyelesaikan hal ini.
DTPK dan Daerah Kurang Diminati (DKM) atau sering disebut dengan "daerah airmata" menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat untuk pemerataan layanan kesehatan. Pemda harus dominan untuk daerah fiskal tinggi seperti Kaltim dan Kepri, masalah pokok mereka ialah tidak ada SDM-nya karena visi kesehatannya tidak ada. Pemerintah Pusat harus mendorong daerah, apa saja yang harus dibangun? BPJS dan Kementrian Daerah Tertinggal harus bertemu dan duduk bersama menemukan solusinya, karena regulasi yang ada belum menyatukan lintas sektor.
Isu Penting: Sustainability
Bagaimana operasionalnya? Sistem perekrutan melalui PNS hanya bisa diterapkan di daerah normal. CPNS di DTPK, hasilnya nol karena banyak nakes yang tidak mau ditempatkan di DTPK. Permasalahan kekurangan nakes di DTPK dapat diatasi dengan beragam pendekatan, antara lain: flying doctors (pengalaman Australia), mobile grounting (praktek di Afrika Tengah), dan pelayanan antar pulau atau RS terapung (namun logistik masih menjadi masalah).
Maka, solusi yang ditawarkan ialah kontrak/privatisasi, bisa berdasarkan team, umum atau institusi (seperti program SH NTT). Kemudian, catatannya, apakah PTT yang ditempatkan mempunyai hak dan kewajiban seperti pegawai normal? Sayangnya, insurance di PPSDM tidak dibahas karena hal ini tidak diatur Permenkes.
Linda ( perwakilan dari Kemenkes) memaparkan, mobile doctors ini sudah dilaksanakan di tahun 2008 melalui program P2KTP (mobile klinik via pesawat dan speedboat). Tim yang terlibat dalam mobile ini antara lain, dokter, bidan, dan ahli gizi. Support dana banyak dari Bansos. Lalu, Bansos harus dikelola Kementrian Sosial, jadi terputus. Kemudian, program ini dilanjutkan di daerah Kepri, Aceh, Papua, Maluku dan NTT melalui dana dekonsentrasi. PTT membagi ilmu dengan dokter umum di daerah dan Pemda mendukung finansial untuk operasional mereka. Sustainability service, yang berarti pusat harus mendorong finansialnya. Maka, pengorganisasian yang harus diatur kembali.
Diskusi:
Pertanyaan pertama, Rudi (pegawai Puskesmas/Jatim) menanyakan di era JKN, BPJS telah melakukan tindakan promotif dan preventif namun masih sebatas obat. Hal lain tidak ter-cover BPJS. Lebih banyak ke UKP atau tergantung pimpinannya. Jadi, Puskesmas bisa maju bagaimana bisa terus berkembang?
Pertanyaan kedua, dari audiens yang berasal dari Kutai Timur, sustainability program mobile ini tidak ada, karena terkait dana. Mobile clinic sudah lebih dulu dilakukan Kutai Timur.
dr. Rukmono: jika ada kontrak, maka pembagian tugasnya jelas. Tenaga Puskesmas mirip di RS, namun dalam skala kecil. Namun sayangnya, saat ini, Puskesmas terpisah dengan RS.
dr. Andre, Jakarta sudah melakukan pemisahan, karena terjadi kelebihan nakes. Satu catatan terpenting yaitu inovasi daerah sering dilakukan, namun dokumen dan sharing experience sering terlewat untuk dilakukan. Jika keduanya teraasip dengan baik, maka inovasi tersebut akan mudah diikuti daerah lain.
Permasalahan daerah tertinggal atau yang berpotensi maju, jika tidak hati-hati maka akan semakin tertinggal, maka harus siap. Apa poin penting dalam hal ini? DTPK penting sekali, hal mendasar yang diperbaiki ialah masalah manajemen, termasuk kontrak yang jelas dan tidak dikorupsi. Lalu, PTT kontrak perorangan tidak bermanfaat untuk daerah terpencil. PTT yang diterjukan dalam tim akan bermanfaat di lapangan. Jadi, dana Kemkes bisa pindah ke program tim ini tidak? Atau melalui kontrak?, ungkap Prof. Laksono. Biaya investasi kesehatan (BIK) dapat berupa SDM, pelatihan dan lain-lain. Lalu, Siapa kontraktornya?