Seminar Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan oleh pihak Independen

Rabu, 25 Februari 2015  |  Pukul 10.00 – 12.30 Wib
di Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM

Acara dapat diikuti melalui Webinar dan informasi lebih jauh dapat disimak melalui:

www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Reportase Monev

 

JADWAL

KEGIATAN   

 

10.00-10.10

Pembukaan oleh Prof. Laksono Trisnantoro    

materi

10.10-10.20 

Pemaparan materi oleh Prof. Laksono Trisnantoro

video

  Pembahasan Oleh:   
10.20-10.30  Togar Siallagan - Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat  materi  video
10.30-10.40  dr. Arida Oetami, M.Kes - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY materi  video
10.40-10.50  dr. Budiono Santoso, MSc, PhD - FK UGM materi  video
10.50-11.00  Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA - FK UGM video
11.00-12.00  Diskusi dan tanya jawab video 


Pentingnya Peran Leadership dalam Penelitian Monev yang Dilakukan Perguruan Tinggi

Poin yang disampaikan Prof. Laksono :

Permasalahan kesehatan banyak yang belum terselesaikan.

  1. AKI yang tidak kunjung turun
  2. TB yang permasalahannya terungkap makin meningkat, dari segi cost dan sebagainya.
  3. Dari sisi obat, penyelenggaraan pengadaan obat masih menimbulkan masalah. Salah satu pabrik obat melakukan kesalahan, yaitu anaestesi Buvanest Spinal tertukar dengan Asam Trakseranat.
  4. Penyelenggaraan JKN yang diduga memicu terjadinya kasus fraud.

Selama ini, penyelenggaraan program kesehatan oleh Dinas Kesehatan tidak dikontrol melalui monev oleh pihak independen. Kontrol kualitas dan output dari suatu program kesehatan berbeda dengan Dinas Pekerjaan Umum yang terbiasa dengan keberadaan pihak monev independen. Di Dinas PU, Bahkan monev independen ini justru memiliki sekian persen dari anggaran untuk pembiayaannya. Sementara, dinas kesehatan belum terbiasa dengan ini.

Dampak tidak adanya monev independen, akhirnya terjadi ketidaklengkapan sistem kesehatan. Bappenas paling diharapkan untuk merealisasikan gagasan perlunya anggaran untuk kegiatan monev independen.

Bagaimana seharusnya?

Sumber anggaran untuk Monev ini bisa 1% dari anggaran BPJS untuk kegiatan monev independen.
Salah satu caranya yaitu mendorong Dinkes Provinsi dan DInkes Kabupaten/Kota yang selama ini telah menjalin kerja sama untuk monev independen namun masih bersifat sukarela. Faktanya, belum ada dana khusus, maka perlu juga mendorong juga untuk peningkatan jumlah konsultan monev independen (bukan sekedar surveyor). Ke depan, perlu kampanye untuk para pemimpin di lembaga penelitian untuk pentingnya meningkatkan peran PT/lembaga penelitian sebagai konsultan monev independen. Selain itu, dibutuhkan juga kampanye untuk policy maker agar menyadari kebutuhan monev indpenden sebagai bagian dari sistem kesehatan.

  Poin penting yang disampaikan Dr. Budiono Santoso

Hal yang perlu diwujudkan ialah Universal access, dimana setiap orang berhak mendapat pelayanan bahkan meski tidak datang ke pelayanan kesehatan. Faktanya, ketersediaan obat dan vaksin 2010 – 2014 : pelaporan yang diberikan adalah nilai uang dari komoditas obat di daerah. Tetapi tidak mencerminkan ketersediaan komoditas obat tersebut (contoh: tidak tersedia oksitosin di PKM). Banyak Provinsi dan Kabupaten yang ketersediaan obatnya lebih dari 100%, sebaliknya terjadi kekurangan di level faskes primer. Kemudian, perbandingan harga e-catalog dengan international referrence price : harga obat di Indonesia di bawah 100% standar internasional. Kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kualitas obat buruk

Dampaknya:

  1. Perlu adanya ketaatan supplier
  2. Mutu obat yang tidak terjaga
  3. Ketersediaan obat yang kurang
  4. Kesehatan industri generik : kita mempunyai success story untuk industry generik selama 40 tahun. Namun, penerapan kebijakan populis yang tidak berdasarkan bukti, tidak realistis. Karena pabrik obat dari India dan China yang murah dengan kualitas buruk, membuat pabrik obat yang bagus selama 40 tahun ini gulung tikar.

Pilihan :

  • Jejaring pemantauan di provinsi dan kabupaten
  • Jejaring pemantauan di PT/pusat penelitian/NGO
  • Pemantauan difokuskan pada indikator2 yang peka (pusat sering tidak menggunakan indikator yang peka)
  • Memanfaatkan IT
  • Sistem monitoring yang dinamis (jangan laporan tahunan)


  Poin penting yang disampaikan dr. Arida Oetami:

Peran Dinkes dalam Monev Pelaksanaan JKN
Banyak peraturan yang sudah ada untuk JKN. Namun, bagaimana posisi dinas kesehatan untuk menyiapkan fasyankes (melakukan monitoring)? Salah satunya melalui Diskusi Komisi VIII Rakernas Fraud yang melibatkan, peserta BPJS, faskes dan BPJS.
Monev khusus dapat dilakukan pihak yang memang mengurus hal tersebut, yaitu OJK untuk monev kesehatan keuangan BPJS, kemudian DJSN untuk monev kepesertaan serta Kemkes untuk monev faskes.

Temuan:

Ada praktik menarik dana kapitasi ke praktek mandiri, Puskesmas (PKM) jam 11 siang sudah tidak melayani. Namun, usai jam tersebut, dokter mantan PKM ini kemudian membuka praktek sendiri di samping PKM. Temuan lain menyatakan satu tahun pasca JKN, belum ada peningkatan untuk kondisi faskes, faktanya: tidak tersedia MgSO4 tidak ada di PKM tapi ada di tempat praktek mandiri.
Lalu, kemampuan Dinkes dalam monev terbatas. Muncul Forum Koordinasi Jamkesta yang dipimpin Sekda Provinsi. Kemudian, evaluasi pelayanan BPJS (forum kemitraan) juga dilakukan. Badan Pengawas RS (hingga saat ini tidak didanai kemkes) meski sudah ada regulasinya namun belum ada anggaran untuk honorarium. Kesimpulannya, jadi kebutuhan monev sudah ada namun tradisi di sektor kesehatan belum ada sehingga ini tradisi ini melemahkan akuntabilitas bidang kesehatan kita.


  Poin penting yang disampaikan Togar Siallagan (DJSN) :

Skema Monev JKN menyatakan adanya peran lembaga pengawas independen dalam skema monev JKN bersama DJSN. Pengawas eksternal yaitu BPJS Watch, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Serikat pekerja dan lain-lain. BPJS sudah banyak melakukan kerja sama dengan PT hanya belum secara resmi. Jadi, program Kemitraan sudah dianggarkan dan sudah direalisasikan serta dashboard JKN sudah dibuat dengan Anis Fuad (FK UGM). Kebijakan yang ada yaitu sebaiknya menggunakan dana operasional yang diberikan pemerintah kepada pihak BPJS atau jangan presentase 0,5% dari 40 trilyun (iuran kepesertaan). Faktanya, pola belum jelas, peran monev masih dalam kerangka lembaga keuangan (OJK dan BPK).


  Poin penting yang disampaikan Dr. Mubasysyir Hasanbasri:

Semua badan merasa sudah mempunyai sistem monev. Tetapi menempatkan perguruan tinggi (PT) sebagai pihak monev independen masih menimbulkan kekhawatiran. Jangan-jangan PT bisa jadi sama saja dengan semua lembaga yang mengklaim sudah melakukan monev selama ini. Selama ini bahkan PT pemimpinnya lebih memiliki menjadi politisi yang sebenarnya tidak memperjuangkan kepentingan publik tetapi cenderung kepentingan pribadi yang dikedepankan. Padahal seharusnya PT itu sebagai leader yang fokus memperjuangkan kepentingan publik.

Perlu tidak?
Sebenarnya ingin mengatakan tidak perlu karena lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki pemimpin yang tidak memiliki hati. Maka, lebih tepat kita sebut kita bersama-sama mengubah dan memperbaiki lembaga tsb untuk memiliki hati, good governance. Bukan profesional karena belum tentu memiliki hati. PT memiliki tantangan, membutuhkan leadership yang komitmen sehingga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, kepentingan lembaga PT. Maka gerakan yang tepat adalah koalisi lembaga penelitian dan koalisi perguruan tinggi bergerak bersama (pergerakan sosial) sehingga kepentingan pribadi menjadi minimal.

Sesi Diskusi :

  1. Dominirsep Dodo menanyakan
    1. Data sekunder tersentral di Pusat dan tidak dimiliki kantor cabang penelitian. Jadi peneliti local sulit mengaksesnya.
    2. Lalu, peneliti local menemukan kantor cabang tidak melayani wawancara untuk keperluan penelitian.

      Togar (DJSN) :
    1. Memang data sekunder terpusat, masukan akan diterima dan akan disosialisasikan bagaimana cara/prosedur memperoleh data tersebut
    2. Prosedur dan sosialisasi akan ditingkatkan oleh BPJS Pusat dengan daerah.

      Prof. Laksono:
    1. Gubernur Riau ingin memperoleh data agar bisa merumuskan kebiajkan terutama terkait program kesehatan yang bisa dilakukan di level pemda.
    2. Perlu SOP untuk pengajuan permohonana data. Contoh email permohonan, 1 jam kemudian data sudah diterima BPJS daerah untuk diberikan kepada pemohon.
  2. dr. Endang mengkonfirmasi untuk permohoanan keperluan data yang lebih lengkap, apakah bisa?
    Togar (DJSN) : segera menindaklanjuti agar pihak BPJS melengkapi data yang diinginkan.
  3. Dr. Budiono : Sebaiknya desentralisasi software untuk data JKN atau akan tetap sentralisasi?
    Togar (DJSN) : Kita masih terpusat, namun apabila dibutuhkan maka data akan di-share. Ke depan mulai tahun ini, monev akan dilakukan maksimal melalui sistem website, kode diberikan kepada Bupati untuk melihat utilisasi (bukan clear dananya).
  4. Prof. Laksono, Kekhawatiran pemanfaatan dana BPJS di daerah rural justru digunakan oleh daerah maju (kota).
    Togar (DJSN) : JKN itu prinsipnya membaur, sehingga memang ada persilangan dana. Maka kewajiban peningkatan utilisasi ada di pihak pemda dan bukan di pihak BPJS (karena prinsip membaur dan pengelolaan dana). Jika perspektif Prof. Laksono tadi maka akan menimbulkan reaksi dari berbagai pihak speerti kalangan pemuda dengan utilisasi lebih oleh kelompok lansia.
  5. Dr. Budiono : Lebih tepat fokus dulu pada OOP yang bisa diminimalkan dengan BPJS. Pihak BPJS merupakan lembaga yang masih terus berkembang.
  6. dr. Arida menambahkan penerjemahan hasil penelitian para akademisi oleh birokrat. Para birokrat diharapkan tidak terlalu awam dengan hasil penelitian akademisi untuk direalisasikan dalam kebijakan pemerintah.
  7. Prof. Laksono menyatakan leadership perlu terutama dengan prinsip trust antar pihak. Prinsip menari tango, harus kedua belah pihak yang saling trust. Kalau trust tidak terbangun, maka justru akan saling menyakiti. Kewajiban PT itu adalah mengingatkan, apa yang mungkin terjadi 5 tahun ke depan jika hal ini terus berlanjut.

Closing statement :

  • dr. Arida Oetami : Dinkes memerlukan PT untuk pihak monev indpenden.
  • Togar (DJSN) : Tahun 2015 BPJS siap untuk memajukan monev dengan konsep input dan impact oelh pihak PT, jadi bukan monev struktural.
  • Dr. Mubasysyir : Monev selama ini digunakan untuk mengubah mindset dan untuk kepentingan pribadi atau lembaga. Lepaskan, fokus pada kepentingan publik.
  • Dr. Budiono : memajukan dan memanfaatkan teknologi informasi. Indonesia harus bisa memaksimalkan teknologi informasi terutama dalam monev dan transparansi.
  • Prof. Laksono : akhir yang menarik, tetapi mengawali proses yang lebih panjang setelah ini. Para pembahas sepakat bahwa monev indpenden perlu dilakukan.

Pembahasan oleh Prof. Laksono :

Data yang ditampilkan oleh dr. Arida : lembaga perguruan tinggi masih menjadi penonton dalam sistem permainan JKN. Para pihak (BPJS, PPK, Peserta) sedang bermain dengan model yang belum sempurna. Kami, PKMK bermaksud memfasilitasi Perguruan Tinggi untuk mengikuti pelatihan konsultan. Para pengambil keputusan bisa mengikuti seminar-seminar yang bisa menjadi inspirasi dalam pengambilan keputusan. Biaya 10 juta rupiah bisa mengikuti pelatihan ini bagi PT, Blended Learning selama tiga bulan ke depan.

Anis Fuad (FK UGM) :

Terkait tenaga peneliti internal BPJS masih minimal, tetapi sistem data sudah bagus (jauh lebih bagus dari kemkes). Tetapi kerahasiaan data masih penting untuk di-filter sebelum dibagai ke daerah. Karena banyak friksi yang mungkin muncul karena content data yang menunjukan lemahnya cleaning data dari faskes.

Kesimpulan :

Transparansi data penting terutama untuk pedoman perumusan dan pengelolaan bidang kesehatan di lokal/daerah. Baik pemangku kepentingan maupun universitas di daerah akan bisa memanfaatkan kekayaan data ini sehingga tidak hanya menjadi penonton.

Notulen: Dhini Rahayu Ningrum (Asisten Peneliti PKMK FK UGM)