Pleno II
Reporter: Dwie Susilo
Pleno II ICTOH dilaksanakan pada Sabtu (31/5/2014) dan ada beberapa pemateri dalam sesi ini, diantaranya:
Jaka Kusmartata – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan
Topik: Kebijakan Kementerian Keuangan dalam Cukai dan Pajak Rokok
Di awal presentasi, Jaka memaparkan pengertian dasar cukai rokok, yaitu sebagai pajak dan dibayar oleh konsumen. Pengenaan cukai terhadap rokok diharapkan ada pengendalian rokok sehingga harganya akan bertambah. Dengan bertambahnya harga, maka diharapkan konsumsi rokok dapat dikendalikan karena konsumsi rokok dipengaruhi oleh harga dan daya beli konsumen.
Selanjutnya Jaka memaparkan fokus yang dilakukan pemerintah dalam kebijakan cukai, dimana pemerintah masih mempertimbangkan persoalan industri rokok terutama tenaga kerja. Terdapat 902 industri rokok di tanah air yang tercatat secara resmi, namun faktanya diperkirakan lebih dari 1000 industri rokok beroperasi di tanah air. Diperkirakan juga terdapat sekitar 408.000 tenaga kerja yang terkait langsung dengan industri rokok yang tersebar di masing2 industri rokok, khususnya industri rokok dengan tangan.
Jaka menunjukkan tariff cukai 2013-2014 dimana strukturnya yang paling kompleks dibandingkan denga negra2 lain. Terdapat 13 jenis tariff cukai rokok di tanah air. Penerimaan cukai rokok dari 2005-2014 mengalami peningkatan yang signifikan. Tahun 2014, perkiraan penerimanan cukai 110 triliun dari volume 350 milyar batang rokok. Beban perpajakan industri hasil tembakau yang harus ditanggung konsumen ketika menghisap rokok adalah: cukai, pajak rokok 10% dari cukai, PPH 25%, PPN 8,4% dari HJE (untuk industry dengan omset > 4,8 M per tahun). Selain itu dikenakan juga bea masuk 40% (CIF). Beban perpajakan industri hasil tembakau dibedakan menjadi SKM, SPM, SKT.
Beberapa tantangan kebijakan tariff cukai HT ke depan antara lain adalah harmonisasai data produksi HT sebagai dasar perhitungan penerimaan cukai HT, dan kompleksitas tariff cukai rokok. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau sebesar 2% dibagikan kepada 19 provinsi karena didalam prof tersebut ada industry tembakau (pabrik dan perkebunan). Pajak rokok didistribusikan ke seluruh provinsi berdasarkan proporsi jumlah penduduk. Sebanyak 70% untuk kabupaten/kota dan 30% untuk provinsi. Sebanyak minimal 50% dialokasikan untuk kesehatan. Penerimaan sebanyak 10,5 triliun dari pajak rokok untuk kesehatan
Pada akhir pemaparan, Jaka menyampaikan penggunaan pajak rokok, diantaranya adalah untuk keperluan kesehatan masyarakat. Jaka berharap agar dana ini dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kegiatan promotif dan preventif. (DJ)
Abdillah Ahsan – Lembaga Demografi Universitas Indonesia
Topik: Kebijakan Cukai dan Pajak Rokok di Indonesia: Tantangan dan Strategi
Abdillah dalam pembukaan menyampaikan bahwa LDUI ingin membantu kementerian keuangan dalam kebijakan cukai rokok. Selama ini yang datang ke Kemenkeu adalah industri rokok sehingga kebijakan cukai rokok sangat dipengaruhi oleh intervensi pabrik rokok. Beberapa studi tentang cukai rokok dengan data Indonesia menunjukkan bahwa ada korelasi antara penurunan konsumsi dan peningkatan pendapatan cukai rokok. Abdillah menegaskan bahwa pendapatan cukai rokok bukan merupakan sumbangan industry rokok melainkan pajak yang dibayar oleh konsumen. Oleh karena itu, tidak perlu berterima kasih kepada industri rokok.
UU No 39 tahun 2007 tentang cukai rokok menyatakan bahwa cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok. Cukai dikenakan pada barang yang peredarannya perlu diawasidan pemakaiannya berdampak negatif bagi masyarakat n lingkungan hidup. Konstitusi mengamanatkan pengendalian konsumsi rokok sehingga semua pihak harus taat.
Sistem cukai rokok yang rumit dan dampaknya baru dirasakan dalam waktu yang lama. Implikasi system cukai rokok yang rumit mengakibatkan system adminsitrasi yang rumit dan harga rokok menjadi sangat beragam. Harga rokok di pasaran berkisar 250 rupiah per batang hingga 600 rupiah. Kenaikan tarif cukai rokok diharapkan akan menaikan harga rokok sehingga anak-anak tidak sanggup untuk membeli rokok.
Sebagai penutup, Abdillah menyimpulkan bahwa prevalensi merokok di Indonesai masih sangat tinggi dibandingkan dengan Negara-negara di ASIA. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan cukai rokok di Indonesia masih belum berhasil menurunkan prevalensi perokok di tanah air. Abdillah menyarankan agar tariff cukai rokok dibuat sederhana, cukup dua saja, yaitu tariff untuk cukai rokok mesin dan tariff untuk cukai rokok tangan. (DJ)
Prof Savas Alpay – Statistical, Economic and Social Research and Training Center for Islamic Countries (SESRIC)
Topik: Pengalaman Internasional dalam Kebijakan Cukai dan pajak Rokok
Prof Savas dalam pembukaan presentasinya menampilkan fakta prevalensi merokok laki-laki dan perempuan berusia 15+ antara negara anggota Organisation of Islamic Cooperation (OIC), non OIC, negara berkembang dan negara maju serta dunia. Disajikan juga perbandingan prevalensi merokok dari top 20 negara OIC dan top 20 dunia. Dalam hal prevansi merokok laki-laki, Indonesia menempati urutan pertama dari Negara OIC dan urutan kedua di dunia setelah Timor LEste. Untuk prevalensi perokok perempuan, Indonesia menempati peringkat 19, dimana peringkat pertama Negara OIC ditempati perempuan Lebanon sementara di dunia ditempati Greece.
Selanjutnya Prof Savas menampilkan data total prokok di semua usia. Dari data tersebut diketahui bahwa total perokok mengalami peningkatan dari tahun 1980 hinga tahun 2012, baik di negara OIC maupun global. Indonesia menempati peringkat pertama OIC dan peringkat ketiga di dunia setelah China dan India dari jumlah total perokok dunia.
Prof Savas menekankan pentingnya penandatanganan dan ratifikasi FCTC dalam upaya pengendalian tembakau. Sebanyak 54 anggota OIC dari 176 negara di dunia sudah menandatangani atau meratifikasi FCTC. Hanya Indonesia dan Somalia yang belum menandatangani dan ratifikasi FCTC. Sebanyak 47 negara OIC sudah menerapkan kebijakan pengendalian tembakau dan sebanyak 8 negara melaksanakan survey tembakau untuk dewasa dan anak secara rutin. Beberapa negara OIC sudah menjadi pelopor dalam perlindungan penduduknya dari bahaya rokok.
Selanjutnya Prof Savas menceritakan bagaimana negara-negara OIC berinisiatif melakukan aktivits pertukaran informasi dan berbagai pengalaman dalam kebijakan dan upaya-upaya pengendalian tembakau di negara masing-masing. Beberapa kali pertemuan dilaksanakan secara bergantian di negara anggota. OIC juga mengembangkan OIC Strategic Health Programme of Action (OIC-SHPA) 2013 – 2022 yang merupakan framewok kerja sama diantara Negara anggota OIC. Terdapat beberapa area tematik dalam pelaksanaan kerangka kerja sama tersebut. Selain itu, OIC juga secara periodic melaksanakan pertemuan tingkat Menteri Kesehatan yang menghasilkan beberapa resolusi. Pada pertemuan ke-4 Menteri Kesehatan negara OIC yang dilaksanakna di Jakarta 22 – 24 Oktober 2013 mengadopsi 3 resolusi dalam upaya pengendalian tembakau di Negara anggota. Salah satu kegiatan OIC lainnya adalah program jangka panjang di Indonesia, bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama (NU) mengenai "Tobacco control movement for youth and adult".
Pada bagian akhir presentasi, Prof Savas memaparkan pengalaman Turki dalam pengendalian tembakau. Upaya yang dilakukan antara lain adalah pelarangan total iklan rokok dalam segala bentuk. Semua stasiun TV dan radio diwajibkan menyiarkan minimal 90 menit dalam sebulan mengenai pendidikan bahaya merokok pada jam-jam premium. Prof Savas mengingatkan bahwa kita berperang melawan industry tembakau yang memiliki dana besar. Mereka tidak akan berhenti melawan karena industry tembakau menghasilkan uang yang sangat besar dari bisnis rokok. Oleh karena itu kerja sama pengendalian tembakau perlu diupayakan oleh semua elemen kecuali industri rokok dan yayasannya. (DJ)