Diskusi Series HIT Ketiga
Reformasi Pengorganisasian RS

23 April 2014

23aprfoto

HIT merupakan penelitian overview system kesehatan negara dan menjadi benchmarking antar negara. Penelitian jenis ini telah dilakukan Fiji, Filipina, dan negara lain. UGM dalam hal ini menginisiasi penelitian dan seminar untuk menulis reformasi kebijakan dan reformasi kesehatan Indonesia. Series HIT sudah memasuki minggu ketiga dan kali ini mengangkat 'Reformasi Pengorganisasian RS'. Sesi pertama yaitu Pemaparan Hasil Penelitian PKMK oleh Prof. Laksono Trisnantoro yang membahas Otonomi RSD di Indonesia. Dalam BLUD tidak ada pemisahan aset, tidak ada pembagian SHU, non profit, serta RS harus menyusun rencana bisnis anggaran. BLUD merupakan korporatisasi, serta mempunyai misi sosial. Setelah menyimak bentuk BLUD seperti hal tersebut, maka Dinkes harus melakukan banyak pengawasan baik RSD dan RS swasta. Rekomendasi dari Prof. Laksono ialah renumerasi Dinkes yang lebih baik dan peningkatan kapasitas Dinkes yang maksimal. Lalu, perlu pengawasan dirjen BUK sebagai pembinaan dan regulasi. Serta, harus banyak yang diawasi dengan ketat, termasuk pelayanan standar. Kemudian, perlu diadakan pelatihan Kadinkes terkait pengawasan RS.

Evaluasi Pelaksanaan BLUD: Studi Kasus di Lima RSUD oleh Putu Eka Andayani, M. Kes. Institusi yang menerapkan BLUD merupakan bagian dari Pemda, produktivitas dan akuntabilitas jelas. Kemudian, institusi itu harus menyusun rencana bisnis: target keuangan dan non keuangan, lalu apa yang akan dikembangakan. Menurut penelitian yang dilakukan tim dari PKMK di tiga RSD DIY, satu RSD di Magelang dan satu RSD di Aceh, hasilnya bisa membiayai investasi dari pendapatan BLUD.

Kesimpulan penelitian tersebut, yaitu mengubah governance, SDM yaitu segi perekrutan dan renumerasi, pengadaan, akuntabilitas terkait mutu layanan. BLUD perubahan mindset yaitu RS sebagai lembaga usaha yang efektif, responsif dalam menghadapi perubahan. Tantangan yang masih dihadapi, isu kesehatan menjadi alat politik serta RS memerlukan dukungan pemerintah/subsidi. Saran yang diberikan peneliti ialah Direktur RS harus memiliki komunikasi politik, Direktur RS perlu memonitor kinerja RS dalam berbagai perspektif. Lalu, sistem manajemen operasional perlu dikembangkan.

Prof. Laksono menambahkan reformasi birokrasi pemerintah sudah berjalan lama, maka harus ada mutu pelayanan yang diperbaiki. Namun, hal ini masih mendapat tantangan yaitu tidak ada badan yang berfungsi sebagai pengaewas (dulu Kanwil/Kandep). Bagaimana regulasi RS sebagai pelayan utama untuk masyarakat? Bagaimana peran Dinkes sebagai regulator/pengawas? Ada peran rangkap Dinkes regulator dan operator?

Pembahasan

Pembahasan sesi 1 disampaikan pengurus Arsada Pusat, yaitu dr. Slamet Riyadi Yuwono yang memaparkan 'Peran ARSADA dalam mengawal Proses Otonomi RSD dalam era JKN'. Dinkes berperan dalam regulasi dan perijinan atau sebagai regulator (makro). RS sebagai badan dan BLUD (mikro) harus memperkuat kemampuan sebagai operator. Pengalaman menarik dari Australia yaitu rasio perawat dan pasien diusahakan tetap sama, jika perawat cuti, maka RS akan meng-hire orang yaitu melalui nurse bank. Ada kualifikasi standar tertentu yang menjadi core business RS, analoginya orangnya bisa ganti namun standar mutu pelayanannya sama.

Diskusi. dr. Heru (ARSADA) menyampaikan bahwa kemampuan Dinkes harus diperkuat. dr. Kuntjoro (ARSADA) menyatakan pelayanan kesehatan harus baik, bermutu, berkesinambungan. Kadinkes harus merupakan strong leader yang berpengaruh dan mau melakukan transformasi budaya, mampu memberi reward dan konsekuensi. Prof. Laksono menegaskan Dinkes melindungi kesehatan masyarakat. BLUD bisa dijaga melalui budaya organisasi yang dipegang Dirut RS ungkap Putu Eka (PKMK). Jabatan fungsional Dinkes tidak menarik menurut dr. Kuntjoro. dr. Slamet Riyadi (ARSADA) menyatakan harapannya, kemampuan advokasi Dirut RS mampu mengubah mindset pejabat RS, uang merupakan bagian dari unsur percepatan pelayanan. Nurul dari RSD Sragen menyatakan sebaiknya ada garis merah antara Pusat, Daerah dan RS. Kemudian, RSD dan RS swasta dilindungi Kadinkes. dr. Kuntjoro, menyatakan ini bagian dari sistem politik yang dipilih negara ini, akibatnya peraturan Kemkes banyak yang tidak bisa diaplikasikan daerah.

Sesi Kedua yaitu membahas Fungsi Regulasi dan Pengawasan. Paper pertama yaitu Apakah RS surplus di Era BPJS? yang disampaikan oleh Dr. dr. Anastasia Susty Ambarriani. SE, AK.

Muncul indikasi RS Pemerintah biasa memberi pelayanan premium, lalu pelayanannya menurun usai BPJS. Sementara indikasi lain yang muncul ialah surplus, RS bisa disebut surplus jika klaim bisa menutup semua biaya (full cost), klaim menutup biaya langsung, tarif yang sekarang lebih tinggi dari yang sebelumnya, terjadi rekayasa dan fraud. Sementara, tujuan BPJS Kesehatan yaitu pelayanan kesehatan yang efektif, efisien masuk akal dengan kendali mutu.

Materi ini dibahas oleh dr. Arida Oetami, Kadinkes DIY, RS memiliki 25% fungsi sosial dari keseluruhan pelayanannya. Sementraa, Dinkes berfungsi merangkul seluruh pihak yang terkait (masyarakat-RS dan BPJS). Dr. Arida menyatakan sosialisasi JKN tidak bagus, maka terjadi banyak keributan. Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) penting segera dibentuk untuk melakukan pengawasan. Badan ini yang akan akan menjadi jembatan antara RS-masyarakat dan penjaminan.

Diskusi. Robert dari NTT menyatakan, Puskesmas di perbatasan belum siap melaksanakan BLUD karena minus SDM dan minus pengetahuan pengelolaan keuangan. dr. Arida berbagi pengalaman bahwa sosilaisasi BLUD harus terus digalakkan, namun kemungkin besar berhasil tinggi jika adbokasi dilakukan secara lunak. Dr. Susty menambahkan, ada banyak kekhawatiran JKN hanya akan dinikmati atau dapat diakses masyarakat kota atau dekat dengan pemerintahan.

Perwakilan dari Balitbangkes: penelitian kami lakukan untuk memperoleh bukti dan bukti untuk menyusun kebijakan. Dinkes bukan hanya regulator namun juga sebagai sosialisasi peraturan/program baru untuk masyarakat. Transformasi: RS bisa memberi pelayanan rujukan yang berkualitas. Hal ini dapat berjalan jjika didukung kebijakan pusat dan lokal. Sayangnya, melalui otonomi daerah, kesehatan menjadi komoditas politik. Penelitian pasca pelaksanaan BPJS memperoleh hasil, diantaranya: sosialisasinya belum baik, terjadi benturan kebijakan antara Pemda dan pusat terkait insentif nakes di lapangan. Kemudian, jumlah pasien langsung RS melonjak. Disusul pemeriksaan diagnostik meningkat. Muncul keluhan terhadap jasa yang akan diterima, meski belum diterima. Komplain pasien terkait prosedur verifikasi di RS. Komplain pasien terhadap obat yang harus diambil. Kesimpulan paparan Balitbangkes ialah transformasi jamkes dan pengelolaan RS di era otonomi daerah belum memberikan solusi maksimal untuk penurunan AKI dan AKB. Peraturannya perlu dikaji, kemudian pelaksanaan dan penegakkannya sudah sesuai belum? Rekomendasi untuk layanan kesehatan ialah peningkatan hardware dan software, Dinkes lebih berperan dalam komunikasi layanan masyarakat antar RS, sosialisasi JKN harus dilakukan secara meluas, kontrol teknis pelayanan RS harus digalakkan.

Ada beberapa poin yang dapat ditarik menjadi kesimpulan, pertama, fungsi regulator dilakukan Kemkes dan Dinkes, RS sebagai operator. Kedua, RS merupakan lembaga yang birokratis dan melaksanakan BLUD. Ketiga, BLUD mampu meningkatkan kemampuan RS di bidang keuangan, pelayanan dan manfaat untuk masyarakat. Maka yang menjadi pertanyaan apa perlu RS dikembalikan menjadi UPT Dinas? Keempat, Dinkes sebagai regulator dan pengawas. Kelima, JKN harus segera didampingi dengan pengawasan dan dievaluasi. Seluruh hal ini harus dilakukan karena desentralisasi bertujuan untuk pemerataan kesehatan di Indonesia.