Reportase Pertemuan Kedua Seminar Series Hit
"Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan"

17 April 2014

17apr-a

Seminar Series Hit 'Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan' telah digelar di hotel Santika, Jakarta pada Kamis (17/4/2014). Pembukaan diberikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang menyampaikan bahwa perlu ada identifikasi permasalahan dari penerapan sistem desentralisasi kesehatan. Prof. Laksono berharap pertemuan ini dapat merumuskan suatu rekomendasi sehubungan dengan kebijakan publik mengingat akan ada pergantian pemerintahan dalam waktu dekat. Implikasi dari perlunya rekomendasi ini adalah pengadaan seminar tentang sistem desentralisasi terkait dengan pembiayaan kesehatan, SDM, otonomi rumah sakit, pendidikan tenaga kesehatan, dan terakhir adalah skenario masa depan untuk sistem kesehatan. Langkah utama dalam reformasi kebijakan kesehatan adalah menyelesaikan usulan ini melalui diskusi Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia untuk menyatukan visi dan misi dan menuangkan dalam sebuah usulan tertulis sebelum pelantikan anggota DPR pada Agustus nanti sehingga bisa mengusulkan reformasi kebijakan kesehatan untuk masa pemerintahan yang akan datang.

JKN yang menetapkan sistem klaim INA-CBG pada RS memiliki kekurangan karena dengan penerapan sistem klaim maka sistem alokasi penganggaran hanya berdasarkan kelengkapan pelayanan dan tenaga medis RS tersebut. Selain itu, pembiayaan kesehatan yang mengandalkan dana dari luar seperti dari Global Fund, juga tidak semudah membalik tangan karena adanya syarat tertentu sebelum dana dikeluarkan. Pemda juga hanya mengalokasikan sedikit biaya untuk asuransi kesehatan masyrakatnya. Bagaiamana aspek pemerataan model alokasi anggaran? Bagaimana alokasi anggaran untuk preventif dan promotif? Bagaimana dengan peran BPJS? Berikut ini tiga teori dasar pembiayaan untuk memaparkan hal tersebut,

  1. Revenue colletion, merupakan proses menggali dana secara berkelanjutan. Siapa sajakah yang bisa menjadi sumber pendanaan?
  2. Pooling, akan disimpan dan diatur dimana dana yg dikumpulkan tersebut?
  3. Purchasing payment, dari dana yang dikumpulkan akan dibayarkan kepada siapa saja?

Dengan sistem JKN, diharapkan masyarakat yang kaya membantu masyarakat miskin, namun demikian tenyata JKN memiliki risk pool yang buruk karena pembayaran premi untuk golongan kaya yang rendah per bulannya namun sudah dijamin dengan fasilitas yang maksimal tanpa ada batasan waktu jaminan itu berlaku.

Materi dilanjutkan oleh Bapak Yani Haryanto, Subdit Harmonisasi Peraturan dan Penganggaran Kementrian Keuangan yang menyampaikan bahwa dalam sistem JKN sebenarnya PBI menggantikan fungsi Jamkesmas sehingga alokasi untuk warga miskin yang membutuhkan adalah tetap dari Kemenkes. Namun, meski total dana untuk pembiayaan kesehatan meningkat, keleluasan untuk mengelola dana tersebut menjadi terbatas.

Wahyu Nugrahaini dari Litbangkes menyampaikan bahwa prinsip dasar JKN adalah sistem gotong royong. Apakah JKN memiliki risk pool buruk? Ada perubahan besar dalam sistem kesehatan Indonesia yang beralih menjadi menganut sistem asuransi. Masa transisi ini memerlukan waktu, Adanya BOK dari APBN juga menjadikan penurunan anggaran kesehatan dan bukannya ditafsirkan sebagai dana pelengkap. Tahun ini juga ada dana bantuan desa yang berarti harus ada integrasi antara dana ini dengan dana Bok dan dana lainnya untuk implementasi di daerah tersebut

dr. Andi Afdal sebagai perwakilan Group MPKP BPJS Kesehatan, menyampaikan yang berbeda dariJjamkesmas dengan penerapan INA-CBG JKN adalah berkurangnya kesenjangan pembiayaan dokter spesialis antar tingkat RS sehingga tidak banyak dokter yang akan berkumpul di RS tipe yang lebih tinggi. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD, menambahkan sebaiknya pool untuk yang kaya disendirikan dan tidak digabung dengan yang miskin untuk menjamin tidak terjadi adverse selection.

Dwijo Susilo dari UMJ mempertanyakan bagaimana menjamin kelanjutan para peserta untuk tetap membayar iuran meskipun sudah tidak sakit lagi. Lalu, BOK yang diberikan sebagian tidak melibatkan UKP, menurutnya akan lebih baik jika ada alokasi dana dari BPJS khusus untuk promotif dan preventif misal untuk screening hipertensi, thalasemi, dan Diabetes Melitus sehingga dapat mengurangi pengeluaran dana akibat komplikasi penyakit-penyakit tersebut.

Putu Eka Andayani, M.Kes dari PKMK UGM menyatakan bahwa yang menjadi masalah dari kurangnya dana APBD untuk kesehatan adalah pemekaran daerah karena menarik alokasi dana baru padahal bisa dialokasikan untuk pembanguan kesehatan. Sementara menurut Nyoman dari FK UNAIR, sifat JKN adalah sosial, sehingga diperlukan upaya agar dana yang berhasil dikumpulkan oleh BPJS tidak over utilisasi dengan cara penguatan sistem data informasi untuk mengevaluasi penggunaan biaya BPJS sehinga dapat mencegah kolapsnya BPJS.

Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH, Dekan IKM Unhas mempertanyakan mana yang benar, apakah 0,02 % atau 8,5% alokasi dana untuk promotif dan preventif. Meskipun demikian, tetap saja porsi ini terlalu sedikit karena diperlukan setidanya 20% dari alokasi untu upaya promotif dan preventif yang spesifik pada setiap penyakit. Transparansi harus dibuka sehingga setiap pemimpin dapat mengoreksi kesalahan atau kekurangani untuk pemerintahan mendatang.

Sebagai penutup, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD, menyampaikan tentang bagaimana strategi yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan anggaran kesehatan yang lebih mementingkan upaya promotif dan preventif. Ada tiga langkah , yaitu

  1. Identifikasi sasaran peningkatan anggaran dana
    1. Kemenkes, Mungkin diperlukan pengkodean untuk anggaran khusus untuk promotif dan preventif. Usaha promotif dan preventif tidak hanya diberatkan pada unit promkes saja dan dilakukan dalam pelayanan kesehatan per individu.
    2. Lintas kementrian: seperti BKKBN, PU (Sanitasi, TB)
    3. Pemda : dinkes dan dinas-dinas lain, Diperlukan advokasi yang fasilitasi oleh universitas masing-masing.
    4. BPJS-Jamkesda, Diperlukan penguatan pelayanan primer, screening penyakit dan upaya preventif sekunder.
    5. Donor : Global Fund, Bill-Melinda Gates, CSR
    6. Masyarakat dan CSO
  2. Pengusahaan anggaran untuk program preventif dan promotif
    1. Dilakukan oleh orang ahli yang berpengaruh
    2. Menggunakan berbagai pendekatan
  3. Monev. Bagaimana evaluasi keberhasilan dari peningkatan anggaran ?

Perlu dikembangkan kemitraan antar kementerian dan juga dengan NGO dalam upaya promotif dan preventif. Perlu ada infiltrasi ahli promkes di setiap struktur pemerintahan Indonesia dari level desa hingga level di atasnya agar bisa menggunakan anggaran yang diterima dengan efesien dan efektif dalam merancang program untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.