Reportase Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era MEA
Yogyakarta - PKMK FK UGM menyelenggarakan pertemuan diskusi kedua dari Seri Seminar Perhimpunan Profesi pada Sabtu, 20 Februari 2016. Diskusi ini mengangkat tema Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Para pembicara dan pembahas dari bagian PPSDM Kementerian Kesehatan, PKMK, POGI, KKI, IDI, dan PAPDI hadirdalam seminar ini.
Dalam konteks MEA ini ada potensi konflik antara Ikatan Profesi dengan keinginan masyarakat. Masyarakat ingin lebih banyak dokter agar akses lebih baik. Sementara itu ada kemungkinan Ikatan Profesi berusaha menahan masuknya dokter asing. Bermula dari kekhawatiran inilah kemudian seminar ini diselenggarakan.
Diskusi dimulai dengan presentasi dari dr. Asjikin Iman H. Dachlan, MHA, Kepala Pusrengun PPSDM Kementerian Kesehatan dan Dr. dr. Andreasta Meiala, M.Kes dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Dr. Asjikin menjelaskan mengenai beberapa regulasi dan kesepakatan yang telah diatur dalam rangka MEA, sedangkan dr. Andreas mengemukakan beberapa data mengenai kondisi lapangan tenaga kesehatan di beberapa negara. Terdapat kesimpulan bahwa negara-negara ASEAN saat ini masih memproteksi tenaga kesehatan Warga Negara Asing dan bersepakat untuk hanya saling bertukar teknologi informasi. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang sangat diminati untuk kerja dokter spesialis dari asing, membangun Rumah Sakit dan mengekspor pasien ke luar negeri. Meski sudah terdapat beberapa regulasi yang mengatur, namun Indonesia masih memiliki soft door policy sehingga dibutuhkan strategi yang lebih matang dalam menghadapi MEA, apakah strategi bertahan atau penetrasi ke luar negeri, atau untuk menambah supply tenaga kesehatan yang kurang. Terutama adanya klausul bahwa jika aturan lokal tidak sesuai dengan aturan internasional, seperti adanya ketimpangan rasio tenaga kesehatan, maka aturan pelarangan masuknya tenaga kesehatan asing dapat ditembus.
Setelah presentasi, dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembahas yaitu DR. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc, Sp.B.KBD, FCSI (Wakil ketua MKKI) sebagai perwakilan IDI Pusat, Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Ketua Divisi Pendidikan KK) dari Konsil kedokteran indonesia, dr. Nurdadi Saleh, SpOG dari POGI Pusat , dan DR. dr. Zulkifli Amin, SPPD-KP dari Kolegium PAPDI. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini membahas bahwa perhimpunan profesi tidak sepenuhnya menolak MEA, sebaliknya beberapa perhimpunan profesi telah menyiapkan banyak hal dalam persiapan menghadapi MEA. Selain itu, para perhimpunan profesi menginginkan disusunnya suatu regulasi tentang masuknya tenaga kesehatan asing dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia agar mendapatkan pelayanan yang benar, termasuk juga melindungi dokter-dokternya, jangan sampai dokter Indonesia justru tidak bisa mencari lapangan pekerjaandi tanah air sendiri. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut tentang distribusi
Dokter serta akar masalah lambat dan kurangnya layanan kesehatan, apakah dari alat yang rusak atau penganggaran dana kesehatan yang kurang. Pada akhirnya diperlukan terobosan baru dari pihak perhimpunan profesi, kementerian kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, dan berbagai pihak yang terkait untuk mengatasi masalah ketimpangan distribusi dokter dan dokter spesialis-subspesialis agar tidak menjadi justifikasi bagi masuknya dokter asing ke Indonesia.
Sebagai ringkasan dan kesimpulan, posisi IDI dan KKI tidak sepenuhnya menolak MEA. Ke depan, diperlukan kemampuan diplomasi yang baik untuk melindungi kepentingan masyarakat Indonesia dan anggota perhimpunan profesi. Jangan sampai IDI menjadi public enemy karena tidak pandai berdiplomasi. Selain itu, dibutuhkan pula data yang lebih detail tentang spesialis dan sub-spesialis serta menjadikan residen sebagai pekerja dokter yang sedang magang melalui academic health system yang lebih baik. Dengan kemampuan menyusun strategi persiapan yang lebih matang dalam menghadapi MEA, diharapkan kita dapat menjadikan MEA sebagai peluang untuk memperbaiki status kesehatan di Indonesia, bukan sebagai ancaman.
Reporter: Noor Afif Mahmudah
{jcomments on}