High Level Forum on Expanding Coverage
to the Informal Sector

hlfterakhir

Diskusi ini berlangsung di Balroom Mataram, Hotel Ambarrukmo Plaza Yogyakarta, pada tanggal 2 Oktober 2013. Seperti dua hari sebelumnya, diskusi bertujuan untuk mendengarkan masukkan dari beberapa kelompok kecil yang mewakili sektor-sektor yang terkait rencana penerapan pilot project (PP) BPJS di Indonesia.

Hari terakhir diskusi berlangsung cukup singkat, sekitar 3 jam saja. Setelah moderator memberikan kesempatan pada masing-masing kelompok untuk memaparkan hasil diskusi mereka, Isa Rachmatarwata, M. Sc menjelaskan hasil diskusi kelompoknya, sebagai berikut, pertama, komptesisi sektor kesehatan dengan sektor lain yang juga membuttuhkan perhatian pemerintah. Oleh karena itu pengembangan metode serta desain yang menarik perlu dilakukan. Selain itu, memperkuat kerjasama dengan berbagai pihak terus ditingkatkan.

Kedua, faktor budaya, kepemimpinan dan komitmen nasional adalah beberapa hal yang dapat diadops Indonesia dari beberapa negara di dunia yang telah menjalankan UHC. Namun, karakteristik Indonesia tetap menjadi salah satu hal paling utama yang juga harus tetap dipertahankan sebagai identitas bangsa.

Ketiga, program e-KTP merupakan salah satu upaya untuk mengidentifikasi level kelas sosial masyarakat di Indonesia. Hal ini dapat merupakan salah satu cara untuk mengembangkan nomor kepesertaan BPJS, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan kepesertaan ganda.

Keempat, salah satu hal yang perlu mendapat perhatian terus menerus adalah kekuatan dibidang sistem informasi kesehatan. Kelima, diskusi dua hari sebelumnya, adalah membahas aksi nyata untuk menjangkau masyarakat Indonesia di sektor informal. Salah satu yang disepakati adalah dengan PP. Kagiatan ini bukan hanya kegiatan riset semata, namun juga merupakan salah satu aktifitas yang dapat dijamin keberhasilannya sehingga akan diperoleh pola/ disain yang lebih baik untuk karyawan yang bekerja di informal. Pilot project, akan menjadi sarana promosi positif. Di lain sisi dapat diestimasikan bahwa PP juga akan memberikan dampak negatif, sehingga seluruh aspek masih perlu didetailkan agar dampak negatif tersebut dapat diminimalkan. Salah satu criteria daerah yang akan dipilih sebagai PP, haruslah dengan fasilitas kesehatan (faskes) yang memadai. Jika tidak atau belum memadai, seberapapun usaha yang dilakukan, masyarakat akan memberikan penilain negatif.

Selain itu, disisi suplai sumber daya ini harus tersedia secara memadai. Lima langkah konkrit, yang akan dilakukan:

  1. Sosialisasi (social marketing)
  2. Advokasi, terutama pada pemerintah daerah dan organisasi-organisai informal
  3. Pembinaan kelompok informasi untuk kemampuan bayar premi JKN
  4. Pendataan
  5. Pemilihan daerah yang sesuai untuk PP (plotting and selecting of the area).

Selanjutnya, beberapa peserta diskusi juga memberikan pandangan mereka terkait rencana penerapan PP BPJS. Berikut adalah tanggapan tersebut:

Dr. Vivi Yulaswati, M. Sc dari Bappenas menyampaikan peran Pemda lebih didetailkan, sehingga masuknya bukan hanya sebagai advokasi tapi "setting the mix", sehingga perlu adanya studi lanjutan. Selain itu harus ada respon system (complain handling).

Perwakilan Askes: memberikan pertanyaan kepada Ibu Dr. Vivi Yulaswati, Jika sistem complain handling diterapkan, siapa yang akan berperan? Saya pikir, jika tim PP harus ikut terlibat untuk menangani hal ini, masukkan saya adalah harus dipikirkan lagi. Penanganan komplen sudah menjadi bagian pekerjaan tim BPJS. Sehingga tidak akan kegiatan ganda yang hanya akan membingungkan masyarakat.

Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH menimpali, "Harus ada persiapan dengan standar-standar tertentu dari seluruh aspek. Sebaiknya, mengundang dan melibatkan universitas karena umumnya pihak universitas bersikap netral pada kegiatan-kegiatan pemerintah. Jadi, akademisi diikutkan. Selain itu, ikatan profesi juga diikutkan (IDI pusat dan daerah) juga diminta untuk berperan. IDI memiliki mailing list dan kolom berita dalam website, sehingga dapat menjadi salah satu cara sosialisasi program.

Dr. Daniel Budi Wibowo, M. Kes, Ketua PERSI menyatakan pendapatnya: "Saya memiliki pendekatan yang sedikit berbeda. Saya melihat berdasarkan dampak pengembangan beberapa model. Tentu saja tiap model akan menitik beratkan pada satu sisi tertentu. Di Indonesia, pasti akan ada beberapa model terkait dengan clustering masyarakat Indonesia. Hal ini juga terkait dengan keadaan geografis Indonesia. Jadi, sebaiknya penerapan tiap model, menyesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan lokasi geografis daerah".

Dr. Asih Eka Putri, BPJS wajib menjangkau seluruh penduduk. Ada 3 algoritma (1) bagaimana mendanai pekerja sektor informal? Sehingga proyek ini bertujuan untuk menggali potensi pendanaan (2) model pengumpulan iuran dan (3) penegakkan kepatuhan dan penyelesaian sengketa. Rujukan BPJS adalah rujukan internasional. Sehingga pengembangan model yang sesuai dapat berpegang pada tiga algoritma tersebut.

Kemudian, perwakilan masyarakat sektor informal (target): "Apakah tarif dibuat satu model tarif nasional? Tarif yang sudah dibagi saat ini, berdasarkan kelas, mengadopsi darimana? Adakah ada hubungan dengan UMR daerah? Perlu ada aplikasi yang jelas agar program alikatif yg dapat diterima seluruh lapisan masyarakat".

Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD: "Grand desain sebenarnya sudah ada yaitu dengan UU BPJS. Varian sektor informal yang berbeda-beda, sehingga harus dilakukan pilot project agar diperoleh data "mana yang baik dan yang tidak". Akhirnya, dapat diusulkan model yang lebih baik. Disamping kita menidentifikasi model, perlu juga dihitung dari sisi biayanya.

Tanggapan Ibu Dr. Vivi Yulaswati, M. Sc:

Complain handling: "Apakah jika ada komplen harus ke BPJS? Menurut saya hal ini tetap perlu karena dalam kegiatannya melibatkan beberapa pihak, sehingga tanggapan masyarakat akan dapat didata dengan baik sebagai bahan evaluasi untuk menemukan solusi terbaik. Cost sharing bukan hanya dari sisi premi, tapi juga kualitas sisi layanan serta peran serta Pemda. Skema pembiayaan hingga saat ini sedang dicari yang paling sesuai.

Dr. Pujianto, SKM, M. Kes (akademisi) menyampaikan, saat diskusi tentang besaran premi (Rp. 19 ribu per bulan), dan besaran tersebut berlaku nasional. Daerah-daerah dibagi dalam beberapa kuadran sehingga akan terjadi subsidi silang daerah. Selanjutnya apakah Pemda akan berperan dalam sistem premi (memberikan subsidi premi). Perlu adanya pemberian pemahaman pada Pemda.

Perwakilan Dinas Kesehatan Purbalingga yaitu Drs. Sukento Rido Marhaendrianto, MM menyampaikan: pertama, Pemda Purbalingga akan melakukan pemetaan karena sektor informal yang masih tersebar namun belum terorganisir dengan baik. Kedua, Pemda perlu advokasi, terutama beberapa SKPD terkait, agar program BPJS akan berjalan dengan baik. Ketiga, Purbalingga siap dijadikan daerah pilot project.

dr. Ati Wahyuningsih (Kadinkes Kota Surakarta) mengungkapkan pendapatnya, daerah cukup berat untuk menyadarkan masyarakat untuk iur biaya. Di Solo, seluruh masyarakat telah dijamin penuh. Dalam pelaksanaannya, masyarakat dibagi menjadi pemegang kartu gold dan silver. Pemegang gold ditanggung semuanya dan silver maksimal akan diberikan bantuan 2 juta. Faktor kepentingan politik di daerah sangat tinggi, sehingga isu kesehatan dan pendidikan terus dijual saat kampanye, padahal dalam JKN harus ada iur biaya. Banyak kaum papa yang sangat miskin yang tidak masuk dalam database kesehatan, sehingga iur biaya; berapapun besarnya sebaiknya masih diterapkan agar dapat dilakukan subsidi silang pada kaum papa ini. Jadi, kendala yang harus diselesaikan adalah "bagaimana menyadarkan masyarakat yang tidak miskin agar bisa iur biaya". Kendala lainnya: isu Pilkada yang terus-menerus menjual isu kesehatan dan pendidikan.

dr. Bambang Haryatno, M. Kes (Kadinkes Kabupaten Kulon Progo) menyampaikan, pertama, biaya kesehatan dari Pemda sebesar sembilan milyar rupiah. Penerapan layanan kesehatan masyarakat di Kulonprogo yaitu "kami tidak mengeluarkan kartu kesehatan, namun cukup KTP saja. Termasuk RANAP dibantu maksimal 5 juta untuk tiap warga tiap tahun." Kedua, kami akan memperluas jalinan kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Ketiga, kami tidak membedakan sektor formal dan informal, jadi seluruh masyarakat telah terjamin. Keempat, untuk di mix dengan BPJS, perlu ada pembagian tugas. Terutama apa yang menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Kelima, selain itu, gubernur DIY juga membantu masyarakat miskin. Sebagi contoh: masyarakat miskin dengan rawat inap di RS. Sardjito harus membayar sebesar 25 juta. Dari biaya tersebut, Pemda Kulonprogo membantu sebesar lima juta serta tambahan bantuan lain dari provinsi dan gubernur. Poinnya, Kulon Progo siap menjadi lokasi pillot project.

Mitra internasional menyuarakan pendapatnya melalui Debby Muirhead, perlu dibentuk kelompok kecil untuk implementasi pilot project. Hal yang penting bukan hanya dinas kesehatan, tapi Bappenas dan kantor lain, agar jalinan kerjasama di seluruh sektor dapat berjalan beriringan. Mitra internasional bisa membantu dari sisi evaluasi independen. Salah satu bentuk dukungan AusAid adalah dibidang riset di universitas, sehingga AusAid juga dapat melakukan evaluasi.

Perlu dibandingkan yang telah menerapkan dan daerah yang belum, sehingga akan dapat diketahui pola-pola dan desain yang paling sesuai. Asosiasi profesi harus terwakili diseluruh daerah. Lalu, kita perlu memikirkan teknik sosialisasi yang paling baik karena masyarakat Indonesia, jika diberikan brosur sering dibuang. Detail sistem pembayaran dan akuntabilitas lembaga yang mengumpulkan premi. Karena isu utamanya, masyarakat tidak percaya dengan kader pengumpul. Jadi akuntabilitas kader pengumpul premi harus bisa dipercaya. Tidak hanya berkaitan dengan berapa yang kita membayar tapi saving. Saya keberatan dengan menaikkan biaya pkm karena masih banyak masyarakat yang tidak bisa membayar. Apalagi jika dinaikkan hingga Rp. 50 ribu, kami tidak setuju dengan hal tersebut. Identifikasi masalah dalam kerjasama dan mendiskusikan potensial solusi. Setuju dengan keterlibatan universtas dan integrasi data. Sistem monitoring dan evaluasi, manfaat investasi yang akan diperoleh investor.

Dr. Widyastuti Wibisana dari WHO menyampaikan pendapatnya, WHO akan membantu program ini, terutama di 6 (enam) wilayah yang telah ditetapkan: DKI, Jabar, Sumbar, Aceh, Gorontalo dan Sulut. WHO akan bekerjasama dengan pemerintah terutama isu kepuasan pelanggan, karena salah satu indokator adalah kepuasan peserta. WHO akan menampung masukkan dari tiap-tiap daerah. Kemudian, WHO akan membantu dalam hal kualitas provider. Bagaimana prosedur pengajuan kegiatan ke WHO? WHO telah memiliki prosedur kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Jadi, skema bantuan dapat dilakukan melalui kementrian. Dapat juga kontak langsung dengan unit kegiatan WHO untuk memperoleh informasi lebih detail.

Akademisi pun tampil untuk menambahkan masukan pelaksanaan BPJS 2014 ini. Dr. drg. Yulita Hedrartini, M. Kes, AAK, di lingkup universitas punya dana penelitian. Tahun ini, dana tersebut akan lebih diarahkan untuk evaluasi BPJS. Saya yakin tiap universitas memiliki dana untuk penelitian dan pengembangan, sehingga memungkinkan dilaksanakan konsorsium universitas. Selanjutnya, antar universitas dapat melakukan kerjasama misalnya dengan saling membagi tugas. Akhirnya, universitas siap membantu: sosialisasi, monitoring dan evaluasi.

drg. Ernawati, M. Kes dari Unair menyampaikan pihak akademisi punya rasa keingintahuan yang besar. Saya setuju dengan jejaring antar universitas di Indonesia. Kalangan akademisi saat dilapangan sering dianggap KPK/ BPK, sehingga diperlukan komitmen nasional. Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH dari Universitas Atmajaya menyampaikan akademisi lebih mengetahui keadaan lapangan dari laporan mahasiswa. Akademisi berperan sebagai anggota dewan riset daerah. Pemda Sumut memberikan akses khusus dewan riset. Nani dari PAMJAKI, cara-cara sosialisasi yg dilakukan asuransi swasta, dapat diadopsi. Pemilihan dokter pelayanan primer harus disiapkan. Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD (Universitas Indonesia) menimpali, saat ini, yang dibutuhkan adalah formulasi "what next step". Harus ada orang atau institusi yang bertanggungjawab untuk formulasi dan menjaga keberlanjutan konsep yang telah didiskusikan selama tiga hari ini. Harus ada satu tim untuk mengkristalkan atau menyimpulkan seluruh konsep. Menagih janji-janji seluruh supporter untuk aksi nyata (bukan hanya janji).