Kelompok AIDS

Laporan Content Pertemuan Awal dengan Universitas Lokal
Penelitian Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia


Pertemuan kelompok erja AIDS telah dilaksanakan pada Sabtu, 7 September 2013 di On The Rock Hotel. Pertemuan diawali dengan perkenalan dari masing-masing peserta, baik tim inti peneliti dan tim peneliti universitas rekanan. Ignatius Praptoraharjo memberikan pengantar tentang gambaran penelitian Kebijakan AIDS di Indonesia, yang mana pemetaan kebijakan AIDS di Indonesia dalam konteks sistem kesehatan berlaku di tingkat nasional dan lokal sehingga dianggap penting untuk melibatkan banyak universitas di daerah agar dapat memberikan pemahaman yang luas tentang penelitian. Terdapat dua keluaran yang diharapkan dari penelitian ini, pertama secara normatif adanya kebijakan ke pemerintah, kedua, penelitian ini secara praktis dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan teknis dan pendanaan AusAID tahun 2016 yang mendorong kebijakan-kebijakan dibidang AIDS. Fokus advokasi diharapkan tidak hanya pada saat pengumpulan data dan analisa. Tahapan pengumpulan data diawali dengan diskusi dengan pemerintah daerah, proses dialog dengan para policy maker dan kelompok dampingan, diseminasi informasi penelitian, pertemuan untuk mendorong agenda-agenda kebijakan,melakukan advokasi melalui unit pengetahuan sebagai bentuk advokasi ke policy maker. Penelitian ini ada di dalam upaya untuk membangun knowledge hubungan antara unit intermediary (pihak NGO) dengan policy maker. Melihat tujuan penelitian ini maka dibutuhkan peran dari tingkat lokal sehingga dalam pengorganisasiannya penelitian ini terdiri dari dua tim, tim inti yang menyiapkan (PKMK FK UGM) dan tim tim universitas. Pertemuan koordinasi kali ini akan membahas tentang pengorganisasian tim peneliti dan hal-hal substansial terkait penelitian akan dibahas pada pertemuan selanjutnya di Yogyakarta.

MATERI PRESENTASI (EXECUTIVE SUMMARY)

Udayana mengawali tanggapannya dengan menanyakan mekanisme keputusan tentang publikasi authorship dari dosen tim universitas. Hal ini didasari pengalaman dari Unipa peneliti lokal umumnya hanya sebatas kemitraan sehingga dalam laporan penelitian terdahulu tidak mencantumkan nama peneliti lokal. Kesepakatan tentang autorship harus ditentukan sejak awal. USU menambahkan, membangun mekanisme transparan memang sulit, publikasi (authorship) biasanya dari pihak kampus dan dari dinas, bukan peneliti.

Ignatius Praptoraharjo merespon bahwa nantinya akan terkumpul sembilan laporan dari masing-masing universitas yang mana dalam setiap laporan akan teridentifikasi siapa pengarangnya karena setiap laporan akan ditulis nama penelitinya. Kedepannya, tidak hanya laporan penelitian saja yang menjadi keluaran dari penelitian ini, tetapi harus ada aksi yang digunakan untuk advokasi. Terdapat salah satu contoh penelitian multi-countries, multi-institution (Kemenkes, NGO, universitas, dan sebagainya) yang mana dalam penelitian tersebut tercatat nama-nama peneliti yang terlibat.

Adapun pihak yang memiliki hak sepenuhnya terhadap penelitian ini ialah AusAID dan authornya tetap tim inti dan tim universitas. Ada beberapa kegiatan dalam penelitian yang memberikan kesempatan bagi peneliti lokal dalam penulisan jurnal nasional maupun internasional. Tanggapan yang berbeda diperoleh dari AusAID yang menyatakan bahwa kegiatan penelitian ini milik Indonesia karena menjadi kebutuhan pusat, bukan AusAID. Ignatius mengklarifikasi pernyataan tersebut dengan penjelasan tentang peraturan-peraturan terkait dan hak publikasi oleh donor penelitian yang memberikan dana bagi penelitian, misal setelah lima tahun atau waktu yang disepakati setelah penulisan laporan, pihak donor membolehkan publikasi hasil penelitian, pada batas waktu tersebut siapa saja dapat memperoleh data penelitian.

Isu selanjutnya diangkat oleh USU yaitu mengenai justifikasi penunjukkan peneliti lokal. Umumnya penelitian yang melibatkan universitas lokal akan masuk melalui lembaga penelitian yang berimplikasi pada institutional fee karena melalui fakultas. Alangkah baiknya jika tim inti (PKMK FK UGM) bersurat kepada dekan universitas lokal terkait pemilihan peneliti lokal, dan perlu menambahkan kalimat 'berdasarkan kriteria tertentu ditunjuklah (nama peneliti) sebagai peneliti lokal' agar tidak diragukan identitasnya. Draft protokol akan dibahas di minggu keempat November. Pembahasan akan dihadiri oleh perwakilan core team, AusAID, National Advisory Board (NAB), dan consultative group. Kesepakatan waktu pertemuan menunggu dari masing-masing universitas lokal.

Selanjutnya terkait poin aplikasi etik di daerah penelitian sebagai pertanyaan dari Udayana. Ethical clearence akan dibuat oleh PKMK dan diajukan ke Komisi Etik FK UGM. Menurut Iko, hal tersebut perlu ditindaklanjuti di masing-masing universitas karena bisa saja beda daerah beda pula peraturannya. Tim universitas lokal perlu membuat timetable penelitian disamping timetable tim inti. Di Medan biaya untuk memperoleh ethical clearence sangat mahal, sebesar dua juta rupiah maka perlu dipertimbangkan kembali poin tersebut jika dilakukan di daerah. Ignatius merespon dengan konsultasi antara masing-masing universitas lokal terkait peraturan ethical clearence dan menginformasikannya dengan tim inti.

Mengingat alokasi waktu penelitian yang cukup panjang, Ignatius menanyakan komitmen dari masing-masing peneliti universitas lokal dalam jangka waktu 30 bulan kedepan. Uncen, Udayana, dan UAJJ menyatakan jika dalam waktu tersebut ada peneliti yang ingin resign maka harus mencari pengganti yang sesuai kriteria dan harus jelas. Informasi tambahan dari Ignatius bahwa kerjasama bersifat individual sehingga jelas siapa yang akan menggantikan, tidak perlu meminta pengganti dari universitas.Menurut Iko, surat resmi komitmen penelitian bisa dilakukan paralel jika terdapat multicenter, dan komitmen dari individual peneliti lokal ke PKMK. Nantinya pihak PKMK FK UGM yang akan memberitahukan ke dekan masing-masing universitas. Saran dari USU, surat kesediaan probadi dikonsepkan PKMK UGM, mengetahui pihak dekanat, dan ada poin tambahan, seandainya dalam perjalanannya ada perubahan maka pihak yang bersangkutan merekomendasikan siapa yang akan mengganti. Pertemuan selanjutnya akan membahas protokol penelitian sampai kegiatan selanjutnya, yang direncanakan akhir November, kemudian dilanjutkan training sehingga sesuai timetable tim inti pada Februari akan dilakukan turlap.

Iko menanggapi UAJJ yang menanyakan tentang pelaksanaan kegiatan desk review. Desk review dilakukan dengan mengambil daerah tertentu karena hasil kegiatan ini bukanlah data primer. Tim peneliti inti yang akan datang melakukannya di lokasi penelitian. Uncen menyarankan tim inti yang membuatkan surat surat pemberitahuan ke daerah penelitian. Di Bali pengurusan surat ijin penelitian sangat mudah pengurusannya, cukup dilengkapi proposal surat ijin sudah bisa dikantongi.

Sebelum penyusunan protokol, USU mengusulkan sebaiknya setiap universitas lokal sudah memiliki baseline data awal (data kasar) dari KPAD provinsi maupun kabupaten untuk didiskusikan. Tindak lanjutnya, tim inti membuat surat pengantar untuk memperoleh data awal tersebut. Dalam desk review tim inti akan memilih beberapa kabupaten/kota dan menjelaskan alasan pemilihan daerah. Langkah awal dari pertemuan koordinasi ialah mendaftarkan setiap pihak yang terlibat dalam penelitian, termasuk tim inti dan tim universitas lokal, kedalam group sebagai media koordinasi.

Oleh: Sisilya Oktaviana Bolilanga