Kelompok AIDS, Ruang: Ruby, Hotel On The Rock
Tantangan Kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia
Kelompok kerja AIDS merupakan kelompok baru yang dibentuk dalam Forum Nasional. Mengapa kelompok kerja ini perlu ada? HIV/AIDS bukan masalah kecil, sebaliknya merupakan masalah besar yang perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa meskipun isu HIV/AIDS sudah menuju pada isu epidemi, tetapi penanganannya masih belum maksimal. Sehingga hasil yang diperoleh tidak signifikan dengan anggaran yang telah dibayarkan. Berbagai kebijakan sudah disahkan, namun seringkali hanya sebatas dokumen yang sah dan ditandatangani pejabat negara, namun aplikasi di lapangan sangat sedikit atau bahkan daerah tidak terpapar dengan kebijakan tersebut. Mengapa demikian? Apa saja tantangan Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia? Apakah masalah ini bisa diselesaikan melalui pendekatan-pendekatan lama, ataukah membutuhkan pendekatan yang berbeda dan lebih inovatif? Aktor-aktor mana saja yang seharusnya terlibat dalam penanganannya, dan siapa yang akan bertindak sebagai leader?
Pada Sesi 1.5B malam ini, telah hadir empat narasumber untuk membahas isu Tantangan Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia. Keempat narasumber tersebut adalah: Ir. Halik Sidik dari Komite Penanggulangan AIDS Nasional, dr. Afriana dari Subdit AIDS dan PMS Ditjen P2PL Kementerian Kesehatan, Prof. Budi Utomo dari HCPI, Prof. Irwanto, MA., Ph.D dari Universitas Atmajaya, Jakarta. Ignatius Praptoraharjo, Ph.D akan berperan sebagai moderator.
Narasumber 1: Ir. Halik Sidik-KPAN
Tantangan Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia
Ada Kebijakan, Kurang Implementasi
Halik Sidik menyoroti pengembangan topik pembahasan kali ini dari jenis-jenis kebijakan pemerintah untuk penanggulangan HIV/AIDS. Ada lima kebijakan dasar yang mengatur penanggulangan HIV/AIDS dan beragam peraturan turunan dari hierarki kebijakan. Melihat kenyataan ini, secara praktis sudah tidak ada lagi masalah yang berkaitan dengan kekurangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Maka muncul pertanyaan: Dimana letak masalah sebenarnya? Masalah sebenarnya adalah bagaimana mengimplementasikan semua kebijakan yang sudah ada di level masyarakat.
Isu-isu Implementasi Kebijakan
Program penanggulangan HIV/AIDS yang sekarang dilakukan sudah berumur kurang lebih 10 tahun, tetapi dampak yang dihasilkan belum signifikan. Salah satu contohnya yaitu isu keberlanjutan penggunaan kondom. Remaja yang sekarang menggunakan kondom karena perilaku seks, kemungkinan besar akan bergantung pada kondom itu seumur hidupnya. Tetapi, saat Ia lupa atau berhenti menggunakannya, maka penggunaan kondom yang sekali-sekali saja tidak akan terlalu bermanfaat lagi untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Pertanyaannya: Apakah sudah ada kebijakan yang mengatur perilaku seperti ini? Isu-isu lain untuk implementasi kebijakan sekarang adalah adanya percepatan penularan HIV/AIDS saat ini pada kelompok berisiko (termasuk penularan dari ibu hamil ke bayinya), dan'cultural shock', serta kemajuan teknologi. Tahun 2008, menurut Google Hit Statistik, Indonesia menduduki peringkat ke-3 di Asia untuk negara yang rakyatnya mengakses pornografi secara kontinu. Bagaimana mengantisipasi hal ini? Meskipun sudah ada kebijakan yagn dikeluarkan oleh MenKomInfo tentang pornografi, tetapi implementasinya juga masih sulit.
Dapatkah Kebijakan Mempengaruhi Anggaran?
Pada satu sisi, jawabannya adalah ya. Ada peningkatan jumlah anggaran di daerah. Hanya ada enam Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi yang anggaran maksimalnya berkisar 50 juta dari APBD. Anggaran hanya turun saat terlaksananya Pilkada atau KdH baru. Di sisi lain, jawabannya adalah tidak, yaitu dalam arti efektivitas anggaran. Masih perlu kebijakan atau pedoman dari Kemendagri untuk lebih mengefektifkan anggaran terutama kesesuaiannya dengan epidemi dan evidence. Contoh: salah satu KPA Provinsi menganggarkan lebih dari 400 juta hanya untuk merayakan hari AIDS sedunia. Apakah anggaran ini efektif? Jawabannya sudah jelas tidak. Salah satu catatan penting untuk efektifitas anggaran adalah berbasis pada populasi kunci dan LKB (PKM).
Analisis Kebijakan
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa masih ada kekosongan ada beberapa kebijakan yang ada, muncul masalah pada implementasi kebijakan, mencakup tidak ada PPNS untuk penegakkan Perda AIDS, masih dibutuhkan waktu bagi pengambil keputusan/pelaksanan kebijakan di daerah untuk implementasi dan siapa saja yang akan berperan, serta ada kebutuhan terhadap anggaran yang lebih efektif dan perencanaannya.
Narasumber 2: dr. Afriana-Subdit AIDS P2PL Kementerian Kesehatan RI
Kebijakan Program Pengendalian HIV-AIDS dan IMS.
Tidak ada daerah yang bebas HIV/AIDS
Di awal materi, narasumber rmenyoroti estimasi jumlah ODHA di Indonesia yang berjumlah 591.823 orang dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Dengan demikan berarti semua wilayah di Indonesia tidak ada yang bebas dari HIV/AIDS. Kenyataan yang cukup mengkhawatirkan. Sejak tahun 1987-2005, jumlah temuan kasus AIDS lebih banyak dari HIV, tetapi terjadi perubahan pola temuan kasus pada tahun 2006-2012, yaitu lebih banyak jumlah orang terinfeksi HIV. Artinya, sudah lebih banyak orang yang ditemukan sebelum memasuki stadium AIDS. Hal ini sesuai dengan tujuan pengendalian HIV/AIDS dan IMS yaitu: menurunkan jumlah kasus baru HIV, menurunkan angka kematian, menurunkan stigma dan diskriminasi, yang akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas hidup ODHA.
Kebijakan pengendalian HIV/AIDS
Tujuan kebijakan pengendalian HIV/AIDS adalah meningkatkan advokasi, sosialisasi dan pengembangan kapasitas, meningkatkan kemampuan manajemen dan profesionalisme, meningkatkan aksesibilitas dan kualitas, meningkatkan jangkauan pelayanan untuk pelayanan HIV/AIDS. Tujuan lainnya adalah menggerakkan program berbasis masyarakat, menginkatkan jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama, serta mengupayakan pemenuhan kebutuhan sumber daya. Untuk mencapai tujuan ini maka dibentuk layanan-layanan terpadu di Rumahsakit, Puskesmas, LSM, rutan/lapas). Maka pertanyaannya adalah: Seberapa besar masalah HIV/AIDS di sekitar kita? Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar, karena penularan HIV/AIDS terutama terjadi karena ada perilaku yang berisiko, seperti praktek seksual tanpa pengaman, praktek penggunaan jarum suntik tidak steril dan berganti-ganti, serta penularan ibu HIV positif ke bayi. Maka kebijakan pengendalian HIV/AIDS harus dilakukan secara komprehensif, meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Perlu melibatkan seluruh sektor terkait, civil society organization termasuk swasta dan tokoh masyarakat.
Tantangan di Layanan Kesehatan dan RTL
Pembahasan Afriana berlanjut pada konteks tantangan di layanan kesehatan. Ia menyoroti beberapa hal seperti berikut: stigma dan diskriminasi, rendahnya pengetahun tentang HIV/AIDS dan IMS, missed opportunity: diagnosis, perawatan/terapi dini dan akses dukungan psikososial, terbatasnya akses dan utilisasi layanan, dan logistik dan SDM yang kurang memadai. Menghadapi tantangan tersebut memang tidak mudah, maka dibutuhkan RTl yang tepat, seperti melakukan upaya penurunan stigma dan diskriminasi, melakukan upaya peningkatan pengetahuan, peningkatan akses, penurunan miss opportunity, dan dibentuknya tim mentor klinis di setiap propinsi. Nama lainnya adalah Layanan Komprehensif Berkesinambungan.
Pembicara 3: Prof. Budi Utomo-HIV Coorporation Program for Indonesia
Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS, Indonesia
Memahami Kebijakan Program Penanggulangan HIV/AIDS
Topik bahasan Budi Utomo ada tiga, yaitu: memahami kebijakan program penanggulangan HIV/AIDS, harapan versus realitas peran, dan Isu strategis kebijakan dan program. Ia menyatakan bahwa untuk memahami program kesehatan ada tiga fungsi pokok yang harus dilakukan, yaitu asesmen, pengembangan kebijakan dan jaminan kualitas pelaksanaan. Ketiga hal ini akan bermuara pada layanan, perubahan perilaku dan epidemi penyakit. Namun, tetap masih dalam konteks sosio ekonomi-politik-buaya-teknologi-etika. Budi Utomo, menitikberatkan pembahasannya pada metode atau strategi yang dibutuhkan untuk kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Pendekatannya melalui komisi atau organisasi, yang berasal dari berbagai level dari level nasional sampai level daerah/kabuapaten/kota. Selain itu, perlu melibatkan juga sektor lain, orgnasasi lain, dan LSM sebagai pelaksana program dan pemberi layanan. Hal yang perlu diipikirkan secara serius adalah kebijakan apa yang sesuai peran masing-masing komisi atau organisasi? Bagaimana mekanisme pembiayaan dan pelatihannya?
Harapan versus Realitas
Komisi Penanggulangan AIDS, diharapkan memiliki kemampuan untuk mobilisasi, fasilitasi, koordinasi, kolaborasi sektor yang membutuhkan kebijakan secara spesifik mengatur hal tersebut. KPA/Pokja bersifat sementara sampai kabupaten/kota kuat dan mandiri. Realitas menyatakan sebaliknya. Ada kelemahan hubungan birokrasi/strukutal dengan sektor. Contoh: Siapa leader di KPA? Seharusnya adalah kepala daerah, tetapi ada kepala daerah yang tidak peduli. Hal ini mengindikasi bahwa birokrasi KPA hanya memperkuat kebijakan dan program saja, tetapi mobilisasi dan implementasi masih lemah. Bukan hanya KPA yang salah, tetapi sektor lain juga berperan memperparah realitas penanggulangan HIV/AIDS, karena terjebak hanya sebagai pelaksana. Akibatnya ada kerancuan peran antara KPA dengan sektor lain. Ada juga yang berpikir bahwa masalah HIV/AIDS adalah masalah KPA sehingga, hubungan koordinasi jadi lemah. Demikian juga ada kelemahan dalam hal kapasitas-dana dan ketenagaan-sebagian besar masih bantuan dari donor asing. LSM atau organisasi kemasyarakatan selama ini diharap dapat menjadi pendamping dan memberikan dukungan untuk implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS, tetapi sekali lagi realitas membuktikan bahwa cakupan masih terbatas, pendanaan juga masih berasal dari sumber asing, sehingga keberlangsungan hidupnya hanya selama sumber tersebut bersedia mendanainya, dan LSM/organiasi kemasyarakat kurang dilibatkan oleh sektor resmi dari pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program.
Isu-isu strategis Kebijakan dan Program
Dari pembahasan di atas, selanjutnya Budi Utomo menarik perhatian kea rah isu strategis yang dapat dikembangkan untuk kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Beberapa isu strategis tersebut adalah: kesamaan konsepsi dan persepsi, kerancuan peran tentang kelembagaan dan kepemimpinan, pendanaan-bantuan asing atau APBD?, struktur penanggulangan dalam konteks desentralisai, pencegahan primer dari transmisi sekual dan penyuntikan narkoba, kebijakan berbasis evidence, dan akses pelayanan. Isu-isu strategis tersebut perlu dikembangkan lebih jauh, jika memungkinkan menggunakan forum ini sebagai salah satu sarana menyaring saran dan koreksi dari seluruh pemerhati kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.
Pembicara 4: Prof. Irwanto, MA., Ph.D-Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA Atmajaya, Jakarta
Tantangan Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Narasumber Irwanto, menarik kembali perhatian peserta pada ciri khusus HIV/AIDS, yaitu: penyakit infeksi, termasuk penyakit kronis atau jangka panjang (dan membutuhkan –mungkin- ARV seumur hidupnya), dan penyakit menular. Penyakit ini mempunyai dimensi sosial yang sangat kuat karena menyangkut marginalized population. Siapakah petugas/orang yang mau berbicara tentang masalah seks, pekerja seks, waria, saat ini? Membicarakan hal itu masih sering dianggap tabu dan bukan merupakan topik yang enak di bahas dan di dengar dalam pembicaraan sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan tanggapan awal pejabat atau tokoh-tokoh penting. Pertanyaannya adalah: Apakah ketakutan tersebut hanya karena ketidaktahuan? Ataukah karena ada pertimbangan moral lain? Konsekuensi yang dihadapi karena masalah ketakutan ini adalah vakum kepemimpinan dan inisiatif. Padahal, untuk menangani epidemi ini dibutuhkan kepemimpinan sektor yang kuat, perencanaan strategik yang baik, dan investasi yang adekuat. Kembali dibandingkan dengan 25 tahun realitas, KPA masih lemah dalam peran sektoralnya dan belum ada strategi penanggulan menanggapi kronisitas, masih terjadi kerancuan peran dengan sektor lain, dan pengambilan keputusan dan implementasi yang masih sangat tersentral. Invetasi juga masih setengah hat, hanya mencakup 40% dan mudah didikte dengan agenda yang mungkin tidak sesuai kebutuhan karena masih berasal dari donor asing.
Menyelesaikan Masalah Utama HIV/AIDS
Bertolak dari tiga ciri utama HIV/AIDS, cara menyelesaikan masalah yang diajukan Irwanto menjadi lebih mudah. Pertama, perhatikan elemen penting dari kebijakan yaitu menyatukan persepsi bahwa HIV/ADIS merupakan penyakit infeksius. Dengan demikian, maka dasar pengambilan kebijakan adalah evidence. Misal: Siapa yang harus mendapat konseling pada program kondom? Apakah populasi umum atau ada populasi yang lebih spesifik? Jawabannya adalah setiap orang yang menggunakan kondom itulah yang perlu ditangani dengan segera. Juga dibutuhkan cara pandang yang baru terhadap populasi kunci, yaitu memandang mereka dengan respek dan penghargaan pada partipasi mereka. Selain itu, dibutuhkan juga investasi di seluruh level baik primer/pengobatan maupun sekunder untuk pencegahan. Bukan hal yang mudah karena dibutuhkan komitmen yang sangat kuat dari sektor kesehatan di seluruh propinsi.
Kedua, menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit kronis, membutuhkan cara hidup sehat, dan cara pencegahan/pengobatan yang baik, kesiapsiagaan pemberian dukungan termasuk mental health, integrasi dengan berbagai pelayanan yang relevan dan sejenis. Ketiga, memperkuat dimensi sosial politik. Sampai sekarang, masih saja ada stigma dan diskriminasi pada populasi ini. Selain itu kerangka hukum masih menghambat penanganan HIV/AIDS. Lalu, dibutuhkan leadership yang kuat, tetapi tetap kembali pada respon daerah yagn berbeda-beda. Sektor pendidikan harus lebih terbuka dan bekerja sama dalam hal menyebarkan secara lebih luas pengetahuan umum tentang HIV/AIDS, pencegahan dan pengobatannya, dengan cara yang berterima tetapi lugas dan jelas, misal: dalam kurikulum SMP, SMA, juga perkuliahan.
Masalah leadership, memang bukan masalah mudah, dimana leadership dibutuhkan? Ledearship dibutuhkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibutuhkan sudah ada dan berani menjalankan kebijakan, memenuhi semua komponen yang dibutuhkan. Leaderhsip dibutuhkan untuk memastikan bahwa komunikasi dan koordinasi atar sektor, terutama sektor pemerintah dan non-pemerintah benar-benar berjalan. Selain itu leadership juga dibutuhkan untuk mengambil tindakan tidak popular karena berhubungan dengan isu-isu populasi yang terpinggirkan.
Penutup
Perumusan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang dapat diimplementasikan di populasi kunci dan populasi umum masih menjadi tugas rumah bagi penyusun kebijakan di Indonesia. Keberanian menggunakan evidence dalam membuat formulasi kebijakan sangat dibutuhkan. Leadership untuk menjalankan kebijakan sesuai legal framework yang ada harus dikembangkan. Kemauan dan kemampuan untuk tidak bergantung pada ahli-ahli asing perlu dimunculkan.