Laporan Hari I Laporan Hari II Laporan Hari III
Laporan hari 3 (hari terakhir, jalur budaya organisasi dan kepemimpinan)
Pada hari ketiga ini pendekatan Budaya Organisasi dalam safety dan quality menjadi tema pokok konferensi. Keynote speaker pertama adalah David R. Wiliams yang merupakan astronot (3 kali spacewalks) sekaligus sebagai dokter emergency, dan saat ini menjabat sebagai Presiden and CEO Southlake Regional Health Center and Assistant Professor of Surgery, University of Toronto.
Mengamati pembicara ini, terlihat bahwa pengelola Forum mencoba untuk menarik perhatian lebih ke aspek budaya dan membawa pembicara tidak hanya dari dunia penerbangan biasa, namun juga dari astronot yang juga menjadi dokter. Ini mencerminkan keinginan Forum untuk lebih menekankan mengenai budaya mutu. Pembicara menekankan mengenai sifat aerospace yang sangat riskan jika mempunyai kesalahan. Dan sifat ini secara penuh masuk ke budaya organisasi NASA sebagai lembaga yang mengurusi perjalanan angkasa luar. Tantangan pribadi bagi dia adalah bagaimana membawa budaya ini ke lingkungan rumahsakit setelah menjalani misi ulang-alik.
Selanjutnya pembicara menerangkan mengenai bagaimana karyawan Nasa bangga menggunakan badge. Dimana mana dipakai. Merayakan budaya organisasi merupakan hal yang sangat kuat di NASA. Shared value dan ada fokus pada culture safety. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa pada tanggal 28 Januari 1986 terjadi failure pada peluncurannya Challenger. Ini adalah kesalahan sangat fatal, dan mereka pelajari.
NASA melakukan analisis pada saat decision making peluncuran. Ada sebuah hal menarik yang ditemukan yaitu: "Normalization of Deviance". Mereka melihat bahwa ada suatu situasi dimana yang menyimpang dianggap normal. Situasi ini ternyata fatal.
Sebagian pihak di NASA percaya bahwa sulit ada kelainan di permesinan. Mesin tidak pernah gagal. Sayangnya sebagian di NASA tidak menggunakan data dari tes, namun lebih banyak eksperience. Normalization of Deviation juga terjadi saat Columbia terbakar habis pada saat re-entry ke bumi. Tapi NASA tidak menyerah dan terus melakukan perbaikan sampai penerbangan ulang-alik dihentikan.
Apakah Normalization of deviance ada di kesehatan? Ya ada dan banyak menurut pembicara. Hal ini yang perlu diperbaiki.
Kembali ke NASA. Dalam pengembangan SDM termasuk pelatihan astronot, ada yang menarik bahwa ada training untuk menjadi leader, namun juga ada training menjadi follower yang baik. Disamping itu ada penekanan luar biasa mengenai bekerja dalam satu team dan secara interprofesi. Hal-hal ini dibawanya ke kehidupan di rumahsakit dimana dilakukan pengembangan clinical leadership. Kultur yang dikembangkan adalah: Work in a team and Build Team Emotional Intelligence. Ini menyangkut kepercayaan terhadap anggota, mempunyai identitas kelompok yang kuat, mempunyai sense of group efficacy,mempunyai komitmen ke kelompok, dan mempunyai ketrampilan untuk interaksi antar perorangan yang baik.
Refleksi ke Indonesia. Pada pertemuan ini Forum berusaha merefleksikan budaya safety dan mutu tidak hanya dari penerbangan biasa, tapi sampai ke aerospace dan juga balapan formula 1. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa mereka ingin benchmark yang lebih tinggi, yang oleh sebagian pihak mungkin dianggap berlebihan. Indonesia bagaimana? Hal ini menarik karena ternyata budaya organisasi belum banyak dipahami di rumahsakit. Masih banyak fragmentasi yang terjadi atau bahkan tidak menyadari bahwa ada satu faktor kunci besar dalam mutu dan safety yaitu budaya yang terkait erat dengan perilaku tenaga kesehatan, manajer rumahsakit, dan pemilik.
Sesi Creating a Culture of Excellence
Sesi in diselenggarakan di Amphiteater Utama. Hal ini membuktikan bahwa budaya organisasi memang menjadi isu utama dalam peningkatan mutu dan safety di pelayanan kesehatan. Pembicaranya adalah James Anderson, Michael Dowling, Gary Kaplan, dan Andrea Kabcenell RN
Sebagai fasilitator, Andrea menyatakan bahwa budaya adalah alat strategi untuk pengembangan diri. Strategi tanpa dilandasi budaya organisasi yang kuat akan sulit berjalan. Konsep Budaya organisasi disini banyak mensitasi dari bukunya Schein. Disadari bahwa budaya organisasi tidak banyak dipakai di kesehatan. Namun sudah mulai diterapkan dengan menggunakan beberapa step kunci untuk perubahan budaya, antara lain: Menetapkan Tujuan, melakukan identifikasi perilaku yang mencerminkan budaya. Memberikan dukungan untuk perilaku yang baik dalam sistem informasi, kebijakan SDM, pelatihan, kepemimpinan, dan insentives serta peran para pemimpin yang terus mempromosikan perilaku dan pesan-pesan.
Dalam menciptakan kultur menuju ke prestasi cemerlang diperlukan katalis yang terkait dengan: Tujuan, identifikasi perilaku, struktur dan metode dalam governanc, training, incentives, rules, dan sistem mengkontrak tenaga dan peralatan. Diharapkan ada perubahan perilaku, perubahan sikap dan akhirnya perubahan iklim organisasi dan perubahan budaya. Konsep ini dijalankan oleh beberapa rumahsakit yang dibahas pada sesi ini:
James M. Anderson yang mengarahkan perubahan di RS Anak anak Cincinnati sebagai Presiden dan CEO tahun 1996 sampai 2009. Prinsip dasar yang dipergunakan adalah: RS merupakan lembaga yang sangat kompleks dan mempunyai sistem yang saling tergantung.Hanya dapt berjalan baik jika semua komponen berjalan mendekati semua.
Sebelum tahun 1996 dilakukan sebuah pembaharuan: To be the leader in improving Child Health. Dalam penyusunan visi ini ada terkandung pertanyaan: Mengapa tidak semua pelayanan, Apa hasil yang akan kita berikan dalam pelayanan? Dan bagaimana kita akan mengukur hasil kita?
Kemudian di tahun 1999 ada perubahan kepemimpinan: CEO dan kepala Board yang baru yang tidak mempunyai pengalaman di kesehatan namun mempunyai komitmen kuat. Saat itu yang terjadi adalah Cultur of No. Bekerja terpisah pisah seperti dalam silo silo. Tidak ada ukuran mengenai keberhasilan lembaga. Pencapaian melalui usaha individu bukan usaha kelembagaan. Struktur Organisasi tidak ccock untuk perubahan transformasional. Oleh CEO yang baru dilakukan perubahan budaya melalui Menciptakan unit usaha yang partisipatif. Dilakukan dalam pelayanan klinik seperti jantung, psikiatri, dll. Unit usaha ini:
- Dipimpin oleh dokter dan perawat serta business leaders
- Punya akses ke tim pemimpin senior
- Merombak sistem kerja yang terfragmentasi dalam silo-silo
Dalam pelaksanaannya menggunakan banyak pertemuan yang terukur dan rutin terprediksi; menggunakan laporan yang berbasis temp-plate untuk aspek Keuangan dan Non Keuangan. Menggunakan alat lainnya seperti penggunaan data real time, menyusun rencana strategis yang baik, transparansi, sistem yang reliabel, dan belajar dari industri lain yang juga high risk. Terakhir struktur organisasi harus merefleksikan prioritas dan mekanisme yang akan dilakukan, dan mendukung semangat Risk taking serta pencapaian share vision dan high aspiration.
Michael Dowling menggunakan nilai-nilai Sistem- Excellence dan Customer Focus dalam pengembangan budaya organisasi untuk peningkatan mutu pelayanan. Ciri-ciri organisasi yang besar menurut Dowling adalah selalu ingin berkembang, mempunyai semangat belajar terus menerus termasuk belajar ke industri lain, mempunyai budaya yang excellence. Dasar perubahan antara lain: pemimpin harus dapat menerangkan mengenai landscape perubahan. Landscape ini harus dipahami oleh semua karyawan, lengkap dengan tahapan proses perubahannya. Jelas mengenai tujuan perubahan; Menciptakan lingkungan yang selalu belajar. Disamping itu perubahan perlu pada SDM dengan fokus pada leadership dan kaitannya dengan pasien sebagai pengguna, mengharapkan SDM selalu saling komunikasi. Dalam pengembangan SDM perlu memperhatikan secara seksama rekrutmen, pengembangan karyawan yang berbakat, mencari pemimpin-pemimpin masa depan yang potensial, dan merencanakan suksesi kepemimpinan. Berbagai pengembangan tersebut didukung dengan perubahan struktur organisasi yang semula tidak tepat menjadi lebih mendukung. Dalam konteks pelayanan perubahan menggunakan simulasi simulasi untuk peningkatan pengalaman, agar mendapat masukan dan input.
Gary Kaplan dari Virgina Masin Medical Center USA merubah budaya dengan pendekatan Strategic Plan yang disusun dengan baik. Dalam strategic plan pasien ditempatkan di posisi yang sangat penting untuk pelayanan. Pasien sebagai pengguna. Penyusunan rencana strategis dilakukan dengan semangat perubahan yang dapat dilihat dari pernyataan visinya. Namun ternyata mengalami kesulitan dalam melakukan perubaha. Mengapa sulit sekali merubah? Ada banyak faktor, antara lain budaya organisasi yang enggarn berubah, kekurangan shared vision, harapan yang tidak sampai, merasa tidak penting dan adanya kepemimpinan yang tidak efektif.
Dari titik ini diperlukan perubahan berbagai asumsi, termasuk pemikiran lama adalah sikap dokter yang mewarisi pemikiran yang sulit diubah karena mempunyai otonomi dan ada priviledge. Perlu penekanan mengenai peningkatan keselamatan dan mutu pelayanan yang memberikan pengalaman pelayanan yang baik. Oleh karena itu dalam rencana strategis diperlukan Strategic Vision yang dapat dipahami dokter dan lembaga.
Dalam proses perubahan yang dialami memang diperlukan kepemimpinan yang menetapkan arah. Pemimpin ini memberikan tanda-tanda yang mampu mengurangi ketidakpastian dan kebimbangan mengenai apa yang penting dan bagaimana cara rumahsakit bertindak. Para pemimpin di rumahsakit juga harus mampu mengangkat mereka yang distress dan menjadi sponsor perubahan.
Lebih lanjut Kaplan menyatakan bahwa pengalaman menunjukkan para pemimpin perlu menguraikan visi keberhasilan, menetapkan tujuan dengan jelas, menyediakan resources, menghilangkan penghalang-penghalang dan merayakan keberhasilan-keberhasilan yang diraih. Jika ada yang harus diberikan, para pemimpin harus mengucapkan terimakasih. Dalam menangani masalah para pemimpin dirumahsakit harus mengatasi sendiri, mengenal dan memahami seluruh SDM serta mampu menghubungkan berbagai titik dalam jaringan kerja. Disamping itu pemimpin harus mempunyai rasa, hati yang baik dan pandangan jernih. Pengalaman menunjukkan perlu keberanian dalam mengelola dan memimpin perubahan. Pengalaman yang dapat dilihat adalah merubah staf yang skeptis pada perubahan menjadi champion.
Refleksi untuk Indonesia:
Model perubahan budaya ini menarik karena membutuhkan waktu yang cukup lama dan proses perubahan detil yang membutuhkan leadership kuat. Tidak gampang untuk mencari RS di Indonesia yang berhasil melakuan perubahan. Ada dua yang saya ketahui adalah RSD Banyumas dan RSD Tabanan. Namun perubahan budaya ini sudah lama dilakukan. Dalam konteks RS yang berada dalam situasi BLU dan Jamkesmas saat ini belum ada riset operasional mendalam mengenai perubahan budaya di RS pemerintah. Untuk RS pendidikan belum pernah dilakukan dan mungkin sangat membutuhkan perubahan budaya. Pertanyaan pentingnya adalah apakah para manajer dan konsultan manajemen rumahsakit dan mutu memperhatikan aspek budaya organisasi? Forum di negara maju sangat memperhatikan budaya organisasi. Logikanya Indonesia sebagai negara sedang berkembang mempunyai tantangan lebih besar dalam menata budaya organisasi agar dapat mendukung pelayanan yang bermutu dan aman .
Pengembangan Kepemimpinan untuk mutu
Sesi setelah makan siang membahas mengenai pengembangan kepemimpinan untuk peningkatan mutu. Sesi ini difasilitasi oleh Robert Varnam, Martin Vogel, David Labby, dan Richard Grol. Inti pembicaraan pada sesi adalah bagaimana mengawinkan antara manusia dengan teknologi. Secara praktis dapat dilihat bahwa perkembangan teknologi menghasilkan sistem pelayanan kesehatan yang semakin kompleks. Di dalam sistem yang semakin kompleks ini ada SDM yang perlu dipimpin. Tantangan ini yg dikerjakan oleh NHS Inggris selama bertahun tahun. Salahsatu toolnya adalah PDSA (Plan, Do, Study, Action). Pengkawinan antara perbaikan sistem dan leadership menjadi hal menarik karena sistem yang kompleks perlu didukung oleh leadership yang mungkin mempunyai tingkat kecanggihan yang lebih kompleks.
Dalam konteks pengembangan sistem ini, bagaimana karyawan merespon terhadap change? Yang menarik salahsatu pembicara menyataka bhawa sebagian besar orang punya pengalaman menyenangkan tentang perubahan. Perubahan yang baikpun mungkin tidak dapat dilakukan.
Sebagai gambaran, ada kemungkian sebuah ide brilian disampaikan ke karyawan. Tapi ternyata tidak menarik bagi sebagian besar orang. Akibatnya perubahan gagal. Intinya proses perubahan tidak dapat menghasilkan hasil kalau tidak ada dukungan dari seluruh pihak. Jadi perubahan perlu ada dukungan, penerimaan, dan partisipasi dari banyak pihak. Situasi ini yg akan membawa hasil. Dalam hal ini kultur organisasi berpengaruh.
Bagaimana hubungan perubahan sistem denan karyawan dan pemimpinnnya. Ada banyak contoh. Orang ingin ke berubah ke suatu tujuan lebih lanjut. Tapi mereka lebih kawatir tentang bagaimana perjalanan sampai ke sana.
Pertanyaan lebih detil mengapa ada proses perubahan yang gagal? Hal ini perlu dilihat dalam konteks proses. Tahap 1 dalam perubahan adalah melakukan diagnosis situasi kelembagaan yang ada saat ini. Apa yang terjadi? Bagaimana hubungan sistem dengan orang. Pada tahap ini munkin sudah ada kegagalan.
Tahap 2 adalah bagaimana merancang design yang disengaja. Dalam hal ini menyusun visi dalam rencana strategis haruslah mendalam. Visi harus disusun dari hati. Tantangannya bagaimana mencari visi yang memberikan ilham bagi banyak pihak. Hal ini dapat dicari dari pergi ke konferensi, diskusi dengan banyak karyawan dll. Inti dari memulai disain perubahan adalah bagaimana mengajak berbagai pihak untuk melihat ke depan. Perlu menggunakan ceritera, diagram, dan gambaran. Kemudian rancangan ini dijalankan dan dipimpin dengan komitmen yang kuat. Tanpa ada desian dan visi jelas, maka perubahan dapat gagal.
Hambatan Politik dalam Peningkatan Mutu
Sesi berikutnya adalah mengenai bagaimana politik dapat menghambat pengembangan mutu. Namun sebaliknya, tekanan politik dan keterbukaan dapat meningkatkan mutu. Tema ini dipilih dalam diskusi dengan bahasan sebuah masa ketika terjadi kematian yang tinggi pada bedah jantung anak di RS Bristol Inggirs. Ternyata ada masalaah didalam pelaporan safety. Pelaporan sebelumnya berlangsung tertutup, dan menjadi hal yang terkait politik. Namun kemudian ada tekanan publik untuk membuka mengapa kematian meningkat. Dengan tekanan publik ini kemudian dilakukan penyelidikan dan ternyata hasilnya menarik. Setelah penyelidikan data menunjukkan kematian menurun.
Dalam laporan kasus ini disebutkan bahwa ada masalah yang sangat besar yaitu adanya culture of denial (budaya menyangkal) walaupun sebagian besar staf merasakan adanya masalah dan memikirkannya. Berdasarkan pengalaman ini, selama bertahun-tahun dilakukan pengembangan untuk mengurangi kultur ini. Salahsatu kuncinya adata keterbukaan data. Pada tahun 2010 NHS mengeluarkan kebijakan nasional mengenai monitoring. Hal ini penting untuk memantau hasil. Penilaian didasarkan pada Hospital Standardized Mortality Ratios yg disusun oleh Imperial College. Di dalam transparansi ini banyak pihak yang terlihat, termasuk pressure group dari kelompok masyarakat dan Independent inquiry juga ada.
Di dalam proses ini gejala Normalization of Deviance juga ditemukan (Lihat laporan sebelumnya). Gelaja ini pada intinya ada situasi yang membiarkan dan menganggap biasa penyimpangan; mengapa kita membiarkan hal hal yang buruk, kenapa tidak diatasi. Contohnya antara lain: tidak cuci tangan dengan benar, tidak mengikuti protokol, dokumentasi buruk, menggunakan pakaian rumahsakit di rumah, dan lain sebagainya.
Normalization of deviance bisa menjadi awal dari merosotnya kelembagaan yang akhirnya menjadi gejala organizational deviance.Terjadi penyimpangan oleh lembaga dari hal-hal yang benar. Sebuah data menarik menunjukkan bahwa pasien yang dioperasi pada hari Jumat mempunyai risiko kematian lebih tinggi dibanding pasien yang dioperasi hari Senin sampai Rabu. Penanganan oleh residen baru juga lebih berbahaya dibanding yang senior. Sebagai catatan: Columbia crash (kembali) berasal pada kultur buruk yang mengacuhkan adanya penyimpangan dan membiarkan.
Bagaimana mencegah Normalization of deviance? Apakah bisa melindungi karyawan yang menjadi peniup peluit (whistler blower) mengenai sesuatu yang menyimpang? Apakah perlu tekanan publik dan media? Sebagai catatan RS Bristol berubah menjadi lebih baik lagi dalam waktu duapuluh empat bulan setelah penyelidikan dilakukan.
Kunci lain adalah budaya organisasi yang dapat menangkal gejala Normalization of Deviance. Budaya ini antara lain menyangkut semangat untuk menyadari bahwa pekerjaan di RS sangat renta pada error, menentang keras terjadinya normalisasi penyimpangan, dan kegiatan untuk keselamataan. Apa yg dibutuhkan? Berbagai hal dilakukan antara lain: Continous quality control, reguler audits, menjauhkan gerakan mutu dari pengaruh buruk politisi namun tetap menggunakan politik untuk perbaikan mutu, dan publikasi data penting untuk pasien and klinisi dalam konteks pengambilan keputusan yang transparan.
Sesi Penutupan
Sesi penutupan dilakukan dengan presentasi akhir oleh Professor Donald Berwick yang sangat terkenal dalam konsep mutunya. Judulnya adalan Towards an Ethics of Improvement. Pidato penutupan ini dilakukan dengan pemaparan mengenai pengalaman pribadinya melakukan error dan bagaimana perasaannnya.
Prof Berwick menceriterakan: Pada awal tahun 70an saya menjadi dokter residen di sebuah RS di Boston.
Saya mengalami kejadian yang tdak pernah saya lupakan. Bayi yang seharusnya dapat ditolong tetapi menjadi bermasalah karena kesalahan saya. Pada awalnya saya tidak tahu mengapa salah. Mengapa ada yang salah...ternyata ada yang salah dalam melakukan transfusi....dan saya tidak memperhatikan. Saya mengakui betapa bodohnya saya...dan saya diam saja.
Senior saya yang tahu hanya menyatakan jangan sedih, banyak yang melakukan kesalahan. Waktu itu saya bingung apa yang harus saya lakukan. Saya kerjakan nothing...Dalam kasus tersebut saya merasakan ada sesuatu yang salah. Kenapa saya diam. Hal ini tidak etis. Merasakan sebuah kesalahan dan diam sebenarnya melanggar etika, tapi waktu itu saya tidak tahu harus bagaimana. Di sisi lain saya juga mengalami ketakutan tentang kesalahan ini.Dengan pengalaman ini saya mengusulkan dalam pengembangan mutu pelayanan perlu dimasukkan komponen etik. Juga pada apa yang disebut dengan waste (hal yang terbuang sia-sia) dalam pelayanan kesehatan. Banyak pemborosan saat ini yang terus akan berkembang. Tindakan medik yang tidak diperlukan atau terlalu banyak merupakan sumber pemborosan. Hal ini juga harus dikaitkan dengan etika. Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi terus. Sebaiknya masuk sebagai etika.
Dalam penutup, Professor Berwick mengusulkan An Ethics Of Improvement yang tersusun atas:
- Professionals have a duty to help improve the systemes in which they work
- Leaders have duty to make no 1 logical, feasible, and supported
- No excuses for inaction of no 1 and no 2 are acceptable
- The duty to improve encompasses safety, effectiveness, patient centeredness, timeliness, efficiency, and equity. This requires the continual reducation of waste
- Those who educate professionals have a duty to prepare them for this improvement work.
Pidato penutupan tersebut sangat mengesankan sehingga ketika selesai peserta Forum melakukan standing ovation. Panitia Forum kemudian menutup acara dan mengumumkan bahwa pertemuan tahun depan (2013) akan diselenggarakan di London.
Refleksi akhir mengikuti Forum
Sebelum mengikuti Forum di Paris ini saya sudah menyadari bahwa ini adalah Froum untuk negara maju. Hal ini terbukti dari pembicara dan peserta yang sebagian besar berasal dari negara maju. Namun juga banyak poster yang mulai berasal dari negara-negara sedang berkembang, termasuk Thailand dan Indonesia (dari saya mengenai Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dalam program Sister Hospital NTT). Pertanyaan menariknya adalah apakah mengikuti Forum ini berguna?
Saya pribadi melihat bahwa pengelola pelayanan kesehatan di Indonesia, Kementerian Kesehatan, juga para pimpinan RS Swasta dan pemerintah di Indonesia perlu untuk mengikuti Forum ini. Mengapa? Dengan mengikuti forum ini saya dapat melihat betapa semakin majunya pengembangan mutu dan keselamatan pelayanan kesehatan di negara maju. Selama mengikuti Forum ini saya selalu bertanya: Apakah pelayanan kesehatan di Indonesia akan mampu dan akan sampai ke level negara maju dalam safety and quality ini? Apa visi Indonesia dalam pelayanan kesehatan? Ataukah kita hanya sampai pada situasi yang tidak punya visi yang harus diwujudkan?
Hal ini tentu perlu kita sikapi dalam menentukan kebijakan nasional untuk pengembangan mutu. Sebagai gambaran ada pertanyaan yang sederhana; Bagaimana strategi nasional untuk peningkatan mutu dan safety di Indonesia. Kemudian bagaimana di level propinsi dan kabupaten? Apakah kita akan menyerahkan ke lembaga-lembaga independen dengan peran minimal negara? Atau bagaimana? Pengalaman di negara maju, saat ini NHS Inggris berperan sebagai leader dalam pengembangan mutu dan safety pelayanan kesehatan.
Ada baiknya refleksi ini dapat dibahas di Indonesia. Mutu dan keselamatan pasien ini menjadi semakin penting dalam era Jamkesmas dan SJSN. Apakah pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin akan lebih rendah mutunya dibanding bagi mereka yang mampu membayar dengan kantong sendiri? Hal ini menjadi tantangan tersendiri: bagaimana menjamin mutu bagi pasien SJSN dan Jamkesmas/Jamkesda. Apakah hal ini juga akan terkait dengan pengembangan residen sebagai tenaga kesehatan yang mempunyai kontrak dengan RS seperti yang digariskan dalam RUU Pendidikan Kedokteran? Banyak hal saling terkait yang perlu dibahas.
Dalam konteks pembahasan di Indonesia, diharapkan Jaringan Mutu Kesehatan Indonesia (Indonesian Health Quality Network) dapat terus berkembang untuk terus mempercepat peningkatan mutu. Kemudian untuk pertemuan di London, saya berharap bahwa ada peserta dengan jumlah cukup dari Indonesia. Pada tahun ini saya ikut dan mengambil jalur Transformational Change, Workforce and Culture, serta Leadership. Masih banyak jalur lain yang perlu dipelajari oleh kita, antara lain: Safe and reliable care, Better value and Lower Cost, Clinical Improvement, Patient engagement, Primary Care, sampai Technology for Improvement. Daftar acara dapat dilihat di website forum: http://internationalforum.bmj.com/. Secara keseluruhan Forum ini bagus untuk diikuti banyak pihak di Indonesia antara lain: Direktur RS, Direktur Pelayanan Medik, Ketua Komite Medik, Dokter Spesialis, Perawat Manajer, sampai ke pejabat Kementerian Kesehatan yang bertanggung-jawab pada mutu. Apabila banyak pihak yang berminat ikut, diharapkan berangkat dalam bentuk team.
Dengan mengirim peserta dalam bentuk team, diharapkan kita dapat mempelajari secara utuh (di berbagai jalur) perkembangan mutakhir tentang Mutu dan Safety dalam pelayanan kesehatan di dunia. Pengiriman team ini dapat disiapkan dengan cara ikut aktif menyusun paper atau poster untuk disajikan di Forum. Kemudian sebelum pergi ke Forum sudah menyiapkan diri dan pemahamannya. Selama mengikuti Forum diharapkan ada diskusi mendalam dengan peserta dari berbagai negara, dan dari juga sesama peserta dari Indonesia. Sementara itu pasca mengikuti Forum dapat membahas secara terpadu hasil dari berbagai jalur. Memang biaya mengikuti cukup mahal dan perlu kerjasama team. Saya menilai bahwa apabila kita yang bekerja dalam pengembangan mutu dan keselamatan pasien dapat mengikuti Forum di tahun 2013 secara team, maka kegiatan mendatang dapat disebut sebagai investasi bangsa.
Paris, 21 April 2012
Laksono Trisnantoro