Asian Development Bank menyelenggarakan forum Inclusive, Sustainable, Prosperous dan Resilient (INSPIRE) Health Systems in Asia and the Pacific pada 7 – 11 Juli 2025 di kantor pusat ADB di Manila, Filipina. Berbagai sesi yang diikuti oleh tim FK-KMK UGM yang berada di Manila dapat diikuti melalui laporan dibawah:
-
Hari 1
7 Juli 2025 -
Hari 2
8 Juli 2025 -
Hari 3
9 Juli 2025 -
Hari 4
10 Juli 2025 -
Hari 5
11 Juli 2025

Special Event
ADB Health Leadership Course (the Future Health Accelerator Course)
Dr. Eduardo Banzon, Director, Health Practice Team ADB
ADB menekankan bahwa leadership perlu dilatihkan dan ditangani sejak masa muda. Dimulai dari orang-orang yang belajar, seperti saat Dr. Banzon sekolah di LSHTM dulu. Berbagai mahasiswa berkumpul dari berbagai benua dan menjadi peers. Kita harus mulai dari leadership yang cross sektor sejak di masa pendidikan.
Ms Ayako Inagaki, Senior Director, Human and Social Development ADB
Dalam pembukaannya, Ayako menyatakan bahwa bagaimana sistem kesehatan diharapkan dapat menjawab tantangan kebutuhan masyarakat yang mencakup demokratisasi, equity, partisipasi sampai menjadi sistem yang mampu mendorong human development.
Sistem kesehatan harus mempunyai ketahanan yang berasal dari orang-orang di dalamnya. Mereka harus dipimpin oleh pemimpin. Kursus Kepemimpinan ADB ini bertujuan menyiapkan generasi baru yang berdasarkan jaringan sesama pemimpin yang diharapkan menjadi paper. Jaringan ini harus bisa mendobrak silo-solo yang ada di sektor kesehatan, melalui knowledge sharing dan pelatihan kepemimpinan.
Mrs Leah Gutierraz, Director General ADB
Leah menyatakan bahwa kursus ini menyasar sekumpulan policy maker, technical specialist, innovator, hingga health leaders. ADB bertekad untuk memperkuat usaha menjawab tantangan-tantangan sistem kesehatan dengan berbagai prinsip, antara lain: melakukan perubahan, peer to peer learning, mempraktekkan adaptive leadership, hingga melahirkan kepemimpinan yang bersifat action.
Kepemimpinan yang ada sekarang akan membentuk wajah sistem kesehatan di masa depan. Hal ini harus dikerjakan secara bersama-sama antar pemimpin di berbagai sektor. Oleh karena itu pelatihan ini penting sekali. Pelatihan ini baru dibuka untuk Batch 1. Selamat berlatih.
Reporter:
Prof. Laksono Trisnantoro (FK-KMK UGM)
Connected Health Systems for Better Health Outcomes: Breaking Down Digital Health Silos
Narasumber:
- Eduardo Banzon, Director SD3, HSD, ADB
- Dilip Hensman, Koordinator, Health Information & Intelligence, WHO WPRO
- Yoonee Jeong, Senior Digital Health Specialist, ADB
- Alvin Marcelo, Penggagas AeHIN, COIL, SILab
Sesi dibuka oleh Dr. Eduardo Banzon yang menekankan pentingnya interoperabilitas dalam mendukung pertukaran informasi kesehatan untuk mencapai hasil kesehatan yang lebih baik.
Pembicara pertama, Mr. Dilip Hensman, menekankan mengapa standar dan interoperabilitas sangat penting. Dilip memulai dengan menjelaskan definisi interoperabilitas, yaitu kemampuan berbagai sistem informasi, perangkat, dan aplikasi untuk mengakses, bertukar, mengintegrasikan, dan menggunakan data secara kolaboratif dan terkoordinasi, baik di dalam maupun lintas batas organisasi, guna menyediakan informasi yang tepat waktu serta mendukung kesehatan individu dan populasi.
Interoperabilitas mencakup arsitektur pertukaran data kesehatan, antarmuka aplikasi, serta standar-standar yang memungkinkan data diakses dan dibagikan secara tepat dan aman di seluruh spektrum layanan, dalam berbagai pengaturan, serta dengan para pemangku kepentingan yang relevan, termasuk individu.
Dilip juga memaparkan berbagai tingkat interoperabilitas, mulai dari:
- Interoperabilitas organisasi, yang mencakup tata kelola organisasi, kebijakan, aspek sosial, hukum, dan kelembagaan untuk memfasilitasi komunikasi serta penggunaan data yang aman, efisien, dan tepat waktu antar organisasi dan individu.
- Interoperabilitas teknis, yang terdiri atas:
- Interoperabilitas struktural terkait dengan format, sintaksis, dan organisasi pertukaran data.
- Interoperabilitas semantik, yang menyediakan model dasar dan kodifikasi data termasuk penggunaan elemen data dengan definisi standar untuk memberikan pemahaman dan makna yang seragam kepada pengguna.
Selanjutnya, Dr. Alvin Marcelo memperkenalkan inisiatif Standards and Interoperability Lab- ASIA yang telah dikembangkan seiring pertumbuhan Asia eHealth Information Network (AeHIN). AeHIN mengusung kerangka kerja “Mind the GAPS and Fill the GAPS”, yang merupakan hasil pembelajaran dari berbagai pertemuan AeHIN selama beberapa tahun terakhir.
Kerangka ini membantu mengidentifikasi dan mengelompokkan isu-isu kompleks dalam sistem informasi kesehatan (Health Information Systems/HIS), sehingga negara-negara anggota dapat melaksanakan rencana eHealth mereka secara lebih efisien dan efektif.
AeHIN mendorong negara-negara untuk membangun struktur dan kerangka tata kelola yang jelas guna membimbing perancangan dan implementasi cetak biru (blueprint) eHealth. Tata kelola ini penting agar semua pemangku kepentingan memahami dan mematuhi cetak biru serta standar yang diperlukan demi tercapainya interoperabilitas.
Terkait dengan Standards and Interoperability Lab – Asia (SIL-Asia), Dr. Alvin menjelaskan bahwa SIL-Asia merupakan laboratorium interoperabilitas kesehatan yang menyediakan dukungan teknis dan pengembangan kapasitas bagi negara-negara dalam membangun sistem dan aplikasi layanan kesehatan yang interoperabel. Ini dilakukan melalui pemanfaatan kerangka kerja kesehatan digital dasar, standar internasional, dan teknologi terkini.
Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)
Sesi: Mobilizing Private Sector Innovation: Strengthening Health Systems in Asia and the Pacific
Sesi paralel bertajuk “Mobilizing Private Sector Innovation: Strengthening Health Systems in Asia and the Pacific” menghadirkan pemangku kepentingan dari organisasi internasional, pemerintah, dan perusahaan swasta untuk berbagi strategi kolaborasi inovatif antara sektor publik dan swasta dalam memperkuat sistem kesehatan. Sesi ini dibuka dengan penegasan dari Dr. Eduardo Banzon, Direktur Kesehatan ADB, bahwa peran sektor swasta harus selaras dengan tujuan pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. “Sektor swasta perlu menyelaraskan perannya untuk membantu sektor publik mencapai tujuan kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah,” ujarnya dalam sambutan pembuka. Pernyataan ini menjadi pengantar bagi rangkaian diskusi tentang kolaborasi inovatif publik-swasta dalam memperkuat sistem kesehatan di kawasan.
Agenda dibuka dengan paparan Asian Development Bank (ADB) mengenai pendekatan mereka dalam berkolaborasi dengan sektor swasta, seperti Korea Health Industry Development Institute (KHIDI) dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Tiga strategi utama yang disampaikan adalah mobilisasi investasi swasta untuk memperkuat sistem kesehatan, pengembangan kemitraan publik-swasta yang efektif di bidang kesehatan, serta peningkatan keterlibatan sektor swasta untuk hasil kesehatan yang lebih baik.
World Health Organization (WHO) kemudian menjelaskan prioritas strategisnya serta peluang untuk memperluas peran sektor swasta dalam mendukung pelayanan kesehatan universal (universal health coverage/ UHC). Dari Korea Selatan, dipaparkan praktik kemitraan kesehatan cerdas berbasis uji coba lokal dengan dampak global, serta kebijakan transformasi digital dan peluang kerjasama dengan negara-negara ASEAN.
Sesi juga menampilkan inovasi teknologi kesehatan yang ditawarkan tiga perusahaan swasta Korea, seperti penggunaan VR untuk pelatihan prosedur medis oleh Surgical Mind, perangkat diagnostik inovatif dari Bodytech, hingga jejaring RS global yang dibangun oleh Health on Cloud. Diskusi panel interaktif menyoroti pentingnya kemitraan sektor publik-swasta dalam meningkatkan kualitas, efisiensi, dan ketahanan sistem kesehatan, terutama di negara berkembang.
Acara ini menegaskan bahwa inovasi sektor swasta, bila didukung kerangka kebijakan yang tepat, berperan kunci dalam pencapaian tujuan UHC yang berkelanjutan di kawasan Asia dan Pasifik.
Plenary Session
Universal Health Coverage: Sustaining National Health Insurance & Launch of UHC PEERS
Sesi diskusi ini berlangsung di Auditorium ADB HQ, Manila, menghadirkan para pemimpin dan pakar kesehatan dari berbagai negara untuk berbagi pengalaman dan strategi memperkuat jaminan kesehatan nasional. Masih dalam rangkaian ADB Inspire Health Forum, sesi ini menyoroti tantangan sistem kesehatan pasca-pandemi, praktik inovatif dari Asia-Pasifik hingga EMRO, serta peluncuran inisiatif UHC PEERS sebagai wadah pembelajaran kolektif demi mewujudkan cakupan kesehatan semesta yang lebih adil dan berkelanjutan.
Masato Kanda — President, Asian Development Bank
Era pasca-pandemi memperlihatkan kerentanan sistem kesehatan di seluruh dunia dan menjadikan Universal Health Coverage (UHC) lebih penting dari sebelumnya. Masato Kanda menegaskan pentingnya inisiasi UHC Peers sebagai komitmen untuk setiap negara terus belajar dari praktik terbaik dan tantangan implementasi UHC di Asia-Pasifik dan East Mediterranean Regional Office (EMRO).
Teodoro Herbosa — Secretary, Department of Health, Philippines
Sebagai salah satu contoh, Filipina memiliki rencana blueprint reformasi kesehatan 2023-2028 untuk memastikan sistem kesehatan yang lebih kuat, akses merata, dan layanan berbasis nilai. Ia memperkenalkan platform layanan inovatif seperti BUCAS untuk perawatan holistik berbasis tim multidisiplin di tingkat fasilitas kesehatan primer (Barangay).
Lena Nanushyan — First Deputy Minister of Health, Republic of Armenia
Armenia juga tengah bertransformasi menuju asuransi kesehatan publik wajib, kualitas layanan yang lebih baik, digitalisasi, dan penguatan SDM di daerah terpencil. Target mereka menaikkan anggaran belanja publik, agar memperkecil out-of-pocket payment, dan berfokus pada peningkatan pelayanan promotif preventif, seperti skrining penyakit, dan pelayanan penyakit kronis.
Soon man Kwon — Former Dean, Seoul National University, Republic of Korea
Soon Man Kwon menekankan pentingnya pembiayaan publik prabayar untuk menghapus hambatan finansial dan nonfinansial dalam akses pelayanan kesehatan bermutu. Ia menjelaskan bahwa negara dapat menghimpun berbagai sumber penerimaan publik untuk pembelian strategis pelayanan kesehatan, seperti iuran pegawai dan wirausaha (di Jepang, Korea, Taiwan), pajak khusus (di Ghana, Prancis, Korea), serta pendapatan umum (di Thailand, India, Pakistan, Kamboja). Namun, perlu komitmen subsidi pemerintah yang besar untuk memperluas cakupan pembiayaan publik ke sektor informal, mengingat tantangan administrasi, batasan definisi kelompok miskin dan informal, serta besarnya beban iuran sukarela yang menghambat kepesertaan.
Jyoti Yadav — Addl CEO, National Health Authority, India (AB-PM-JAY insurance)
Ayushman Bharat PM-JAY adalah skema jaminan kesehatan terbesar di dunia, mencakup perawatan sekunder dan tersier bagi lebih dari 120 juta keluarga dengan cakupan hingga Rs. 5 lakh per tahun, tanpa batas anggota keluarga, usia, atau gender, serta sepenuhnya cashless dan portabel. Skema ini fleksibel, memungkinkan tiap negara bagian menyesuaikan model implementasi, cakupan, dan paket layanan sesuai kebutuhan lokal, namun tetap menghadapi tantangan seperti isu privasi data, konektivitas internet, dan biaya administrasi di sektor informal.
Ali Ghufron Mukti — President Director, BPJS Kesehatan Indonesia
Indonesia mampu mencapai cakupan 98% populasi dalam 10 tahun melalui sistem tunggal BPJS yang terintegrasi secara nasional meski pemerintahan daerah terdesentralisasi. Inovasi digital dan advokasi komunitas terus dilakukan untuk memperluas kepesertaan dan meningkatkan layanan.
Edwin Mercado — President & CEO, PhilHealth
PhilHealth menargetkan penurunan pengeluaran langsung masyarakat hingga 25% melalui reformasi berbasis hukum yang jelas mencakup penggalangan dana, pooling, dan pembelian strategis. Tantangan besar tetap pada pencegahan fraud.
Eduardo Banzon — Director, SD1-HSD, ADB
Eduardo Banzon mengajak untuk belajar juga dari pengalaman UHC di EMRO yang erat kaitannya dengan keamanan kesehatan di tengah konflik. Ia menyoroti masih banyaknya masyarakat yang belum terlindungi layanan esensial dan tertekan secara finansial akibat biaya kesehatan.
Dr. Susan P. Mercado – WHO WPRO
Salah satu tantangan sistem kesehatan yang disampaikan oleh Dr. Susan yaitu kecepatan pembelajaran lembaga seringkali kalah cepat dibanding perubahan zaman, termasuk mengenai digitalisasi layanan kesehatan. Selain itu, beliau juga menekankan pentingnya inovasi dan kesiapan menghadapi perubahan iklim, populasi menua, serta komitmen seumur hidup untuk mencapai transformasi kesehatan.
Lian Yu-Chen — DDG, National Health Insurance Administration, Taipei, China
Terdapat dua elemen utama yang mempengaruhi keberhasilan transformasi kesehatan di Taipei, China, yaitu menekankan pentingnya infrastruktur digital yang kokoh dan integrasi rekam medis untuk menghindari pemborosan obat. Taipei, China, juga akan segera melakukan perluasan implementasi telemedisin dan e-resep untuk meningkatkan akses kesehatan di daerah pedesaan.
Breshna Arya — Senior Health Finance Specialist, The Global Fund
Dr. Arya menggarisbawahi peran Global Fund dalam memastikan UHC yang inklusif bagi semua, termasuk kelompok terpinggirkan yang masih menghadapi stigma dan diskriminasi. Ia juga menekankan pentingnya pendanaan untuk kader kesehatan masyarakat dan layanan NGO serta komitmen politik jangka panjang untuk warisan yang berkelanjutan.
Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)
Sesi Paralel
Building Diagnostic Readiness for Future Pandemics
Salah satu sesi paralel pembuka forum di hari kedua, menyoroti pentingnya kesiapsiagaan sistem diagnostik dalam menghadapi persiapan pandemi di masa depan. Sesi ini juga menekankan bahwa keberhasilan deteksi, respon, dan penanggulangan wabah sangat bergantung pada ketersediaan diagnostik yang cepat, akurat, dan merata.
Prof. Rosanna Pelling dari London School of Hygiene & Tropical Medicine mengulas peran krusial diagnostik selama pandemi COVID-19. Diagnostik yang adekuat berperan penting dalam memperjelas definisi kasus, mendukung penelitian, memperkuat surveilans, dan memungkinkan uji klinis obat serta vaksin. Namun, pihaknya menyoroti tantangan besar dalam jalur akses diagnostik yang panjang dan terfragmentasi, serta proses regulasi yang memakan waktu bertahun-tahun.
Ketimpangan akses antar wilayah menjadi perhatian utama, khususnya bagi laboratorium kesehatan masyarakat yang membutuhkan alat diagnostik untuk respon cepat dan pengambilan kebijakan berbasis data. Rosanna juga menekankan pentingnya konektivitas sistem data, ketahanan sistem kesehatan, langkah pengendalian lintas batas, serta komunikasi yang efektif berbasis kepercayaan dan tata kelola kolaboratif.
Dr. Sarbjit Chadha menyoroti kesenjangan mencolok antara negara berpenghasilan tinggi dan rendah dalam akses serta kapasitas diagnostik. Sarbjit menyerukan aksi nyata dari pemerintah, ilmuwan, dan komunitas untuk menjembatani kesenjangan ini dan memperkuat sistem diagnostik global secara inklusif.
Shin Young-Soo dari WHO membahas program Pre-Qualification (PQ) WHO yang bertujuan memastikan kualitas diagnostik secara global. Ia juga menyoroti perlunya penyederhanaan lanskap regulasi agar inovasi diagnostik dapat lebih cepat tersedia di lapangan, khususnya di negara berkembang.
Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)
The Strategic Role of Private Health Insurance for Health System Goals and to Advance UHC
Salah satu sesi paralel dalam forum ini, berjudul “Financing PHC and Community Health Workers (CHWs): Reaching the Unreached & Enhancing and Nurturing Resilient and Inclusive CHWs”, menyoroti peran krusial kader kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan primer di komunitas. Namun di banyak negara, kader masih menghadapi tantangan serupa, yaitu jumlah yang belum mencukupi, beban kerja berlebih, dan insentif yang rendah. Dalam sesi ini, perwakilan dari pemerintah dan NGO berbagai negara berbagi praktik baik dan pendekatan inovatif untuk memastikan para kader mendapat dukungan yang layak, baik secara finansial maupun non-finansial, agar mereka dapat bekerja secara berkelanjutan dan bermartabat.
Dr. Vannarom dari Kementerian Kesehatan Kamboja menjelaskan kebijakan nasional yang menempatkan keterlibatan komunitas sebagai prioritas, termasuk mendorong kepemimpinan lokal dan menjawab kebutuhan kelompok rentan melalui program berbasis masyarakat.
Dr. Mar Wynn Bello dari Biro Kesehatan Masyarakat Filipina mengangkat isu kekurangan jumlah Barangay Health Workers (BHW), kader kesehatan di layanan primer (Barangay). Saat ini, hanya 19% yang sesuai standar rasio 1:20 rumah tangga. Beban kerja tinggi dan keterbatasan insentif menjadi hambatan utama. Namun, kebijakan baru yang telah disahkan presiden untuk memperluas pembiayaan dari pemerintah pusat hingga DPR, disertai peningkatan kesejahteraan, pelatihan rutin, serta dukungan perlengkapan standar dan pemahaman pengobatan tradisional.
Dr. Thesda dari Bhutan menjelaskan peran 780 relawan di lebih dari 500 pusat layanan primer dalam promosi dan rujukan kesehatan, terutama di wilayah pegunungan. Salah satu contohnya untuk mendukung cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak-anak, terhalang tantangan geografis Bhutan yang mayoritas pegunungan, namun diatasi melalui program catch-up imunisasi dengan mengerahkan kader kesehatan ke wilayah tidak terjangkau untuk melakukan advokasi dan memastikan semua anak mendapatkan imunisasi yang diperlukan.
Afrika Muka Neto dari UNICEF Asia Selatan menegaskan bahwa setiap ibu dan anak harus memiliki akses layanan terintegrasi. UNICEF berkomitmen untuk mendukung pembiayaan berkelanjutan, advokasi kebijakan, dan pemantauan melalui kemitraan erat agar tak ada komunitas yang tertinggal.
Pada sesi diskusi panel, beberapa poin-poin penting juga disampaikan oleh panelis, diantaranya yaitu:
Neeraj Jain dari PATH menyebut tantangan umum berupa kekurangan tenaga, beban kerja tinggi, dan insentif rendah. Beberapa inovasi muncul, seperti pelatihan berkelanjutan dan pengakuan formal untuk kader-kader kesehatan di India, serta dukungan BRAC di Bangladesh.
Angela Chaudhuri dari Swasti menekankan bahwa kader bukan sekadar pelengkap, melainkan aktor kunci yang mampu menggerakkan komunitas. Investasi pada mereka harus dilihat dari dampak jangka panjang, bukan sekadar pengembalian biaya.
Manoj Jhalani dari WHO SEARO menutup dengan pesan bahwa kader kesehatan harus dilibatkan dalam perencanaan kebijakan, agar program dapat lebih dipercaya dan diimplementasikan secara efektif. Dukungan finansial maupun non-finansial, termasuk skema pensiun bagi para kader, juga perlu diintegrasikan dalam kebijakan kesehatan nasional.
Reporter: dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)
Cooming soon
Cooming soon
Cooming soon