Skip to content

Reportase INSPIRE Health Forum: Inclusive, Sustainable, Prosperous dan Resilient (INSPIRE) Health Systems in Asia and the Pacific

Asian Development Bank menyelenggarakan forum Inclusive, Sustainable, Prosperous dan Resilient (INSPIRE) Health Systems in Asia and the Pacific pada 7 – 11 Juli 2025 di kantor pusat ADB di Manila, Filipina. Berbagai sesi yang diikuti oleh tim FK-KMK UGM yang berada di Manila dapat diikuti melalui laporan dibawah:

Special Event

ADB Health Leadership Course (the Future Health Accelerator Course)

Foto para peserta pelatihan Kepemimpinan Batch 1 dengan pejabat-pejabat ADB dan para pelatih

 

Dr. Eduardo Banzon, Director, Health Practice Team ADB

ADB menekankan bahwa leadership perlu dilatihkan dan ditangani sejak masa muda. Dimulai dari orang-orang yang belajar, seperti saat Dr. Banzon sekolah di LSHTM dulu.  Berbagai mahasiswa berkumpul dari berbagai benua dan menjadi peers. Kita harus mulai dari leadership yang cross sektor sejak di masa pendidikan.

 

 

 

Ms Ayako Inagaki, Senior Director, Human and Social Development ADB

Dalam pembukaannya, Ayako menyatakan bahwa bagaimana sistem kesehatan diharapkan dapat menjawab tantangan kebutuhan masyarakat yang mencakup demokratisasi, equity, partisipasi sampai menjadi sistem yang mampu mendorong human development.

Sistem kesehatan harus mempunyai ketahanan yang berasal dari orang-orang di dalamnya. Mereka harus dipimpin oleh pemimpin. Kursus Kepemimpinan ADB ini bertujuan menyiapkan generasi baru yang berdasarkan jaringan sesama pemimpin yang diharapkan menjadi paper. Jaringan ini harus bisa mendobrak silo-solo yang ada di sektor kesehatan, melalui knowledge sharing dan pelatihan kepemimpinan.

 

Mrs Leah Gutierraz, Director General ADB

Leah menyatakan bahwa kursus ini menyasar sekumpulan policy maker, technical specialist, innovator, hingga health leaders. ADB bertekad untuk memperkuat usaha menjawab tantangan-tantangan sistem kesehatan dengan berbagai prinsip, antara lain: melakukan perubahan, peer to peer learning, mempraktekkan adaptive leadership, hingga melahirkan kepemimpinan yang bersifat action.

Kepemimpinan yang ada sekarang akan membentuk wajah sistem kesehatan di masa depan. Hal ini harus dikerjakan secara bersama-sama antar pemimpin di berbagai sektor. Oleh karena itu pelatihan ini penting sekali. Pelatihan ini baru dibuka untuk Batch 1. Selamat berlatih.

Reporter:
Prof. Laksono Trisnantoro (FK-KMK UGM)


 

Special Event

Connected Health Systems for Better Health Outcomes: Breaking Down Digital Health Silos

Narasumber:

  • Eduardo Banzon, Director SD3, HSD, ADB
  • Dilip Hensman, Koordinator, Health Information & Intelligence, WHO WPRO
  • Yoonee Jeong, Senior Digital Health Specialist, ADB
  • Alvin Marcelo, Penggagas AeHIN, COIL, SILab

Sesi dibuka oleh Dr. Eduardo Banzon yang menekankan pentingnya interoperabilitas dalam mendukung pertukaran informasi kesehatan untuk mencapai hasil kesehatan yang lebih baik.

Pembicara pertama, Mr. Dilip Hensman, menekankan mengapa standar dan interoperabilitas sangat penting. Dilip memulai dengan menjelaskan definisi interoperabilitas, yaitu kemampuan berbagai sistem informasi, perangkat, dan aplikasi untuk mengakses, bertukar, mengintegrasikan, dan menggunakan data secara kolaboratif dan terkoordinasi, baik di dalam maupun lintas batas organisasi, guna menyediakan informasi yang tepat waktu serta mendukung kesehatan individu dan populasi.

Interoperabilitas mencakup arsitektur pertukaran data kesehatan, antarmuka aplikasi, serta standar-standar yang memungkinkan data diakses dan dibagikan secara tepat dan aman di seluruh spektrum layanan, dalam berbagai pengaturan, serta dengan para pemangku kepentingan yang relevan, termasuk individu.

Dilip juga memaparkan berbagai tingkat interoperabilitas, mulai dari:

  • Interoperabilitas organisasi, yang mencakup tata kelola organisasi, kebijakan, aspek sosial, hukum, dan kelembagaan untuk memfasilitasi komunikasi serta penggunaan data yang aman, efisien, dan tepat waktu antar organisasi dan individu.
  • Interoperabilitas teknis, yang terdiri atas:
    • Interoperabilitas struktural terkait dengan format, sintaksis, dan organisasi pertukaran data.
    • Interoperabilitas semantik, yang menyediakan model dasar dan kodifikasi data termasuk penggunaan elemen data dengan definisi standar untuk memberikan pemahaman dan makna yang seragam kepada pengguna.

Selanjutnya, Dr. Alvin Marcelo memperkenalkan inisiatif Standards and Interoperability Lab- ASIA yang telah dikembangkan seiring pertumbuhan Asia eHealth Information Network (AeHIN). AeHIN mengusung kerangka kerja “Mind the GAPS and Fill the GAPS”, yang merupakan hasil pembelajaran dari berbagai pertemuan AeHIN selama beberapa tahun terakhir.

Kerangka ini membantu mengidentifikasi dan mengelompokkan isu-isu kompleks dalam sistem informasi kesehatan (Health Information Systems/HIS), sehingga negara-negara anggota dapat melaksanakan rencana eHealth mereka secara lebih efisien dan efektif.

AeHIN mendorong negara-negara untuk membangun struktur dan kerangka tata kelola yang jelas guna membimbing perancangan dan implementasi cetak biru (blueprint) eHealth. Tata kelola ini penting agar semua pemangku kepentingan memahami dan mematuhi cetak biru serta standar yang diperlukan demi tercapainya interoperabilitas.

Terkait dengan Standards and Interoperability Lab – Asia (SIL-Asia), Dr. Alvin menjelaskan bahwa SIL-Asia merupakan laboratorium interoperabilitas kesehatan yang menyediakan dukungan teknis dan pengembangan kapasitas bagi negara-negara dalam membangun sistem dan aplikasi layanan kesehatan yang interoperabel. Ini dilakukan melalui pemanfaatan kerangka kerja kesehatan digital dasar, standar internasional, dan teknologi terkini.

Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)


 

Special Event

Mobilizing Private Sector Innovation: Strengthening Health Systems in Asia and the Pacific

Sesi paralel bertajuk “Mobilizing Private Sector Innovation: Strengthening Health Systems in Asia and the Pacific” menghadirkan pemangku kepentingan dari organisasi internasional, pemerintah, dan perusahaan swasta untuk berbagi strategi kolaborasi inovatif antara sektor publik dan swasta dalam memperkuat sistem kesehatan. Sesi ini dibuka dengan penegasan dari Dr. Eduardo Banzon, Direktur Kesehatan ADB, bahwa peran sektor swasta harus selaras dengan tujuan pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. “Sektor swasta perlu menyelaraskan perannya untuk membantu sektor publik mencapai tujuan kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah,” ujarnya dalam sambutan pembuka. Pernyataan ini menjadi pengantar bagi rangkaian diskusi tentang kolaborasi inovatif publik-swasta dalam memperkuat sistem kesehatan di kawasan.

Agenda dibuka dengan paparan Asian Development Bank (ADB) mengenai pendekatan mereka dalam berkolaborasi dengan sektor swasta, seperti Korea Health Industry Development Institute (KHIDI) dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Tiga strategi utama yang disampaikan adalah mobilisasi investasi swasta untuk memperkuat sistem kesehatan, pengembangan kemitraan publik-swasta yang efektif di bidang kesehatan, serta peningkatan keterlibatan sektor swasta untuk hasil kesehatan yang lebih baik.

World Health Organization (WHO) kemudian menjelaskan prioritas strategisnya serta peluang untuk memperluas peran sektor swasta dalam mendukung pelayanan kesehatan universal (universal health coverage/ UHC). Dari Korea Selatan, dipaparkan praktik kemitraan kesehatan cerdas berbasis uji coba lokal dengan dampak global, serta kebijakan transformasi digital dan peluang kerjasama dengan negara-negara ASEAN.

Sesi juga menampilkan inovasi teknologi kesehatan yang ditawarkan tiga perusahaan swasta Korea, seperti penggunaan VR untuk pelatihan prosedur medis oleh Surgical Mind, perangkat diagnostik inovatif dari Bodytech, hingga jejaring RS global yang dibangun oleh Health on Cloud. Diskusi panel interaktif menyoroti pentingnya kemitraan sektor publik-swasta dalam meningkatkan kualitas, efisiensi, dan ketahanan sistem kesehatan, terutama di negara berkembang.

Acara ini menegaskan bahwa inovasi sektor swasta, bila didukung kerangka kebijakan yang tepat, berperan kunci dalam pencapaian tujuan UHC yang berkelanjutan di kawasan Asia dan Pasifik.


Plenary Session

Universal Health Coverage: Sustaining National Health Insurance & Launch of UHC PEERS

Sesi diskusi ini berlangsung di Auditorium ADB HQ, Manila, menghadirkan para pemimpin dan pakar kesehatan dari berbagai negara untuk berbagi pengalaman dan strategi memperkuat jaminan kesehatan nasional. Masih dalam rangkaian ADB Inspire Health Forum, sesi ini menyoroti tantangan sistem kesehatan pasca-pandemi, praktik inovatif dari Asia-Pasifik hingga EMRO, serta peluncuran inisiatif UHC PEERS sebagai wadah pembelajaran kolektif demi mewujudkan cakupan kesehatan semesta yang lebih adil dan berkelanjutan.

Masato Kanda — President, Asian Development Bank 

Era pasca-pandemi memperlihatkan kerentanan sistem kesehatan di seluruh dunia dan menjadikan Universal Health Coverage (UHC) lebih penting dari sebelumnya. Masato Kanda menegaskan pentingnya inisiasi UHC Peers sebagai komitmen untuk setiap negara terus belajar dari praktik terbaik dan tantangan implementasi UHC di Asia-Pasifik dan East Mediterranean Regional Office (EMRO).

 

Teodoro Herbosa — Secretary, Department of Health, Philippines

Sebagai salah satu contoh, Filipina memiliki rencana blueprint reformasi kesehatan 2023-2028 untuk memastikan sistem kesehatan yang lebih kuat, akses merata, dan layanan berbasis nilai. Ia memperkenalkan platform layanan inovatif seperti BUCAS untuk perawatan holistik berbasis tim multidisiplin di tingkat fasilitas kesehatan primer (Barangay).

 

Lena Nanushyan — First Deputy Minister of Health, Republic of Armenia

Armenia juga tengah bertransformasi menuju asuransi kesehatan publik wajib, kualitas layanan yang lebih baik, digitalisasi, dan penguatan SDM di daerah terpencil. Target mereka menaikkan anggaran belanja publik, agar memperkecil out-of-pocket payment, dan berfokus pada peningkatan pelayanan promotif preventif, seperti skrining penyakit, dan pelayanan penyakit kronis.

 

Soon man Kwon — Former Dean, Seoul National University, Republic of Korea

Soon Man Kwon menekankan pentingnya pembiayaan publik prabayar untuk menghapus hambatan finansial dan nonfinansial dalam akses pelayanan kesehatan bermutu. Ia menjelaskan bahwa negara dapat menghimpun berbagai sumber penerimaan publik untuk pembelian strategis pelayanan kesehatan, seperti iuran pegawai dan wirausaha (di Jepang, Korea, Taiwan), pajak khusus (di Ghana, Prancis, Korea), serta pendapatan umum (di Thailand, India, Pakistan, Kamboja). Namun, perlu komitmen subsidi pemerintah yang besar untuk memperluas cakupan pembiayaan publik ke sektor informal, mengingat tantangan administrasi, batasan definisi kelompok miskin dan informal, serta besarnya beban iuran sukarela yang menghambat kepesertaan.

Jyoti Yadav — Addl CEO, National Health Authority, India (AB-PM-JAY insurance)

Ayushman Bharat PM-JAY adalah skema jaminan kesehatan terbesar di dunia, mencakup perawatan sekunder dan tersier bagi lebih dari 120 juta keluarga dengan cakupan hingga Rs. 5 lakh per tahun, tanpa batas anggota keluarga, usia, atau gender, serta sepenuhnya cashless dan portabel. Skema ini fleksibel, memungkinkan tiap negara bagian menyesuaikan model implementasi, cakupan, dan paket layanan sesuai kebutuhan lokal, namun tetap menghadapi tantangan seperti isu privasi data, konektivitas internet, dan biaya administrasi di sektor informal.

Ali Ghufron Mukti — President Director, BPJS Kesehatan Indonesia

Indonesia mampu mencapai cakupan 98% populasi dalam 10 tahun melalui sistem tunggal BPJS yang terintegrasi secara nasional meski pemerintahan daerah terdesentralisasi. Inovasi digital dan advokasi komunitas terus dilakukan untuk memperluas kepesertaan dan meningkatkan layanan.

 

 

Edwin Mercado — President & CEO, PhilHealth

PhilHealth menargetkan penurunan pengeluaran langsung masyarakat hingga 25% melalui reformasi berbasis hukum yang jelas mencakup penggalangan dana, pooling, dan pembelian strategis. Tantangan besar tetap pada pencegahan fraud.

 

Eduardo Banzon — Director, SD1-HSD, ADB

Eduardo Banzon mengajak untuk belajar juga dari pengalaman UHC di EMRO yang erat kaitannya dengan keamanan kesehatan di tengah konflik. Ia menyoroti masih banyaknya masyarakat yang belum terlindungi layanan esensial dan tertekan secara finansial akibat biaya kesehatan. 

 

 

Dr. Susan P. Mercado – WHO WPRO

Salah satu tantangan sistem kesehatan yang disampaikan oleh Dr. Susan yaitu kecepatan pembelajaran lembaga seringkali kalah cepat dibanding perubahan zaman, termasuk mengenai digitalisasi layanan kesehatan. Selain itu, beliau juga menekankan pentingnya inovasi dan kesiapan menghadapi perubahan iklim, populasi menua, serta komitmen seumur hidup untuk mencapai transformasi kesehatan. 

Lian Yu-Chen — DDG, National Health Insurance Administration, Taipei, China

Terdapat dua elemen utama yang mempengaruhi keberhasilan transformasi kesehatan di Taipei, China, yaitu menekankan pentingnya infrastruktur digital yang kokoh dan integrasi rekam medis untuk menghindari pemborosan obat. Taipei, China, juga akan segera melakukan perluasan implementasi telemedisin dan e-resep untuk meningkatkan akses kesehatan di daerah pedesaan.

 

Breshna Arya — Senior Health Finance Specialist, The Global Fund

Dr. Arya menggarisbawahi peran Global Fund dalam memastikan UHC yang inklusif bagi semua, termasuk kelompok terpinggirkan yang masih menghadapi stigma dan diskriminasi. Ia juga menekankan pentingnya pendanaan untuk kader kesehatan masyarakat dan layanan NGO serta komitmen politik jangka panjang untuk warisan yang berkelanjutan.

 

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)

 

 

 

Sesi Paralel

Pengembangan Private Health Insurance sebagai langkah strategis untuk memajukan UHC

Sesi ini merupakan diskusi kerjasama antara ADB dengan ANHSS sebagai hasil pertemuan di Hongkong pada awal bulan Mei 2025. Ada beberapa pembicara sebagai berikut:

Prof EK Yeoh, Director Center for Health Systems and Policy Research, The Chinese University of Hongkong (CUHK)

Membahas mengenai “Review of the Role and Challenges of Private Health Insurance (PHI) in the Global Context”. Dalam paparannya disebutkan mengenai mengapa banyak negara membutuhkan PHI dengan berbagai alasan. Bahkan di Belanda dan Swiss merupakan kewajiban untuk ikut. Ada 3 peran: supplementary, complementary atau substitusi di berbagai negara. Di Asia Pacific, PHI perlu diteliti lebih mendalam untuk menjadi kebijakan publik yang baik untuk meningkatkan ketahanan Social Health Insurance. Oleh karena itu di Chinese University of Hongkong bekerja sama dengan ANHSS mengembangkan pengetahuan baru mengenai PHI melalui scoping review dan penelitian bersama di berbagai negara. Silahkan klik papernya.

materi

April Wu dari The Chinese University of Hongkong (CUHK)

Menggambarkan PHI di Hongkong. Kebijakan pemerintah HK mendorong pengembangan PHI agar ada tambahan akses, peningkatan mutu, dan lebih banyak dana untuk kesehatan. Saat ini belanja kesehatan dari total GDP adalah sebesar 8.5%. Belanja pemerintah dari Total Belanja Kesehatan adalah 56%. Out of Pocket sebesar 27.3% dan PHI sebesar 15.5%. 42% warga HK mempunyai Askes Swasta. Ada 1.34 juta polis dengan  53% pemegang di bawah 40 tahun dan 33% di bawah 30 tahun.

materi

 

Prof. Laksono Trisnantoro dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di FK-KMK UGM

Menguraikan mengenai keadaan asuransi kesehatan swasta (PHI) di Indonesia. PHI dibutuhkan di Indonesia sebagai katup pengaman untuk SHI (Social Health Insurance, yang dikelola oleh BPJS) yang saat ini berada dalam tekanan. Akan tetapi kenyataanya sektor PHI di Indonesia masih buruk. Secara total di tahun 2023, perusahaan-perusahaan askes swasta mengalami kerugian.  PHI memainkan peran yang sangat terbatas  dalam sistem kesehatan Indonesia. Regulasi yang ada masih di dalam konteks  asuransi jiwa, yang tidak sesuai untuk mengatasi risiko dan kebutuhan unik asuransi kesehatan. Infrastruktur juga tidak memadai untuk menangani tantangan seperti fraud. Banyak penyedia PHI beroperasi dengan kerugian, yang membuat perluasan menjadi sulit tanpa reformasi. Sebagai ringkasan PHI dapat melengkapi SHI jika dikembangkan dengan baik.

materi

Prof. Siripen Supakankunti dari Chulalongkorn University Thailand

Memaparkan mengenai Pengalaman PHI di Thailand. Operasional PHI terutama di layanan kesehatan swasta yang melengkapi layanan publik. Layanan ini terutama di daerah perkotaan. Asuransi komersial swasta memasuki pasar Thailand hampir 100 tahun lalu. Penerimaan asuransi kesehatan swasta agak lambat. Asuransi kesehatan swasta diatur oleh Kantor Komisi Asuransi sejak 2007 (Departemen Asuransi, Kementerian Perdagangan hingga 2007).

Asuransi kesehatan swasta saat ini sebagian besar bersifat pelengkap. Ada berbagai pendorong penggunaan asuransi kesehatan swasta: Persepsi tentang kualitas dan ketepatan waktu layanan kesehatan yang dibiayai publik: Asuransi kesehatan swasta  menawarkan pilihan rumah sakit swasta yang lebih luas. Masalah utama yang dihadapi adalah:  penetrasi asuransi lebih rendah daripada rata-rata global, peningkatan kesadaran dan kepercayaan konsumen untuk mengurangi ketergantungan pada sistem publik (yang terlalu membebani), adanya tarif premi tinggi, penolakan perpanjangan, dan pembatasan cakupan khususnya untuk orang lanjut usia. Oleh karena itu Thailand sedang mengembangkan Balancing Act untuk menyeimbangkan pendanaan untuk UHC dan askes swasta.

materi

Maria Elena Harrera, Professor (ret) Asian Institute of Management

Dari Filipina memaparkan mengenai PHI sebagai katalis untuk mencapai tujuan Sistem Kesehatan dan meningkatkan UHC. Disamping Philhealth yang mencakup 98% penduduk Filipina ada berbagai skema askes swasta. Perusahaan askes swasta beroperasi dengan 2 sasaran: (1) perusahaan dan SDMnya; (2) perorangan.  Untuk perusahaan ada berbagai skema, antara lain HMO, comprehensif dengan credit line, dan berbagai mekanisme askes lainnya.  Untuk individual model HMO, ada yang bersifat critical care, bersifat daily indemnity, guarantee cover dengan waktu tunggu. Ada berbagai isu yang dapat dipelajari: PHI yang bersifat supplemen dapat mengiris kekurangan dalam paket-paket UHC.  Peranan sangat kontekstual dan spesifik untuk berbagai penyakit. 

materi

Selanjutnya ada pembahasan dari Thalia Georgiou, Managing Partner, Asiacare Group, konsultan manajemen asuransi kesehatan yang filenya dapat dicermati sebagai berikut:

materi

Reporter:
Prof. Laksono Trisnantoro (FK-KMK UGM)


Sesi Paralel

Building Diagnostic Readiness for Future Pandemics

Salah satu sesi paralel pembuka forum di hari kedua, menyoroti pentingnya kesiapsiagaan sistem diagnostik dalam menghadapi persiapan pandemi di masa depan. Sesi ini juga menekankan bahwa keberhasilan deteksi, respon, dan penanggulangan wabah sangat bergantung pada ketersediaan diagnostik yang cepat, akurat, dan merata.

Prof. Rosanna Pelling dari London School of Hygiene & Tropical Medicine mengulas peran krusial diagnostik selama pandemi COVID-19. Diagnostik yang adekuat berperan penting dalam memperjelas definisi kasus, mendukung penelitian, memperkuat surveilans, dan memungkinkan uji klinis obat serta vaksin. Namun, pihaknya menyoroti tantangan besar dalam jalur akses diagnostik yang panjang dan terfragmentasi, serta proses regulasi yang memakan waktu bertahun-tahun.

Ketimpangan akses antar wilayah menjadi perhatian utama, khususnya bagi laboratorium kesehatan masyarakat yang membutuhkan alat diagnostik untuk respon cepat dan pengambilan kebijakan berbasis data. Rosanna juga menekankan pentingnya konektivitas sistem data, ketahanan sistem kesehatan, langkah pengendalian lintas batas, serta komunikasi yang efektif berbasis kepercayaan dan tata kelola kolaboratif.

Dr. Sarbjit Chadha menyoroti kesenjangan mencolok antara negara berpenghasilan tinggi dan rendah dalam akses serta kapasitas diagnostik. Sarbjit menyerukan aksi nyata dari pemerintah, ilmuwan, dan komunitas untuk menjembatani kesenjangan ini dan memperkuat sistem diagnostik global secara inklusif.

 

 

 

Shin Young-Soo dari WHO membahas program Pre-Qualification (PQ) WHO yang bertujuan memastikan kualitas diagnostik secara global. Ia juga menyoroti perlunya penyederhanaan lanskap regulasi agar inovasi diagnostik dapat lebih cepat tersedia di lapangan, khususnya di negara berkembang.

 

 

 


Sesi Paralel

Financing PHC and Community Health Workers (CHWs): Reaching the Unreached & Enhancing and Nurturing Resilient and Inclusive CHWs

Salah satu sesi paralel dalam forum ini, berjudul “Financing PHC and Community Health Workers (CHWs): Reaching the Unreached & Enhancing and Nurturing Resilient and Inclusive CHWs”, menyoroti peran krusial kader kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan primer di komunitas. Namun di banyak negara, kader masih menghadapi tantangan serupa, yaitu jumlah yang belum mencukupi, beban kerja berlebih, dan insentif yang rendah. Dalam sesi ini, perwakilan dari pemerintah dan NGO berbagai negara berbagi praktik baik dan pendekatan inovatif untuk memastikan para kader mendapat dukungan yang layak, baik secara finansial maupun non-finansial, agar mereka dapat bekerja secara berkelanjutan dan bermartabat.

Dr. Vannarom dari Kementerian Kesehatan Kamboja menjelaskan kebijakan nasional yang menempatkan keterlibatan komunitas sebagai prioritas, termasuk mendorong kepemimpinan lokal dan menjawab kebutuhan kelompok rentan melalui program berbasis masyarakat.

Dr. Mar Wynn Bello dari Biro Kesehatan Masyarakat Filipina mengangkat isu kekurangan jumlah Barangay Health Workers (BHW), kader kesehatan di layanan primer (Barangay). Saat ini, hanya 19% yang sesuai standar rasio 1:20 rumah tangga. Beban kerja tinggi dan keterbatasan insentif menjadi hambatan utama. Namun, kebijakan baru yang telah disahkan presiden untuk memperluas pembiayaan dari pemerintah pusat hingga DPR, disertai peningkatan kesejahteraan, pelatihan rutin, serta dukungan perlengkapan standar dan pemahaman pengobatan tradisional.

Dr. Thesda dari Bhutan menjelaskan peran 780 relawan di lebih dari 500 pusat layanan primer dalam promosi dan rujukan kesehatan, terutama di wilayah pegunungan. Salah satu contohnya untuk mendukung cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak-anak, terhalang tantangan geografis Bhutan yang mayoritas pegunungan, namun diatasi melalui program catch-up imunisasi dengan mengerahkan kader kesehatan ke wilayah tidak terjangkau untuk melakukan advokasi dan memastikan semua anak mendapatkan imunisasi yang diperlukan.

Afrika Muka Neto dari UNICEF Asia Selatan menegaskan bahwa setiap ibu dan anak harus memiliki akses layanan terintegrasi. UNICEF berkomitmen untuk mendukung pembiayaan berkelanjutan, advokasi kebijakan, dan pemantauan melalui kemitraan erat agar tak ada komunitas yang tertinggal.

Pada sesi diskusi panel, beberapa poin-poin penting juga disampaikan oleh panelis, diantaranya yaitu:

Neeraj Jain dari PATH menyebut tantangan umum berupa kekurangan tenaga, beban kerja tinggi, dan insentif rendah. Beberapa inovasi muncul, seperti pelatihan berkelanjutan dan pengakuan formal untuk kader-kader kesehatan di India, serta dukungan BRAC di Bangladesh.

Angela Chaudhuri dari Swasti menekankan bahwa kader bukan sekadar pelengkap, melainkan aktor kunci yang mampu menggerakkan komunitas. Investasi pada mereka harus dilihat dari dampak jangka panjang, bukan sekadar pengembalian biaya.

Manoj Jhalani dari WHO SEARO menutup dengan pesan bahwa kader kesehatan harus dilibatkan dalam perencanaan kebijakan, agar program dapat lebih dipercaya dan diimplementasikan secara efektif. Dukungan finansial maupun non-finansial, termasuk skema pensiun bagi para kader, juga perlu diintegrasikan dalam kebijakan kesehatan nasional.

Reporter: dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Sesi Pleno

Climate and Health Plenary

Sesi plenary ini membahas pentingnya isu global terkait dengan perubahan iklim dan kesehatan.

Terdapat Kerangka G20 untuk Iklim dan Kesehatan berfokus pada lima prinsip utama:

  1. Memprioritaskan pembangunan yang tangguh terhadap perubahan iklim.
  2. Mengembangkan sistem kesehatan yang rendah karbon dan berkelanjutan.
  3. Melakukan dekarbonisasi rantai pasok sektor kesehatan.
  4. Memobilisasi pembiayaan iklim.
  5. Mendorong kolaborasi lintas sektor termasuk kesehatan hewan dalam pendekatan One Health.

Asian Development Bank (ADB) meluncurkan program unggulan Climate Health Initiative (CHI) serta membangun portal informasi sebagai sumber daya untuk mendukung aksi iklim dan kesehatan.

Dr. Soumya Swaminathan

(Mantan Peneliti Senior WHO) menekankan pentingnya Isu Iklim dan Kesehatan melalui Kepemimpinan Multilateral dan Penyesuaian Kebijakan Regional. Soumya menyampaikan bahwa dampak perubahan iklim terhadap kesehatan sangat luas seperti:

 

  1. Gelombang panas ekstrem.
  2. Ketahanan pangan terganggu.
  3. Peningkatan penyakit tular vektor.
  4. Polusi udara.
  5. Kelangkaan air bersih.
  6. Disrupsi sistem pelayanan kesehatan.

Data terkini terkait perubahan iklim dan dampaknya terdokumentasi dalam Laporan Lancet Countdown dan di kawasan Asia Pasifik, isu utamanya mencakup: Penyakit tular vektor (VBD), tekanan panas (heat stress) dan polusi udara.

Untuk merespon hal tersebut, beberapa solusi yang didorong seperti:

  • Menjadikan udara bersih sebagai aset.
  • Mendanai transisi menuju sistem ramah iklim.
  • Menetapkan target kualitas udara bersih sejalan dengan standar WHO dan memantau kemajuan bersama.
  • Bekerja bersama untuk solusi yang menguntungkan semua pihak.

Untuk itu,  diperlukan komitmen di semua level — nasional, regional, dan global — untuk memastikan kesehatan menjadi prioritas dalam kebijakan iklim.

Di kawasan Asia Pasifik prioritas diberikan untuk:

  1. Investasi dalam riset dan inovasi di bidang iklim dan kesehatan.
  2. Memperkuat dan melembagakan kepemimpinan regional di isu ini.
  3. Membangun institusi yang siap menghadapi tantangan masa depan iklim dan kesehatan.

Mr. Martin Edlund (CEO, Malaria No More)

Martin mempresentasikan terkait dengan inovasi untuk penyakit tular vektor. Beliau menyampaikan bahwa ada 4 miliar orang berada dalam risiko meningkatnya penyakit tular vektor dan hal ini diperparah oleh menurunnya dukungan donor dan ancaman pandemi. Perubahan iklim menambah kompleksitas tantangan ini. Solusi yang didorong adalah perlunya terobosan inovatif yang diperluas skalanya, tidak hanya terbatas pada tataran penelitian dan pengembangan saja.

Ada berbagai potensi solusi inovatif yang sudah dikembangkan dalam dan perlu diperluas skalanya untuk diimplementasikan secara luas di lapangan. Salah satu solusi inovatif adalah intervensi berbasis bakteri nyamuk yang diinfeksi wolbachia yang akan memblokir transmisi virus dengue. Setelah beberapa pilot proyek di Yogyakarta, Indonesia saat ini sedang memperluas cakupan intervensi ini dalam skala yang lebih luas ke daerah lainnya.

Sesi ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan narasumber:

  • Mr. Syed Hussein Mujtaba (Climate and Health Expert, Pakistan)
  • Dr. Lucica Ditiu (Stop TB Partnership)
  • Mr. Robert Matiru (DIrector, Programme Division, Unitaid)
  • Dr. Ronald Law (Direktur Iklim dan Kesehatan, DOH Filipina)
  • Dr. Ricardo Baptista Leite (CEO Health AI)

Mr. Syed Hussein Mujtaba

Menyampaikan bahwa Pakistan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Banjir besar pada 2022 menyebabkan 3 juta orang mengungsi dan kerugian lebih dari 30 miliar USD. Hal ini mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit dan kematian, serta prevalensi stunting anak mencapai 44%. Mr. Hussein menyampaikan bahwa istilah-istilah seperti climate finance, blended finance, tidak cukup, tapi harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata di lapangan.

Lucica Ditiu

Sementara Lucica menyampaikan bahwa sektor kesehatan belum menjadi prioritas. Kita perlu bersama-sama mendukung Kementerian Kesehatan untuk menjadikannya prioritas utama. Beliau menyampaikan bahwa dalam penanggulangan TB, inovasi sangat penting — mulai dari Rapid Molecular Test, Palm Health Test dengan swab, hingga X-ray.

Robert Matiru

Sementara Mr. Robert Matiru menekankan perlunya akses yang setara terhadap pelayanan kesehatan, termasuk dalam konteks perubahan iklim. Dalam merespon perubahan iklim, inovasi lintas sektor diperlukan — yang climate smart, tangguh, dan adaptif terhadap perubahan. Robert  menekankan pentingnya memperhatikan beberapa hal yaitu:

  • Tidak hanya mengandalkan pembiayaan hibah.
  • Perlu diskusi vertikal dan aksi nyata di lapangan.
  • Teknologi yang tahan lama dan dekat dengan masyarakat sangat penting.
  • Ini adalah proses multisektoral: perlu sinergi antara bank, pemerintah, komunitas, dan sektor lain.

Dr. Ronald Law (DOH, Filipina)

Ronald menyampaikan bahwa Filipina dengan 7.600 pulau sangat rentan terhadap bencana alam seperti topan, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Bulan Juli ditetapkan sebagai bulan ketangguhan bencana nasional. Beberapa tindakan strategis yang dilakukan adalah Filipina adalah: Manajemen darurat kesehatan menjadi prioritas, termasuk dalam Universal Health Care Law, berpartisipasi di COP20 Dubai — untuk pertama kalinya ada Health Day di COP, mengembangkan sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim dan netral karbon, DOH telah memiliki kantor khusus dan roadmap terkait iklim dan kesehatan.

Dr. Ricardo Baptista Leite

Dr. Ricardo menyampaikan mengenai pentingnya mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan melalui sains termasuk dengan kecerdasan buatan (AI). Saat ini hanya 70% target SDGs yang diperkirakan tercapai. Sehingga memerlukan aksi nyata dan inovasi. Kesepakatan tidak berguna tanpa implementasi nyata, terutama di tingkat lokal dan dengan dukungan sektor swasta. Meskipun ada “Paradoks AI dan Iklim” seperti AI berkontribusi terhadap beban iklim, misalnya AI membutuhkan konsumsi energi tinggi, termasuk pusat data (data center) yang menghabiskan jutaan galon air untuk mekanisme pendinginan (1,7 juta galon air per tahun untuk satu pusat data). Namun, AI juga membawa potensi positif:

  • Dari R&D hingga manajemen, AI digunakan untuk predictive analytics.
  • Dapat membantu mengidentifikasi potensi pandemi.
  • Membantu memastikan investasi tepat sasaran dan teknologi digunakan secara bertanggung jawab tanpa meninggalkan siapa pun.

Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)

 

Sesi Pleno

Tapping the Demographic Dividend: Strengthening Early Childhood Development

Sesi ini menggarisbawahi bahwa investasi pada perkembangan anak usia dini (PAUD) merupakan strategi kunci untuk membentuk generasi sehat, produktif, dan tangguh sejak awal kehidupan. Dengan kerangka nurturing care yang mencakup kesehatan, gizi, stimulasi dini, dan perlindungan anak, pembicara dari berbagai lembaga menekankan perlunya pendekatan multisektor yang terintegrasi untuk menjangkau semua anak seawal mungkin.

dari kiri Gi Soon Song, Dr. Dinesh Arora, Scott Morris, Uma Mahadevan, Sumitra Mishra, Roopa Srinivasan, Anil Swarup


Gi Soon Song
, Director of Human and Social Development, ADB membuka dengan data bahwa hanya 1 dari 5 anak di negara berpenghasilan rendah memiliki akses ke pendidikan prasekolah. Oleh karena itu, ADB kini mendorong transformasi dari pendekatan berbasis program menuju sistem terintegrasi yang menyatukan pelayanan gizi, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak.

Paparan dilanjutkan oleh Dr. Dinesh Arora, Principal Health Specialist, ADB, yang menekankan konsep serve and return dalam stimulasi otak anak, dan menyebut bahwa investasi pada masa awal kehidupan memberi pengembalian tertinggi di masa depan.

Wakil Presiden ADB, Scott Morris, mengingatkan bahwa anak usia kurang dari 5 tahun sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, sistem PAUD perlu dirancang agar adaptif dan tahan terhadap krisis iklim.

Uma Mahadevan, perwakilan pemerintah daerah Karnataka, India, membagikan praktik baik dari Karnataka dalam menyediakan layanan penitipan anak bagi pekerja perempuan informal. Ia menekankan bahwa kurangnya layanan terstruktur menghambat partisipasi perempuan dalam pekerjaan berbayar. 

Salah satu contoh baik peran sektor swasta di India, disampaikan oleh Sumitra Mishra, CEO Mobile Creche, dalam menyediakan layanan pengasuhan melalui kebijakan dan regulasi ketenagakerjaan. Implementasi inovasi yang dikembangkan mengadopsi model Care Diamond dan Nurturing Care Framework WHO.

Roopa Srinivasan menyampaikan bahwa keadilan sosial tak akan tercapai jika intervensi PAUD tidak ditingkatkan cakupannya, terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Program Perkembangan Anak Usia Dini (ECD) dari Ummeed memberikan pelatihan dan pendampingan tentang cara mendukung tumbuh kembang anak usia 0–3 tahun melalui pendekatan berbasis bermain yang melibatkan pengasuh, menggunakan alat seperti Guide for Monitoring Child Development (GMCD), dengan metode lokakarya dan bimbingan berkelanjutan.

Anil Swarup menekankan peran ADB dan institusi lain yang mengembangkan program terkait anak usia dini, dalam memahami konteks lokal sebelum mereplikasi model di negara lain, dan memastikan keberlanjutan serta adaptasi kebijakan.

Foto dari kiri (2) Indu Bhushan; (3) Sofia Shakil; (4) Soumya; dan (5) Ana Maria Rodriguez


Indu Bhushan
,
board member Pehel Foundation, yang banyak bergerak dalam advokasi risiko paparan timbal (lead) pada anak yang berdampak jangka panjang, mulai dari gangguan kognitif hingga peningkatan risiko kriminalitas, sebagaimana dibuktikan melalui studi di AS. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan awareness, edukasi remaja atau orang tua mengenai paparan timbal sebelum maupun saat hamil, adopsi dalam kurikulum sekolah, dan melibatkan lintas pemangku kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk paparan timbal dari lingkungan.

Sofia Shakil menekankan pentingnya membangun kemitraan strategis untuk memperluas cakupan intervensi yang terbukti berhasil, serta menyoroti dampak perubahan iklim dan migrasi terhadap akses layanan anak.

Soumya menyoroti perlunya integrasi intervensi sejak masa kehamilan dan penguatan kapasitas tenaga lapangan, disertai umpan balik data yang berguna dan tidak tersilo.

Ana Maria Rodriguez dari UNICEF menyampaikan beberapa saran teknis yang perlu dilaksanakan untuk memastikan keberhasilan program pendukung perkembangan anak usia dini, diantaranya perlunya kemauan politik, kebijakan lintas sektor, dan dukungan terhadap pengasuhan serta inovasi-inovasi dalam program PAUD.

Kirsten Hurley, Associate Professor dari Bloomberg School of Public Health, melengkapi perspektif pentingnya lingkungan yang mendukung perkembangan anak sejak dini melalui perspektif akademis dan peneliti. Beliau memaparkan hasil penelitiannya di India dengan penekanan bahwa intervensi harus dimulai sejak dini, fokus pada pengurangan risiko, dan memperkuat faktor protektif seperti gizi. Namun, tantangan selanjutnya adalah menerjemahkan hasil penelitian menjadi aksi di lapangan agar mencapai hasil yang diharapkan.

Sesi ini mempertegas bahwa penguatan PAUD adalah investasi strategis untuk memanfaatkan bonus demografi secara maksimal. Dibutuhkan kolaborasi multisektor, kebijakan terpadu, serta kemauan politik untuk menciptakan sistem pengasuhan yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Sesi Pleno

How Pandemic Response Drives UHC

Peter Sands, direktur dari the Global Fund membuka sesi plenary. Pesan kunci Peter bahwa kesiapan menghadapi pandemi merupakan salah satu contoh bagaimana investasi untuk kesehatan merupakan investasi terpenting yang bisa dilakukan oleh pemerintah, dan investasi yang didukung penuh oleh stakeholder. Hal ini mencakup tanggung jawab dan peran yang dapat diambil oleh institusi internasional mau pun negara-negara dengan sumber daya yang lebih. Jepang, contohnya, berkomitmen untuk membantu negara-negara di Asia dan Afrika untuk penyediaan perbekalan Kesehatan, seperti disampaikan oleh dr Yosuke Kita dari Kementerian Luar Negeri Jepang.

Sesi plenary menghadirkan pembicara dari Kementerian Kesehatan negara-negara di Pasifik, beberapa mitra pembangunan khususnya yg mendukung perbekalan kesehatan.

Fiji, salah satu negara kepulauan kecil di Pasifik, menghadapi tantangan dalam penyediaan oksigen selama pandemi COVID-19. Menteri Kesehatan Fiji menyatakan bahwa dukungan dari negara lain dan lembaga multi-negara membantu sistem kesehatan Fiji belajar untuk membangun resiliensi, khususnya bagi kantong-kantong populasi yang memiliki keterbatasan akses. Inovasi dan penerapan teknologi yang kontekstual (misalnya pemanfaatan panel surya) telah membantu Fiji untuk memastikan layanan kesehatan yang berkelanjutan. Serupa dengan pengalaman tersebut, Cook Island, negara kepulauan lain di Pasifik juga menyampaikan pengalamannya. Menteri Kesehatan Cook Island menyampaikan bahwa pandemi telah mengajarkan bahwa sistem kesehatan sangat rentan, tetapi juga membuka kesempatan untuk menyadari pentingnya perencanaan dan perawatan infrastruktur kesehatan, sistem transportasi dan logistik, serta penguatan SDM. Berikutnya wakil Menteri Kesehatan Armenia menyampaikan bahwa pandemi juga mengajarkan prioritisasi bagi pelayanan primer yang kuat dan pengembangan kemandirian obat dan perbekalan. Tahun ini, misalnya, Armenia menganggarkan peningkatan 40% untuk investasi research and development (R&D).

Dr Saima Wazed (Direktur Regional WHO SEARO) menggarisbawahi bahwa memiliki faskes saja tidak cukup. Sistem dan sumber daya harus dibangun. Selain itu, kolaborasi harus dibangun dengan mitra-mitra non pemerintah. Menyadari kerentanan saja tidak cukup, tetapi harus ada aksi mitigasi dan kemauan untuk menyingkirkan hambatan sistem.

Robert Matiru (Direktur Divisi Program, Unitaid) juga menyoroti dua hal (1) harus tersedia kolaborasi multi-finance yang menghasilkan proposal pembiayaan yang rasional dan koheren berbasis kebutuhan, (2) kemampuan untuk negosiasi dan berkolaborasi dengan sektor swasta. Unitaid memfasilitasi berdirinya Global Oxygen Alliance untuk memastikan keberlanjutan dari kolaborasi masa pandemi untuk ketersediaan oksigen, dengan cara (1) Crowd-Financing, (2) memastikan Capital Expenditure (capex) untuk market assurance dan hal-hal lain yang sering diabaikan, dan (3) membangun accountability matrix untuk investasi yang dihimpun. 

Priya Basu, direktur Pandemic Fund dari Bank Dunia menyatakan dua prinsip utama untuk memperkuat kesiapan menghadapi pandemi: (1) itu harus menjadi inti dari membangun sistem kesehatan yang inklusif dan resilien: mampu menyediakan layanan di masa krisis mau pun tidak; (2) dukungan eksternal hanya bersifat komplemen terhadap komitmen dan sumberdaya domestic yang disediakan pemerintah. 

Amanda McClelland (dari “Prevent Epidemics, Resolve in Save Live”, sebuah organisasi yang bermitra dengan pemerintah untuk membangun health security systems) juga menambahkan bahwa kesiapan pandemi tidak mungkin tercapai tanpa kemitraan dengan komunitas.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Paralel

Strategic Reforms on Health Financing: UHC Reforms on the Frontline

Penguatan sistem kesehatan khususnya dalam hal penyediaan jaminan kesehatan semesta merupakan salah satu tujuan dari sistem kesehatan. Tantangan utama dalam cakupan kesehatan semesta adalah ketidakcukupan dana, dan ini berusaha diatasi melalui (1) meningkatkan komitmen  anggaran pemerintah dan mencari berbagai sumber pembiayaan publik untuk kesehatan, (2) meningkatkan pembayaran non publik, dan (3) efisiensi layanan. Sesi paralel kali ini membahas pengalaman dari 4 negara yang sangat berbeda konteks dan sumberdayanya, yaitu Indonesia, Mongolia, Vietnam dan Turki. Sesi ini dikhususkan untuk membahas bagaimana negara-negara ini melakukan upaya reformasi strategis untuk mencapai cakupan kesehatan semesta.

Indonesia

Dalam kesempatan ini, Prof. Ali Ghufron Mukti (Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan/ BPJS-K) membahas upaya untuk mengejar kepersertaan dari sektor informal yang mampu. Inovasi yang dilakukan termasuk pemanfaatan berbagai platform pembayaran yg umum digunakan (sekitar 1 juta channel untuk pembayaran), mekanisme penyisiran berbasis komunitas dengan pemanfaatan kader JKN untuk edukasi mengenai kepersertaan dan kepatuhan pembayaran, pemanfaatan donasi/zakat, program rehab (cicilan), dan telekoleksi serta WA blasting.

Dalam hal strategic purchasing, BPJS-K menerapkan mekanisme Kerjasama (kontrak) dengan faskes public dan swasta, penjaminan mutu faskes (kredensialing) dan layanan (melalui kapitasi berbasis kinerja), pemanfaatan Health Technology Assessment (HTA) dalam penyusunan paket manfaat, dan sebagainya.

Vietnam

Sesi ini disampaikan oleh Dr. Vu Nu Anh, Deputy Director General Dari Health Insurance Department dari Kementerian Kesehatan Vietnam. Pada 2024, Vietnam menerbitkan UU Nomor 51 Tahun 2009 mengenai jaminan kesehatan, sebagai puncak dari upaya yang bermula dari berbagai mekanisme jaminan Kesehatan yang dimulai pada 1992. Saat ini, 12% dari revenue jaminan kesehatan Vietnam diharapkan berasal dari rumahtangga dan ini masih merupakan tantangan untuk pemenuhannya. Upaya yang dilakukan sejauh ini adalah meningkatkan subsidi pemerintah untuk kelompok miskin, penguatan primary care, serta efisiensi melalui pemanfaatan HTA, serta melakukan pilot sinergi antara cakupan jaminan kesehatan sosial dengan asuransi swasta.

Mongolia

Batbayar Ankhbayar, health financing specialist dari Kementerian Kesehatan Mongolia menyampaikan bahwa strategic purchasing menjadi strategi utama Mongolia untuk meningkatkan efisiensi dan mutu layanan di sektor kesehatan. Hal ini dilakukan dengan membuat system jaminan sosial single-pool pada 2021 (Health Insurance General Agency/HIGA sebagai purchaser utama) yang mencakup komponen selective contracting, pembayaran provider dengan prinsip outcome-based dan melakukan volume-based budgeting pada 2024.

 

Turki

Dalam kesempatan ini Ugursel Erol dari Lembaga Asuransi Sosial (Turki) membahas upaya penguatan tata kelola sebagai strategi utamanya. Salah satu contoh adalah (1) memastikan proses pengambilan keputusan yang melihatkan multi-stakeholder, misalnya keputusan mengenai reimbursement; (2) mekanisme alternatif untuk reimbursement yang transparan, dan juga direct supply yang berbasis pasien.

Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Piya Hanvoravongchai, para pembicara menambahkan pentingnya (1) sistem anti-fraud yang kuat, (2) reformasi regulasi, (3) mengubah persepsi ‘kesehatan adalah spending’ menjadi ‘kesehatan adalah investasi’ (baik persepsi pemerintah (Kementerian Keuangan) mau pun individu, serta (4) memastikan adanya learning health system untuk merespon tantangan sesuai konteks dan belajar dari pengalaman.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Parallel

Sustainable & Resilient Health Systems & Infrastructure: Thailand, Armenia & India

Sesi ini membahas tantangan umum serta berbagi contoh inovatif dari India, Armenia, dan Thailand dalam mengembangkan sistem dan infrastruktur kesehatan yang tangguh terhadap perubahan iklim. Resiliensi iklim didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem untuk merespons dan mengantisipasi bencana terkait iklim, dengan tetap menjaga keberlangsungan layanan. Ditekankan pula pentingnya mengaitkan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dengan respons yang menggunakan pendekatan health system building blocks, termasuk aspek Sumber Daya Manusia (SDM), Water, Sanitation and Hygiene (WASH), energi berkelanjutan, serta infrastruktur yang mendukung ketahanan terhadap iklim. Infrastruktur, teknologi, dan intervensi produk dibagi dalam tiga kategori utama:

  1. Adaptasi sistem dan infrastruktur, termasuk pengembangan kebijakan dan regulasi.
  2. Promosi teknologi baru yang mendukung ketangguhan terhadap iklim serta kelestarian lingkungan.
  3. Keberlanjutan operasional fasilitas pelayanan kesehatan.

WHO juga telah menerbitkan Compendium of Health and Environment Interventions, yang menjadi repository global berisi sekitar 500 aksi/intervensi yang mendukung lingkungan yang lebih sehat dan sistem kesehatan yang lebih tangguh.

Mr. Angad Karandhe, Advisor, Government of Maharashtra, India
Mr. Karandhe memaparkan upaya penguatan pelayanan kesehatan tersier dan pendidikan kedokteran di Maharashtra dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan dukungan dari ADB, Maharashtra melakukan reformasi kebijakan yang semula hanya berfokus pada aspek infrastruktur, kini mencakup komponen lunak (soft components), seperti, pertama, pembentukan center of excellence untuk pendidikan kesehatan. Kedua, pengembangan kurikulum yang memasukkan isu perubahan iklim dan resiliensi iklim bagi mahasiswa dan tenaga pengajar di institusi pendidikan kedokteran. Ketiga pengenalan digital medical education sebagai pendekatan inovatif yang sekaligus memperkenalkan solusi digital dalam bidang kesehatan yang relevan untuk mengatasi tantangan iklim. Keempat, pembangunan infrastruktur kesehatan yang tangguh terhadap iklim, termasuk inisiatif green campus dan efisiensi energi.

Maria Hovakimyan, Deputy Director of the Health Project Implementation Unit, Ministry of Health, Armenia 
Dengan latar belakang sebagai ahli kebijakan kesehatan, Hovakimyan menjelaskan proses yang dijalani Armenia dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim. Kemudian, dukungan ADB mendorong Armenia mengambil sejumlah langkah diantaranya, pertama, melakukan pemetaan risiko kesehatan terkait perubahan iklim, seperti morbiditas dan mortalitas akibat gelombang panas (heat waves). Kedua, membangun infrastruktur dengan desain yang mendukung ketahanan iklim, seperti insulasi dinding yang memadai, sistem pencahayaan hemat energi, dan sistem daur ulang air. Ketiga, mengadopsi best practices yang sudah terbukti efektif untuk penguatan layanan primer (primary healthcare) yang tangguh terhadap iklim. Keepat, mengembangkan kurikulum pelayanan kesehatan primer yang menyertakan topik perubahan iklim. Kelima, membangun sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS) untuk mengenali potensi masalah kesehatan, serta menyampaikan informasi secara proaktif kepada masyarakat agar mereka dapat lebih siap menghadapi dampaknya.

Dr. Wiwat Chatwangwan, Wakil Direktur Rumah Sakit Maharat Nakhon Ratchasima, Thailand
Dr. Wiwat menyampaikan bahwa Thailand memiliki national policy framework yang memasukkan aspek ketangguhan (resilience) sebagai bagian integral dari sistem kesehatan. Salah satu inisiatif utamanya adalah pengembangan green hospital dengan tujuan: menjadi rumah sakit netral karbon dan menetapkan tolok ukur keberlanjutan (sustainability benchmark).

Beberapa langkah yang telah diambil termasuk pertama, inisiasi carbon footprint analysis untuk mengukur dan menurunkan emisi. Kedua, mendukung program “30 Baht Treatment Anywhere” yang memungkinkan akses layanan kesehatan di seluruh Thailand. Program ini didukung oleh aplikasi digital berbasis AI, yang mengurangi kebutuhan perjalanan pasien dan secara tidak langsung menurunkan emisi karbon. Ketiga, pemanfaatan teknologi seperti telemedicine, health wallet digital platform, serta health station (Care Kiosk) yang memperluas akses layanan kesehatan berbasis digital dan memperkuat sistem kesehatan yang adaptif terhadap perubahan iklim.

Reporter:
dr. Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)


 

 

Sesi Paralel

Behind the Deal: What Makes Healthcare PPPs Work (or Fail)?

Pada 1990-an, mayoritas RS di Inggris dibangun melalui skema Public Finance Initiative (PFI), dan banyak negara setelahnya mengadopsi model PFI ini, dimana sektor swasta membiayai, membangun dan merawat bangunan, fasilitas, teknologi dan infrastrukturnya; sementara layanan klinis disediakan oleh pihak pemerintah. Menariknya, di Asia Pasifik keberhasilan PPP sangat rendah (1%) sementara di regional lain lebih tinggi (misal: Amerika 20%, dan di Eropa rata-rata 18%).

Sesi ini berupa diskusi antara beberapa praktisi public private partnership (PPP) dan tantangannya. Pembicara termasuk Menteri Kesehatan Filipina, Wakil Menteri Uzbekistan, serta sektor swasta.

Persepsi umum pertama adalah bahwa PPP merupakan privatisasi dan bertentangan dengan prinsip penyediaan public goods oleh pemerintah, apalagi sektor swasta dianggap hanya beroerientasi pada profit sehingga akan membuat layanan kesehatan disediakan melalui kerangka PPP menjadi mahal.

Menteri Kesehatan Filipina menceritakan bahwa di Filipina, banyak infrastruktur (air, jalan, dan sebagainya) telah dibangun dengan kerangka PPP (difasilitasi oleh regulasi tentang BOT) dan berjalan baik, namun ketika dilakukan untuk sektor kesehatan, PPP dilabeli “privatisasi” dan muncul banyak tantangan. Proses PPP sejak inisiasi sampai terlaksana membutuhkan proses, waktu yang sangat Panjang, dinamika dukungan dan tantangan politik sangat turbulent, ditambah dengan ketika terjadi disrupsi perubahan dipemerintah.  Lesson learned dari pengalaman Filipina menunjukkan bahwa selama proyek PPP masih dalam skala yang kecil (misalnya hanya unit pelayanan tertentu di RS e.g. robotic)  atau terbatas (misalnya hanya faskes tingkat kota atau regional e.g. Makati Life Medical Center milik kota Makati), proses ini hanya membutuhkan persetujuan Kementerian Kesehatan di Filipina sehingga dapat diproses oleh unit PPP di Kementerian Kesehatan dan biasanya berakhir sukses. Menkes Filipina mengakui bahwa kekurangannya adalah proses PPP ini biasanya berlangsung tanpa adanya social marketing yang mengedukasi pemahaman lebih luas kepada masyarakat mengenai PPPs.

Persepsi umum lain adalah bahwa PPP dianggap ‘taktik’ pemerintah untuk by pass kebutuhan pendanaan besar. PPP dianggap mahal atau berbiaya tinggi.  Oleh karena itu, bagi pemerintah, perlu penegasan tujuan dari pemerintah dalam keterlibatan swasta tersebut. Motivasi apa yang mendorong, masalah apa yang sebenarnya ingin dipecahkan melalui PPPs. Refleksi transparan mengenai hal ini akan membantu membentuk strategi dan model PPP yang tepat dan trustworthy. Sebagai contoh, PFI muncul di Inggris karena secara historis terlihat bahwa pembangunan infrastruktur di Inggis selama ini tidak efisien dan sering tidak tepat waktu. Sementara di Portugal, PPPs muncul karena tidak adanya tenaga kesehatan yang memadai di sektor publik untuk menyediakan layanan, sehingga PPP di Portugal mencakup kontrak untuk pembangunan infrastruktur dan dikombinasikan dengan kontrak untuk penyediaan layanan.

Dari perspektif pendanaan/investor/swasta, capital expenditure (capex per capex), memang investasi PPP berbiaya tinggi, namun bila dilihat dari lifecycle-nya maka sesungguhnya invetasi PPP cukup memberi value for money. Selain itu, disampaikan bahwa motivasi swasta tidak semata-mata tentang profit. Di Pakistan, misalnya, jejaring RS swasta yang bermitra dengan pemerintah melakukannya dalam kerangka layanan dan filantropi, nirlaba, dan berorientasi pada dampaknya bagi masyarakat. Kontrak dengan pemerintah diatur melalui serangkaian indikator(KPI) yang dipantau oleh pihak ketiga. KPI yang dipilih juga mencerminkan bagaimana prinsip kualitas layanan sangat dijunjung tinggi sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari masyarakat dan juga dari pemerintah.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Parallel Session: Pandemics & Infectious Diseases Track

Advanced Warning & Response (AWARE) Systems

Dalam sesi ini, para peserta diajak menyelami inisiatif Advance Warning Systems and Response (AWARE) dari Asian Development Bank (ADB), sebuah pendekatan inovatif yang menjembatani kesenjangan antara meningkatnya risiko kesehatan akibat perubahan iklim dan terbatasnya kapasitas sistem kesehatan untuk merespons. AWARE menghadirkan alat peringatan dini, data real-time, serta solusi yang berakar dari kebutuhan negara, dengan tujuan membangun sistem kesehatan yang lebih tangguh, adaptif, dan antisipatif di wilayah Asia-Pasifik.

Sesi yang dimoderatori oleh Angela Chaudhuri, CEO dari Swasti Health Catalyst ini, menghadirkan berbagai pembicara dari lintas sektor yang telah terlibat dalam perancangan dan implementasi AWARE di berbagai negara, mulai dari pengambil kebijakan, ahli teknologi, hingga pelaksana di lapangan.

Sesi dibuka oleh Dr. Dinesh Arora, Principal Health Specialist ADB, yang menjadi motor teknis di balik pengembangan AWARE. Dinesh memimpin pengintegrasian teknologi peringatan dini, data spasial, dan analitik prediktif untuk membantu pemerintah merespons risiko iklim secara lebih cepat dan tepat sasaran. Pembicara menekankan bahwa meskipun prediksi sangat membantu, tetap ada potensi ketidakpastian. Oleh karena itu, prioritas utama tetap pada pencegahan dan deteksi dini untuk meminimalkan dampak risiko kesehatan akibat perubahan iklim.

Materi panel disampaikan oleh Dr. Soumya Swaminathan, mantan Chief Scientist WHO, yang memberikan konteks global terhadap pentingnya sistem surveilans yang terstandar dan terintegrasi sehingga dapat dimanfaatkan saat menghadapi krisis kesehatan global. Banyak tools surveilans yang kini tersedia dan bisa digunakan, termasuk yang tidak kalah penting adalah social listening, memanfaatkan media sosial atau percakapan public sebagai sumber data tren kejadian penyakit, serta mengantisipasi misinformasi dan merancang strategi komunikasi risiko yang efektif.

Sesi AWARE turut menampilkan inisiatif konkret dari berbagai negara di Asia yang telah mengadopsi sistem peringatan dini berbasis data untuk memperkuat ketahanan kesehatan terhadap risiko perubahan iklim di India, Thailand, dan Filipina.

Dr. T.S. Selvavinayagam, Direktur Direktorat Kesehatan Masyarakat dan Pengobatan Pencegahan Tamil Nadu, India, memperkenalkan Scrub Typhus Advanced Warning System. Sistem ini menggunakan data iklim dari badan meteorologi, data spasial, dan laporan kasus rumah sakit untuk memperkirakan potensi wabah scrub typhus. Seluruh rumah sakit di wilayah tersebut diperingatkan sejak dini. Dengan dukungan analitik prediktif, sistem ini telah membantu menghubungkan pola cuaca dengan lonjakan penyakit, memungkinkan intervensi lebih cepat dan terarah.

Dr. Valerie Laloo, petugas surveilans penyakit di Meghalaya, India, mempresentasikan pengembangan sistem State One-Health Surveillance yang berfokus pada penyakit zoonotik. Inisiatif ini mengintegrasikan data dari rumah sakit, laboratorium manusia dan hewan, serta instansi meteorologi, dengan dukungan dari organisasi lokal. Tujuannya adalah membangun sistem peringatan dini yang mengurangi penyakit, kematian, dan dampak ekonomi—dengan pondasi tata kelola yang kuat sebagai penopangnya.

Gubernur Cielo Krisel Lagman-Luistro dari Tabaco City, Filipina, memberikan contoh nyata bagaimana pemerintah daerah menerapkan Community-based Monitoring System (CBMS) untuk memantau data kesehatan dan perubahan iklim di tingkat “barangay” (setara Puskesmas). Sistem ini mengagregasi data demografi, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kesehatan masyarakat melalui dashboard interaktif, yang memudahkan pemerintah kota dan pemangku kepentingan untuk mendeteksi anomali seperti lonjakan penyakit atau indikator kerentanan lainnya secara real-time.

Patipat Susumpao dari OpenDream Thailand, memaparkan pendekatan inovatif Community-Driven Participatory Surveillance, yang memberdayakan petani dan warga desa sebagai ‘detektif penyakit’. Melalui aplikasi mobile, mereka dapat melaporkan gejala penyakit hewan secara cepat, yang kemudian dianalisis dan ditindaklanjuti oleh petugas kesehatan dan dokter hewan. Dalam uji coba, deteksi wabah turun dari 24 jam menjadi 12 jam, dan waktu respons menjadi hanya 7–8 jam. Pendekatan ini tidak hanya menyelamatkan ternak, tetapi juga mencegah kerugian ekonomi jutaan dolar.

Biju Jacob, CTO dari Health Innovation Exchange (HIEx), bertanggung jawab atas pengembangan solusi digital dan arsitektur teknologi di balik AWARE. Ia mengembangkan sistem visualisasi data, pemantauan lingkungan, dan dashboard yang bisa digunakan pengambil kebijakan dalam waktu nyata.

Prof. Sir Gordon Duff, Presiden United in Diversity Foundation, berbagi wawasan tentang pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam membangun sistem kesehatan masa depan yang adaptif terhadap risiko iklim, dengan pendekatan inklusif dan berbasis solidaritas.

Ayako Inagaki, Direktur Senior Divisi Pengembangan Sosial dan Kemanusiaan ADB, menutup sesi ini dengan menjelaskan bagaimana ADB memperkuat sistem kesehatan di negara-negara berkembang melalui pendekatan responsif terhadap perubahan iklim. Ayako menekankan pentingnya penyediaan data yang akurat, sehingga pemangku kepentingan memiliki kepercayaan terhadap data, sehingga dapat memberikan respons yang lebih cepat dan Menyusun kebijakan berbasis data yang tepat, untuk membangun sistem kesehatan yang inklusif dan berkeadilan, khususnya untuk kelompok rentan.

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)

 

Sesi Pleno

How can pandemic preparedness and response make health systems more resilient?

Sesi plenary kali ini membahas beberapa pembelajaran dari era pandemi mengenai beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk memastikan ketahanan sistem kesehatan. Perspektif yang disoroti adalah pengalaman kemampuan negara untuk mengidentifikasi apa kelemahan utama dalam sistem kesehatan mereka yang kemudian direformasi. Sesi ini dimoderatori oleh Dr Nima Asgari (APO Health Systems and Policies).

Prof Dr Md Sayedur Rahman, Staf Khusus Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga, Bangladesh, mengingatkan bahwa sistem kesehatan harus dibangun bukan sekedar sebagai “respon” terhadap  disrupsi, tetapi harus dibangun berakar dalam realita sosial and Masyarakat, menyasar berbagai determinan Kesehatan, karena hanya dengan cara itu system dapat resilient dan memiliki keberlanjutan.

Dr Gina Samaan, Direktur Regional Emergency, WHO WPRO menggarisbawahi apa yang bisa dilakukan sebagai suatu kawasan untuk menjaga health security. International health regulation (IHR) dan pandemic agreement adalah sebuah multilateral treaty yang menunjukkan bahwa pentingnya upaya multilateral untuk melengkapi kesiapan sistem kesehatan nasional menghadapi krisis Kesehatan. Sebagai contoh, upaya kawasan harus memperkuat sistem surveillance, forecasting dan modelling, R&D network, manufacture dan procurement, dan supply chain network.

Dr Battur Lkhagvaa, National Center for Public Health, Mongolia, merefleksi pengalaman pandemi yang menyingkapkan bahwa tata kelola sistem kesehatan untuk mendeteksi dan merespon krisis kesehatan seringkali terfragmentasi namun overlapped satu sama lain. Oleh karena itu, salah satu prioritas reformasi sistem kesehatan yang muncul dari pengalaman pandemi seharusnya adalah integrasi berbagai fungsi, institusi serta tata kelola yang membentuk ketahanan sistem kesehatan dalam konteks krisis kesehatan.

Berry Ropa, Health Security Program, PNG, menyampaikan bahwa kunci ketahanan sistem kesehatan adalah perencanaan yang bersifat proaktif, menggunakan pendekatan yang menyeluruh. Oleh karena itu, prioritas di PNG adalah pemanfaatan pendekatan OneHealth dalam pelatihan kepada SDM di berbagai sektor termasuk kader-kadernya, serta mendorong kolaborasi sipil-militer (konteks: kelompok militer biasanya adalah kelompok yang paling awal ditempatkan dalam situasi-situasi darurat dan krisis). 

 

Prof Ren Minghui, Direktur Institute for Global Health, Peking University, mengingatkan tantangan yang harus segera diatasi untuk memperkuat kemampuan layanan primer sebagai garda terdepan ketahanan sistem kesehatan:

  • Defisiensi struktur gatekeeping, yang biasanya diperparah oleh (1) kelangkaan nakes khususnya dokter, (2) ketidaksiapan infrastruktur
  • Lemahnya integrasi di dalam sistem kesehatan versus fungsi kesmas yang biasanya diperburuk oleh (1) rendahnya remunerasi dan insentif untuk tenaga Kesehatan (nakes) dalam pelaksanaan fungsi kesmas dan (2) knowledge gap dalam menjalankan fungsi-fungsi kesehatan masyarakat (kesmas)
  • Kurang upaya keterlibatan dan pemberdayaan otoritas lokal dan tidak adanya mekanisme berbagi informasi

Dr Seung Sun Kim, Direktur Korea Disease Control Agency, menunjukkan bahwa digitalisasi merupakah kunci untuk mendeteksi dan merespon krisis secara real-time. Korea memanfaatkan big data yang dikumpulkan bukan hanya dari data faskes tetapi juga dari data jaminan sosial/asuransi, data sektor lain (non kesehatan), bahkan CCTV, dan menyusun OneHealth big data. Hal ini membuat mereka mampu membuat predictive analysis, AI untuk beberapa penyakit menular prioritas, misalnya AI untuk TB dan vector-borne diseases.  Pesan kuncinya adalah memanfaatkan digitalisasi dan data lintas sektor.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Paralel

Indonesia’s Health System Transformation

Sesi ini menghadirkan diskusi mendalam tentang bagaimana pandemi COVID-19 menjadi katalis bagi Indonesia untuk mendorong reformasi sistem kesehatan secara menyeluruh. Sesi ini menghadirkan pemangku kepentingan kunci, mulai dari Kementerian Kesehatan Indonesia, BPJS Kesehatan, hingga Asian Development Bank (ADB).

Dalam sambutan pembuka, Scott Morris, Wakil Presiden ADB, menyoroti Indonesia sebagai negara yang menonjol dalam menghadapi krisis fiskal dan kesehatan. Morris menyebutkan bahwa Indonesia menunjukkan agenda transformasi yang berani melalui enam pilar reformasi sistem kesehatan, meskipun menghadapi tantangan geografis, sosial, dan ekonomi yang kompleks.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menegaskan pentingnya enam pilar yang menjadi fondasi agenda Health System Transformation, yang dirancang pasca-pandemi untuk membentuk sistem kesehatan nasional yang lebih tangguh dan terintegrasi, meliputi transformasi layanan primer, layanan rujukan, ketahanan sistem, pembiayaan, sumber daya manusia, dan teknologi.

Budi menjelaskan bahwa pandemi COVID-19 bukan hanya menjadi ujian bagi sistem kesehatan Indonesia, melainkan juga peluang untuk melakukan reformasi besar-besaran. Pembicara memaparkan bahwa Kementerian Kesehatan Indonesia telah merevitalisasi lebih dari 10.000 Puskesmas dengan pendekatan layanan sepanjang siklus hidup (life-cycle approach), didukung digitalisasi sistem secara menyeluruh. Dukungan teknologi juga menjadi fokus utama, termasuk pemanfaatan konektivitas dari inisiatif Elon Musk untuk memperkuat layanan di daerah terpencil. Dalam hal infrastruktur, Kemenkes bekerjasama dengan ADB dan Bank Dunia untuk pengadaan alat-alat kesehatan esensial seperti USG, EKG, X-ray, hingga analyzer laboratorium di fasilitas layanan primer. Seluruh upaya ini bertujuan memastikan bahwa Puskesmas tidak hanya menjadi tempat pengobatan, melainkan juga pusat deteksi dini dan pencegahan penyakit.

Budi juga menyoroti reformasi di bidang pembiayaan dan SDM kesehatan. Pemerintah menggandakan alokasi anggaran untuk program promotif dan preventif, serta meningkatkan kontribusi BPJS Kesehatan untuk layanan primer. Dalam jangka panjang, Indonesia menargetkan setiap Puskesmas memiliki dokter layanan primer yang terlatih melalui program pascasarjana kedokteran keluarga. Selain itu, Kementerian Kesehatan saat ini tengah mendorong produksi dalam negeri untuk obat dan vaksin, serta merancang rilis kelompok risiko penyakit secara nasional tahun depan. Upaya ini diperkuat dengan sistem data kesehatan yang terintegrasi dan terstandar, termasuk kewajiban keamanan data yang kini diatur dalam undang-undang. Seluruh pendekatan ini menunjukkan strategi menyeluruh dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh, efisien, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Pada sesi diskusi panel, para panelis menekankan pentingnya pendekatan sistemik dan lintas sektor dalam reformasi kesehatan:

  • Maria Endang Sumiwi, Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Indonesia menyampaikan pentingnya pendekatan berbasis gaya hidup, bukan sekadar berbasis penyakit, untuk mengurangi potensi adanya data silo di sistem kesehatan layanan primer. Endang juga menyinggung inisiatif kebijakan baru “Birthday Checkup”, layanan medical check-up gratis tahunan bagi masyarakat.
  • Murti Utami, Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Indonesia menyoroti dua fokus penyakit prioritas: tuberkulosis, kanker dan beberapa rencana layanan kesehatan yang terfokus.
  • Prof Ali Ghufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan Indonesia, menggarisbawahi upaya memperkuat pembiayaan komunitas, termasuk integrasi dengan sumber seperti zakat, serta perubahan sudut pandang Kementerian Keuangan bahwa kesehatan bukan lagi sekadar pengeluaran, tetapi investasi.

Closing remarks disampaikan oleh Eduardo Banzon dari ADB mengenai bagaimana Indonesia mengubah krisis menjadi peluang. Eduardo menegaskan perlunya keluar dari kerja sektoral yang terkotak-kotak, transformasi sistem kesehatan dapat terlaksana dengan berhenti bekerja secara silo dan mulai bertransformasi secara sistemik.

Reporter:
dr. Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Sesi Parallel

Investasi di Kesehatan Mental

Sesi ini berupa diskusi dari WHO dengan para praktisi tentang pertanyaan-pertanyaan kunci dan aspek-aspek penting, yaitu:

  • Pelayanan kesehatan mental yang terintegrasi dan equitable
  • Pelayanan kesehatan mental harus beradaptasi sesuai dengan konteks, misalnya pandemi, perubahan iklim dan perubahan demografi
  • Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi batasan-batasan, misalnya pelayanan yang harus tersedia melalui berbagai kanal (bahkan sampai ke level individu), di tingkat primer, dan sebagainya
  • Integrasi pelayanan kesehatan mental dalam layanan cakupan Kesehatan semesta
  • Peningkatan investasi dan anggaran untuk kesehatan mental
  • Mendorong advokasi kebijakan yang lebih inklusif

Didiskusikan pula pendekatan yang mungkin perlu dilakukan, yaitu melibatkan para penyintas dan/atau keluarga,  khususnya dalam mendapatkan informasi yang diperlukan untuk merancang pelayanan yang sensitif, berorientasi pada kebutuhan mereka, sehingga sistem layanan dapat didisain untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Hal penting lain yang disinggung adalah isu pembiayaannya. Dalam diskusi mengenai penguatan sistem kesehatan untuk mencapai cakupan kesehatan semesta biasanya tidak menyentuh bagaimana cakupan untuk layanan tentang kesehatan mental. Hal ini terutama karena kelompok ini adalah kelompok yang tidak terlihat (kecuali dalam situasi Dimana kondisi pasien sudah sampai pada ODGJ atau harus menjalani rawat inap), padahal ada banyak stigma di seputar gangguan mental yang lain sehingga kebanyakan orang tidak mengakui, atau tidak didiagnosis sebagai gangguan mental. Tantangan besar lain dalam investasi kesehatan mental adalah bagaimana menghitung biaya untuk preventif promotifnya, serta menghitung ‘manfaat’ yang dihasilkan, misalnya menghindari eskalasi hingga muncul kebutuhan untuk rawat inap. 

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Parallel

Mengatasi Tantangan Obesitas

Sesi ini membahas tiga hal penting:

Topik pertama adalah obesitas merupakan krisis kesehatan global

  1. Data Global Burden of Disease menunjukkan bahwa  tren kenaikan obesitas di Asia merupakan yang tercepat di seluruh dunia, walaupun dari prevalensinya yang tertinggi adalah negara-negara Oseania (Australia, Fiji, Kiribati, Kepulauan Marshall, Federasi Mikronesia, Nauru, Selandia Baru, Palau, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, Vanuatu).
  2. Data juga menunjukkan bahwa di Asia proporsi obesitas akan melampaui proporsi overweight, baik di kelompok anak mau pun kelompok usia. Hal ini mengindikasikan kegagalan preventif promotif kita. Hal ini diperparah oleh perubahan pola makan yang terpusat pada minuman berpemanis (SSB) dan calorie-densed serta kurangnya aktivitas fisik
  3. Data juga menunjukkan bahwa kelompok yang lebih rentan terhadap obesitas adalah kelompok pendapatan rendah.

Topik kedua yang dibahas adalah mengenai biaya. Biaya kesehatan sebagai dampak dari obesitas meningkat 15% dalam dua decade terakhir. Di Asia Pasifik biayanya mencapai 0.78% GDP (data tahun 2013), di negara-negara SEARO mencapai 1,19% GDP dan di negara-negara WPRO 1.58% GDP (data tahun 2019).  

Topik ketiga yang dibahas adalah terdapat begitu banyak pendekatan best-buy yang bisa dilakukan terkait obesitas, dan terdiri dari mayoritas pendekatan preventif promotif (termasuk aktivitas fisik dan pola makan sehat) atau pun kebijakan fiskal (misal cukai untuk SSB). Filipina menunjukkan pasca penetapan cukai SSB, terjadi penurunan konsumsi sebesar 8.7%. Pilihan kebijakan lain yang masih dapat dieksplor adalah kebijakan food system, memastikan pula bahwa pilihan sumber makanan yang sehat (sayur buah) lebih murah dan lebih mudah diakses daripada makanan cepat saji. Salah satu godaan terbesar untuk menggunakan pendekatan medis dan klinis terhadap obesitas (misalnya operasi atau penggunaan Ozempic) adalah karena tersedia data yang menunjukkan bagaimana dampak langsungnya. Sebaliknya, pendekatan-pendekatan preventif promotif biasanya sulit dibuktikan efektivitasnya dan dampaknya karena banyak dipengaruhi oleh hal-hal lain.  

Untuk memastikan negara-negara mampu mengimplementasikan best-buy yang direkomendasikan oleh panduan WHO, WHO juga menyarankan pendekatan yang berbasis roadmap yang melibatkan multisektor. Namun, diakui bahwa dua tantangan terbesar adalah (a) perubahan perilaku, dan (b) pengumpulan serta pemantauan data.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Parallel

Strengthened Regional Vaccine Manufacturing and Regulation

Sesi ini membahas bagaimana pandemi COVID-19 mengungkap ketimpangan akses vaksin secara global dan pentingnya kapasitas manufaktur serta regulasi vaksin di tingkat regional. Asian Development Bank (ADB) menanggapi tantangan ini dengan pendekatan multisektor, termasuk dukungan terhadap biomanufaktur domestik, pengadaan bersama di tingkat regional, konvergensi regulasi, dan penguatan kapasitas otoritas regulatori nasional (National Regulatory Authorities/NRA).

Kunci Strategi ADB dalam Mendorong Ketahanan Kesehatan Regional

Dinesh Arora (Principal Health Specialist, ADB) membuka sesi dengan menyoroti tantangan dalam vaksinasi tidak hanya dari sisi suplai tetapi juga dari sisi permintaan. Adanya vaccine hesitancy (keraguan untuk vaksin) di beberapa negara, bukan hanya masalah kepercayaan, tapi juga terkait dengan hambatan informasi mengenai produk hingga literasi digital masyarakat yang tidak sejalan dengan sistem digital vaksinasi yang berkembang pesat.

Perspektif Mitra dan Praktisi Regional

Hani Kim (CEO, Right Foundation) menyampaikan bahwa keadilan akses harus dibangun dari hulu. “Jika ingin kecepatan, kita perlu berinvestasi pada jaringan produksi regional yang berlapis,” ujarnya. Ia juga mendorong agar produksi dan distribusi vaksin dipimpin oleh pemerintah, dengan penguatan data kependudukan dan perencanaan pra-produksi, terutama bagi komunitas marjinal.

Syed Ahmed (CEO, Techinvention) menggarisbawahi pentingnya melihat vaksin dari dua sisi: manusia dan hewan. Ia juga menekankan perlunya pendekatan berkelanjutan terhadap lingkungan dan sistem pengadaan yang tepat. “Kita juga harus mempertimbangkan cost-effectiveness dari jumlah dosis dan rute pemberian vaksin,” katanya.

Muhammad Salman (CEO, National Institute of Health, Pakistan) menyampaikan pengalaman negaranya dalam membangun kapasitas produksi dalam negeri sebagai respons terhadap pandemi, yang dapat menjadi contoh bagi negara berkembang lainnya.

Dr. Matthias Helble dari WHO menjelaskan bahwa investasi pada riset dan pengembangan dalam vaksin sangat berisiko dan butuh waktu panjang, sehingga kolaborasi regional dan regulasi yang harmonis menjadi semakin krusial.

Dr. Kavita Singh (DNDi) menekankan pendekatan pragmatis: mulai dari inisiatif yang sudah berjalan, memastikan relevansi teknologi dengan kebutuhan lokal, dan membangun platform riset regional berbasis prinsip open science.

Dr. Sarabjeet Chaddha (FIND) menyoroti potensi transformasi digital, termasuk pemanfaatan AI untuk memprediksi permintaan vaksin. Teknologi ini menurutnya menjadi alat penting dalam mengoptimalkan distribusi.

Sofia Shakil (Director, ADB) menutup sesi dengan menekankan pentingnya sistem kesehatan yang well-governed dan dapat diakses secara luas. Sofia menyebut bahwa penyakit tidak mengenal batas negara, sehingga kolaborasi lintas wilayah sangat penting. Menurutnya, investasi ADB diarahkan untuk memastikan ketersediaan vaksin yang adil, terjangkau, dan tepat waktu.

Sesi ini menegaskan bahwa produksi vaksin regional bukan hanya soal teknologi dan investasi, tetapi juga soal tata kelola, keadilan akses, dan kolaborasi lintas sektor. ADB dan para mitra menekankan bahwa infrastruktur regulasi yang kuat, sistem pengadaan yang efisien, serta integrasi teknologi dan data merupakan fondasi penting dalam membangun ketahanan kesehatan jangka panjang.

If the next pandemic hits tomorrow, our success will depend on how well we’ve prepared regionally—through production, regulation, and trust

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Sesi Paralel Pandemics & Infectious Diseases

Ending Complex & Challenging Infectious & Tropical Diseases (ExCITD)

Sesi ini menyoroti bagaimana perubahan iklim memperburuk beban penyakit menular di Asia dan Pasifik, serta bagaimana inisiatif baru “Ending Complex and Challenging Infectious and Tropical Diseases (ExCITD)” yang dipimpin oleh ADB bertujuan mempercepat eliminasi penyakit seperti malaria, TB, dan dengue melalui pendekatan sistemik dan kemitraan regional.

Tantangan dan Respons di Tengah Perubahan Iklim

Ayako Inagaki (Senior Director, ADB) membuka sesi dengan menekankan bahwa iklim yang berubah cepat menjadi pengganda risiko (force multiplier) bagi penyakit tropis. Kombinasi suhu tinggi, hujan ekstrem, dan urbanisasi yang tidak terencana telah memicu lonjakan kasus dengue, leptospirosis, TB, dan malaria. ExCITD dibentuk sebagai platform unggulan ADB untuk mendorong pembiayaan, inovasi, dan kemitraan lintas negara dalam merespons krisis ini.

Hon. Teodoro Herbosa (Menteri Kesehatan Filipina) menegaskan perlunya pendekatan regional dalam menanggulangi penyakit lintas batas seperti TB dan malaria. Ia menekankan pentingnya kesiapan sistem kesehatan dalam menghadapi penyakit akibat perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi.

Dr. Soumya Swaminathan (mantan Chief Scientist WHO) menyoroti bahwa penyebab mendasar TB adalah malnutrisi. Ia mendorong adopsi inovasi seperti tongue swab untuk diagnosis TB, yang dikembangkan di India dan China. “Kita melihat potensi besar dari teknologi ini, meskipun sensitivitasnya masih perlu ditingkatkan,” ujarnya. Ia juga mencatat pentingnya pengembangan rejimen pengobatan TB baru yang lebih pendek dan efektif.

Urvashi B. Singh (Tuberculosis Program, India) dan Lucica Ditiu (Stop TB Partnership) menekankan pentingnya sistem surveilans yang kuat dan keterlibatan komunitas dalam mendeteksi dan menanggapi wabah sejak dini.

Nasiruddin M. A. Mirza (Pakistan) memaparkan kondisi negaranya yang masih bergulat dengan malaria dan TB, serta rekor kematian tertinggi akibat dengue pada 2023. Nasiruddin menyebutkan bahwa pertumbuhan kota yang tak terkendali dan sistem pengendalian vektor yang lemah turut memperburuk situasi. Sementara cakupan DOTS untuk TB meningkat, data masih terfragmentasi.

Dalam konteks pendanaan, Deepali Khanna (Rockefeller Foundation) dan Dinesh Arora (ADB) menggarisbawahi pentingnya blended finance untuk men-scale up inovasi di tengah menurunnya kontribusi donor tradisional. “Climate finance telah meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir, namun kita tetap butuh hampir empat kali lipat untuk mencapai target 2030,” jelas Khanna.

Xavier Chan (APLMA) berbagi pengalaman selama satu dekade dalam upaya eliminasi malaria, terutama di wilayah seperti Papua dan Papua Nugini. Ia menekankan bahwa eliminasi mungkin dicapai bila negara bekerja secara regional dan menerapkan agenda eliminasi multidisease secara terpadu.

Jaya Singh Verma (FCDO) menyampaikan bahwa integrasi agenda iklim dan kesehatan sudah semakin mendesak. Negara tidak bisa bekerja sendiri. Kemitraan lintas sektor dan pendekatan lintas negara menjadi kunci.

Sesi ini ditutup dengan ajakan dari Dinesh Arora agar seluruh pemangku kepentingan berhenti bekerja dalam silo. “Kita punya alat, kita punya teknologi, yang kita butuhkan adalah advokasi dan pendekatan sistem kesehatan yang utuh. Mari kita bekerja sebagai satu tim,” tegasnya.

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)

 

Special Event

Symposium on Multilateral Financing: Pandemic Preparedness and Response

Opening remark: Dr. Scott Morris, Vice President ADB

Dalam pidatonya, Dr. Scott Morris, Vice President dari Asian Development Bank, menegaskan pentingnya penguatan sistem kesehatan (Health System Strengthening/HSS) sebagai landasan utama untuk menghadapi ancaman pandemi di masa depan. Morris menekankan bahwa investasi yang berkelanjutan dalam aspek-aspek kritis seperti logistik vaksin, sistem cold chain, serta digitalisasi layanan kesehatan, menjadi sangat penting agar sistem kesehatan kita tidak hanya mampu merespons krisis, tetapi juga mampu mengantisipasi ancaman yang akan terjadi di masa mendatang.

Lebih lanjut, Morris menyampaikan bahwa untuk benar-benar siap menghadapi pandemi berikutnya, kita tidak boleh berhenti pada apa yang telah dibangun. Inovasi harus terus dilanjutkan, dan surveilans penyakit harus bersifat lintas batas negara, karena patogen tidak mengenal perbatasan administratif. Di samping itu, pembiayaan yang inklusif dan memadai adalah kunci; jangan sampai ada negara, khususnya negara berpenghasilan rendah, yang tertinggal dalam kesiapsiagaan maupun respons pandemi.

Dalam konteks ini, kolaborasi menjadi elemen yang tidak bisa diabaikan. Pembicara mengajak seluruh pihak — pemerintah, mitra pembangunan, masyarakat sipil, dan sektor swasta — untuk bekerja bersama dalam aksi nyata yang berbasis pada bukti ilmiah dan dipicu oleh inovasi. Kolaborasi lintas sektor bukan hanya ideal, tetapi mutlak dibutuhkan agar sistem kesehatan global menjadi lebih tangguh dan adil.

Keynote: Dr. Soumya Swaminathan, Former Senior Researcher WHO

Dr. Soumya Swaminathan menyoroti bahwa kesiapsiagaan terhadap pandemi tidak bisa hanya bersifat reaktif. Kita perlu secara berkala melakukan evaluasi situasi di tingkat nasional, regional, dan global, untuk memahami pelajaran apa yang bisa diambil dan langkah apa yang harus diperbaiki ke depan. Dunia, menurutnya, tengah dihadapkan pada berbagai ancaman global — tidak hanya dari penyakit menular yang dapat bermutasi, tetapi juga dari faktor-faktor lain seperti konflik, polusi, hingga ancaman teknologi seperti keamanan siber.

Soumya juga menyoroti ketimpangan yang masih nyata dalam respons pandemi. Misalnya, pada Juli 2021, sebagian besar negara maju sudah berhasil memvaksinasi sebagian besar penduduknya, namun di negara berpenghasilan rendah, capaian vaksinasi bahkan belum mencapai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap vaksin dan alat kesehatan lainnya masih belum merata, dan diperlukan mekanisme pengadaan serta distribusi yang lebih adil di tingkat regional dan global.

Pembicara menyampaikan 7 pilar dalam Kesepakatan Pandemi WHO yang mencakup penguatan koordinasi internasional, akses yang adil terhadap sumber daya, pendekatan One Health, serta sistem regulasi yang tangguh. Ia juga menekankan pentingnya memiliki sistem pengawasan rantai pasok global, akses patogen yang transparan, dan penguatan institusi regulasi — terutama untuk mempercepat adopsi teknologi kesehatan baru seperti vaksin mRNA.

Lebih jauh, Soumya menggarisbawahi empat pilar utama dari kerangka kerja Pandemic Preparedness and Emergency Response (PPER), yaitu: tata kelola dan pendanaan, data dan sistem peringatan dini, riset dan pengembangan kapasitas, serta kemitraan dan komunikasi risiko. Semua pilar ini perlu didukung oleh program transfer teknologi, terutama untuk pengembangan vaksin dan produk medis strategis.

Soumya menutup paparanya dengan menekankan bahwa dalam semua upaya tersebut, kita tidak boleh melupakan faktor sosial-ekonomi yang menjadi penggerak munculnya penyakit. Contohnya, pasar hewan beberapa negara bisa menjadi jalur transmisi penyakit zoonotik, seperti yang dicurigai dalam kasus COVID-19 di pasar di Wuhan. Oleh karena itu, pendekatan One Health, yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, menjadi semakin relevan dalam mencegah pandemi masa depan.

Rosanna W Peeling, London School Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM)

Salah satu pelajaran penting yang dipetik dari pandemi adalah perlunya kolaborasi erat antara sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, lingkungan, dan juga sektor komersial untuk mencegah kemunculan penyakit baru. Upaya ini diperkuat dengan adanya sistem peringatan dini dan respons global seperti Global Early Warning and Response System (GLEWS) yang fokus pada pengendalian penyakit hewan yang berpotensi menyebar ke manusia.

Selain itu, penting untuk berinvestasi dalam ilmu regulasi dan penilaian teknologi kesehatan (Health Technology Assessment) guna menjamin mutu, keamanan, dan akses yang tepat waktu terhadap berbagai intervensi medis, termasuk obat-obatan, vaksin, dan alat diagnostik.

Pandemi juga menyoroti ketimpangan dalam akses terhadap diagnosis dan berbagai bentuk penanggulangan medis lainnya, baik di dalam suatu negara maupun antar wilayah. Ketimpangan ini menjadi hambatan besar dalam mencapai respons kesehatan yang merata dan efektif.

Di sisi lain, dibutuhkan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kuat untuk memungkinkan respon yang cepat dan efisien saat krisis terjadi. Infrastruktur ini juga penting untuk menerjemahkan hasil riset menjadi kebijakan yang bisa langsung diimplementasikan di lapangan.

Sistem data dan konektivitas menjadi landasan penting dalam upaya kesiapsiagaan. Dengan data yang terintegrasi dan konektivitas yang baik, deteksi dini dan pengambilan keputusan bisa dilakukan secara cepat dan tepat sasaran.

Keterlibatan masyarakat juga terbukti sangat menentukan dalam membangun ketahanan sistem kesehatan. Komunitas harus diposisikan sebagai bagian yang aktif dalam sistem, bukan sekadar penerima layanan, karena ketangguhan sistem kesehatan sangat dipengaruhi oleh peran serta masyarakat.

Dalam konteks pengendalian penyakit, pengawasan dan kebijakan di perbatasan terbukti efektif dalam memperlambat laju penyebaran SARS-CoV-2. Namun, efektivitas ini bergantung pada koordinasi, kebijakan berbasis data, dan komunikasi antarnegara.

Akhirnya, salah satu pelajaran strategis yang tak kalah penting adalah pentingnya membangun tata kelola yang baik dan hubungan kolaboratif lintas sektor bahkan di masa tenang, saat tidak terjadi wabah. Periode antar epidemi adalah waktu yang paling tepat untuk memperkuat sistem, menyusun protokol, dan membangun kepercayaan lintas lembaga dan lintas negara sebagai fondasi kesiapsiagaan ke depan.

Ms. Amanda McClelland, Prevent Pandemic, Resolve to Save Lives

Dalam situasi krisis, tiga hal utama yang harus dilindungi secara bersamaan adalah kehidupan manusia, perekonomian, dan kohesi sosial. Pandemi sebelumnya telah memberikan banyak pelajaran berharga. Salah satu yang paling jelas adalah bahwa kecepatan respons sangat penting, kepercayaan masyarakat menjadi pusat keberhasilan, dan ketimpangan justru semakin dalam saat krisis terjadi.

Oleh karena itu, sangat penting untuk membangun “DNA ketangguhan” dalam kegiatan sehari-hari pemerintahan dan masyarakat, agar saat krisis datang, kita sudah memiliki sistem yang siap bergerak cepat dan efektif. Dalam kondisi normal, pemerintahan perlu terus memperkuat sistem dan budaya kerja yang memungkinkan respons krisis yang terkoordinasi dan adaptif.

Data dan produk informasi yang relevan menjadi penunjang utama dalam pengambilan keputusan. Namun, hal ini hanya akan efektif bila didukung oleh struktur pemerintahan yang mampu menentukan prioritas secara jelas dan cepat.

Kita bisa belajar dari pengalaman negara seperti Afrika Selatan, Singapura, dan Selandia Baru, di mana komunikasi publik yang terbuka dan konsisten terbukti sangat penting untuk membangun dan menjaga kepercayaan masyarakat. Komunikasi yang efektif bukan hanya satu arah, tetapi perlu dikembangkan sebagai komunikasi dua arah yang menciptakan ruang bagi masyarakat untuk didengar dan terlibat.

Selain itu, kesiapsiagaan juga harus tertanam di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Primary Health Care (PHC) harus diposisikan sebagai tulang punggung sistem kesehatan, bukan sebagai pelengkap. PHC yang siap menghadapi keadaan darurat akan memungkinkan respons masyarakat yang cepat dan efektif dalam menghadapi berbagai ancaman kesehatan.

Tak kalah penting, kepemimpinan memiliki peran sentral dalam respons krisis. Sehingga, dibutuhkan pemimpin yang mampu melihat situasi secara holistik, dapat menegosiasikan pendanaan, menghapus sekat-sekat antar sektor, serta mendorong pendekatan inovatif dalam menangani tantangan yang kompleks.

Dr. Hoon Sang Lee,  RIGHT Foundation, Republic of Korea

Respon kesehatan masyarakat di Korea Selatan selama pandemi COVID-19 dikenal sebagai salah satu yang paling cepat dan sistematis. Secara umum, pendekatannya mengutamakan prinsip “trace, test, and treat”, namun dalam presentasi ini Dr. Hoon Sang Lee akan lebih menekankan pada bagaimana pemerintah Korea mengambil peran sentral dalam memimpin respons tersebut.

Sebelum pandemi COVID-19, Korea Selatan telah memiliki pengalaman menghadapi berbagai bencana kesehatan, termasuk wabah MERS pada 2015. Dari pengalaman tersebut, pemerintah Korea belajar pentingnya pengambilan keputusan yang cepat dan terkoordinasi. Maka saat COVID-19 mulai menyebar, Korea mampu mengambil langkah peningkatan level respons dengan sangat cepat, melalui mekanisme pengambilan keputusan yang cepat di tingkat pemerintah pusat.

Salah satu tantangan awal yang dihadapi adalah keterbatasan kapasitas laboratorium pengujian. Pada saat wabah MERS, Korea membutuhkan waktu hingga tiga bulan hanya untuk menyiapkan vaksin prototipe. Namun belajar dari hal tersebut, Korea CDC dan NIH bekerja sama dengan sektor industri untuk mempercepat riset dan pengembangan, serta memberikan otorisasi terhadap vaksin dan alat diagnostik prototipe pertama.

Dukungan infrastruktur kemudian diperluas secara cepat, termasuk pendirian lebih dari 600 lokasi pengambilan spesimen dan kolaborasi dengan 200 produsen industri vaksin. Hal ini memungkinkan peningkatan kapasitas testing dan pengobatan secara cepat dan masif.

Inovasi dan teknologi informasi (ICT) juga dimanfaatkan secara maksimal, khususnya untuk keperluan pelacakan kontak. Penggunaan teknologi ini memang menuai perdebatan, terutama terkait keseimbangan antara privasi individu dan kepentingan kesehatan masyarakat, namun pemerintah Korea berhasil menerapkan kebijakan yang tetap menjunjung nilai keterbukaan dan akuntabilitas.

Kampanye vaksinasi juga dilakukan secara sangat cepat dan efisien, dengan dukungan sistem verifikasi digital serta kebijakan berbasis teknologi yang memperkuat pelaksanaan di lapangan.

Keberhasilan Korea Selatan dalam merespons pandemi pada fase awal tidak lepas dari sejumlah faktor kunci, antara lain:

  • Sistem “test, trace, isolate” yang terintegrasi;
  • Asuransi kesehatan nasional yang mencakup seluruh populasi;
  • Penerapan physical distancing yang disiplin;
  • Pemanfaatan inovasi teknologi secara luas;
  • Keputusan kebijakan yang tepat waktu dan eksekusi yang cepat;
  • Serta pengalaman berharga dari wabah MERS 2015 yang memperkuat kesiapsiagaan institusional

Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)


 

Session 2

Creating A Multilateral Financing Mechanism for Pandemic Preparedness

 

Bagian kedua dari sesi pagi ini membahas mengenai mekanisme pembiayaan multilateral yang berperan selama masa pandemi.  Sesi ini khususnya membahas desain dan penyiapan pembiayaan multilateral baru yang berfungsi sebagai platform regional untuk risiko kesehatan, surveilans dan dan respons pandemi, dengan dukungan dari bank pembangunan multilateral, organisasi internasional dan donor. Mekanisme pembiayaan tersebut memastikan keterlibatan strategis dengan produsen dan pengembang vaksin dan melakukan pengadaan penanggulangan medis atas nama DMC.

Beberapa pembicara adalah Javier Guzmán, Division Chief, Health, Nutrition and Population, Inter-American Development Bank; Dr. Frederik Kristensen, Managing Director, Regionalized Vaccine Manufacturing Collaborative (RVMC) dan Robert Boothe, Principal Planning and Policy Economist, Strategy, Policy, and Partnerships Department, ADB.

Salah satu contoh mekanisme pembiayaan yang dimaksud misalnya adalah Asia Pacific Vaccine Access Facility(APVAX), mekanisme keuangan yang dibangun ADB untuk penyediaan pendanaan untuk dapat melakukan:

  • rapid response procurement: pengadaan vaksin secara cepat.
  • project investment component: investasi untuk infrastruktur, distribusi, outreach, pengembangan SDM dan sebagainya.

Hal lain yang juga disinggung adalah kemungkinan perlunya instrumen keuangan terpisah yaitu mekanisme pembiayaan untuk kebutuhan “surge” yang dapat dimobilisasi secara cepat. Para pembicara hampir sepakat bahwa mekanisme dan instrument keuangan apa pun yang tersedia harus memastikan kepentingan Kawasan, membangun kapasitas negara-negara penerima manfaat (baik untuk manufaktur atau kapasitas pendukung lain), tata Kelola serta transparansi proses dan akuntabilitasnya, serta kapasitas regulasi. Pertimbangan pertama dalam berinvestasi dalam pengembangan vaksin tentu saja adalah vaksin apa yang akan menjadi obyek investasinya: mRNA, DNA, recombinant vector vaccines, atau apa?

Terakhir, disinggung pula potensi dari pooled procurement atau strategic procurement, dan ini akan dibahas pada sesi berikutnya.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK)


Session 3

Ensuring Access to Medical Countermeasures through Strategic Procurement

Dr. Prashant Yadav, Senior Fellow for Global Health, Council on Foreign Relations (CFR) Strategic procurement

Pengadaan untuk Medical Countermeasures (MCM), seperti vaksin, diagnostik, dan terapi selama keadaan darurat kesehatan, bukanlah hal yang sederhana. Di satu sisi, proses ini dapat menimbulkan biaya yang sangat besar, tetapi di sisi lain, pengadaan tidak semata-mata soal harga. Prahant juga harus memprioritaskan inovasi dan mendorong persaingan yang sehat untuk menghasilkan produk terbaik.

Penting untuk melihat pengadaan ini dari perspektif rantai nilai secara menyeluruh, bukan hanya sebagai proses membeli produk akhir dari produsen. Dalam konteks produk medis, terdapat sejumlah karakteristik khusus yang membedakan proses ini dari pengadaan tradisional.

Pertama, dalam kondisi darurat seperti pandemi, pengadaan sering kali dilakukan dengan risiko tinggi, bahkan saat produk belum terbukti efektivitas atau keamanannya. Ini dikenal sebagai pengadaan berbasis risiko, di mana keputusan pembelian harus dilakukan sebelum ada produk yang benar-benar disetujui. Kedua, kecepatan adalah faktor kunci. Proses pengadaan harus berlangsung cepat, namun tetap mengikuti prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Setiap langkah harus bisa dipertanggungjawabkan dan terbuka untuk ditinjau oleh publik. Ketiga, keterlibatan dengan pemasok menjadi lebih kompleks. Pemerintah atau lembaga pengadaan perlu mengetahui seluruh portofolio produk dari masing-masing pemasok, tidak cukup hanya melihat satu produk. Ini sangat berbeda dari pendekatan pengadaan tradisional yang bersifat lebih sederhana dan satu arah.

Pengadaan MCM harus mampu memahami dan mengelola rantai pasok dari hulu ke hilir (end-to-end). Salah satu tantangan besar adalah lemahnya insentif bagi produsen untuk mempertahankan kapasitas produksi ketika tidak ada permintaan mendesak. Risiko pembelian (purchasing risk) juga tinggi, terutama saat kontrak dilakukan lebih awal sebelum ada kepastian produk berhasil dikembangkan. Misalnya, pada Agustus 2020, saat banyak kandidat vaksin COVID-19 masih dalam tahap pengembangan, muncul pertanyaan penting: Apakah kita harus membuat kontrak pengadaan di awal, padahal kita belum tahu kandidat mana yang akan berhasil? Jika vaksin tersebut gagal, maka risiko dan kerugiannya harus ditanggung.

Dalam kondisi seperti itu, kemampuan untuk melakukan perbandingan portofolio antar produsen melalui pemodelan menjadi sangat penting. Hal ini membantu memproyeksikan mana produk yang paling mungkin berhasil dan layak didanai.

Pertanyaan besar lainnya adalah: di tingkat mana sebaiknya pengadaan dilakukan? Apakah global, regional, atau nasional? Idealnya, pengadaan harus dilakukan secara multi-kanal. Jika suatu negara tidak mampu melakukan pengadaan sendiri, maka harus ada opsi untuk melakukannya secara kolektif di tingkat regional atau global.

Untuk menjawab tantangan ini, kita perlu pendekatan pengadaan multi-kanal (multichannel procurement) yang memungkinkan fleksibilitas dan kecepatan, serta melibatkan lebih banyak pemasok untuk mempercepat proses. Proses pengadaan harus tetap mengikuti langkah-langkah yang sistematis dan dipandu oleh pertimbangan yang jelas tentang manfaat dan risikonya di setiap tahap.

Pada akhirnya, pengadaan untuk MCM memerlukan kemitraan yang aktif dengan para pemasok, termasuk pemahaman yang menyeluruh terhadap portofolio produk yang mereka miliki, guna memastikan respons yang cepat, efisien, dan adaptif terhadap krisis kesehatan yang mungkin muncul.

Ms. Hui C. Yang, Head of Supply Operations, the Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria

Saat ini, lebih dari 200 produk kesehatan penyelamat jiwa telah tersedia melalui platform digital yang dapat diakses oleh lebih dari 100 negara. Ini menunjukkan kemajuan besar dalam mempermudah akses terhadap produk kesehatan esensial secara global.

Selama pandemi COVID-19, pada tahun 2021 diperkenalkan pendanaan tambahan untuk memperkuat respons terhadap krisis yang masih berlangsung. Salah satu fokus utama adalah investasi dalam implementasi oksigen medis, serta pengenalan peralatan diagnostik digital di banyak negara untuk mempercepat deteksi dan penanganan kasus.

Dalam konteks strategic purchasing atau pembelian strategis, pembelajaran penting muncul dari berbagai tantangan yang dihadapi. Salah satu tantangan utama adalah disrupsi rantai pasok selama krisis seperti pandemi. Tantangan lainnya adalah keterbatasan data, baik dalam ketersediaannya maupun kualitasnya, sehingga menyulitkan identifikasi kebutuhan paling mendesak dan pengambilan keputusan yang tepat.

Selain itu, upaya membangun aliansi dalam rantai pasok menjadi hal yang tidak mudah. Dibutuhkan kerja keras dari berbagai mitra untuk memastikan tersedianya produk yang paling dibutuhkan di waktu dan tempat yang tepat.

Dari pengalaman tersebut, terdapat beberapa pelajaran penting yang bersifat menyeluruh. Salah satunya adalah bahwa inisiatif yang baik harus diperluas skala dan keberlanjutannya, tanpa harus selalu memulai dari awal (no need to reinvent the wheel). Kita juga belajar bagaimana mekanisme pengadaan dapat dimanfaatkan secara strategis, tidak hanya untuk mendapatkan produk, tetapi juga untuk memberikan insentif kepada perusahaan agar tetap berinovasi dan berkomitmen dalam mendukung kebutuhan global.

Akhirnya, membangun jejaring kemitraan yang kuat, baik di tingkat nasional, regional, maupun global, menjadi sangat penting untuk menciptakan sistem pengadaan dan distribusi yang tangguh, berkelanjutan, dan responsif terhadap tantangan kesehatan global.

Mr. Santiago Cornejo, Executive Manager, Regional Revolving Funds PAHO and former Director, Country Engagement at COVAX Facility

Setahun setelah pandemi COVID-19 diumumkan secara global, inisiatif COVAX berhasil menyiapkan dosis vaksin untuk negara-negara berpenghasilan rendah (LIC). Ini merupakan capaian besar dan menjadi pelajaran penting yang patut dicatat. Kami merasa cukup beruntung, karena dalam kasus COVID-19, sebagian besar kandidat vaksin yang dikembangkan ternyata berhasil. Namun, pengalaman ini juga mengungkapkan sejumlah tantangan mendasar yang perlu diantisipasi ke depan.

Salah satu tantangan utama adalah pembiayaan. Saat itu, tidak ada mekanisme pembiayaan yang memungkinkan pengambilan risiko, misalnya jika vaksin yang dikembangkan ternyata gagal. Kami tidak memiliki sumber daya terkait dengan ini.

Kendala lain muncul pada aspek sertifikasi dan proses produksi vaksin. Kami tidak memprediksi akan terjadi pembatasan ekspor-impor di saat krusial. Salah satu contoh nyata adalah terhambatnya pengiriman filter yang diperlukan dalam proses produksi vaksin, sehingga formula akhir tidak bisa diselesaikan tepat waktu.

Selain itu, penting untuk menyoroti perlunya mekanisme berbagi risiko (risk sharing) yang kuat dan bertingkat. Dalam hal ini, lapisan regional terbukti sangat penting sebagai titik tumpu respons yang lebih dekat dan fleksibel dibandingkan skema global yang bersifat lebih kompleks.

Dari pengalaman ini, terdapat beberapa elemen kunci yang harus diperhatikan untuk kesiapsiagaan pandemi di masa depan:

  1. Pentingnya membangun kapasitas produksi vaksin di tingkat regional. Meski setiap negara ingin memproduksi vaksin sendiri, pendekatan ini belum tentu berkelanjutan tanpa kolaborasi regional.
  2. Perlu adanya perjanjian pandemi (pandemic agreement) yang menjamin dana publik untuk menanggung risiko pengembangan produk.
  3. Diperlukan instrumen keuangan baru yang menghubungkan antara pengadaan, permintaan, dan investasi jangka panjang.
  4. Harus ada upaya yang konsisten untuk memperkuat layanan imunisasi rutin, karena infrastruktur yang kuat akan meningkatkan kemampuan sistem kesehatan dalam merespons pandemi secara cepat dan terstruktur.

Mr. Jesper Pedersen, Director, Procurement, Portfolio and Financial Management Department (PPFD), ADB

Dalam menghadapi pandemi, terdapat sejumlah hal yang dinilai berhasil dan menjadi pembelajaran penting, khususnya terkait peran Asian Development Bank (ADB). Salah satu keberhasilan utama adalah kemitraan yang kuat, terutama dalam membangun pengetahuan bersama antara berbagai pihak. Selain itu, kebijakan pengadaan ADB yang fleksibel dan tangguh juga menjadi kekuatan tersendiri. Dari sisi kebijakan, ADB mampu menyusun proses yang cepat, adaptif, dan memungkinkan persetujuan dalam waktu singkat, bahkan dalam urusan operasional harian.

Namun demikian, terdapat pula berbagai tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah keterbatasan dalam klausul kontrak, yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan mekanisme pengadaannya. Tantangan lainnya adalah persyaratan administratif dan kebijakan antikorupsi, yang sering kali menjadi pertanyaan dari mitra dan pemasok—mengapa ADB memerlukan hal-hal tertentu dalam kontrak. Hal ini dapat memperlambat proses pengadaan, meskipun dilakukan demi akuntabilitas.

Pemahaman tentang siapa saja pelaku pasar juga sangat penting. ADB sebagai lembaga pembiayaan memiliki struktur yang berbeda dengan negara, sehingga perlu berinteraksi langsung dengan sektor swasta untuk menjembatani ekspektasi dan proses yang berbeda. Di sisi swasta sendiri, terdapat tantangan berupa kurangnya transparansi, terutama karena di beberapa wilayah seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, kontrak-kontrak pengadaan sering disertai dengan Non-Disclosure Agreement (NDA) yang merupakan praktik umum di pasar, namun membuat isi perjanjiannya tidak dapat diakses oleh publik. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan informasi dan menyulitkan proses koordinasi yang adil dan terbuka.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa pengadaan kolaboratif (collaborative procurement) sangat penting untuk dibangun. Tidak hanya untuk merespons krisis, tetapi juga sebagai investasi dalam kapasitas regional yang berkelanjutan, yang bisa digunakan untuk menghadapi tantangan kesehatan lainnya di masa depan.

Reporter:
Dr. Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)


Session 4

Bridging Financing Gaps for Pandemic Preparedness

Moderator: Mr. Dinesh Arora, ADB
Pembicara: Dr. Kalipso Chalkidou (WHO), Dr. Eduardo P. Banzon (ADB), Ms. Patricia Rhee (ADB), Dr. Ruchir Agarwal (Global Talent Lab)

Sesi ini mengeksplorasi pendekatan inovatif dalam menjembatani kekosongan pendanaan untuk kesiapsiagaan pandemi. Dr. Kalipso Chalkidou menekankan pentingnya pendekatan pembiayaan yang berbasis bukti dan efisiensi biaya untuk kesiapsiagaan pandemi. Kalipso mendorong investasi yang memberikan manfaat ganda (co-benefits), dengan mengintegrasikan kesiapsiagaan pandemi dan pencapaian cakupan kesehatan semesta (UHC) secara bertahap. Menurutnya, negara-negara perlu meningkatkan belanja kesehatan secara signifikan dan memanfaatkan pembiayaan konsesional. Namun, ia juga mengingatkan bahwa uang saja tidak cukup, namun sistem dan mekanisme pendukungnya juga harus berfungsi dengan baik agar pembiayaan dapat memberikan dampak nyata.

Sementara itu, Dr. Ruchir Agarwal menekankan pentingnya mobilisasi talenta global untuk mempercepat kesiapsiagaan sistem kesehatan. Agarwal mengulas dampak ekonomi jangka panjang (economic scars) akibat pandemi yang sebagian besar disebabkan oleh model pembiayaan berbasis negara per negara, dimana setiap pemerintah harus mengamankan dana dan pasokan secara mandiri. Pihaknya menekankan bahwa mengakhiri pandemi secepat mungkin adalah global public good yang membutuhkan pendekatan kolektif. Agarwal mengusulkan empat hal utama: (1) alokasi pembiayaan PPR perlu lebih difokuskan pada aspek pencegahan; (2) pentingnya pendanaan yang dapat diaktifkan sejak hari pertama pandemi (day zero financing); (3) investasi di bidang R&D memiliki potensi imbal hasil yang sangat tinggi; dan (4) perlunya membedakan antara tujuan pembangunan dan tujuan keamanan global dalam merancang strategi pembiayaan.

Dr. Eduardo Banzon membagikan pendekatan ADB dalam memajukan cakupan kesehatan semesta (UHC) sekaligus merespons ancaman kesehatan global. Banzon menyoroti masih lemahnya koordinasi antar sistem surveilans, minimnya kerja sama antarnegara, serta belum adanya mekanisme pengadaan global yang efektif. Meskipun surveilans adalah barang publik global (global good), tidak semua negara bersedia berinvestasi di dalamnya. Pembicara menggarisbawahi beberapa pelajaran penting dari pandemi: (1) pelacakan kontak yang kini berbasis elektronik perlu dipikirkan keberlanjutannya; (2) perlu ada skema pembiayaan jangka panjang untuk komunikasi kesehatan; (3) telemedicine sangat potensial, namun perlu kejelasan mekanisme pembayarannya; dan (4) dana darurat kesehatan masyarakat sebaiknya dibentuk agar dapat segera digunakan, berbeda dengan pengalaman saat COVID-19 dimana banyak dana tersendat atau sulit diakses dengan cepat.

Patricia Rhee menjelaskan aspek hukum dan kontraktual yang perlu dipertimbangkan dalam pembiayaan lintas negara, khususnya dalam pengadaan vaksin. ADB menggunakan kriteria tertentu untuk memastikan bahwa vaksin yang didanai telah memenuhi standar internasional, termasuk efektivitas, keamanan, dan rencana manufakturnya. Ia menekankan beberapa pelajaran penting dan agenda ke depan: (1) mempermudah jalur persetujuan regulatori di kawasan Asia Pasifik (mengacu pada standar WHO dan WLAs Level 3 dan 4), (2) memperkuat kapasitas produksi vaksin di kawasan Asia Pasifik, serta (3) mempercepat komitmen dalam skema at-risk procurement untuk mempercepat akses saat darurat kesehatan terjadi.

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Closing Session

High-level Roundtable Discussion on Ways Forward

Moderator: Mr. Scott Morris, Vice-President (East and Southeast Asia, and the Pacific), ADB
H.E. Aminath Shirna, Minister of State for Health, Maldives

Pasokan medis selama krisis menjadi tantangan besar, terutama bagi negara-negara kepulauan kecil dengan wilayah yang tersebar, seperti negara kami yang memiliki lebih dari 100 pulau berpenghuni dan sangat bergantung pada impor alat dan barang medis. Dalam kondisi darurat, situasi ini membuat kami sangat rentan, karena akses terhadap pasokan medis sering datang terlambat, saat kebutuhan sudah sangat mendesak.

Aminath mewakili Kementerian Kesehatan Maldives percaya bahwa mekanisme multilateral yang ada saat ini perlu diperbaiki dan diubah menjadi lebih adil dan tangguh. Untuk mendukung negara-negara seperti kami, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan:

  1. Sistem harus mampu bertindak cepat dan dapat diprediksi, dengan pendanaan yang berbasis indikator risiko, sehingga dapat langsung merespons sebelum krisis memburuk.

  2. Mekanisme yang ada harus cukup fleksibel, karena rantai pasok dan faktor geografis menimbulkan risiko tersendiri bagi negara kepulauan dan wilayah terpencil.

  3. Pendanaan harus berdampak nyata, yakni dalam bentuk akses langsung terhadap obat-obatan, alat kesehatan, peralatan diagnostik, dan dukungan lainnya.

Dalam hal ini, kerja sama regional merupakan bagian penting dari solusi. Maldives membutuhkan mekanisme regional yang memungkinkan dukungan bersama, koordinasi lintas negara, dan berbagi sumber daya secara adil. Oleh karena itu, pembentukan mekanisme pembiayaan khusus bagi negara-negara kecil dan rentan harus menjadi prioritas.

Mekanisme ini harus cepat, fleksibel, dan siap merespons setiap situasi darurat. Aminath juga menegaskan bahwa kesiapsiagaan terhadap pandemi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menyangkut keadilan dan kemauan politik untuk memastikan tidak ada negara yang tertinggal dalam menghadapi krisis global di masa depan.

Mr. Farkhodjon Tashpulatov, Deputy Minister of Health, Uzbekistan

Pengalaman Uzbekistan selama pandemi menunjukkan tantangan besar dalam penyediaan vaksin. Pada saat itu, negara hanya mampu memvaksinasi sekitar 20% dari populasi, yang sebagian besar berasal dari kelompok berisiko tinggi. Kondisi ini menjadi pengingat bahwa kesiapsiagaan dan peningkatan kapasitas sistem kesehatan sangat penting, bukan hanya bagi satu negara, melainkan juga untuk semua negara tanpa terkecuali.

Dari pengalaman tersebut, terdapat beberapa poin penting yang perlu menjadi fokus ke depan:

  1. Penguatan infrastruktur laboratorium dalam negeri sangat penting untuk mendukung deteksi dini, pengujian, dan respon cepat terhadap ancaman kesehatan.
  2. Penting untuk membangun sistem keamanan kesehatan regional, yang memungkinkan kerja sama lintas negara dalam menghadapi krisis bersama.
  3. Perlu adanya program kerja sama ekonomi terpusat dan regional, agar sumber daya dapat dialokasikan dan digunakan secara efisien dalam kondisi darurat.
  4. Pengembangan platform digital menjadi krusial untuk mendukung sistem informasi kesehatan, pelacakan data, dan koordinasi logistik.
  5. Dan yang tidak kalah penting, perlu jaminan akses yang adil terhadap pelatihan tenaga kesehatan, vaksin, serta segala bentuk dukungan medis, agar semua negara memiliki kesempatan yang setara dalam melindungi warganya.

Melalui pendekatan kolektif dan solidaritas regional yang kuat, negara-negara seperti Uzbekistan dapat lebih siap dalam menghadapi pandemi berikutnya—dengan sistem yang lebih tangguh, responsif, dan inklusif.

drg. Murti Utami, Deputy Minister and Acting Director General, Ministry of Health, Indonesia

Pengalaman pandemi menunjukkan bahwa sistem kesehatan kita, serta koordinasi regional dan global, masih lemah. Dalam sektor kesehatan, waktu berarti nyawa—semakin cepat kita bertindak, semakin banyak nyawa yang dapat diselamatkan. Indonesia meluncurkan kampanye imunisasi massal dalam waktu singkat, hanya 18 bulan setelah upaya pengembangan vaksin dimulai, dan berhasil mencapai lebih dari 2 juta suntikan per hari. Namun, pencapaian ini tidak lepas dari berbagai tantangan besar. Salah satu tantangan utama adalah keraguan dari berbagai pihak tentang kemampuan negara berkembang untuk membayar. Saat kami mendekati sejumlah perusahaan, ada pandangan skeptis dan pendekatan yang berorientasi pada keuntungan. Padahal, Indonesia menunjukkan komitmennya: kami siap membayar, kami menjalin kerja sama dengan GAVI, dan akhirnya berhasil mengamankan 1 juta dosis vaksin.

Pengalaman ini menunjukkan dua masalah kritis:

  1. Negara-negara miskin tidak memiliki kapasitas yang memadai—tanpa uang, mereka tidak bisa mendapatkan vaksin, dan prosesnya bisa tertunda hingga 6–12 bulan.
  2. Produksi vaksin berlangsung terlalu lambat, padahal pandemi menuntut respons yang cepat. Saat memegang kepemimpinan G20, Indonesia ikut mendorong pembentukan Pandemic Fund sebagai solusi jangka panjang, namun tetap dibutuhkan tindakan cepat dan pengambilan keputusan yang gesit.

Kesenjangan pembiayaan masih menjadi tantangan besar. Di sinilah peran strategis bank pembangunan multilateral seperti ADB menjadi sangat penting. Oleh karena itu, kami mengusulkan beberapa langkah konkret:

  1. ADB dan negara-negara anggotanya perlu menyepakati jalur pembiayaan yang jelas untuk respon krisis kesehatan.
  2. Pendekatan blended financing harus diperluas, menggabungkan sumber pendanaan publik dan swasta.
  3. Negara berpendapatan tinggi perlu mulai membangun mekanisme pembiayaan mandiri.
  4. Perlu mengeksplorasi inovasi pembiayaan untuk menarik lebih banyak modal dari sektor swasta.
  5. Memperkuat platform riset dan kapasitas produksi lokal menjadi prioritas agar ketergantungan pada pasokan global bisa dikurangi.
  6. Terakhir, akses terhadap pembiayaan dalam situasi krisis harus disederhanakan, agar negara dapat bertindak cepat tanpa terhambat birokrasi.

Ms. Ayako Inagaki, Senior Sector Director, Health and Social Development Sector Group, Sector Department 3, ADB

Dalam berbagai diskusi yang berkembang, muncul banyak gagasan mengenai pentingnya kemitraan dalam memperkuat ketahanan sistem kesehatan. Dari berbagai usulan tersebut, intervensi dapat dikelompokkan ke dalam empat area utama:

  1. Dukungan keuangan yang cepat dan fleksibel selama kondisi darurat.
Intervensi di tingkat nasional dan subnasional perlu diperkuat, dimulai dari sistem kesehatan yang terstruktur dan berfungsi dengan baik, termasuk sumber daya manusia kesehatan (SDMK), laboratorium, akses terhadap logistik dan alat medis di tingkat layanan primer. Selain itu, keterlibatan masyarakat juga menjadi kunci keberhasilan respons kesehatan.
  2. Aliansi regional untuk penguatan kapasitas manufaktur.
 Diperlukan upaya membangun kerja sama regional untuk mendukung harmonisasi sistem regulasi, peningkatan kapasitas produksi lokal, serta berbagi data guna mendukung riset dan pengembangan.
  3. Mekanisme pembiayaan yang fleksibel dan cepat dari ADB.
Semakin banyak negara yang memiliki sistem regulasi dan kesiapsiagaan yang memadai, semakin siap pula ADB dalam memberikan dukungan pembiayaan yang cepat dan responsif terhadap kebutuhan negara anggota.
  4. Kepemimpinan, pembiayaan berkelanjutan, dan komitmen politik jangka panjang.
Keberhasilan tidak akan tercapai tanpa komitmen politik yang kuat dan berkelanjutan. Dalam hal ini, ADB bekerja sama dengan kementerian dan lembaga nasional melalui dialog tingkat tinggi untuk memastikan kepemimpinan yang visioner dan dukungan kebijakan yang konsisten.

Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)