Skip to content

Reportase International Health Economics Association (IHEA) Congress 2025

   19 Juli 2025

Improving Financial Protection in Health: Strengthening the Evidence to Policy Pipeline

Sesi ini diselenggarakan bersama oleh World Bank dan World Health Organization/WHO. Tujuan sesi ini untuk berbagi temuan dan membahas bagaimana perlindungan finansial dalam kesehatan dapat ditangani dengan lebih baik. Diskusi difokuskan pada dua hal yaitu 1) Temuan dari rapid evidence assessment mengenai intervensi yang efektif serta 2) Pengembangan kerangka kerja sistem kesehatan untuk mendukung dialog kebijakan berbasis bukti.

Improving healthcare-related financial protection in low- and middle-income countries: a rapid evidence assessment

Presenter: Sophie Witter (Queen Margaret University, Edinburgh and ReBUILD for Resilience consortium)

Di tengah meningkatnya beban biaya kesehatan yang ditanggung langsung oleh masyarakat, isu perlindungan finansial menjadi semakin mendesak. Sophie Witter, akademisi dari Queen Margaret University sekaligus anggota konsorsium ReBUILD for Resilience, membuka sesi dengan menyampaikan hasil tinjauan penelitiannya terhadap 25 tahun literatur (1999-2024), meliputi 214 studi dari 40 negara. Fokusnya sederhana, namun krusial yaitu mencari tahu apa yang benar-benar berhasil dalam melindungi masyarakat dari beban biaya kesehatan yang melumpuhkan.

Penelitiannya menggali lebih dari sekadar efektivitas intervensi. Sophie mencoba memahami mengapa beberapa pendekatan berhasil, sementara yang lain gagal. Intervensi seperti asuransi kesehatan memang menjadi topik paling banyak diteliti, tetapi ada banyak dimensi yang selama ini luput dari perhatian terutama faktor sosial penentu kesehatan. Temuan dari studi ini juga menunjukkan bahwa pengeluaran langsung (out-of-pocket expenditure) masih menjadi indikator yang paling sering digunakan, namun hanya sebagian kecil studi yang mengkaji dampaknya terhadap keadilan sosial.

Sophie menyoroti tantangan lain yang tidak kalah penting: mengapa perlindungan finansial, meskipun secara konsep penting, masih jarang digunakan sebagai alat utama dalam perumusan kebijakan? Jawabannya, menurutnya, terletak pada kompleksitas. Banyak pembuat kebijakan kesulitan memahami konsep ini karena terlalu teknis dan rumus yang abstrak. Pihaknya menawarkan solusi sederhana namun kuat yaitu dengan membawa konsep ini ke dalam cerita.Data perlu diubah menjadi narasi yang mudah dipahami, dengan mengaitkannya pada pengalaman individu, agar lebih mudah dicerna dan relevan dalam diskusi publik.

A health system approach for addressing financial protection in policy dialogue

Presenters: Susan Sparkes (WHO), and Gil Shapira (WB)
Setelah paparan tersebut, diskusi bergerak ke arah yang lebih struktural. Gil Shapira dari World Bank dan Susan Sparkes dari WHO memperkenalkan upaya bersama yang sedang mereka kembangkan: sebuah kerangka sistem kesehatan untuk mengidentifikasi akar masalah dari lemahnya perlindungan finansial. Kerangka ini dirancang untuk membantu negara melakukan diagnosis mendalam dan menyusun intervensi yang terarah berdasarkan faktor-faktor penyebab, bukan hanya gejalanya.

Shapira menjelaskan bahwa pendekatan ini lahir dari kebutuhan akan perubahan cara kita menangani isu perlindungan finansial. Selama ini, proses pemantauan dan pengumpulan data berlangsung terpisah dari arah penyusunan kebijakan, sehingga keduanya tidak saling terhubung. Tujuan dari kerangka ini adalah menjembatani keduanya menghubungkan hasil nyata di lapangan dengan kebijakan yang bisa mengubahnya.

Pendekatan yang mereka gunakan berpusat pada pengalaman individu (user-centered approach). Bagaimana seseorang merasakan kebutuhan akan pelayanan kesehatan, bagaimana ia mencari dan menerima perawatan, bagaimana biaya yang harus dibayar, dan sejauh mana kemampuan keuangan rumah tangga mempengaruhi semua itu. Seluruh proses itu kemudian dipetakan untuk mengungkap di titik mana intervensi bisa dilakukan, dan oleh siapa.

Susan Sparkes kemudian mengajak peserta melihat lebih jauh ke dalam “alat kebijakan” (policy levers), berbagai jenis kebijakan yang dapat digunakan untuk memperbaiki perlindungan finansial. Ia menunjukkan bahwa intervensi tidak selalu harus datang dari sektor pembiayaan. Banyak kebijakan lain yang bisa digunakan, dari pengaturan harga obat hingga pajak impor, dari strategi subsidi hingga pemberdayaan masyarakat. Semuanya saling berkaitan, dan semuanya bisa menjadi bagian dari solusi jika digunakan dengan pemahaman yang tepat dan kontekstual.

Sesi ini tidak hanya menyajikan data dan konsep, tetapi menawarkan sebuah cara pandang baru. Bahwa untuk benar-benar melindungi masyarakat dari beban finansial akibat penyakit, kita tidak bisa hanya mengandalkan teori atau instrumen tunggal. Kita perlu sistem yang memahami manusia, yang melihat kenyataan lapangan, dan yang cukup lentur untuk diterapkan dalam konteks yang berbeda.

Reporter:
Ratri Mahanani, SE (PKMK FK-KMK UGM)


 

   20 Juli 2025

Complex and Fragmented Financing Inhibits Innovation to Improve PHC Performance in LMICs: Evidence and Strategies for Reform

Di sini disajikan rangkaian temuan lapangan dari Kenya, Pakistan, Indonesia, dan Filipina—empat negara desentralisasi yang telah mengadopsi skema universal health coverage. Semua studi yang dipaparkan merupakan bagian dari portofolio penelitian yang didukung oleh Thinkwell, lembaga yang selama beberapa tahun terakhir memetakan persoalan pembiayaan dan tata kelola pelayanan kesehatan primer (PHC) di negara‑negara berpendapatan menengah ke bawah.

Para presentan menekankan bahwa akar fragmentasi terletak pada banyaknya aliran dana yang masuk ke fasilitas PHC: anggaran pusat, provinsi atau county, dana pemerintah daerah, donasi lembaga internasional (World Bank, DANIDA, dan lain‑lain), skema asuransi publik, hingga pembayaran langsung pasien. Setiap sumber dana membawa seperangkat aturan administrasi, format laporan, serta prioritas program yang sering kali tidak selaras satu sama lain. Akibatnya, tenaga manajerial di Puskesmas, county health centers, atau barangay health units tersandera oleh persyaratan birokrasi, sehingga ruang untuk berinovasi—misalnya dalam rantai pasok, remunerasi tenaga kesehatan, atau perluasan layanan imunisasi—mengecil drastis.

Di Kenya, Thinkwell mendokumentasikan bagaimana insentif yang saling tumpang‑tindih—dari global budget capitation, anggaran primary care network (PCN), hingga dana kabupaten—menciptakan sinyal kontradiktif bagi fasilitas. PCN sendiri dipuji karena mampu mengonsolidasikan pengelolaan keuangan dan pemantauan kinerja di sub‑wilayah, tetapi efektivitasnya terhambat oleh ketiadaan landasan hukum yang jelas. Sementara itu, studi di Pakistan menyoroti model outsourcing ala People’s Primary Healthcare Initiative (PPHI), yang memberi otonomi luas pada fasilitas sekaligus menuntut transparansi tinggi. Peneliti Pakistan menegaskan bahwa keberhasilan model ini bertumpu pada “trust from the Ministry of Finance and upgraded managerial capacity”—dua prasyarat yang kerap diabaikan dalam replikasi antar daerah.

Indonesia dan Filipina menunjukkan wajah lain fragmentasi: integrasi JKN atau PhilHealth kadang dipromosikan sebagai solusi penggabungan sumber dana, namun realitasnya justru bisa menciptakan koridor pelaporan baru jika tidak disertai sinkronisasi dengan anggaran publik dan donor. Diskusi juga menyinggung fenomena “donor‑driven parallel reporting”, ironisnya kian diperkuat oleh tuntutan standar teknis organisasi internasional, termasuk WHO.

Sejumlah rekomendasi mengemuka. Pertama, memperkuat kerangka hukum dan mandat kelembagaan—seperti memberi status legal kepada PCN di Kenya—agar alur pendanaan dan akuntabilitas menjadi pasti. Kedua, menerapkan sistem public financial management (PFM) terintegrasi yang memungkinkan visibilitas serta pelacakan lintas‑sumber; pesan ringkas salah satu panelis, terngiang: “UHC tanpa PFM ibarat bangunan tanpa fondasi.” Ketiga, mengonsolidasi program vertikal dalam bentuk block grants berbasis kinerja guna memangkas duplikasi laporan. Keempat, memberikan otonomi bertahap kepada fasilitas, sembari membangun kapasitas pelaporan keuangan dan mengasah budaya transparansi. Terakhir—dan ini menjadi catatan kritis moderator—diperlukan konsensus lintas‑negara tentang indikator kinerja PHC; tanpa definisi yang disepakati, dampak reformasi akan sulit diukur dan dibandingkan.

Sesi Thinkwell, yang menghadirkan pembahas ibu Mazda Novi Mukhlisa dari Kemenkes RI dan Eduardo Banzon dari ADB ini menutup dengan pengingat kuat: desentralisasi dan UHC bukanlah jaminan jika tata kelola keuangan publik masih terpecah‑pecah. Integrasi pendanaan harus berjalan seiring pembenahan struktur insentif dan peningkatan kapasitas birokrasi, bila inovasi PHC ingin benar‑benar menembus hambatan sistemik di negara‑negara berpendapatan menengah ke bawah.

Reportase:
LIkke P (PKMK UGM)


 

Long-Term Care: Challenges and Future Directions

Sesi ini membahas mengenai perlunya kesiapan negara-negara di Asia untuk menghadapi layanan Kesehatan bagi populasi yang semakin menua (ageing society) karena kecepatan pertumbuhan kelompok usia lanjut dan semakin panjangnya angka harapan hidup.

Pembicara pertama, Dr. Mundiharno, MSi, CSA, GRCP, GRCA (Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan) menyoroti perlunya system jaminan Kesehatan menyiapkan Sistem Perawatan Jangka Panjang yang Berkelanjutan untuk Indonesia dari perspektif asuransi kesehatan sosial.

Beliau membahas opsi kebijakan untuk mengintegrasikan LTC ke dalam sistem kesehatan nasional, termasuk model pendanaan, desain manfaat, dan pengaturan penyedia. Berdasarkan pengalaman internasional dan tren demografis Indonesia, studi ini mengidentifikasi elemen kunci untuk sistem LTC yang adil, terjangkau, dan selaras dengan JKN. Fokus khusus diberikan pada mekanisme pembiayaan, kriteria kelayakan, dan model pemberian layanan yang memastikan keberlanjutan jangka panjang dan dukungan bagi populasi yang menua.

Pembicara selanjutnya, Prof Yukata Horie (Dekan School of Health Sciences, Fujita Health) menceritakan mengenai bagaimana system perlindungan untuk LTC telah dilakukan sejak tahun 1961 di Jepang. Namun beliau mengingatkan negara-negara lain bahwa yang perlu dilakukan adalah penyiapan dan dukungan untuk memperpanjang angka harapan hidup sehat (HALE), bukan hanya harapan hidup, sehingga desain perlindungan LTC jangan terlalu terfokus pada benefit package dan healthcare (layanan Ketika lansia telah sakit atau rehabilitasi dan perawatan jangka panjang setelah keluar dari rumahsakit), namun pada peningkatan kualitas hidup lansia (menghindarkan frailty), pemberdayaan, dukungan sosial, sehingga system long term care harus mencakup layanan berbasis komunitas. Di Jepang (dan di Thailand) dimulai dengan adanya “care manager” di tingkat komunitas.

Selaras dengan itu, WHO WPRO yang diwakili oleh Gao Chen (National Program Officer Health Financing, WHO Western Pasific Regional Office) memperkenalkan strategi WHO tentang LTC, perkembangan global, praktik terbaik, dan tantangan di Kawasan Pasifik Barat. Ada berbagai contoh negara dalam membangun sistem pembiayaan LTC yang terjangkau, adil dan berkelanjutan dalam konteks pertumbuhan kelompok usia lanjut yang cepat, meningkatnya permintaan untuk layanan LTC dan ruang fiskal yang terbatas. Pendekatan utama yang didorong oleh WHO adalah integrasi antara institution-based care dengan layanan berbasis komunitas/rumah.

Lampiran:

Reporter:
Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)


Opening Plenary

Using Economic Policy Instruments to Improve Health

Kongres IHEA dibuka secara resmi pada Minggu, 20 Juli 2025. Dalam acara pembukaan, terdapat dua pembicara kunci. Pertama, Menteri Kesehatan RI, memberikan sambutan pembukaan, kemudian disusul oleh topik utama dari kongres kali ini yaitu Pemanfaatan Instrumen Ekonomi untuk Peningkatan Kesehatan. 

Dalam sambutannya, Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menyampaikan bahwa walaupun kepesertaan JKN telah mencapai 98%, namun kepesertaan ternyata tidak menjamin akses layanan, melainkan baru menjamin hak terhadap akses pelayanan. Buktinya, menurut laporan WHO terakhir, posisi Indonesia dalam Universal Health Coverage baru 50%. Menteri Kesehatan menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena Universal Health Coverageseharusnya mencakup kemampuan menyediakan layanan Kesehatan berkualitas yang dibutuhkan oleh semua peserta pada waktunya. 

Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mencanangkan transformasi Kesehatan, dan secara khusus berfokus pada pelayanan Primer melalui Integrasi Layanan Primer dan menambah kemampuan layanan primer untuk melakukan screening dan diagnostic melalui upaya melengkapi alat Kesehatan yang diperlukan (USG, X-ray, dll) di 10,000 Puskesmas dan 514 lab secara bertahap melalui dana pinjaman dari World Bank, ADB, dan IDB. Namun, menurut beliau, kemampuan layanan primer tidak hanya dimungkinkan oleh adanya peralatan yang dibutuhkan, melainkan lebih penting lagi untuk memastikan ketersediaan nakes kompeten yang dibutuhkan.

Hal ini juga berlaku untuk layanan rujukan. Menyadari bahwa untuk mengatasi penyakit-penyakit katastropik penyebab kematian tertinggi di Indonesia akan membutuhkan penyebaran tenaga spesialis secara lebih merata dan teknologi Kesehatan yang memadai (misal CABG, Cath lab, PET CT, dll). Menteri Kesehatan juga menyampaikan beberapa terobosan yang dilakukan untuk memastikan ketersediaan dan distribusi tenaga spesialis, termasuk spesialis pelayanan primer.  

Sebagai penutup, Menteri Kesehatan juga menyampaikan bahwa penguatan pembiayaan Kesehatan merupakan prasyarat untuk transformasi Kesehatan yang dicanangkan ini. Tentu saja berbagai sumber pembiayaan harus diupayakan, baik optimalisasi sumber pembiayaan yang ada saat ini (komitmen belanja public, peningkatan porsi asuransi swasta, dan pembiayaan inovatif) mau pun memastikan keberlanjutan JKN. 

Pembicara kunci dalam pembukaan kongres adalah Prof Anne Marie Thow dari University of Sydney yang menyampaikan bagaimana instrumen kebijakan fiskal memiliki potensi berdampak positif pada sektor kesehatan. Tantangan dan Peluang Penyakit Tidak Menular (PTM) terkait diet seperti diabetes dan obesitas merupakan beban kesehatan, ekonomi, dan sosial yang signifikan secara global, dan khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Instrumen ekonomi merupakan komponen penting dari respons kebijakan yang direkomendasikan. Prof Thow berfokus pada kebijakan fiskal dan perdagangan yang dimaksudkan untuk mengatasi PTM terkait diet.

Tahun 2024, panduan WHO memberikan berbagai rekomendasi mengenai potensi pemanfaatan kebijakan fiskal untuk mendorong pola makan sehat. Rekomendasi ini termasuk kebijakan fiskal yang mencegah mengonsumsi makanan yang berkontribusi pada pola makan yang tidak sehat dan mendorong konsumsi makanan sehat melalui subsidi dan dukungan lainnya. 

Hal ini dilatarbelakangi oleh lingkungan makanan saat ini di mana banyak orang tinggal, bekerja, dan menghabiskan kehidupan sehari-hari mereka terdiri dari makanan yang sangat diproses dan biasanya tinggi lemak, gula, dan natrium tidak sehat. Banyak dari makanan ini juga banyak dipasarkan dan relatif murah. Akibatnya, konsumen sering menghadapi kendala untuk membuat keputusan terkait makanan sehat. Pola makan yang tidak sehat sekarang menjadi risiko kesehatan masyarakat global, berkontribusi pada penyakit tidak menular (PTM) termasuk obesitas, diabetes, penyakit jantung, stroke, dan kanker.

Pedoman WHO ini mencerminkan bukti yang menunjukkan bahwa pajak pada makanan tidak sehat seperti minuman berpemanis (SSB) dapat menyebabkan turunnya permintaan dan konsumsi yang lebih rendah. Sebaliknya, subsidi untuk makanan (dan sumber makanan) yang tepat dapat berkontribusi pada pola makan sehat, seperti buah dan sayuran, membuat makanan ini lebih mudah diakses dan terjangkau. Menerapkan kebijakan fiskal ini adalah pendekatan yang menjanjikan untuk mendorong konsumen menuju pilihan makanan yang lebih baik, menjadikan pilihan yang lebih sehat menjadi pilihan yang lebih mudah.

Pemerintah memainkan peran utama dalam mengurangi beban PTM terkait diet, mengatasi kekurangan gizi dalam segala bentuknya, dan mempromosikan pola makan sehat. Semakin banyak negara telah mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kebijakan fiskal yang mempromosikan pola makan sehat. Pada tahun 2024, terdapat 115 negara yang telah menerapkan pajak minuman berpemanis, dan 41 Negara lain juga telah menerapkan pajak pada berbagai kategori makanan tidak sehat. Namun, di sisi lain, lebih sedikit negara yang menerapkan subsidi untuk mendorong konsumsi makanan dan minuman yang lebih sehat atau mengambil langkah-langkah untuk menghapus pajak makanan sehat dan subsidi makanan tidak sehat. Prof Thow mendorong pemerintah di negara-negara Asia Pasifik khususnya untuk mengeksplorasi kemungkinan pemanfaatan kebijakan fiskal dan subsidi serta perdagangan, yang disertai komitmen politik untuk meningkatkan Kesehatan dengan memanfaatkan instrument-instrumen ekonomi tersebut.

Prof Thow juga mendorong para peneliti ekonomi Kesehatan dan kebijakan Kesehatan untuk berkontribusi melalui penelitian-penelitian ekonomi Kesehatan untuk menyajikan bukti-bukti kuat yang akan mendukung kebijakan-kebijakan yang kondusif bagi Kesehatan Masyarakat. Namun, lebih penting lagi, perlu ada dekolonisasi pengetahuan, atau kesetaraan pengetahuan (Knowledge equity). Artinya, bukti-bukti harus tersedia bukan hanya dari negara-negara maju, melainkan juga harus muncul dari negara-negara berkembang atau negara-negara dalam konteks keterbatasan sumberdaya.  

Lampiran:

Reporter:
Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)


 

Field

Demand & utilization of health services

Economic evaluation of health and related care interventions

Evaluation of policy, programs and health system performance

Health beyond the health system

Health care financing & expenditures

Health, its valuation, distribution and economic consequences

Supply and regulation of health services and products

   23 Juli 2025

Mental Health Economics at a Crossroads

Tackling Key Challenges in the Field

PKMK- Nusa Dua. Sesi Closing Plenary pada IHEA Congress tahun ini menjadi penutup yang sangat kuat, dengan sorotan tajam pada isu yang semakin mendesak: kesehatan mental. Dipandu oleh Claire de Oliveira dari Centre for Addiction and Mental Health, sesi ini menghadirkan tiga pakar terkemuka, Prof. Rowena Jacobs (University of York), Dr. David Johnston (Monash University), dan Dr. Eduardo P. Banzon (Asian Development Bank) yang menyoroti kesehatan mental dari sudut pandang ekonomi global dan lintas sektor.

Rowena Jacobs membuka diskusi dengan menyampaikan lima alasan utama mengapa kesehatan mental perlu menjadi perhatian para ekonom, Pihaknya menekankan bahwa prevalensi gangguan mental seperti psikosis, kecemasan dan depresi terutama di kalangan anak-anak dan remaja, meningkat drastis dalam beberapa dekade terakhir. Namun lebih dari itu, dampaknya sangat terasa di dunia kerja, meningkatkan ketidakhadiran, rendahnya produktivitas, hingga ketidakaktifan ekonomi di usia produktif.

Kerugian ekonomi akibat kesehatan mental bukan angka yang kecil. Di Inggris, misalnya, biaya yang ditanggung akibat pengangguran, layanan kesehatan, dan penurunan kualitas hidup mencapai angka miliaran. Hal yang lebih menyedihkan, harapan hidup penderita gangguan jiwa bisa 15-20% lebih rendah dibanding populasi umum. Rowena juga mengangkat isu stigma, yang menciptaan perbedaan perlakuan antara penyakit fisik dan mental. Hal ini tidak hanya menyebabkan diskriminasi, tetapi juga mempengaruhi investasi dan pemanfaatan sumber daya manusia. Terakhir, Rowena menyoroti bahwa layanan kesehatan jiwa umumnya dibiayai oleh pemerintah namun sering kekurangan anggaran, sementara penanganannya membutuhkan pendekatan lintas sektor dan multidisipliner.

David Johnston mengajak audiens untuk melihat kesehatan jiwa sebagai fenomena yang memiliki dinamika ekonomi tersendiri. Dengan mencontohkan kasus bencana alam di Australia, Ia menunjukkan bagaimana konteks sosial dan lingkungan dapat memicu lonjakan kasus gangguan mental. Dalam hal ini, peran ekonomi adalah merancang model yang mampu memetakkan jalur penyebab dan memperkirakan kebutuhan serta permintaan layanan kesehatan mental.

David juga menekankan pentingnya investasi sejak dini, terutama dalam program anak dan remaja. Menurutnya, intervensi yang efektif perlu diarahkan dengan jelas melalui kriteria yang spesifik agar tepat sasaran dan efisien dari sisi biaya dan hasil.

Mewakili perspektif Asia, Eduardo P Banzon menjelaskan bahwa meski isu kesehatan mental makin diakui, mayoritas negara di Asia belum memiliki data nasional yang akuat mengenai prvalensi maupun alokasi anggaran untuk kesehatan jiwa. “Kita tidak bisa memperbaiki sesuatu yang tidak kita ukur,” tegasnya.  Eduardo P Banzon kemudian menyampaikan tiga poin kunci: pertama kebutuhan akand ata spesifik nasional; kedua, potensi telemedicine dan ruang aman digital sebagai alat intervensi; dan ketiga, perlunya perhatina khusus pada kesehatan mental remaja melalui program sekolah dan pendanaan dari skema global seperti Global Fund.  Selanjutnya, pihaknya mendorong integrasi indikator kesehatan mental dalam SDG agar isu ini menjadi prioritas pembangunan global.  Banzon juga mengajak berpikir lebih luas dan disruptif: intervensi terhadap kesehatan jiwa tidak harus datang dari sektor kesehatan saja, bisa melalui reformasi cara kerja, pendekatan sosial, atau teknologi.

Diskusi Panel: Kemana Arah Kebijakan?

Ketiganya sepakat bahwa sistem pelayanan kesehatan mental perlu dibangun dengan lebih cepat, inklusif, dan tepat sasaran. Rowena mempaparkan kerang kerja “8 element plumbing framework” yang mencakup berbagai faktor seperti sistem kesehatan, status ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan kejadian mendadak. Sedangkan David menyoroti urgensi membangun sistem yang berfokus pada anak dan remaja dan Eduardo menekankan pentingnya distruptive thinking untuk mengubah cara kita melihat intervensi kesehatan mental.

Tantangan di Negara Berpedapatan Rendah dan Menengah (LMIC)

Dalam konteks LMIC, tantangan semakin kompleks. Eduardo mempertanyakan kesiapan negara-negara dalam menyediakan fasilitas dasar yang memadai sebagai fondasi layanan kesehatan jiwa. David menambahkan bahwa program berbasis komunitas dan intervensi usia dini harus menjasi prioritas. Rowena menekankan pentingnya investasi pada infrastruktur dan riset berbasis data untuk mendukung kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.

Reporter:
Ratri Mahanani (PKMK FK-KMK UGM)