Reportase Webinar dengan AUB (K2P Center) “Media Engagement for Health System and Research”

27 Maret 2020

PKMK-Yogyakarta. Kegiatan webinar ini disampaikan oleh Rayane Nasreddine dari American University of Beirut dengan tema “Media Engagement for Health System and Research” pada 27 Maret 2020 melalui Zoom. Peserta diharapkan mampu memahami konsep “Knowledge Translation” dan “Knowledge Uptake” dalam penyebaran pengetahuan untuk perubahan, khususnya melalui kebijakan-kebijakan berupa policy brief dan dialogue summary. Banyaknya pengguna media sosial seperti Twitter <27.6%, Facebook <21%, LinkedIn <11.5%, YouTube <6.8%, Pinterest dan Instagram <3%, memberikan pengguna dapat saling bertukar pengetahuan. Disisi lain, setiap pesan yang disampaikan oleh pengguna sosial media, terdapat 71% tidak ada reaksi pengguna, 6% pesan di - retweet dan 23% pesan di - reply oleh pengguna. Setiap satu jam terdapat 92% pesan yang di - retweet oleh pengguna sosial media dan setiap pesan yang dikirimkan, 85% satu pesan direspon, 10.7% dua pesan direspon dan 1.53% tiga pesan direspon oleh pengguna sosial media.

Twitter dan Facebook adalah sosial media yang banyak digunakan oleh masyarakat, bila dibandingkan:

  Twitter Facebook
Kicauan vs Pembaharuan Status 1-4 kali tweet dalam sehari Sekali update
Pengikut dan Pertemanan Pengguna tertarik dengan topik Pengguna melihat informasi sudah disajikan di Facebook
Waktu Posting Optimal Paling efektif selama jam kerja/ Rabu Paling efektif setelah jam kerja/ Sabtu
Kecepatan Penyampian berita tepat waktu Berita disampaikan tidak ada rentang waktu

Penyampian informasi melalui media Twitter untuk menentukan tujuan yang jelas, ketahui target audiensnya, menentukan kebutuhan sumber daya, konten yang disampaikan ringkas dan sederhana, menentukan langkah berikutnya (jadwal dan durasi), melibatkan followers, dan evaluasi. Selain itu, media Facebook bertujuan menyampaikan pesan secara ringkas dan sederhana, menimbulkan pertanyaan oleh pengguna, menggunakan media gambar, informasi tetap spesifik, memanusiakan, berkesinambungan, dan evaluasi.

Pentingnya untuk memanfaatkan media dengan cara “Media Review”, berupa sinopsis artikel baik harian/ minggu/ bulanan di outlet media tertentu. Ulasan berfokus pada topik spesifik baik media lokal, nasional dan internasional. Setelah dianalisis, tinjauan media dapat menyoroti konten yang berbeda dari satu cerita dalam satu bingkai dan konteks yang berbeda. Media review dapat memprioritaskan topik yakni topik hangat secara terus - menerus dibahas dalam media dan topik yang kadang - kadang disebutkan di media. Media review juga harus mencakup 5W1H yakni kapan materi diterbitkan?, dimana tepat diadakannya acara dan platform mana?, apa yang terjadi?, mengapa bisa terjadi? dan siapa pihak yang terlibat dalam acara tersebut?”. Pada akhirnya, peserta mampu mengidentifikasi pelaku dari topik utama dalam media.

Pada penggunaan media, jurnalis biasanya akan menanyakan informasi kepada peneliti dan jurnalis menginginkan dari para peneliti yakni peneliti kehilangan jargon, informasi yang diberikan seolah-olah jurnalis berusia 13 tahun, respek dengan tengat waktu jurnalis, memberikan informasi yang menarik dan menyatakan sesuatu yang menarik ke audiens. Selain itu, jurnalis perlu memahami nilai-nilai penelitian, temuan penelitian yang akurat dan mengontekstualisasikan penelitian ke masyarakat untuk informasi kesehatan dan pelaporan sosial yang efektif. Disisi lain, masyarakat perlu mengetahui fakta yang berhubungan dengan waktu, tempat dan kondisi masyarakat, informasi secara sederhana namun signifikan terkait data dan jumlah serta sisi kemanusiaan dari peneltian.

Cara untuk mengembangkan penelusuran pers Anda sendiri yakni memilih outlet berita (TV, radio, surat kabar, blog), menentukan timeline mingguan, bulanan, dan triwulanan, mempersempit pencarian Anda berdasarkan minat dan kata kunci, sintesis dan analisis, serta membagikan temuan Anda di situs website Anda. Terdapat modul yang dapat digunakan yaitu “K2P Media Bite” yang bertujuan untuk mengkomunikasikan dengan media dan mendukung pelaporan kesehatan yang berbasis bukti, dan menyebarluaskan informasi yang benar kepada masyarakat umum melalui media. Adapun outline dari “K2P Media Bite” yakni “menentukan masalah utama yang coba diselesaikan oleh penelitian ini?, siapa populasi yang terpengaruh oleh masalah ini?, kapan penelitian ini dilakukan?, di negara mana dilakukan?, mengapa penulis memutuskan untuk mengatasi masalah ini?, dan bagaimana bisa diselesaikannya?”.

Pada akhir pertemuan webinar, peserta diharapkan mampu mengembangkan media sosial seperti Twitter dan Facebook selama 1 minggu, menentukan 2 interviews untuk mengkomunikasikan topik yang dipilih (outlet media mana, kapan pesan apa yang ingin dikomunikasikan dan mengapa?), serta kembangkan gambaran media bite sesuai topik prioritas yang dipilih.

Reporter: Agus Salim

 

 

Reportase Webinar: Apakah Keadilan dan Perlindungan Finansial untuk Layanan Kesehatan Membaik?

PKMK – Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK - KMK UGM) pada Kamis, 2 April 2020 pukul 10.00 – 12.00 WIB menyelenggarakan webinar terkait isu evaluasi implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan mengambil perspektif keadilan.

Webinar ini bertujuan untuk mendiskusikan beberapa tantangan dan temuan awal terkait capaian prinsip keadilan dalam pelaksanaan JKN di Indonesia. Harapannya diskusi ini dapat memberi wacana tambahan dalam upaya perbaikan sistem JKN kepada para pengambil kebijakan, khususnya untuk mencapai tujuan keadilan dalam JKN. Webinar ini terselenggara atas kolaborasi PKMK FK - KMK UGM dengan Harvard T.H. Chan School of Public Health, Global Health and Population dan dimoderatori oleh DR. Dyah Ayu Puspandari, Apt. MBA, MKes. Webinar menghadirkan beberapa narasumber berikut:

materi   Fatimah T. Zahra (Harvard Business School)   

materi   dr. H.M. Subuh, MPPM (Kementerian Kesehatan RI)   

Pembahas 2: Prof. dr. Ascobat Gani, MPH, Dr.PH (Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia)

Acara dibuka oleh dr. Yodi Mahendradhata, MSc., PhD, Wakil Dekan FK - KMK UGM. Yodi memberikan sambutan dengan menyatakan isu perlindungan kesehatan yang berkeadilan juga relevan dalam situasi darurat pandemi COVID-19 ini, khususnya bagi kelompok masyarakat yang rentan. Kelompok masyarakat rentan lebih sulit coping dengan situasi social distancing dan work-from-home karena akses mereka terbatas terhadap teknologi yang bisa membantu mereka untuk coping dan juga untuk tes COVID-19. Oleh karena itu, prinsip keadilan dalam perlindungan finansial penting dalam situasi apa pun, termasuk pandemi.

Pembicara, Fatimah T. Zahra menyampaikan paparannya yang berjudul “What is the relationship between household expenditure and financial risk protection upon healthcare?” Fatimah menyatakan bahwa berdasarkan kepadatan penduduk, maka di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, akan mengalami medical impoverishment tertinggi di masa depan. Fatimah menggunakan data Susenas 2018 dalam analisisnya, dengan menggunakan spatial analysis. Hasil pemetaan menunjukkan konsentrasi jumlah kepersertaan JKN dan juga konsentrasi catasthropic medical expenditure, dan dikaitkan dengan konsentrasi masyarakat miskin. Hal ini disebabkan salah satunya oleh disparitas beban biaya transportasi, out of pocket, serta proporsi penduduk lebih tua (> 65thn) dan lebih muda (< 15thn). Dalam tahap penelitian berikutnya, Fatimah akan berfokus pada kemiskinan yang terjadi di Papua termasuk melakukan cost-incidence analysis untuk masyarakat miskin yang memiliki kartu JKN sehingga dapat memberikan gambaran dampak JKN terhadap masyarakat yang miskin. Fatimah berencana untuk menggunakan time series analysis juga untuk data Susenas 2012 - 2018.

Pembahas pertama, Dr. H.M. Subuh, MPPM, menyampaikan bahwa memang ada kaitan antara perlindungan finansial dalam situasi darurat pandemi ini. Menteri Keuangan telah memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini yg 2% bisa turun ke 0% jika terjadi lockdown. Akibatnya tentu saja pengangguran semakin tinggi, dan mereka semakin rentan terhadap risiko medical impoverishment. dr. Subuh mengingatkan bahwa prinsip JKN menurut Undang - Undang ada 2, yaitu selain prinsip asuransi sosial, juga prinsip keadilan. dr Subuh menyatakan beberapa poin berikut

  1. Cakupan JKN sudah sangat baik (223 juta penduduk atau 84% dari total populasi). Proporsi kepersertaan juga baik, subsidi APBN dan APBD untuk peserta JKN telah mencapai 60%
  2. Akses: pemerintah ingin meningkatkan peran FKTP sebagai gatekeeper. Laporan utilisasi faskes menunjukkan peningkatan pemanfaatan oleh masyarakat miskin, baik di FKTP mau pun di layanan rujukan
  3. Perlindungan finansial: selain pemerintah telah menyediakan perlindungan finansial melalui subsidi premi, klaim rasio PBI telah meningkat dari tahun ke tahun. Untuk PBPU, klaim ratio tertinggi ada di kelas 3.
  4. Lorenz curve menunjukkan bahwa secara nasional sudah ada perbaikan ke arah ekuitas. NHA menunjukkan bahwa OOP disinyalir akan turun. NHA 2018 menunjukkan bahwa belanja public sekitar 53% (walau pun terhadap PDB masih 3.2%) dan memiliki trend naik dari tahun ke tahun.

Namun, JKN bukannya tanpa tantangan. Isu defisit dan pembatalan kenaikan premi, serta dampak pandemi mungkin akan menjadi tantangan di masa depan. Supply side dan penataan sistem rujukan juga masih menjadi PR bagi pemerintah. Di sisi lain, administrasi BPJS khususnya dalam kepersertaan dan kepatuhan pembayaran adalah tantangan sendiri.

Pembahas kedua, Prof. dr. Ascobat Gani, MPH, Dr.PH menyampaikan bahwa asuransi menyediakan perlindungan finansial ketika seseorang sakit, dan upaya yang perlu dilakukan yaitu baik dari sisi demand maupun supply. Asuransi baru bermanfaat jika ada akses kepada layanan. Inequity vertical memang bisa dilihat melalui Lorenz curve, tetapi horizontal inequity tidak terlihat disitu. Ada ketidakseimbangan antara upaya yang sangat besar di sisi demand (meningkatkan kepersertaan) tetapi supply lemah (pemerataan akses). Ini dianggap Ascobat sebagai pelanggaran dari prinsip JKN yang ada dalam UU SJSN. Untuk daerah - daerah dimana tidak tersedia akses, asuransi tidak berguna (walau pun pesertanya ada di daerah itu), dan jika asuransi tetap ada ini justru meningkatkan inequity. Selain itu, Prof Ascobat berpendapat bahwa asuransi adalah isu ekonomi kesehatan, tetapi tantangannya akan menjadi besar ketika terkontaminasi oleh isu politik.

DISKUSI

Dalam diskusi, Prof Peter Berman (Direktur School of Population and Public Health, Harvard University) menyampaikan pendapatnya bahwa bahwa kelompok yang berbeda di masyarakat akan mengalami pengalaman yang berbeda dalam menikmati perlindungan finansial dari JKN. Angka agregat tidak bisa menunjukkan hal ini. Masyarakat memang memiliki akses yang lebih luas terhadap layanan kesehatan (ditunjukkan oleh angka utilisasi), tetapi biaya OOP untuk melakukan akses tersebut sangat variatif di daerah yang berbeda dan untuk kelompok masyarakat yang berbeda (kaya, menengah, miskin, sangat miskin).

Dr. Subuh menanggapi bahwa tantangan Indonesia memang ada disparitas yang sangat besar. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. PhD (Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) juga menyampaikan bahwa Laurenz curve menunjukkan berkurangnya inequity secara agregat nasional, karena angka Jawa yang terlalu besar “menyembunyikan” angka daerah-daerah lain. Prof Laksono menyatakan mungkin tidak cukup menggunakan data Susenas, tetapi juga harus menggunakan data daerah. Prof Berman juga mempertanyakan apakah sumber daya JKN secara khusus ditargetkan untuk melindungi masyarakat miskin dari financial risk, bukan sekedar menyediakan ‘manfaat (benefit)’ bagi masyarakat miskin. Prof Ascobat memberi contoh ratusan pulau di Kepulauan Riau yang kadang hanya dihuni beberapa keluarga. Di pulau mereka tidak tersedia layanan faskes, sehingga jika mereka ingin mengakses layanan, biaya transportasi yang harus mereka keluarkan sangat tinggi, dan mereka tidak terlindungi dari financial risk untuk mengakses layanan kesehatan. Fatimah menambahkan bahwa OOP memang menjadi bahasan yang penting untuk mengukur prinsip keadilan, karena proporsi OOP terhadap penghasilan menentukan seberapa besar risiko medical impoverishment terhadap kelompok masyarakat tersebut.

Dr. Subuh menyatakan bahwa memang sesungguhnya ada dana kompensasi untuk daerah - daerah sulit akses, tetapi amanat UU ini belum dilaksanakan dan belum ada aturan turunannya. Model untuk melaksanakan amanat dana kompensasi yang bisa dipertimbangkan:

  1. Mendatangkan SDM yang dibutuhkan
  2. Melengkapi sarana/prasarana
  3. Mendekatkan pelayanan ke masyarakat yang membutuhkan

Menurut Dr. Subuh, Indonesia memang belum mencapai UHC, karena dari sisi cakupan belum 100%, akses juga belum 100%, perlindungan pembiayaan juga belum 100%, apalagi mutunya juga belum 100% terjamin. Prof Ascobat mengingatkan bahwa menurut WHO, UHC adalah access to everyone without financial hardship, health services consists of community public services and individual services. Artinya UHC juga harus mencakup hal - hal di luar JKN, artinya harus ada perluasan cakupan juga terhadap layanan - layanan kesehatan publik.
Prof Laksono menutup acara ini dengan menyimpulkan bahwa ini merupakah diskursus yang masih akan sangat panjang perjalanannya, namun pihaknya menyambut baik bahwa semua berkontribusi dalam upaya untuk menuju perbaikan kebijakan. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa bekerjasama untuk membangun kebijakan JKN yang lebih adil.

Kesimpulan dan catatan untuk pembaca:

  1. Kita perlu melihat kembali prinsip - prinsip yang ada di dalam UU SJSN mengenai JKN dan memastikan bahwa JKN berjalan sesuai prinsip-prinsip tersebut
  2. Indonesia sangat bervariasi, sehingga one policy for all mungkin tidak cocok. Selama belum ada pemerataan akses di seluruh wilayah Indonesia, apakah mungkin skema perlindungan finansial perlu memiliki model yang berbeda untuk daerah yang berbeda (daerah dengan akses baik, dan daerah dengan akses kurang/tidak ada)? Model yang seperti apa? Pasti diperlukan data yang lebih komprehensif untuk menyusun model yang sesuai untuk daerah.

Reporter: Shita Dewi (PKMK UGM)

 

 

Reportase Dinamika Kebijakan Krisis COVID-19 (Laporan dari FISIPOL)

PKMK – Yogyakarta. Pada 1 April 2020 FISIPOL UGMmenyelenggarakan diskusi yang bertema “Penanganan Krisis COVID-10”. Tujuan diskusi untuk merespons dari tata kelola krisis COVID-19 di Indonesia. Hasil diskusi diharapkan dapat menjadi masukan ke berbagai stakeholder yang berwenang dalam menangani masalah COVID-19. Pemantik dalam diskusi adalah Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto yaitu dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik sekaligus Dekan Fakultas Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo dan Dr. Ambar Widaningrum yang merupakan dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Pemantik memberikan beberapa poin dari pandanganya masing - masing terhadap kebijakan yang pemerintah ambil dalam menangani COVID-19. Pandangan utama dalam diskusi yang disampaikan pemantik adalah mengenai responsivitas, pesan kebijakan, monitoring dan koordinasi dari pemerintah.

Pemerintah Lamban Merespons COVID-19

Seluruh pemantik diskusi melihat bahwa pemerintah “gagap” dan “lamban” dalam mengambil kebijakan. Melihat dari kronologis COVID-19 yang berawal pada Desember 2019 di Wuhan dan menyebar ke beberapa negara Asia Timur pada awal 2020, saat itu seharusnya pemerintah telah mengambil langkah yang progresif dan strategis. Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto menyatakan “Pemerintah denial ketika negara Asia Timur pandemi, hasil riset yang menyatakan Indonesia berpotensi COVID-19 ditolak. Fokus pemerintah masih kepada hal lain.”

Dalam pemaparan Prof. Wahyudi Kumorotomo menambahkan pula bahwa ketika negara Asia Timur secara cepat mengalami pandemi, Indonesia memiliki keistimewaan untuk dapat mempersiapkan diri dan melakukan pencegahan awal.”

Respons pemerintah yang lamban sejalan dengan konsep agenda setting yang menjelaskan bahwa suatu isu dapat menjadi agenda kebijakan pemerintah ketika terdapat suatu peluang. Isu COVID-19 yang awalnya diproyeksikan terjadi di Indonesia dengan jumlah besar tidak menjadi prioritas pemerintah saat itu karena tidak terdapat peluang untuk menjadi agenda kebijakan. Pemerintah masih berfokus kepada agenda untuk pertumbuhan ekonomi negara.

“Agenda kebijakan itu sendiri terbuka ketika terdapat kesempatan seperti isu tersebut telah menimbulkan krisis di lingkungan masyarakat, waktu itu pemerintah belum melihat adanya krisis yang ditimbulkan. Keputusan bulat dari politik juga tidak ada yang melihat masalah COVID-19 ini serius. Hingga akhirnya pada 2 Maret 2020 ada masayarakat yang positif kemudian meningkat dalam satu bulan baru seluruh elemen bangsa sadar dan bersatu. DPR RI juga setuju bahwa kita perlu satu pandangan dalam menangani ini, sehingga saat itu lah peluang dari pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya mengatasi ini. Policy windows secara langsung terbuka. Mungkin kita melihat pemerintah lambat sekali, namun itu lah pemerintah perlu peluang untuk membuat suatu isu menjadi agenda kebijakan,” jelas Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto dengan berdasarkan konsep agenda setting.

Dr. Ambar Widaningrum juga menambahkan bahwa lambanya respons pemerintah terhadap suatu pandemi saat ini sama ketika masa kolonial yang denial dalam menyikapi isu influenza. Walaupun pada awal isu COVID-19 muncul terdapat denial dari pemerintah, Dr. Ambar Widaningrum beranggapan saat ini kebijakan yang diambil sudah cukup progresif. “Pemerintah sedikit lambat, tapi sudah membuat langkah koreksi. Mulai dari sekitar 13 Maret 2020 Kepres Percepatan Penanganan COVID-19 , Penyusunan Satgas COVID-19 , lalu ada Inpres tentang refocusing kegiatan ada relokasi anggaran, tenaga kesehatan, ijin dan sebagainya. Itu menjadi langkah awal sampai asrama atlit menjadi Rumah Sakit Darurat, menyiapkan isolasi pasien dan sebagainya. Selain itu juga telah mengambil langkah untuk membatasi kegiatan primer misalnya work from home dan stay at home, ini berpotensi untuk tidak meningkatkan mobilitas orang. Semua itu patut kita apresiasi.” Dari seluruh kebijakan koreksi yang pemerintah lakukan saat ini perlu dimonitoring agar mencapai tujuan dan memiliki implikasi yang baik ke masyarakat serta dapat menjadi stimulus ekonomi Indonesia pasca pandemi.

Kekeliruan dalam Pesan Kebijakan

Gagap dan lambannya sikap pemerintah diikuti pula dengan penyampaian pesan yang tidak profesional. Adanya ketidaksesuaian antara komunikator dan pesan yang ditujukan kepada masyarakat. Para pemantik menyayangkan dari penyamapaian pesan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh Kementerian Kesehatan. Tanggapan Kementerian Kesehatan untuk berdoa saat menghadapi COVID-19 dipandang tidak sesuai dengan profesi. Pesan kebijakan seharusnya disampaikan kepada masyarakat berdasarkan perspektif kesehatan yang dapat menjadi suatu himbauan. “Profesi Kementerian Kesehatan adalah untuk memberikan keputusan dan solusi mengenai masalah kesehatan. Saat menyampaikan pesan kebijakan mengenai COVID-19 seharusnya sampaikan mengenai kesehatan. Bukan pesan - pesan religius.” Kritik Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo.

Dalam kebijakan publik, penyampaian pesan kepada masyarakat memiliki pengaruh yang besar dan mencerminkan kepimpinan pemerintah. Ketika pesan kebijakan disampaikan dengan ambiguitas, maka masyarakat akan sulit untuk menerima. Hal tersebut berdampak seperti saat ini, di mana masyarakat berakhir dengan mengambil keputusan masing -m asing karena tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah.

Lemahnya Monitoring dan Koordinasi Pemerintah

Kebijakan social distancing, pembatasan moda transportasi, larangan mudik, dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diambil oleh pemerintah dengan monitoring yang tidak jelas. Dijelaskan oleh Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo bahwa masing - masing tingkatan pemerintah dan lembaga memiliki definisi dan langkah oprasional yang berbeda - beda. Sebagaimana di DKI Jakarta yang telah mencoba membatas moda transportasi, tetapi mobilitas masyarakat masih tinggi. Pembatasan moda transportasi tidak dapat efektif karena Kementerian Pariwisata masih melakukan kampanye kunjungan ke Indonesia. Selain itu, PSBB dikeluarkan karena adanya kegagalan dari pemerintah untuk memonitoring mobilitas masyarakat, karena pengambilan kebijakan dalam waktu cepat.

Berdasarkan konsep implementasi kebijakan, monitoring yang terbatas disebabkan oleh koordinasi yang lemah antara pengambil keputusan. Dalam masalah COVID-19 saat ini, Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto berpandangan adanya ego sektoral dalam kabinet yang baru dibentuk 100 hari. Sikap dari kabinet baru masih berusaha untuk mencapai dan menjaga prestasi masing - masing, khususnya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, rivalisasi dalam politik pasca pemilu 2019 masih berlangsung hingga kini membuat koordinasi dalam kebijakan untuk penanganan COVID-19 semakin terkendala.

Masalah COVID-19 yang terjadi di Indonesia maupun global tidak hanya mengenai klinis, tetapi juga mengenai kesehatan masyarakat, pemerintahan, kebijakan, ekonomi maupun politik. Untuk itu, penanganan masalahnya tidak cukup hanya dengan pendekatan klinis, perlu ada penyusunan kebijakan yang tepat berdasarkan evidence based dengan mempertimbangkan risiko lainnya.

Reporter: Tri Muhartini (PKMK UGM)

 

 

Urgensi Perbaikan Tata Kelola Penanganan Covid-19 di Indonesia

Webinar

Urgensi Perbaikan Tata Kelola Penanganan Covid-19
di Indonesia

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada (PKKMK FK-KMK UGM)

Rabu, 1 April 2020

  Latar Belakang

Jumlah kasus akibat Covid-19 selalu mengalami kenaikan setiap hari nya, per-21 Maret 2020, sudah 450 penduduk Indonesia dinyatakan positif terjangkit virus ini, dan 38 penduduk meninggal dunia. Sejak sepekan lalu, PKMK FKKMK UGM rutin mengadakan diskusi terkait penanganan Covid-19 di Indonesia. Diskusi tersebut tidak hanya melibatkan klinisi, tetapi juga beberapa stakeholders lainnya seperti manajemen rumah sakit, akademisi, dan pemerintah daerah. Beberapa isu menarik yang selalu menjadi pertanyaan adalah mengenai logistik yang mengalami keterbatasan hampir di fasilitas kesehatan Indonesia.

Status penanganan Covid 19 saat ini didasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13A Tahun 2020, yang menyatakan memperpanjang status bencana non-alam ini hingga 29 Mei 2020. Namun, disinyalir SK Kepala BNPB ini menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya di lapangan, karena dinilai tidak sesuai dengan UU Penanggulangan Bencana dan UU Kekarantinaan Kesehatan. Kerancuan ini menimbulkan kebingungan terkait pola birokrasi atau pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (sumber: https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/tata-kelola-tumpang-tindih-penyebab-penanganan-covid-19-lambat/)

Selain itu, Kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis, keterbatasan SDM, dan situasi kurang ideal lainya yang ada di fasilitas kesehatan dalam penanganan Covid 19, dalam hal ini memerlukan tindakan serius. Karena, untuk penanganannya sudah melibatkan berbagai lintas sektor pemerintahan.

Berdasarkan isu krusial tersebut PKMK FK-KMK UGM menginisiasi sebuah forum diskusi yang melibatkan stakeholders terkait, agar segera ada tindaklanjut nyata untuk memperbaiki tumpang tindih tata kelola dalam penanganan Covid-19.

  Tujuan

Setelah adanya kegiatan ini diharapkan:

  1. Adanya perbaikan tata kelola dalam penanganan Covid 19 baik di tingkat pusat maupun daerah
  2. Adanya protokol yang menjadi acuan bersama dalam penanganan Covid-19 pada situasi yang ideal maupun tidak ideal fasilitas kesehatan
  3. Adanya Sistem informasi untuk rujukan maupun ketersediaan logistik yang diupdate tepat waktu

  Narasumber

  1. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia – Hukum
  2. PKMK FK-KMK UGM – Knowledge Management
  3. Dinas Kesehatan Provinsi DIY -
  4. Pengembang DaSK

Peserta

  1. Pemerintah Pusat: BNPB, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Perhubungan, Kepolisian RI, dan TNI
  2. Pemerintah Daerah
  3. Akademisi
  4. Manajemen Rumah Sakit
  5. Tenaga Kesehatan
  6. Klinisi

Agenda

Waktu Materi Pembicara
10.00 – 10.05 Pembukaan Moderator
10.05 – 10.10 Pengantar Dr. dr. Andrasta Meliala
10.10 – 10.30

Narasumber 1

Tata Kelola Pemerintah Pusat dalam Penangan Covid19

PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia)
10.30 – 10.50

Narasumber 2

Situasi Terkini: Tata Kelola Pemerintah Daerah dalam Penangan Covid 19

Dinas Kesehatan dan BPBD Provinsi DIY
10.50 – 11.05

Narasumber 3

Penanganan Covid 19 sebagai Bencana Non Alam di Indonesia

dr. Bella Dona, M.Kes
11.05 - 11.15

Pembahasan:  

Tatakelola penanganan Covid 19 di RS dan Hubungan RS dgn Dinkes/BPBD terkait Covid 19.

RSUD Wates

11.15 – 11.45 Diskusi/Rencana Tindaklanjut  
11.55 – 12.00 Penutup Moderator

 

LINK WEBINAR

Kegiatan ini diselenggarakan secara online melalui webinar dan livestreaming
Link Webinar: https://attendee.gotowebinar.com/register/4621966857855951628 
Webinar ID: 733-697-283 
Livestreaming: http://www.youtube.com/c/unitpublikasi/live 

  Narahubung

Maria Lelyana
0813 2976 0006 / This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Peran DaSK Dalam Evaluasi Program JKN Bersama Perguruan Tinggi

Kerangka Acuan Kegiatan Webinar

Peran DaSK  Dalam Evaluasi Program JKN Bersama Perguruan Tinggi

diselenggarakan oleh

Departemen Health Policy and Management
Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada

Bekerjasama dengan

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada

  Latar Belakang

Reformasi jaminan sosial di Indonesia terjadi sejak 2004. Reformasi yang paling mendasar adalah pada lembaga penyelenggara. Dimana dulu dilaksanakan berbagai Lembaga/BUMN, sejak 2014 program jaminan sosial salah satunya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan oleh Badan Hukum Publik, yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). 

Program JKN dilaksanakan sudah enam tahun. Beberapa hasil penelitian menginformasikan bahwa program JKN tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga dampak negatif. PKMK FK - KMK UGM sebagai institusi yang berfokus pada kebijakan dan manajemen kesehatan, telah memprediksi beberapa dampak negatif yang akan muncul dalam implementasi program JKN.

Untuk membuktikan prediksi tresebut, PKMK FK - KMK UGM melakukan penelitian bersama 13 perguruan tinggi di 13 provinsi untuk mengevaluasi penyelenggaraan program JKN di wilayahnya masing - masing. Hasil penelitian ini sedang dalam tahap penulisan laporan atau artikel yang dapat diakses publik. Penelitian evaluasi JKN yang dilaksanakan ini cukup terbantu dengan adanya Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK).

Sebagai upaya mendukung kebijakan desentralisasi sektor kesehatan dan kebijakan JKN di daerah, yang berbasis bukti dan data. DaSK berusaha mengumpulkan berbagai data dari berbagai sumber sehingga dapat berada di satu tempat untuk memudahkan melakukan berbagai hal dalam upaya membantu pengambilan keputusan dalam memperbaiki kebijakan yang diambil. Selain itu, data-data tersebut bisa digunakan sebagai bahan untuk melakukan advokasi perbaikan kebijakan kesehatan era JKN. DaSK bisa diakses oleh publik di https://kebijakankesehatanindonesia.net/datakesehatan/ 

Untuk meningkakan perluasan informasi dan ilmu pengetahuan, PKMK FK - KMK UGM menyelenggarakan webinar kedua peran DaSK dalam Evaluasi Program JKN di berbagai provinsi. Harapannya webinar ini dapat menggali informasi yang menjadikan perbaikan DaSK dan kebijakan kesehatan masa mendatang.

  Tujuan

  1. Memperkenalkan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) nasional dan provinsi.
  2. Membahas peran DaSK dalam evaluasi program JKN bersama perguruan tingi
  3. Menganalisis data - data dalam DaSK sebagai bahan advokasi perbaikan kebijakan kesehatan yang lebih berhasil guna sesuai kebutuhan pemerintah daerah.

  Narasumber dan Pembahas

Narasumber:

  1. Peneliti Equity – Muhamad Faozi Kurniawan, MPH
  2. Peneliti Tata Kelola – Tri Aktariyani, MH
  3. Peneliti Mutu – Candra, MPH
  4. Peneliti NTT

Pembahas:

  1. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD
  2. Insan Rekso Adi Wibowo, MSc
  3. Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu

Sasaran Peserta

  1. Akademisi
  2. NGO/LSM
  3. Analis Kebijakan
  4. Konsultan Kesehatan
  5. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

  Waktu dan agenda Kegiatan

Hari, tanggal : kamis, 19 Maret 2020
Pukul : 09.00 - 11.00 WIB
Tempat : Common Room, Lt. 1 Gedung Penelitian dan Pengembangan FK-KMK UGM

Rundown Acara

Waktu Materi Pembicara
09.00 – 09.05 Pembukaan Moderator
09.05 – 09.20

Pengantar
Peran DaSK dalam Evaluasi Kebijakan JKN

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD
09.20 – 09.30

Video Pengantar DaSK
Video Kebijakan JKN Pasca Keputusan MA

IT
09.30 – 09.45 Hasil Penelitian Evaluasi JKN di DIY Tim Peneliti
09.45 – 10.00 Hasil Penelitian Evaluasi JKN di NTT/Bengkulu
10.00-10.30

Pembahasan:
Tata Kelola JKN dalam era Desentralisasi

(Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD)

Peran Pemerintah daerah dalam Program JKN (Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu)

10.30-11.00 Diskusi Peserta Seminar
11.00 – 11.10 Penutup Moderator

 

Output

Output kegiatan ini adalah notulensi, reportase dan rekomendasi mengenai hasil dan pembahasan seputar DaSK dari narasumber dan pembahas, serta hasil diskusi dan pendapat dari peserta seminar.

Peserta dapat berpartisipasi melalui link berikut:
Link Webinar: https://attendee.gotowebinar.com/register/4887469229030420739
Webinar ID: 182-854-851

 

Reportase Webinar: Apakah Kenaikan Iuran BPJS yang Dibatalkan MA Mampu Menerapkan Prinsip Keadilan Sosial dalam JKN ataukah Sebaliknya?

12 1

PKMK – Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (PKMK FK - KMK UGM) mengelar diskusi terkait permasalahan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada Kamis (12/3). Seminar yang bertajuk “Apakah Kenaikan Iuran BPJS yang Dibatalkan MA Mampu Menerapkan Prinsip Keadilan Sosial dalam JKN ataukah Sebaliknya?” tersebut dilaksanakan di Gedung Litbang Lantai 1, FK - KMK. Diskusi ini merupakan tanggapan atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Narasumber dalam seminar yakni Direktur Social Movement Institute Eko Prasetyo, perwakilan Aliansi Buruh Yogyakarta Kirnadi, serta peneliti PKMK FK – KMK yaitu Tri Aktariyani dan M Faozi Kurniawan.

Pada Januari 2020, Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) mengajukan judical review ke MA terkait Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Gugatan itu dikabulkan MA pada Senin (9/3), implikasinya kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan sejak 1 Januari 2020 pun dibatalkan. Prof dr. Laksono Trisnantoro Msc, PhD sebagai pemantik diskusi menyampaikan tim PKMK UGM telah melakukan kajian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang terjadi sejak 2014. “Kami dari PKMK FK - KKM UGM menelisik kembali apa yan terjadi sejak 2014 terkait JKN. Apakah implikasi dari putusan MA. Apakah BPJS Kesehatan akan susah hidup atau malah merujuk pada keinginan memperbaiki BPJS Kesehatan. Kami juga ingin melihat kemungkinan - kemungkinan untuk revisi Undang - Undang JKN atau BPJS,”ujar Prof Laksono Trisnantoro.

Prof Laksosno menyampaikan beberapa tujuan seminar, yang pertama memahami prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam JKN yang seharusnya terjadi. Kedua untuk memahami dilema kenaikan tarif iuran jaminan kesehatan dari berbagai sudut pandang. Ketiga untuk memperluas pandangan mengenai kenaikan tarif iuran jaminan kesehatan, berbasis data. Keempat untuk memahami upaya bangsa pasca keluarnya putusan MA tentang Tarif Iuran PBPU BPJS. Laksono menekankan bahwa pihaknya tidak akan menetang putusan MA. “Diskusi ini kita tidak akan menentang MA. Kita akan memahami konsekuensinya dan mencari apa solusi yang mungkin,” ujarnya.

Dalam diskusi ini, hadir juga perwakilan Aliansi Buruh Yogyakarta Kirnadi yang menyampaikan masalah BPJS Kesehatan dari sudut pandang kelompok buruh. Kirnadi mengakui bahwa selama ini aliansi buruh masih berkutat pada masalah dasar. “Serikat pekerja atau buruh bahkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih berkutat pada problem dasar, yakni persoalan perut. Fakta di DIY, upah minumumnya termasuk rendah di Indonesia. Kita sudah bertahun - tahun menyampaikan kepada pemerintah, namun tidak ada respon sama sekali,” ujar Kirnadi.

Kirnadi menyatakan sebenarnya aliansi buruh merupakan kelompok yang paling aktif mendorong lahirnya UU BPJS. “Kami kelompok masyarakat yang melakukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di era SBY - Budiono terkait kelalaian presiden dan wakil presiden yang tidak melaksanakan sistem SJSN. Gugatan tersebut akhirnya dimenangkan, lalu negara wajib menyelenggrakan program JKN,” kata Kirnadi. Selama ini kelompok buruh belum mengamati isu JKN secara mendetail, seperti yang dilakukan PKMK FKKMK UGM terkait penggunaan dana - dana BPJS Kesehatan. Kirnadi menyampaikan, masalah seputar JKN yang selama ini menjadi perhatian kelompok buruh ialah perusahaan hanya mendaftarkan sebagian upah, sebagian program dan sebagian sebagian peserta.

Direktur Social Movement Institute, Eko Prasetyo juga menyampaikan masalah JKN dari sudut pandang masyarakat miskin. Penulis buku “Orang Miskin Tidak Boleh Sakit” ini menyampaikan bahwa Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) didominasi oleh kelas menengah, yakni kelompok yang rentan miskin. Kelompok ini merupakan konsumen terbesar. “Mereka banyak yang tak membayar iuran namun nyaris empat kali lipat pakai JKN. Karena mereka punya suara banyak, upaya menutup defisit secara administratif (seperti dijadikan syarat mengurus Surat Izin Mengemudi) akan digugat banyak orang,” ujar Eko.

Eko juga menyoroti permasalahan kesehatan lainnya yang diterima kelompok miskin. Masyarakat miskin ternyata mayoritas berada di daerah pedesaan dan pelosok. Nyatanya, pelayanan kesehatan belum sampai di daerah pelosok. “Saya beberapa kali advokasi orang miskin, selalu berhadapan dengan tenaga (medis) yang minim,” ujar Eko.

Mengenai putusan MA, Eko menyatakan putusan tersebut sangat tidak terduga. “Pemerintah terkejut, BPJS Kesehatan pun saya yakin terkejut. Memang, MA independen. Kita tidak sangka MA di sini sangat penting dan kebijakan sekarang ini bisa digugat dengan mudah,” ujar Eko.

Eko menyampaikan bahwa pemerintah perlu berkooordinasi terkait isu BPJS Kesehatan. Kondisi di mana durasi politik pendek, membuat opini menjadi kiblat pemerintah. Pemerintah harus punya keberanian ambil rekomendasi dari akademisi dan pihak-pihak lain. “Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri” tegas Eko. Ia menambahkan pentingnya upaya pemerintah untuk menganggarkan dana yang lebih di sektor kesehatan. “Negara itu tidak boleh boros, kecuali untuk kesehatan dan pendidikan. Ini yang mengatakan Lenin,” tambah Eko.

12 2

Foto oleh: Sohid PKMK

Di sisi lain, peneliti PKMK FK - KMK UGM mencoba memberikan sudut pandang terkait implementasi JKN. Tri Aktariyani melihat implikasi pengelolaan BPJS Kesehatan yang saat ini menggunakan sistem single pool. Peneliti yang akrab disapa Tari ini membedah defisit yang terjadi akibat sistem pengelolaan iuran BPJS Kesehatan dengan sistem single pool. “Sejak 2014 - 2019, total defisit PBPU yakni Rp 62 Trilyun. Di sisi lain, iuran dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) surplus Rp 25 Trilyun. Namun surplus PBI tetap tidak cukup untuk menutup defiit,” ujar Tari.

 

Peneliti yang sempat menempuh pendidikan Master di Fakultas Hukum UGM ini juga melihat bahwa pelaksanaan JKN belum sesuai prinsip keadilan sosial. Ia menyebut UU SJSN yang menyebut kebijakan kompensasi belum dilaksanakan dengan baik. “Dana PBI yAPBN selama ini digunakan oleh masyarakat relatif mampu. Kebijakan kompensasi yang untuk masyarakat di daerah tertingal pun tidak dijalakan. Harapan kami dari penelitian ini adalah revisi UU SJSN,” ungkap Tari.

Senada dengan Tari, peneliti PKMK yaitu M Faozi Kurniawan juga mencoba melihat dampak batalnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan dari sisi keuangan negara dan dampaknya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Faozi menjelaskan menurut perhitungan dari Kementerian Keuangan, proyeksi defisit semakin besar. Jika iuran tak dinaikkan, defisit di PBPU terjadi hingga selisih Rp 50 Trilyun. Kenaikan iuran dari PBI APBN dan Pekerja Penerima Upah (PPU) diperkirakan tidak dapat menutup defisit ini.

12 3

“Ketika BPJS Kesehatan menggunakan segmen peserta lain untuk menutup defisit, PBI APBD tetap menyumbang defisit. BPJS Kesehatan pun akan selalu tergantung pada anggaran pemerintah,” ujar Faozi. Hal ini akan mengurangi anggaran -anggaran sektor lain terutama di sektor kesehatan. Hal ini menyebabkan APBN yang kini defisit semakin defisit.

Keluhan yang sama juga disampaikan oleh perwakilan Dinas Kesehatan DIY, M. Agus Priyanto. Agus mempertanyakan dampak putusan MA terhadap kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY. Agus menuturkan, sebelum putusan MA dijatuhkan, APBD DIY untuk BPJS Kesehatan sudah tertekan. Pihaknya menuturkan sudah menganggarkan Rp 220 M untuk JKN.

Agus menjelaskan saat ini beban Pemerintah Daerah DIYjuga cukup berat. “Apakah PBI 100 persen miskin? Saat ini di DIY, terdapat 1034 orang tidak mampu yang belum masuk skema kepesertaan BPJS Kesehatan. Banyak orang miskin di luar sana belum dapat keadilan akses. Kelompok marjinal tidak mempunyai KTP dan KK yang basisnya NIK itu yang menanggung Pemda,” ujar Agus.

Deputi Direksi Bidang Riset dan Inovasi BPJS Kesehatan Pusat, Benjamin Saut PS menyatakan BPJS Kesehatan selama ini menunjukkan progress yang cukup baik. Misalnya, setiap harinya ada 765 ribu orang yang menggunakan pelayanan BPJS Kesehatan. Bahkan total pemanfaatannya pun mencapai Rp 1,1 M. “Hal ini jadi penilaian. Selain negara hadir untuk seluruh segmen, impactnya dirasakan baik dari utilisasi maupun angka indikator,” ujar Benjamin.

Selama ini posisi BPJS Kesehatan yakni Social Health Insurance. Benjamin menyebut karena menjalankan prinsip asuransi sosial, BPJS Kesehatan ialah single payer. Mengenai defisit yang dikeluhkan banyak pihak, Benjamin menerangkan sebabnya ialah iuran BPJS Kesehatan yang underprice.

12 4

 

“Kondisi sejak awal, sudah ada kondisi underpricing dari iuran tersebut sehingga menyebabkan defisit. Memang pemerintah menyampaikan kekurangan tersebut akan ditanggung negara baik dengan penanaman modal atau subsidi. Sampai tahun ke – 6 penyelenggaraan dilakukan evaluasi, kemudian Perpres No 75 lahir untuk penyesuaian iuran. Sudah cukup lama tidak ada kenaikan,” jelas Benjamin.

Benjamin pun memberikan pendapat - pendapat untuk mengatasi masalah BPJS Kesehatan. Ia menuturkan ada tahap - tahap yang akan dilalukan BPJS Kesehatan. Pertama melakukan kajian tentang manfaat JKN dan reshaping tentang kebutuhan dasar kesehatan. Ia menuturkan penjaminan sosial saat ini masih banyak yang beririsan. Benjamin menyatakan penting untuk menganalisis penjaminan sosial sehingga tidak ada penjaminan ganda. Setelah reshaping, manfaat JKN akan disesuaikan berdasarkan prinsip asuransi, masalah cakupan, finansial negara lalu ditetapkan kelas sandar.

“Kelas standar ini menjadi roadmap BPJS Kesehatan dan saat ini belum diimplementasikan. Apakah dengan tahapan dua kelas lalu jadi satu kelas. Yang pasti definisinya kelas standar. Setelah kelas standar akan ada tarif tunggal,” ujar Benjamin.

Sebagai pelaksana JKN, Benjamin pun menanyakan solusi yang ditawarkan oleh PKMK FK - KMK UGM untuk mengatasi masalah di BPJS Kesehatan. Menanggapi hal ini, Profesor Laksono menyatakan pihaknya tetap menghormati putusan MA. Meski demikian, ia mengusulkan adanya revisi UU SJSN. Selain itu Profesor Laksono Trisnantoro tetap menyarankan sistem single pool sebagai solusi mengatasi defisit BPJS Kesehatan. “UGM tidak sepakat single pool. Kalau tidak kompatermenisasi, dana untuk orang miskin akan dialirkan ke orang kaya,” tegas Laksono.

Materi presentasi dapat disimak pada link berikut klik disini

Reporter: Kurnia Putri Utomo

 

 

Press Release Menanggapi keputusan MA tentang pembatalan kenaikan iuran PBPU

Press Release
Menanggapi Keputusan MA Tentang Pembatalan Kenaikan Iuran PBPU

Narasumber: Prof Laksono Trisnantoro, M Faozi Kurniawan dan Tri Aktariyani

usulan ke pemerintah

Pada awal bulan Maret 2020 sektor kesehatan dikejutkan dengan keputusan MA yang membatalkan kenaikan premi PBPU dalam Perpres 75/2019. Keputusan ini menyebabkan usaha untuk mengurangi defisit melalui kenaikan tarif premi PBPU menjadi terhambat.

Mengapa? Sejak tahun 2014 telah terjadi pola defisit dan surplus yang berbeda antara segmen anggota BPJS. Yang mengalami defisit adalah segmen Bukan Pekerja, dan PBI Daerah. Defisit yang terjadi ditutup dengan menggunakan dana tidak terpakai PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu), dan PPU, serta dana dari APBN.
Suplus atau dana tidak terpakai selalu terjadi dalam segmen PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu). Jumlah dana tidak terpakai pada PBI APBN sebanyak sekitar 41 triliun dalam kurun waktu 2014-2019. Sementara itu segmen PBPU (masyarakat yang seharusnya mampu) mengalami defisit sejak 2014-2019 sebanyak Rp 93 triliun (lihat gambar 1).

16mar

Sumber: Kementerian Keuangan 2014-2018, data 2019-2020 merupakan prakiraan PKMK FK-KMK UGM.

Bagaimana defisit diselesaikan selama ini dan apa akibatnya untuk masyarakat miskin dan tidak mampu?

Kebijakan menutup defisit PBPU (masyarakat mampu) dari segmen PBPU dan PPU merupakan diskresi yang telah BPJS Kesehatan lakukan selama enam tahun dengan dasar kebijakan Single Pool. Kebijakan ini terutama merugikan peserta PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu). Dana tidak terpakai PBI APBN seharusnya digunakan untuk menjalankan kebijakan kompensasi oleh BPJS untuk memperbaiki akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu di daerah tertinggal, khususnya Papua, Papua Barat, NTT, dan daerah-daerah lainnya.

Keadilan sosial setelah putusan MA

PKMK FK-KMK UGM menghormati putusan MA yang harus dilakukan. Namun, terdapat beberapa proyeksi yang dapat diperkirakan:

  1. Dana PBI APBN (untuk masyarakat miskin dan tidak mampu) yang naik tinggi akibat Perpres 75/2019 akan semakin dipakai oleh PBPU yang tetap defisit;
  2. BPJS tidak mempunyai dana untuk kebijakan kompensasi bagi masyarakat yang kekurangan fasilitas kesehatan;
  3. Mutu pelayanan akan semakin sulit dijamin; dan
  4. Penambahan dana akan menjadi tanggung jawab APBN yang sudah melemah.

Terdapat dua hal yang terlihat telah diabaikan dalam keputusan MA: Pertama, kemampuan negara (APBN) sangat terbatas dalam mendanai program kesehatan akibat system pajak yang lemah. GDP Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, tetapi penerimaan pajak masih rendah. Tax Ratio disekitar 10-11%. Anggaran pemerintah yang terbatas ini seharusnya fokus pada masyarakat miskin dan tidak mampu.

Kedua, putusan MA mengabaikan kemampuan masyarakat untuk mendanai pelayanan kesehatan. Peserta PBPU tidak semuanya tidak mampu. Seharusnya peserta PBPU didorong oleh kebijakan agar membelanjakan pendapatannya untuk kesehatan, tidak bersandar pada APBN yang lemah.

Dengan demikian telah terjadi sistem kebijakan yang populis, dimana sekelompok rakyat (khususnya PBPU) diuntungkan. Sementara itu sekelompok lain (khususnya yang PBI-APBN) dirugikan karena tidak pernah mendapat kebijakan kompensasi sesuai amanah UU SJSN. Pasca keputusan MA, kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang single pool dikawatirkan semakin tidak mencerminkan penerapan sila Pancasila: Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia di JKN.

Apa yang harus dilakukan pasca keputusan MA?

Untuk kedepannya perlu mengembalikan makna Pancasila dan UUD 1945 dengan merevisi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS agar dana PBI APBN fokus untuk masyarakat miskin dan tidak mampu. Revisi Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS diperlukan karena situasi saat ini telah menyimpang dari ideologi Pancasila.

Selain itu, menghimbau masyarakat mampu (peserta PBPU yang tidak jadi naik premi) agar tidak menggunakan fasilitas BPJS. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi tekanan ke pengeluaran BPJS. Diharapkan peserta PBPU yang mampu agar menggunakan askes komersial atau dana langsung mandiri. Disamping itu bagi hampir separuh peserta PBPU yang menunggak, diharapkan agar tertib membayar.

 

 

Mendokumentasikan Saran Kebijakan Pelatihan Penulisan Policy Brief

Mendokumentasikan Saran Kebijakan
Pelatihan Penulisan Policy Brief

 

  Latar Belakang

Pada peretmuan sebelumnya PKMK FK-KMK UGM mengadakan pelatihan analisis kebijakan yang bertujuan mengidentifikasi alternatif dan rekomendasi untuk pengambil keputusan. Dalam analisis kebijakan juga memerlukan kemampuan mendokumentasikan proses rumusan kebijakan agar dapat dimanfaatkan. Maka, dalam sesi ini memberikan pelatihan terkait penulisan policy brief serta memahami berbagai bentuk dokumen saran kebijakan lainnya.

Policy brief merupakan suatu dokumen ringkasan yang bersifat netral dengan fokus pada satu isu tertentu yang memerlukan perhatian dari stakeholders atau pemerintah. Melalui policy brief informasi (evidence based) dapat disebarkan ke pemerintah. Terdapat perbedaan antara penelitian dan anlisis kebijakan dengan policy brief yaitu dari struktur penulisan. Penulisan policy brief menggunakan bahasa non teknis dan tidak lagi membahas suatu teori tertentu.

  Tujuan

  1. Memberikan pemahaman tentang dokuemn saran kebijakan.
  2. Meningkatkan kapasitas penulisan policy brief.
  3. Memanfaatkan hasil penelitian dan analisis kebijakan untuk policy brief yang ditujukan ke pemerintah.

  Hasil yang diharapkan

  1. Peserta dapat menyusun policy brief atau dokumen saran kebijakan lainnya.
  2. Peserta dapat menggunakan policy brief sebagai alat advokasi kebijakan.
  3. Peserta dapat mempublikasikan policy brief ke dalam DaSK.

  Waktu dan Tempat

Pertemuan Pertama
Hari, Tanggal : Selasa, 7 - 8 April 2020
Pukul : 09.30 – 13.30 WIB
Tempat : Common Room Litbang FK-KMK UGM Lt.1

  Kegiatan

Waktu Pembahasan Narasumber
09.30 – 10.00 Registrasi  
10.00 – 11.00

Pembukaan dan Pengantar

Tujuan dan Posisi policy brief dalam Siklus Kebijakan

 
11.00 – 12.30 Kerangkan Penulisan Policy Brief bagian I
  • Strategi penulisan judul
  • Strategi menuliskan latar belakang
 
12.30 – 13.00 Latihan dan diskusi untuk peserta  
13.00 – 13.30 Penutupan  

   Narahubung & Koordinator Pelaksana

Trimuhartini
No. HP 0896-9338-7139
Email This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.