Reportase High Level Consultation On Innovations For Universal Health Coverage Asia Africa Perspective

Hanoi, Vietnam / 15 Mei 2019

Konsultasi 15 Mei akan terdiri dari dua diskusi panel tentang:

  1. Perspektif Asia:
  2. memperkuat kapasitas sistem kesehatan untuk UHC - Bagaimana pemerintahan, kepemimpinan, dan lingkungan politik memengaruhi kapasitas sistem kesehatan di Asia? Bagaimana pemerintah melakukan Inovasi dan Perusahaan Sektor Swasta untuk mencapai UHC?
  3. Inovasi, skala & peran yang dipimpin komunitas oleh perantara baru. Bagaimana THE sektor swasta / aktor non - negara mempengaruhi kapasitas sistem kesehatan? Apa faktor mendasar yang mendorong skala?

Kegiatan ini akan diikuti oleh diskusi mendalam tentang penguatan sistem kesehatan melalui inovasi yang dipimpin masyarakat dan peran perantara. Sesi diskusi mendalam akan membahas topik - topik seperti:

  • Meningkatkan inovasi berbasis masyarakat untuk UHC;
  • Peran enabler dalam meningkatkan inovasi; dan
  • Membangun mekanisme regulasi dan akuntabilitas dalam meningkatkan aktor non-negara dan inovasi yang didorong teknologi untuk UHC.

Perspektif global selatan tahun ini, dikembangkan dari dua pertemuan tentang Akselerasi UHC melalui Inovasi Pelayanan Kesehatan yang diadakan di Bangalore, India pada Juni 2018, dan di Kigali, Rwanda pada Maret 2019.

Kegiatan di Hanoi akan mendalami:

  1. Bagaimana negara - negara Asia berada mengadaptasi sistem kesehatan untuk mencapai UHC;
  2. Bagaimana inovasi kesehatan bersifat lintas sektoral dan mencakup peran beragam pemangku kepentingan dan perantara inovasi sosial dalam meningkatkan inovasi untuk membangun kapasitas sistem kesehatan;
  3. Bagaimana inovasi kesehatan yang dipimpin oleh sektor swasta dan aktor non - negara dapat tertanam dalam model UHC dan,
  4. Seperti apa regulasi dan mekanisme akuntabilitas yang perlu diterapkan untuk meningkatkan sektor swasta dan solusi berbasis teknologi yang lebih baru untuk UHC.

 

Mari kita tunggu laporan dari Hanoi.

 

 

 

 

Memperkuat Peran dan Tanggungjawab RS dalam Penanggulangan TB di DKI Jakarta

Memperkuat Peran dan Tanggungjawab RS dalam Penanggulangan TB di DKI Jakarta

Jakarta, 7 Mei 2019

 

 LATAR BELAKANG

Salah satu Strategi Nasional Program Penanggulangan TB tahun 2016-2020 untuk meningkatkan akses layanan TB yang bermutu dengan prinsip desentralisasi pada kabupaten/kota melalui jejaring layanan TB pemerintah dan swasta/district public private mix (DPPM). Studi inventori 2017 menyebutkan masih terdapat missing cases (underreporting dan unreached) TB di fasilitas layanan kesehatan seperti DPM/klinik, RS dan puskesmas. Oleh karena itu strategi PPM diharapkan menjadi faktor penentu untuk mengurangi angka missing cases dan meningkatkan notifikasi kasus.

Salah satu permasalahan yang ada terkait TB adalah masih banyak kasus TB yang belum terlaporkan di Rumah Sakit. Sehingga diperlukan penyisiran kasus TB di RS agar penemuan kasus dapat terlaporkan sehingga meningkatkan penemuan kasus TB.
Berbagai kegiatan diperlukan komitmen dari berbagai stakeholder untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi layanan antar unit pelayanan, mengurangi terjadinya keterlambatan diagnosis TB (delayed-diagnosis) dan kasus TB yang tidak terlaporkan (undereporting), pembentukan Tim DOTS yang melibatkan semua unit pelayanan/instalasi yang ada di rumah sakit, serta memastikan kasus TB dilaporkan secara berkala melalui sistem informasi program tuberkulosis.

Oleh karena itu, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM selaku sub award dari CTB KNCV akan melaksanakan petemuan dengan pimpinan tingkat Rumah sakit untuk bersama-sama berkomitmen untuk melakukan pelayanan TB yang lebih baik di rumah sakit.

  TUJUAN

  1. Meningkatkan Komitmen Pimpinan Rumah Sakit untuk memastikan kasus TB terlaporkan secara berkala melalui Sistem Informasi Tuberkolusis Terpadu
  2. Mengidentifikasi dan memprioritaskan metode penanggulangan TB di RS terpilih di provinsi DKI Jakarta
  3. Melibatkan seluruh RS dalam jejaring Layanan TB dalam kerangka PPM berbasis Kab/Kota di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat

  LUARAN

  1. Adanya Kesepakatan Perencanaan follow up aktifitas di tingkat rumah sakit
  2. Identifikasi jejaring layanan TB yang ideal di RS Provinsi di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur
  3. Model Penanggulangan TB di RS di Kota Jakarta Timur dan Jakarta Pusat

  PESERTA

  1. Kementerian Kesehatan RI (2 orang)
  2. Dinas Kesehatan
    1. Dinkes Provinsi DKI Jakarta (5 orang)
    2. Sudinkes Jakarta Pusat (2 orang)
    3. Sudinkes Jakarta Timur (2 orang)
  3. Manajemen Rumah Sakit, Tim TB Rumah Sakit di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat (28 Rumah Sakit, masing-masing 3 orang)
  4. CTB KNCV (7 orang)
  5. UGM (7 orang)

  WAKTU DAN TEMPAT

Tanggal  : Selasa, 7 Mei 2019
Waktu    : 09.00 – 13.00 WIB
Tempat  : Four Points by Sheraton Hotel Jakarta ,Jl. M.H. Thamrin, Menteng, Jakarta

  JADWAL KEGIATAN

Waktu

Acara

Pembicara

09.00 – 09.30

Registrasi peserta

09.30 – 09.45

Pembukaan dan arahan

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta

09.45 – 10.15

Konsep District-based Public Private Mix untuk TB: posisi strategis Dinkes dan jejaring RS privat dan RS public dalam meningkatkan CDR TB

materi

dr. Ari Probandari, MPH, PhD

10.15 – 10.45

Hasil Penilaian Mandiri Rumah Sakit (PMRS)

materi

Peran KOPI TB dalam Memperkuat Kapasitas Tenaga Kesehatan Melalui Jejaring Internal RS untuk meningkatkan CDR dan Kualitas Layanan TB di FKTRL

materi

Hans Peter

 

 

KOPI TB

10.45 – 11.15

Peran Direksi dalam keberhasilan peningkatan CDR TB dalam kerangka DPPM

materi

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. PhD 

11.15 – 12.15

Diskusi dan Tanya Jawab

Moderator

12.15 – 12.30

Pernyataan Komitmen RS Jakarta Timur dan RS Jakarta Pusat dalam partisipasi DPPM TB di DKI

12.30 – 13.00

Penutupan

Sudinkes Jakarta Timur
Sudinkes Jakarta Pusat

 

 

 

Reportase Sesi Paralel dan Expert Talk

 24 April 2019

Sesi Paralel

Pada sesi paralel, terdapat empat topik yang disajikan dalam bentuk paparan hasil penelitian, antara lain : informal sector in health insurance, miscellaneous health economic issues, equity, dan local government roles in JKN. Peneliti PKMK sempat mengikuti 2 dari 4 sesi yang digelar. Beberapa rangkuman mengenai paparan hasil penelitian adalah sebagai berikut.

Pada topik miscellaneous health economic issues, terdapat tiga paparan penelitian yang ditampilkan. Hasil penelitian pertama disajikan oleh Dr. Haerawati Idris, SKM, MKes dengan judul Are changes in health insurance status related to changes in healthcare utilization over a period of 7 years in different regions of Indonesia? Penelitian ini menyimpulkan bahwa di seluruh wilayah Indonesia, kepemilikan asuransi melalui ketersediaan JKN mampu meningkatkan odd ratio, baik pada rawat jalan maupun rawat inap. Peneliti merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk melakukan perluasan kepesertaan asuransi kesehatan bagi masyarakat di daerahnya. Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt., MKes, MBA selaku penampil berikutnya memaparkan hasil riset dengan judul The unmet need of stroke patient in Indonesia: Is home care a cost effective alternative? Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan biaya yang dikeluarkan dari perawatan homecare dengan rawat jalan pada pasien post stroke. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat penghematan pada perawatan homecare dibandingkan dengan rawat jalan.

Sementara itu, diketahui bahwa akses pelayanan kesehatan masih rendah untuk pasien post stroke, sehingga homecare bisa menjadi salah satu alternatif untuk perawatan pasien post stroke. Paparan berikutnya disampaikan oleh dr. Firdaus Haifdz, MPH, PhD dengan judul penelitian National health insurance effect on health facility efficiency: bad news or good news? Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keadaan utilisasi fasilitas kesehatan di Indonesia yang masih sangat rendah, sementara beban expenditure yang dikeluarkan sangat besar. Sumber data yang digunakan adalah data pada 2011 (sebelum era JKN, namun telah terdapat beberapa model asuransi berupa Askes dan Jamsostek). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat inefisiensi yang besar di puskesmas dan rumah sakit tipe rendah dengan kecenderungan sulit untuk bisa bertahan. Pada sisi efisiensi, optimalnya efisiensi puskesmas akan menunjang efisiensi pada rumah sakit. Kondisi efisiensi akan menjadi lebih baik jika fasilitas kesehatan bergabung dengan sistem BPJS pada era Jaminan Kesehatan Nasional.

Pada topik equity, terdapat tiga paparan penelitian yang ditampilkan. Pemaparan pertama disajikan oleh Novat Pugo Sambodo, SE, MSc dengan judul Healthcare Benefit Distribution and the Implementation of JKN: A Benefit Insidence Analysis. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi distribusi manfaat JKN berdasarkan pada status ekonomi. dr. Adelia Ulya Rachman, MSc melanjutkan paparan berikutnya dengan judul penelitian Unequal Chances to Survive Childhood in Indonesia? a Decomposition Analysis. Secara ringkas riset ini mengungkapkan bahwa ketimpangan (relative ineaquality) yang dilihat dari nilai CI (standard concentration index) tampak meningkat pada kalangan pro poor meskipun terjadi penurunan pada angka kematian bayi dan balita. Penurunan kematian balita dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni: cakupan imunisasi lengkap di tingkat kabupaten, urutan kelahiran, dan posisi perempuan sebagai kepala rumah tangga. Pendidikan ibu, usia ibu saat melahirkan dan status pernikahan pertama berkontribusi pada penurunan kematian bayi, namun demikian faktor yang disebutkan berpengaruh pada kematian balita memiliki hubungan yang sebaliknya. Paparan berikutnya disampaikan oleh dr. M. Fikru Rizal, MSc dengan judul penelitian Explaining the fall in Socioeconomic Inequality of Childhood Stunting in Indonesia. Berdasarkan dari analisis data IFLS 2007 - 2014 diketahui bahwa terjadi penurunan kondisi stunting di Indonesia secara signifikan. Kondisi stunting banyak terdapat pada masyarakat miskin, namun demikian terdapat penurunan secara signifikan pada kondisi inequality yang dipengaruhi oleh peningkatan taraf hidup dalam kurun waktu 2007 - 2012, kondisi sanitasi yang lebih baik dan pelayanan kesehatan yang semakin baik, salah satunya dengan penerapan jamkesmas. Mergy Gayatri menutup sesi ini dengan memaparkan hasil penelitian dengan judul The functioning of maternity waiting homes in Indonesia: a mixed method analysis. Riset ini secara ringkas menyebutkan bahwa fungsionalisasi rumah tunggu kelahiran masih sangat beragam di Indonesia dimana pelaksanaannya lebih efektif dilakukan di wilayah kepulauan. Agar berjalan lebih efektif, masih dibutuhkan pedoman yang komperhensif dan terstandarisasi untuk membangun rumah tunggu kelahiran, utamanya bagi pemerintah daerah serta monitoring dan evaluasi dari efektivitas rumah tunggu kelahiran yang ada saat ini.

Sesi Expert Talk

Pada sesi expert talk, dilakukan pembahasan mengenai rekomendasi untuk kondisi JKN pada masa mendatang, terutama setelah proses pemilihan umum dilakukan di Indonesia. Prof. Ali Ghufron Mukti menegaskan bahwa pengawasan pada kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pengawasan pada tenaga kesehatan guna memperkuat pemberian pelayanan kesehatan, perbaikan pelayanan kesehatan yang kurang bagus serta monitoring dan evaluasi perlu dilakukan. Hubungan kelembagaan antar berbagai pemangku kepentingan, baik pusat dan daerah, BPJS, Kemenkes, DJSN dan Presiden perlu dibangun lebih baik termasuk dukungan dari pemerintah daerah.

Pemerataan utilization di seluruh daerah di Indonesia serta sistem pemberian layanan kesehatan yang berorientasi pada mutu tenaga kesehatan dan fasilitas rumah sakit juga perlu menjadi perhatian bagi presiden terpilih (berikutnya). Prof Hasbullah Thabrany menekankan bahwa perbaikan pelayanan kesehatan bukan tugas BPJS, melainkan tugas dari pemerintah daerah. Demikian halnya tanggung jawab pada pelayanan kesehatan pribadi (UKP) merupakan ranah bagi BPJS, sementara upaya kesehatan masyarakat (UKM) merupakan tanggung jawab dari pemerintah daerah dan dinas kesehatan melalui upaya promotifpreventif. Kondisi defisit BPJS merupakan tanggung jawab pemerintah dan bagian dari kesalahan pemerintah dengan menetapkan besaran iuran yang masih rendah. Di samping itu, belum ada political will yang kuat untuk bisa mengalokasikan pengeluaran pendanaan yang lebih besar di sektor kesehatan. Selanjutnya, perlu ada peningkatan iuran BPJS yang sebaiknya melihat pada tingkat besaran pendapatan yang diterima dan pengalokasian budgeting yang lebih besar pula pada sektor kesehatan oleh pemerintah.

Reporter: Kurnia Widyastuti (PKMK UGM)

 

Link Terkait:

 

 

 

 

Reportase Seminar: JKN Through The Ages: What Evidence Tell Us

24 April 2019

Session 1: Past JKN

Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP - MAK) FK - KMK UGM didukung oleh program Nuffic melaksanakan seminar untuk mempertemukan para peneliti untuk memaparkan hasil penelitian terbaru dengan pengambil keputusan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tujuan seminar ini para peneliti dapat memberikan bukti mengenai pelaksanaan JKN di lapangan untuk mendorong pemerintah dalam perbaikan JKN ke depannya. Kegiatan dua hari ini (24 – 25/4/2019), terdiri dari seminar pada hari pertama dan juga pelatihan pada harikedua. Topik seminar yang diusung adalah JKN Through The Ages: What Evidence Tell Us.

Reportase kali ini secara ringkas akan memaparkan sesi satu dan sesi dua seminar tersebut. Kegiatan ini dibuka oleh pidato dari Dr. Yodi Mahendradhata selaku wakil dekan FKKMK UGM. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Dr. Diah Ayu Puspandari selaku direktur KPMAK dan penjelasan dari Ms. Esther den Hartog mengenai Nuffic Project yang berfokus pada penelitian, pembangunan kapasitas serta sharing knowledge mengenai universal health coverage dan kerja sama ini telah berlangsung pada Mei 2015 hingga Mei 2019

Sesi pembuka mengangkat topik JKN In The Past dipandu oleh Dr. Diah Ayu Puspandari. Pembicara pertama adalah Dr. Elizabeth Pisani yang merupakan seorang penulis juga direktur dari lembaga konsultasi dengan fokus pada kesehatan masyarakat, Ternyata Ltd. Dr. Elizabeth sebagai orang luar melihat sejarah perkembangan pelaksanaan JKN itu sendiri mirip dengan sejarah terbentuknya negara Indonesia, yaitu sama - sama dimulai dengan sesuatu yang emergency, tanpa melalui suatu persiapan yang matang, serta melewati berbagai trial dan error.

Dimulai dari zaman presiden Soekarno sebenarnya menurut R. Elisabeth sudah terdapat rancangan Undang - Undang negara tentang jaminan kesehatan, namun karena masalah politik dan ekonomi maka tidak terlaksana. Pada era presiden Soeharto terbitlah asuransi untuk TNI/Polri dan PNS. Ini merupakan awal mula asuransi kesehatan di Indonesia. Sampai kemudian berkembang dan muncul bentuk asuransi kesehatan sosial lain sampai ke Kartu Indonesia Sehat yang berlaku saat ini. Elisabeth menutup presentasinya dengan pertanyaan untuk JKN yaitu Bagaimana untuk menyeimbangkan kebutuhan lokal dan ketertarikan serta efisiensi nasional? Juga bagaimana secara terstruktur meningkatkan keadilan dan sustainabilitas dari JKN itu sendiri?

Pemateri berikutnya adalah Dr. Chazali Situmorang yang adalah mantan kepala DJSN dan saat ini menjabat sebagai Kepala Social Security Development Institute dan juga dosen di Universitas Negeri Jakarta. Selain mengulang sedikit sejarah yang tadi telah dikemukakan, Chazali lebih menekankan di dinamika perjalanan BPJS. UU BPJS terbit setelah digodok selama 7 tahun (2004 – 2011), hal ini menunjukkan saat itu komitmen politik yang masih lemah serta karena melibatkan banyak kementrian.

RUU BPJS itu sendiri tidak terlepas dari tekanan organisasi buruh. Proses pembentukan PP dan Perpres pun tidak kalah alotnya karena beragam kepentingan dan persepsi yang masih belum sama. Sampai akhirnya BPJS secara formal mulai berjalan 1 Januari 2014. Masalah yang masih terkait BPJS antara lain: persoalan tarif, defisit BPJS sejak tahun pertama hingga saat ini, pola distribusi faskes dan penyediaan tenaga, proporsi katastropik yang menggerus BPJS, dan masih banyak lagi.

Pemateri terakhir adalah Dr Chriswardani Suryawati, M. Kes. Secara garis besar, Chris juga menyingung tentang revolusi dari asuransi kesehatan di Indonesia baik itu dari sejarah pembentukan, maupun revolusi bentuk lembaga pelaksana mulai dari badan menjadi biro lalu perusahaan umum sampai menjadi persero. Dalam presenatasinya Chris menekankan pada budaya bangsa Indonesia yang 'Jimpitan' yaitu gotong royong saling membantu, terbukti dari penggunaan 'dana sehat' dalam lingkup masyarakat itu sudah umum dipakai. Begitupun prinsip dari asuransi sosial kesehatan, Chris menambahkan tentang sejarah munculnya Jamkesda yaitu karena munculnya otonomi daerah yang menuntut penyebaran keadilan. Lalu ada Jampersal, Jamkesmas dan JPKN. Inti dari materi Chris adalah penekanan bahwa Indonesia tidak memulai JKN dari Nol. Ada proses panjang yang telah dilalui, dan juga sejarah ini bisa dipakai untuk pembelajaran ke depannya.

Session II: Present JKN

Sesi kedua membahas Pelaksanaan JKN Saat Ini. Sesi ini diawali oleh presentasi dari dr. Andi Afdhal, MM selaku Deputi Direktur Penelitian dan Pengembangan dari BPJS KEsehatan. Andi menampilkan grafik dari utilisasi JKN saat ini. Sudah banyak sekali peningkatan dari penggunaan JKN. Saat ini setiap hari ada sekitar 640 ribu kunjungan ke faskes yang menggunakan JKN. Dari penelitian mereka juga didapatkan bahwa JKN mengurangi kesenjangan kesehatan dan meingkatkan indeks kepuasaan pemakai. Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi masalah yang lain yaitu ageing population, pola penyakit yang mulai bergeser, serta kontribusi dari peserta mandiri yang belum mencapai target. Oleh karena itu, Andimengharapkan penelitian tentang JKN ini sendiri untuk terus diperkuat guna mencapai tujuan dari JKN itu sendiri. Presentasi berikutnya oleh drg. Agnes Pratiwi, MPH yang menyampaikan hasil penelitian timnya bertema Supply side dan Proteksi Keuangan di Indonesia pada Era JKN di Tahun 2012 - 2017. Kesimpulan dari penelitian ini adalah cakupan dari asuransi kesehatan nasional tidak memberi banyak keuntungan pada keluarga yang tinggal di daerah miskin Indonesia, dimana pelayanan sangat terbatas. Oleh karena itu, peningkatan akses dibutuhkan di sini.

Penyampaian selanjutnya dari Prof. Laksono Trisnantoro yang merupakan ahli di bidang kebijakan kesehatan di UGM. Prof Laksono menyampaikan hasil penelitian untuk evaluasi JKN dengan pendekatan Realist Evaluation (RE), yang mengambil tiga tema besar yaitu: Equity, Governance dan Quality. Laksono menekankan bahwa pendekatan RE ini digunakan lebih untuk melihat konteks dan eksistensi atau ontological depth dari JKN itu sendiri. RE melihat segala sesuatu melalui kerangka berpikir konteks, mekanisme dan outcome. Pada penelitian yang sudah dilaksanakan di 7 provinsi di Indonesia itu sendiri, terlihat bahwa utilisasi JKN di provinsi Indonesia timur, misalnya NTT masih sangat kurang. Konteks masalah kesehatan di NTT belum sepenuhnya terpenuhi di sini, jika dibandingkan dengan pelaksanaan JKN di DIY. Kesimpulannya target road map dari JKN belum tercapai secara maksimal. Sesi ini ditutup oleh Professor Menno Pradhan dari Virje Universiteit yang menyimpulkan bahwa paket keuntungan yang ditawarkan BPJS sudah cukup kuat. Masih ada tantangan untuk meningkatkan pelaksanaan JKN terutama dimulai dari level bawah, agar seluruh masyarakat dapat menikmati keuntungan dari paket JKN itu sendiri.

Reporter: Sandra Frans (PKMK UGM)

Link terkait:

 

Kesimpulan Buku

22 April 2019

Pada 2015 dunia menghabiskan 7,3 triliun USD untuk kesehatan, hampir 10% dari PDB global. Pengeluaran kesehatan tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pengeluaran kesehatan rata-rata per kapita adalah 1.011 USD. Setengah dari negara di dunia membelanjakan kurang dari 366 USD per orang.

Secara keseluruhan, sistem pembiayaan kesehatan di seluruh dunia berubah menjadi lebih tergantung pada cara prabayar wajib dan gabungan, meskipun terdapat berbagai variasi substansial antar negara. Gambaran umum menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk kesehatan meningkat secara absolut dan juga meningkat sebagai bagian dari total pengeluaran pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan telah menjadi prioritas pemerintah yang lebih besar dari waktu ke waktu. Banyak negara menyalurkan anggaran ke agen pembelian layanan kesehatan seperti dana asuransi kesehatan sosial. Pengeluaran kesehatan out of pocket meningkat secara absolut, tetapi relatif menurun sebagai bagian dari total pengeluaran kesehatan saat ini.

Pendanaan eksternal untuk kesehatan mewakili kurang dari 0,3% dari pengeluaran global. Namun, di negara-negara berpenghasilan rendah, pendanaan eksternal terhitung sekitar 33% pengeluaran kesehatan saat ini rata-rata, dan meningkat dari waktu ke waktu secara absolut. Pada saat yang sama, kapasitas fiskal pemerintah juga meningkat. Namun peningkatan kapasitas fiskal belum diterjemahkan ke dalam peningkatan pengeluaran kesehatan pemerintah. Sebaliknya, peningkatan pengeluaran donor tampaknya memiliki efek crowding-out, yang menyebabkan pemerintah mengalokasikan kembali pengeluaran domestik mereka ke sektor lain.

Pola dan tren dari Data Dasar, menyoroti isu-isu utama yang menjadi perhatian berbagai negaradan lembaga internasional. Sebagai alat pemantauan, Data Dasar mendukung pelacakan pola-pola ini dari waktu ke waktu, dan dapat memberikan pemicu untuk penyelidikan lebih dalam. Diperlukan pendekatan yang lebih mendalam (melampaui efek pengelolaan database global) untuk masuk ke dalam analisis spesifik negara. Ada berbagai isu yang perlu dibahas di dalam suatu negara:

  • Seberapa banyak peningkatan pengeluaran kesehatan disebabkan oleh kenaikan biaya untuk:(1) memproduksi jenis dan jumlah layanan yang sama, atau (2) berapa banyak yang disebabkan oleh peningkatan dan perubahan kebutuhan dan permintaan layanan?
  • Apa saja dampak pertumbuhan pengeluaran kesehatan pada rumah tangga, pemerintah, pasar tenaga kerja dan struktur ekonomi nasional?
  • Apakah penyaluran anggaran pemerintah kepada lembaga asuransi kesehatan sosial untuk tujuan memperluas cakupan ke populasi yang sebelumnya tidak terlayani atau apakah mengkonsentrasikan lebih banyak sumber daya dan layanan bagi mereka yang sudah memiliki akses yang baik?
  • Bagaimana membuat bantuan dari luar negeri lebih efektif: menargetkan program penyakit khusus, apakah sistem kesehatan keseluruhan atau barang publik global?
  • Berapa banyak yang dibutuhkan untuk memperkuat fondasi dan lembaga sistem kesehatan? Negara mana yang paling membutuhkan?
  • Bagaimana mencegah bantuan eksternal mengurangi pendanaan domestik yang perlu diinvestasikan pemerintah dalam bidang kesehatan, dan apakah beberapa cara menyalurkan bantuan terbukti kurang tunduk pada kesepadanan?

Tidak diragukan lagi, hal-hal di atashanya beberapa pertanyaan yang mungkin muncul dari analisis kami terhadap data pengeluaran kesehatan.

Prioritas masa depan

Sebagai kepentingan publik global, penelusuran pengeluaran kesehatan (Database Pengeluaran Kesehatan Global WHO) bertujuan untuk menyediakan data yang akurat, tepat waktu, dan kompatibel untuk mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik di tingkat nasional, regional dan global, dan untuk meningkatkan transparansi serta akuntabilitas lokal, nasional, dan internasional dan tata kelola global. Pengalaman masa lalu telah dengan jelas menunjukkan bahwa: sistem informasi nasional yang berkembang dengan baik adalah fondasi untuk data kesehatan yang akurat, termasuk data pengeluaran kesehatan; memanfaatkan data untuk pembuatan kebijakan adalah kunci untuk pengumpulan data pengeluaran kesehatan rutin dan untuk meningkatkan kualitas data. Pengalaman menunjukkan bahwa strategi berikut untuk meningkatkan kualitas dan penggunaan data patut dipertimbangkan:

  • Terlibat aktif dalam memperkuat sistem informasi pengeluaran kesehatan nasional, termasuk pelaporan rutin dan pengumpulan data survei.
  • Memanfaatkan sepenuhnya sistem pelaporan data rutin dan survei sampel di negara ini sehingga sebagian besar kategori pengeluaran (seperti belanja publik dan informasi berbasis fasilitas) dapat dikumpulkan setiap tahun, dan estimasi berdasarkan survei (seperti untuk pengeluaran pribadi dan penyakit) / pengeluaran program) dapat diperbarui secara berkala.
  • Menciptakan siklus yang baik, yang menghubungkan pengumpulan data pengeluaran kesehatan dengan pengembangan kebijakan dan pekerjaan analitis di tingkat negara.

Selain perubahan proses ini, pekerjaan dalam menyusun Database Pengeluaran Kesehatan Global baru telah membantu mengidentifikasi bidang-bidang khusus untuk mendapat perhatian yang harus menjadi prioritas ke depan, karena relevansi kebijakan mereka, kelemahan yang diamati dalam data yang tersedia, dan potensi untuk melakukan sesuatu tentang hal itu melalui upaya bersama. Ini dirangkum di sini.

Memisahkan komponen modal dari total pengeluaran. Secara historis, pengelolaan data pengeluaran kesehatan oleh Database Pengeluaran Kesehatan Global tidak memisahkan modal dari pengeluaran operasional, dan tanpa data baru untuk semua negara dan tahun. Tidak ada dasar yang jelas untuk membuat estimasi tentang, misalnya, pengeluaran modal di negara tertentu pada tahun tertentu. Sementara estimasi lebih layak untuk mengisi kesenjangan dalam data pengeluaran saat ini. Ini berarti ruang lingkup kesalahan dalam memperkirakan modal menjadi jauh lebih besar. Akibatnya, rilis Database Pengeluaran Kesehatan Global 2017 memiliki banyak "kekurangan" dalam hal belanja modal.

Ke depan, membutuhkan adanya pertanyaan khusus tentang pengeluaran modal di setiap negara yang datanya saat ini tidak dilaporkan. Untuk mendapatkan data tentang sumber-sumber pengeluaran modal publik dan eksternal, membutuhkan:

  • keterlibatan erat dengan otoritas keuangan dan kesehatan nasional,
  • pengetahuan yang lebih dalam para ahli nasional dan internasional tentang sistem pelaporan data keuangan negara-negara tertentu (seperti untuk Program Investasi Publik di mana ini diberlakukan) dan
  • kerjasama yang lebih erat dengan lembaga internasional lainnya.

Mungkin juga dibutuhkan ruang bagi komunitas peneliti untuk setidaknya menggali potensi untuk mengembangkan metodologi estimasi untuk datatahun yang kurang.

Mengindentifikasi sumber pendapatan eksternal pengeluaran kesehatan.

Pergeseran ke SHA-2 tidak dengan sendirinya mengubah kesulitan untuk mendapatkan data rutin tentang semua pengeluaran yang bersumber dari luar negeri (sumber eksternal) di suatu negara untuk tahun tertentu. Upaya dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang pengeluaran dari sumber eksternal melalui proses pengumpulan data. Dalam berbagai kasus, ternyata informasi tidak lengkap dan perlu mempertimbangkan penggunaan sumber data internasional. Upaya lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan kelengkapan informasi tentang arus masuk eksternal, untuk memisahkan pengeluaran aktual dari komitmen, dan untuk menggambarkan saluran dimana bantuan eksternal mengalir ke modal dan pengeluaran kesehatan saat ini. Juga yang bagaimana mengalir melalui pemerintah, LSM dan pengaturan pembiayaan swasta. Meskipun tidak akan pernah sempurna, menargetkan sumber daya untuk upaya pengumpulan data di negara-negara yang menerima bantuan pembangunan dalam jumlah besar, dengan upaya gabungan dari negara-negara tersebut dan donor yang menyediakan dana, dapat sangat memperbaiki situasi. Upaya lebih lanjut untuk mengekstraksi data yang lebih relevan dan andal dari OECD-DAC juga terbukti bermanfaat.

Mengurai sumber domestik asuransi kesehatan sosial.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa banyak negara menyalurkan anggaran pemerintah kepada lembaga asuransi kesehatan, seperti dana asuransi kesehatan sosial. Sumber utama informasi ini adalah laporan tahunan organisasi yang menyelenggarakan asuransi kesehatan sosoial. Selain itu, laporan transfer ke lembaga asuransi kesehatan sosial biasanya muncul dalam anggaran pemerintah. Jika tidak ada laporan rutin seperti itu, informasi tentang hal ini diperkirakan berdasarkan berbagai sumber serta pengetahuan ahli tentang pengaturan khusus dari negara-negara tertentu. Selain itu, masih ada ruang untuk meningkatkan keakuratan dan kelengkapan informasi ini melalui pemeriksaan silang, dan khususnya dengan mengajukan pertanyaan yang ditargetkan kepada lembaga yang tepat dan memperoleh sumber data yang tersedia untuk umum. Ini membutuhkan keterlibatan erat dari mereka yang melaksanakan proses pengumpulan data dengan komunitas pembiayaan kesehatan yang aktif di negara tersebut.

Mencirikan pengaturan pembiayaan kesehatan dengan benar.

Klasifikasi pembiayaan kesehatan yang benar dalam kerangka SHA-2 membutuhkan pengetahuan tentang pengaturan pembiayaan kesehatan suatu negara dan SHA-2. Pengetahuan ini biasanya terletak pada orang-orang yang terlibat dengan kebijakan pembiayaan kesehatan di negara tersebut dan dapat menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan, misalnya, sifat hak atau apakah suatu pengaturan bersifat wajib atau sukarela. Dalam beberapa kasus, pengetahuan ini tidak terletak pada individu yang secara historis bertanggung jawab untuk melaporkan data pengeluaran kesehatan ke WHO.

Ke depan, penting untuk meningkatkan keterampilan dan latar belakang pelaporan pengeluaran kesehatan dengan memanfaatkan lebih banyak keahlian kebijakan pembiayaan kesehatan, di tingkat nasional maupun internasional. Arah yang bermanfaat untuk meningkatkan pengumpulan dataadalah untuk "menerjemahkan" klasifikasi menjadi pengelompokan yang akan diakui di negara tertentu, menggunakan terminologi dan nama agensi yang ada di negara itu. Tim pembiayaan kesehatan di enam kantor regional WHO (dan kantor sub-regional, seperti dalam kasus Wilayah Afrika) berada dalam posisi yang baik untuk mengambil peran ini, meskipun mereka perlu sumber daya yang tepat untuk tujuan ini. Selain itu, kolaborasi dengan pakar pembiayaan kesehatan dari lembaga mitra dengan staf yang aktif di negara tertentu, atau bekerja sama dengan jaringan (seperti P4H), akademisi, dan LSM, akan sangat berharga untuk upaya ini ke depan.

Mengingat pentingnya data pengeluaran kesehatan yang dapat dibandingkan secara internasional dan perannya sebagai barang publik global, terdapat kepentingan bersama untuk memastikan bahwa itu berkualitas tinggi dan ditafsirkan secara konsisten. Pada gilirannya, upaya kolektif yang terkoordinasi dengan baik - termasuk pembuatan data, pelaporan, dan pemeriksaan - diperlukan untuk memungkinkan peningkatan pada tahun– tahun mendatang, dan untuk memberikan landasan teknis yang kuat untuk analisis dan pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan untuk bergerak menuju UHC.

Di tingkat global, WHO akan terus mengumpulkan dan menerbitkan data pengeluaran kesehatan. Kami berkomitmen untuk bekerja erat dengan para ahli dan mitra global, regional dan lokal untuk menyempurnakan pedoman pelaksanaan, dan untuk mengeksplorasi dan meneliti cara pengumpulan data yang lebih baik. Kami juga akan memainkan peran pertemuan untuk berkoordinasi dengan mitra dalam membangun kapasitas negara dan dukungan teknis untuk pengumpulan data, analisis dan penggunaan data pengeluaran kesehatan untuk meningkatkan kebijakan kesehatan, mendukung pemantauan implementasi, dan mendorong pembiayaan kesehatan dan agenda penelitian reformasi sistem.


Link Terkait:

 

 

Pesan - Pesan Utama Dalam Buku

22 April 2019

Laporan ini didasarkan pada Database Pengeluaran Kesehatan Global WHO untuk 2000-2015. Ada berbagai kelebihan kerangka klasifikasi pengeluaran kesehatan baru yang mengungkapkan wawasan baru ke dalam pola dan tren pengeluaran kesehatan global di laporan ini.

 

 

 

 

 

1. "Ekonomi kesehatan" tumbuh lebih cepat daripada ekonomi global, tetapi pengeluarannya tidak merata.

  • Pada 2015, sistem kesehatan dunia membelanjakan 7,3 triliun, mewakili hampir 10% dari PDB global. Antara 2000 dan 2015, tingkat pertumbuhan tahunan dalam pengeluaran kesehatan adalah 4% sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi adalah 2,8% .
  • Pengeluaran kesehatan di seluruh dunia masih tidak setara: lebih dari 80% populasi dunia tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah tetapi hanya menyumbang sekitar 20% dari pengeluaran kesehatan global.
  • Pengeluaran kesehatan rata-rata global per kapita adalah 1.011 USD, tetapi separuh negara di dunia menghabiskan di bawah 366 USD per kapita. Pada 2015, hampir 50 negara dengan populasi 2,7 miliar membelanjakan kurang dari 100 USD per kapita untuk kesehatan.

2. Pembiayaan publik (pemerintah) domestik adalah sumber utama pengeluaran kesehatan.

  • Sejak 2000 hingga 2015, pendanaan domestik pemerintah sebagai bagian dari pengeluaran kesehatan meningkat dari 66% menjadi 70% di negara-negara berpenghasilan tinggi; meningkat dari 48% menjadi 51% di negara-negara berpenghasilan menengah; tapi turun dari 30% menjadi 22% di negara-negara berpenghasilan rendah.
  • Sementara itu, sebagian besar negara dengan kebijakan asuransi kesehatan sosial mendanai pengeluaran kesehatan dari campuran kontribusi pengusaha serta karyawan tradisional, dan transfer dari pemerintah.

3. Bantuan pembangunan di bidang kesehatan dari luar negeri kecil dibandingkan dengan pengeluaran kesehatan secara keseluruhan. Tetapi tetap penting untuk negara-negara berpenghasilan rendah.

  • Bantuan pembangunan dari luar negeri untuk kesehatan pada 2015 melebihi 19 miliar USD, atau kurang dari 0,3% dari pengeluaran kesehatan global. Besaran rata-rata sumber daya eksternal dalam pengeluaran kesehatan di 31 negara berpenghasilan rendah, melebihi 30% pada 2015.
  • Sumber daya eksternal sebagai persentase pengeluaran kesehatan meningkat selama 15 tahun terakhir sementara komponen pengeluaran pemerintah justru menurun di negara-negara berpenghasilan rendah.

4. Pembiayaan kesehatan meningkat untuk meningkatkan akses ke layanan dan perlindungan keuangan.

  • Ada hubungan kuat antara meningkatnya pendanaan publik dan berkurangnya ketergantungan sistem pada pembayaran langsung dari kantong sendiri (out of pocket).
  • Pada 2015 dibandingkan dengan 2000, ada 1 miliar lebih sedikit orang yang tinggal di negara-negara dimana pengeluaran outofpocketmelebihi 50% dari pengeluaran kesehatan.

5. Data pengeluaran kesehatan global diakui sebagai barang publik yang berharga.

  • Data ini dapat mendukung dialog kebijakan dan pengembangan kebijakan.
  • Data ini dapat berkontribusi pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas untuk pengeluaran kesehatan di tingkat global, regional, nasional dan sub-nasional.

 

Link Terkait

Reportase “Seminar Nasional Demam Berdarah Dengue dalam Perspektif Sistem Kesehatan”

Pada Sabtu (2/3/2019), S2 IKM FK – KMK menyelenggarakan seminar nasional terkait DBD di Auditorium Lantai 8, Gedung Pascasarjana Tahir, FK - KMK UGM. Seminar Nasional Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam Perspektif Sistem Kesehatan bertujuan untuk membahas mengenai situasi terakhir DBD di Indonesia, peran lintas profesi dalam pencegahan dna penanganan DBD dan strategi penanganan DBD dan penyakit menular lainnya dalam perspektif sistem kesehatan. Seminar ini terbagi menjadi tiga sesi utama sesuai dengan tujuannya. Pada sesi pertama, lebih banyak dibahas mengenai gambaran dan situasi DBD di Indonesia serta beberapa program yang telah dilakukan terkait kasus DBD.

dr. Citra Indriyani, MPH mengawali pemaparan pertama dengan menjelaskan bahwa 75% beban dengue dunia ada di Asia Pasifik. Insidensinya secara tahunan selalu meningkat dari waktu ke waktu (sejak 1968- 2017) dan memiliki korelasi terhadap perubahan iklim. Jika perubahan iklim semakin tidak terkendali, maka beban dengue yang ada akan semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan jumlah dengue meningkat ketika La Nina (1988,1996, 1998) terjadi sementara akan menurun pada saat El Nino (1987,1991,1994,1997). Namun demikian, angka fatalitas DBD menurun sejak 1968 - 2017 dengan tersedianya tatalaksana efektif. Sejak 2008, angka fatalitas DBD di Indonesia telah mencapai <1%.

DBD menyerang berbagai kelompok usia di Indonesia. Sejak 1993 - 2013, trend insidensi DBD pada kelompok usia > 15 tahun paling banyak meningkat, sementara untuk usia 5 - 14 tahun terjadi penurunan. Di Yogyakarta, diketahui bahwa 68% anak usia 1 - 10 tahun pernah terinfeksi dengue, dengan proporsi infeksi dengue yang meningkat seiring dengan peningkatan usia. Jumlah prevalensi infeksi multitipik pada kelompok 1 -18 tahun mencapai 50% lebih. Penyebaran kasus DBD sangat beragam dan ada di sekitar kita dengan kejadian kasus naik atau turunnya tergantung pada karateristik dari daerah tersebut.

Berdasarkan kategori WHO (2011), Indonesia termasuk pada hiperendemis DF/DBD. Hal tersebut mengacu pada empat kriteria yang dimiliki oleh Indonesia, yakni : masih merupakan masalah kesehatan utama, penyebab kematian dan hospitalisasi anak, adanya 4 serotipe yang bersirkulasi dan penyebaran hingga ke area pedesaan (rural area). Surveilans dengue di Indonesia terdiri dari surveilans pasif dan surveilans berbasis rumah sakit melalui KDRS (kewaspadaan dini rumah sakit). Di masa asimptomatik, jumlah virus dengue berada pada jumlah yang paling banyak pada tubuh seseorang dan periode ini sangat berperan dari terjadinya transmisi dengue.

Dr. dr. Ida Safitri, Sp.A(K) melanjutkan pemaparan mengenai tatalaksana klinis terbaru DBD. Terdapat dua guideline yang menjadi referensi tatalaksana DBD, yakni WHO 2011 dan WHO 2009. Saat ini Indonesia mengacu pada tatalaksana menurut WHO 2011 sebagai referensi bagi negara Asia Tenggara yang diterbitkan oleh WHO SEARO. Berdasarkan guideline tersebut, terdapat tiga klasifikasi yakni dengue fever, dengue haemorraghic fever dan expanded dengue syndrome. Untuk kriteria expanded dengue syndrome belum terwadahi oleh kode pembiayaan BPJS yang terbaru di fasilitas pelayanan kesehatan.

Warning signs merupakan tanda klinis dari seseorang yang patut menjadi perhatian utama. Sebelum terjadi perubahan parameter laboratorium, tubuh sudah menunjukkan tanda dari warning signs. Pada saat pasien sudah menunjukkan tanda warning signs, maka ia harus segera diobservasi. Adapun tanda dan gejala warning signs diantaranya ditandai dengan muntah berulang, letargi, perdarahan, tidak ada perbaikan klinis saat suhu reda, tidak bisa makan dan minum, keadaan pucat dengan ekstrimitas dingin dan diuresisi yang menurun hingga 4 - 6 jam. Perlu diketahui bahwa kegawatan pada dengue bukan pada penurunan trombosit melainkan pada kondisi terjadinya kebocoran plasma. Selanjutnya dilakukan penatalaksanaan sesuai penegakkan kondisinya : sindrom syok dengue terkompensasi dan sindrom syok dengue dekompensasi.

Terkait dengan penatalaksanaan DBD di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penegakkan diagnosa sesuai dengan kompensasi BPJS dilakukan berdasarkan pada hasil pemeriksaan kadar trombosit. Seharusnya, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, perlu melihat kembali pada tanda klinis dari pasien. Kasus - kasus Dengeu Shock Syndrome (DSS) dengan penyulit di PPK III juga masih memberikan beban biaya yang cukup besar dan melebihi paket biaya yang disediakan oleh BPJS berdasarkan pada data biaya perawatan DFH/DSS RSUP Dr. Sardjito Januari - Februari 2019. Oleh sebab itu, perlu dikaji kembali mengenai penegakkan diagnosis dan jumlah pembiayaan yang tepat bagi kasus dengue di PPK. Di samping itu, perlu juga dilakukan uji deteksi antigen serologi sebagai konfirmasi diagnostik (mengingat banyak penyakit dengan demam yang bergejala mirip dengan infeksi dengue) serta perhatian pada pengenalan tanda bahaya dan tatalaksana awal kegawatan terkait kasus dengue yang akan berpengaruh pada hasil outcome.

Pada paparan yang ketiga, dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., PhD menerangkan lebih banyak mengenai penggunaan sistem informasi kesehatan untuk melakukan prediksi terjadinya wabah DBD. Menurutnya, sistem deteksi saat ini masih tergolong terlambat dalam hal pelaporan mengenai kasus DBD. Seringkali kejadian atau outbreaks sudah terlanjur terjadi tanpa ada prediksi sebelumnya. Sistem prediksi menjadi penting sebagai sistem kewaspadaan dini/deteksi dini dan informasi untuk melakukan respon. Prediksi dapat dilakukan dengan memanfaatkan data yang aksesibel dan mudah didapatkan, mendekati real time dan free-access/gratis.
Kenaikan suhu permukaan laut sebesar 1,5 derajat Celcius berpengaruh besar pada terjadinya perubahan iklim yang bermanifestasi pada angka kejadian DBD.

Berdasarkan kajian ini, kasus DBD dapat diprediksi dengan data cuaca. Demikian halnya hasil yang ditemukan dari sebuah riset terbaru yang dilakukan di Indonesia dengan memanfaatkan salah satu akses data gratis melalui data google trends. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa data google trends memiliki pola deret waktu linier dan secara statistik berkorelasi dengan laporan demam berdarah yang resmi dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Pemanfaatan penggunaan google trends lebih lanjut dapat menjadi potensi sebagai salah satu pengawasan penyakit di Indonesia dengan perlunya mengidentifikasi perilaku pencarian informasi bagi penggunanya. Di samping itu, analisis data juga merupakan kunci dari kajian model prediksi pada kesehatan yang data analisisnya dapat digunakan dari berbagai sumber mumpuni, terutama di era big data system saat ini.

Dr. Retna Siwi Padmawati melengkapi paparan mengenai pencegahan melalui perilaku dan lingkungan. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh masyarakat saat ini antara lain : pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M dan gerakan 1 rumah 1 jumantik; kegiatan promosi kesehatan melalui jumantik sekolah dan pramuka; pokjanal DBD dan penemuan dini kasus dan pengobatannya. Namun sejauh mana efektivitas dan sustainability dari pelaksanaan program tersebut masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Salah satu studi yang dilakukan di Kuba (wilayah non - endemis DBD) menunjukkan bahwa dukungan pemerintah, ketersediaan link antara masyarakat, struktur program dan pemerintah serta adanya mobilisasi masyarakat menjadi faktor penting. Pendekatan yang selama ini dilakukan melalui COMBI (community for behavioural impact) dan pemberdayaan masyarakat perlu untuk dipertahankan. Sementara itu, pendekatan lain melalui participatory action research juga dibutuhkan dengan tidak hanya terbatas pada penelitian yang dilakukan tetapi juga mendapatkan intervensi yang memberikan dampak perubahan perilaku positif bagi pencegahan kasus. Beberapa hal yang menjadi tindak lanjut ke depannya antara lain penguatan advokasi, penguatan mobilisasi sosial dan tentu saja komunikasi dan koordinasi secara lintas sektor.

Paparan akhir diberikan oleh dr. Riris Andono Ahmad, Ph.D melalui kajian riset pengendalian dengue dengan teknologi Wolbachia. Tantangan kasus DBD di Indonesia masih menjadi masalah sebab angka kasus yang masih meningkat fluktuatif, uatamanya saat musim penghujan tiba. Vector nyamuk Aedes Aegepty cenderung dekat dengan perilaku manusia, dengan karakteristik tidak berbunyi, tidak sakit jika menggigit, tidak suka bau wangi dan suka menggigit di bagian bawah tubuh. Tantangan pengendalian dengue saat ini adalah masih belum tersedianya vaksin yang 100% efektif, belum tersedianya obat untuk dengue, 70& kasus bersifat asimptomatis, dan belum kuatnya sistem surveilans.

Melalui Eliminate Dengue Project (EDP), dikembangkan pemanfaatan bakteri alami Wolbachia yang memiliki kapasitas menekan pengembangan virus dengue. Wolbachia berfungsi sebagai vaksin pada tubuh nyamuk yang disebarluaskan sendiri dengan cara berkawin dengan nyamuk lain dan melahirkan nyamuk dengan Wolbachia didalam tubuhnya. Dengan adanya Wolbachia didalam tubuh nyamuk, maka virus dengue tidak memiliki kesempatan untuk berkembang dan berakibat pada nyamuk aedes aegypti yang tidak bisa mendistribusikan virus dengue sebagai penyebab dari kejadian DBD.

Penggunaan nyamuk dengan Wolbachia dilakukan di Yogyakarta, terutama di Sleman dan Bantul. Penelitian ini dilakukan dalam 4 fase yang terdiri dari fase persiapan dan kelayakan penialian keamanan, fase penyebaran skala terbatas nyamuk aedes aegypti dengan Wolbachia, fase penyebaran skala luas nyamuk Aedes Aegypti dengan Wolbachia dan fase penguatan adopsi dan implementasi kebijakan. Saat ini, riset yang sedang dilakukan berada pada fase ketiga untuk penyebaran skala luas. Hasil sementara yang didapatkan menunjukkan terjadi penurunan kasus DBD di wilayah sasaran penyebaran.

(Reporter: Kurnia Widyastuti/ PKMK)

 

Reportase “Kupas Tuntas Klaim Pembayaran Rumah Sakit oleh BPJS Kesehatan Pasca Perpres No. 82/2018 Jaminan Kesehatan”

19feb

Seminar yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 19 Februari 2019 ini dihadiri oleh tiga narasumber, yaitu dr. Tonang Dwi Ardyanto (PERSI), dr. Aris Jatmiko (BPJS Kesehatan Jateng DIY) dan dr. Endang Suparniati (RSUP Dr. Sardjito). Jumlah peserta JKN per 1 Februari 2019 mencapai 217. 549. 455 jiwa, namun mengutip Bernie Sanders bahwa The Goal of Real Healthcare Reform Must Be High Quality, Universal Coverage In A Cost Effective Way. Perkembangan faskes yang bekerjasama sejak 2014-2018 mengalami peningkatan jumlah 26,37% (FKTP) dan 46,04% (FRTL). Namun demikian, berdasarkan pemaparan dr. Aris Jatmiko kepuasan peserta dan provider masih belum tercapai. 

Fakta tantangan JKN masih soal mismatch, pendapatan yang belum optimal, transisi epidemiologi dan demografi, ekspektasi peserta meningkat dan kehandalan sistem administrasi klaim dengan defisit finansial yang masih terus berlanjut dan mutu layanan faskes yang perlu diperbaiki terus - menerus. Perpres No 82 Tahun 2018 melengkapi regulasi sebelumnya yaitu Perpes No 13 Tahun 2013, Perpres No 111 Tahun 2013, Pepres No 19 Tahun 2016 dan Perpres No 28 Tahun 2016. Beberapa upaya dalam pengelolaan pembiayaan yang diatur dalam Pepres terbaru yaitu; waktu pengajuan klaim, lama pembayaran klaim, penyelesaian klaim pending/dispute, dan kecurangan/fraud dalam klaim.

Kesiapan BPJS Kesehatan dalam menyikapi Pepres 82/2018 terkait administrasi klaim terkait akurasi dan tindak lanjut seperti peraturan pendukung, revisi draft perjanjian kerjasama bersama faskes dan aplikasi pendukung. Harapan dr. Aris Jatmiko bahwa rumah sakit dapat memahami seluruh ketentuan administrasi klaim JKN, RS melakukan self assessment klaim sebelum penyerahan klaim dan saling berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan dalam penyelesaian masalah klaim.

dr. Endang (RSUP Dr. Sardjito) menyatakan upaya yang dilakukan RS dengan menerapkan langkah - langkah sosialisasi ketentuan klaim kepada KSM dan instalasi, pendampingan implementasi di bangsal, penempatan tim koding dan evaluasi implementasi. Upaya tersebut juga diikuti dengan masalah dan kendala internal RS yaitu belum semua resume medis menggunakan e-resume medis, tanda tangan DPJP masih sering terlambat, residen tidak melakukan koreksi diagnosis akhir, kekurangan dalam menghitung jumlah berkas klaim yang belum diterima di instalasi penjaminan dan masih ada berkas yang ditemukan beberapa bulan setelah pelayanan diberikan. Sedangkan masalah dan kendala dengan pihak BPJS Kesehatan, seperti berita acara tertunda, belum adanya SOP tentang mekanisme pengajuan klaim (waktu penyerahan berkas, hasil purifikasi, verifikasi manual, dan perubahan waktu) serta tidak ada kejelasan tentang klaim yang dianggap tidak layak. Namun, pihak RS lega dengan terbitnya Pepres No 82 Tahun2018 karena adanya kejelasan waktu penyelesaian klaim.

Bahasan PERSI terkait Perpres No 82 Tahun2018 mengenai klaim adalah kerangka waktu memang menjadi tegas dan jelas, namun perlu diperhatikan bersama bahwa kesiapan RS satu dengan lainnya berbeda - beda. Tentu tidak bisa disamakan dengan kesiapan RS Sardjito yang hampir semuanya paripurna baik SDM maupun sarana prasarana. Kajian lebih lanjut dari Pepres ini adalah bagaimana ruang yang diberikan untuk kesiapan RS dengan kapasitas SDM, alat dan sarana yang bervariasi di Indonesia dalam menjalankan beberapa fase; paperless-semi digital-full digital dengan bridging? Hal ini penting agar tidak menjadi negative pressure terhadap JKN.

Selain itu, terdapat beberapa hal yang belum cukup jelas terurai di Pepres No 82 Tahun2018 antara lain pembahasan mengenai bagaimana ragam klaim pelayanan obat, alat kesehatan tertentu dan obat di luar paket; definisi kebutuhan dasar kesehatan dan kelas standar?; kelas standar berbasis standar kelas dan standar pelayanan; ketentuan coordination of benefit (COB) yang menurut Permenkeu No 141 Tahun2018 menjadi beban RS; kewenangan Pemda mengenai pengawasan dan regulasi masih patut ditelusur agar program/kebijakan berjalan secara sinergi dengan muatan lokal, penguatan FKTP dan pelayanan rujukan;

Pekerjaan rumah utama kita bersama adalah mengawal dan ikut berpartisipasi dalam implementasi peraturan turunan Perpres No 82 Tahun 2018 yang diuraikan bahwa dibutuhkan 22 Peraturan Kemenkes, 11 peraturan BPJS Kesehatan, 4 Peraturan Kemenkeu, 2 Peraturan Kemensos, 2 Peraturan Kemendagri dan 1 peraturan BKKBN.
Terakhir disimpulkan secara reflektif bahwa Perpres ini menyisakan pertanyaan mengenai transparasi urutan pengajuan klaim, dan mekanisme yang akan dibuat BPJS Kesehatan untuk memastikan klaim dibayarkan secara adil dan tepat waktu.

Reporter : Tri Aktariyani (PKMK UGM)