Diskusi 1: Peran IDI di lapangan dalam kebijakan Internship.

Diskusi 1:
Peran IDI di lapangan dalam kebijakan Internship.

Sabtu 16 Januari 2016, pukul 09.30 – 11.45 Wib
Tempat: Kampus FK UGM

  Deskripsi:

Program internsip sebagaimana dimaksud pada UU Pendidikan Kedokteran (2013) diselenggarakan secara nasional bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit pendidikan, Organisasi Profesi, dan konsil kedokteran Indonesia.

Selanjutnya dalam Pasal 38 UU Pendidikan Kedokteran disebutkan bahwa mahasiswa yang telah lulus dan telah mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi harus mengikuti program internsip yang merupakan bagian dari penempatan wajib sementara. Penempatan wajib sementara pada program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan sebagai masa kerja.

Dengan demikian program internship merupakan kerja bersama antar berbagai stakeholder sistem kesehatan. Untuk pengelolaan internship dilakukan oleh Komite Intersip Dokter Indonesia (KIDI). Ketua KIDI masa bakti 2014 – 2017 adalah dr. Nur Abadi, MM.M.Si. SUSUNAN PENGURUS KIDI Tahun 2014 – 2017 adalah sebagai berikut.

NO

N A M A

JABATAN KIDI

UNSUR

1

dr. Nur Abadi, MM. M.Si.

Ketua

Wakil Asosiasi Rumah Sakit Daerah

2

Dr. dr, Wawang S. Sukarya, Sp.OG. MARS, M.Hkes.

Wakil Ketua

Wakil Konsil Kedokteran Indonesia

3

dr. H. Chairul Radjab Nasution, Sp.PD. KGEH,FINASIM,M.Kes.

Ketua Sub Komite Akreditasi Wahana

Wakil Kementerian Kesehatan

4

dr. Moh. Adib Khumaidi,Sp.OT

Anggota Sub Komite Akreditasi Wahana

Wakil dari Ikatan Dokter Indonesia

5

dr. Emil Bahtiar Moerad, Sp.P

Ketua Sub Komite Pendaftaran dan Akreditasi Peserta

Wakil Aosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia

6

Dr. Hermien Widjajati, SP.A(K)

Anggota Sub Komite Pendaftaran dan Akreditasi Peserta

Wakil Kementerian Kesehatan

7

dr. Daeng M. Faqih, MH. Kes.

Ketua Sub Komite Akreditasi Pendamping

Wakil Ikatan Dokter Indonesia

8

dr. Asjikin Iman Hidayat Dachlan, MHA

Anggota Sub Komite Akreditasi Pendamping

Wakil Kementerian Kesehatan

9

dr. AbrahamAndi Padian Patarai

Ketua Sub Komite Pembinaan dan Pengawasan

Wakil Kolegium Dokter Primer Indonesia

 

Dalam kepengurusan tersebut terlihat ada wakil dari pengurus IDI. Oleh karena itu perlu membahas peranan IDI dalam kebijakan internship. Apakah selama beberapa tahun ini filosofi dasar program internship sebagai pemahiran oleh ikatan profesi telah dilakukan. Dalam hal ini peran IDI sangat strategis dalam program internship. Internship diharapkan mengandung proses pembimbingan dari dokter senior ke dokter yunior yang baru memasuki kehidupan profesionalnya.

  Tujuan Seminar:

  1. Membahas peran KIDI Propinsi dan IDI.
  2. Membahas peranan IDI cabang dalam pelaksanaan program internship.
  3. Membahas pengembangan pelaksanaan program internship ke depan, dari sudut pandang berbagai stakeholder.

 

Peran Perhimpunan Profesi dalam Sistem Kesehatan di Era BPJS dan MEA

materi

Prof. Laksono Trisnantoro

video

pembahasan oleh perwakilan IDI Klaten

dr. Ronny Roekminto, M.Kes

video

Pembahasan oleh Perwakilan KIDI Provinsi Jawa Tengah

dr. Djoko Mardijanto, M.Kes

video

Pembahasan oleh Perwakilan IDI Kupang

dr. Simplicia Anggraeni, Sp.A
(Via Webinar)

Pembahasan oleh Kepala Pusrengun Kementerian Kesehatan RI

dr. H. Imam Asjikin, MBA
(Via Webinar)

Diskusi

sesi 1   sesi 2

 

 pdf-icon Peran perhimpunan profesi dalam sistem kesehatan di era BPJS dan MEA

Diskusi 2: Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era MEA

Diskusi 2:
Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan
Pelayanan Kesehatan di Era MEA

Sabtu 20 Februari 2016, pukul 09.00 – 12.00
Tempat: Ruang Senat Selatan, FK UGM Yogyakarta

  Deskripsi:

Kekurangan dokter spesialis dan sub-spesialis serta pemerataannya di Indonesia sudah berjalan puluhan tahun. Sampai era JKN ini belum terlihat pemecahan masalah. Sementara itu MEA menyatakan bahwa ada 8 profesi yang akan relative lebih bebas bermigrasi antar Negara di Indonesia yaitu:

  1. Insinyur, mulai dari insinyur mesin, geodesi, teknik fisika, teknik sipil, dan teknik kimia.
  2. Arsitek yaitu ahli rancang bangun atau ahli lingkungan binaan.
  3. Tenaga Pariwisata.
  4. Akuntan.
  5. Dokter Gigi.
  6. Tenaga Survei.
  7. Praktisi Medis.
  8. Perawat.

Walaupun sudah ada MEA, akan tetapi dalam praktek memang Negara-negara Anggota ASEAN masih banyak belum sepakat dalam implementasi mode 4 (MNP). Setiap Negara ASEAN mempunyai regulasi utk tenaga kesehatannya. Untuk Indonesia, harus melalui rekomendasi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) beserta organisasi Profesi. Dokter yang diperkenankan masuk Indonesia adalah Spesialis yang langka atau tidak ada di Indonesia.

Dalam konteks MEA ini ada potensi konflik antara Ikatan Profesi dengan keinginan masyarakat. Masyarakat ingin lebih banyak dokter agar akses lebih baik. Sementara itu ada kemungkinan Ikatan Profesi berusaha menahan masuknya dokter asing. Apakah memang hal ini akan terjadi? Bagaimana dampaknya untuk Perguruan Tinggi Kedokteran?

  Agenda Kegiatan

09.00-09.15

pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro

video

09.15-09.30

Kesiapan tenaga kesehatan menghadapi masyarakat Ekonomi Asean

Dr. Asjikin Iman H. Dachlan, MHA (Kepala Pusrengun PPSDM Kementerian kesehatan)

materi   video

09.30-09.45

 

Dr. dr. Andreasta Meiala, M.Kes (Pusat kebijakan dan manajemen Kesehatan FK UGM)

materi   video

09.45-10.15

Pembahasan

  1. DR. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc, Sp.B.KBD, FCSI (Wakil ketua MKKI) – perwakilan IDI Pusat
  2. Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Ketua divisi pendidikan KK – Konsil kedokteran indonesia)

video   diskusi

  1. Dr. Nurdadi Saleh, SpOG (POGI Pusat)
  2. DR. dr. Zulkifli Amin, SPPD-KP (Kolegium PAPDI)
materi   video   diskusi

10.15-11.00

Diskusi

 

Reportase kegiatan 

 

  Tujuan Seminar:

  1. Membahas pelayanan dokter sub-spesialis dalam kompetisi pelayanan kesehatan di era MEA
  2. Membahas dokter sub spesialis dalam konteks kebijakan nasional

  3. Mengidentifikasi peran IDI dalam strategi pengembangan dokter sub spesialis

 

 

 

 

Diskusi 4: Agenda riset yang diperlukan untuk pengembangan Pertemuan akan dilakukan pada bulan April 2016 untuk membahas berbagai isu untuk penelitian dan penyusunan proposal untuk penelitian S2 dan S3

Diskusi 4:
Agenda riset yang diperlukan untuk pengembangan
Pertemuan akan dilakukan pada bulan April 2016 untuk membahas berbagai isu untuk penelitian dan penyusunan proposal untuk penelitian S2 dan S3.

Metode Seminar

Kegiatan seminar dilakukan di Yogyakarta. Para pembicara atau pembahas dan peserta dapat mengikuti melalui live streaming atau teleseminar.

Pendaftaran dapat dilakukan pada email This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

  

 

 

 

 

Diskusi 3: Peran IDI dan Perhimpunan Profesi dalam Memperjuangkan Hak Residen dan Fellow dalam Proses Pendidikan

Diskusi 3:
Peran IDI dan Perhimpunan Profesi dalam
Memperjuangkan Hak Residen dan Fellow dalam Proses Pendidikan

Jumat 4 Maret 2016, pukul 09.00 – 15.00
Tempat: Ruang Teater, Perpustakaan FK UGM

  Deskripsi:

Jaminan Kesehatan Nasional merupakan sebuah kebijakan pembiayaan yang meningkatkan permintaan akan pelayanan kesehatan. Jumlah pasien meningkat. Pelayanan mengugunakan system rujukan berjenjang melalui system rujukan nasional, propinsi, dan regional. Di sisi pemberi jasa pelayanan , ternyata tenaga kesehatan khususnya para dokter spesialis dan sub-spesialis tidak bertambah banyak. Saat ini Indonesia kekurangan spesialis dan sub-spesialis. Di berbagai daerah dilaporkan kurangnya sub-spesialis. Akibatnya yang memperoleh pelayanan canggih adalah masyarakat yang berada di kota-kota besar. Kekurangan jumlah dan jenis dokter spesialis dan sub-spesialis ini tidak lepas dari proses dan situasi yang terjadi di lembaga pendidikannya.

Dalam konteks perkembangan JKN, ada berbagai masalah dalam pendidikan spesialis dan sub-spesialis, antara lain:

  • FK yang menjadi tempat penyelenggara, praktis tidak banyak berubah;
  • Para dosen yang menjadi pengajar klinis semakin tua, dan penggantinya banyak yang berasal bukan dari pegawai perguruan tinggi;
  • Terjadi kegamangan ketika pendidikan Spesialis dan Sub-spesialis masuk pendidikan formal yang banyak aturan dari Kementrian Pendidikan dan Penelitian;
  • Penanganan residen yang belum jelas; apakah sebagai siswa atau pekerja atau keduanya.
  • dan berbagai masalah lainnya.

Seminar ini membahas mengenai penanganan residen dan fellow sebagai siswa atau pekerja .
Dalam konteks ini ada pertanyaan menarik mengenai peran Peran Perhimpunan Dokter Ahli dan IDI. APakah akan berperan penting dalam:

  1. Memperjuangkan hak dokter yang berstatus sebagai residen dan fellow untuk dibayar sebagai dokter yang berada dalam masa pendidikan;
  2. Memperhatikan penyebaran proses pendidikan residensi dan fellow agar tidak kekurangan di berbagai daerah.

 

  Tujuan Seminar:

  1. Membahas kemajuan proses pemenuhan hak residen dan fellow sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran;
  2. Membahas peranan IDI dan Perhimpunan Dokter Ahli dalam pemenuhan hak residen dan fellow.
  3. Membahas bentuk gabungan antara University-based dengan Hospital-Based training untuk residen dan fellow dalam Academic Health System.

  AGENDA

Jam

Acara

Narasumber

08.00 – 08.30

Pendaftaran peserta dan coffee break

 

08.30 – 08.45

Pembukaan dan Pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

08.45 – 11.30

Sesi I

Apakah residen dan fellow merupakan dokter yang bekerja dalam pendidikan ataukah seorang siswa? Apakah ada Kemajuan dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran?

Pembicara:

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

materi   video

 

Pembahas Tahap I

dr. Ova Emilia, M.Med.Ed, PhD, Sp.OG( K) - AIPKI

 

  Prof. dr. H. Abdul Khadir, PhD, SpTHT/KL(A), MARS
(ARSPI - Direktur RS Dharmais)

 

 

dr. Kuntjoro A. Purjanto, MMR
(Ketua PERSI)

 

Diskusi I

Moderator : Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl. PH

video

 

Pembahas Tahap 2

Prof. DR. Dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K)
(Ketua MKKI – IDI)

 

 

Dr. R. Suhartono, SPB-KV
(Ketua IKABI Pusat)

 

 

dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS
(Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan

 

Diskusi II

Moderator : Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl.PH

video

 11.30 - 13.30

Sholat Jumat dan Makan siang 

 

13.30 – 15.00    

 

Sesi II

  1. Memahami proses perubahan yang diharapkan terjadi dalam hubungan antara RS Pendidikan dan Fakultas Kedokteran yang menyelenggarakan Pendidikan Spesialis dan Sub-Spesialis. Hasil dari Riset di:
    • RS Sardjito
    • RS Moewardi
    • RSCM
  2. Harapan di masa mendatang:
    • Scenario Academic Health System di Indonesia berdasarkan PP RS Pendidikan
    • Harapan untuk Badan PPSDM.

Fasilitator :

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD 

Pembicara :

Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl. PH

materi   video

 

Pembahas

dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS
(Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan)

 

 

Prof. DR. Dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K)
(Ketua MKKI – IDI)

 

 

Dr. M. Syafak Hanung, Sp.A (Direktur Utama RSUP dr. Sardjito)

15. 00 – 15.30

Penyusunan Agenda ke Depan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

15.30 – 16.00

Penutup

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

video

 

Reportase kegiatan

 

 

 

Peran perhimpunan profesi dalam sistem kesehatan di era BPJS dan Masyarakat Ekonomi ASEAN

Topik:
Peran perhimpunan profesi dalam sistem kesehatan
di era BPJS dan Masyarakat Ekonomi ASEAN

  PENGANTAR

Perhimpunan profesi (professional association, professional body, professional organization, or professional society) biasanya merupakan lembaga non-profit yang berfungsi mengembangkan profesi tertentu yang menjadi anggotanya, dan memenuhi interest masyarakat. Dengan kata lain Perhimpunan Profesi mempunyai Peran Ganda. Apakah tidak terjadi konflik antara 2 peran ini? Bagaimana agar mampu mengembangkan hal-hal yang menjadi keinginan anggotanya sekaligus memenuhi keinginan masyarakat. Keadaan ini menjadi situasi yang relevan di sektor kesehatan yang berada dalam era Kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat dan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Apa yang terjadi saat ini:

  • Dokter Indonesia tidak merata penyebarannya, terlebih untuk spesialis dan subspesialis. Hal ini mengakibatkan ketidak merataan manfaat pelayanan kesehatan yang dikelola BPJS;
  • Produksi dokter, khususnya yang spesialis dan subspesialis belum dapat memenuhi harapan masyarakat. Masih banyak masyarakat Indonesia yang mencari pelayanan kesehatan ke luar negeri untuk berbagai tindakan seperti kanker, bedah jantung, dan berbagai hal lainnya;
  • Pendidikan dokter spesialis dan sub-spesialis masih mengalami masalah luar biasa dalam hal kemampuan produksi dan sistemnya. UU Pendidikan Kedokteran di tahun 2013 yang berusaha mengembangkan hak dan kewajiban Residen dan Fellow belum berlaku efektif.

Seri seminar ini berfokus pada Perhimpunan Profesi dokter. Mengapa? Indonesia saat ini rentan untuk dimasuki spesialis dan dokter sub-spesialis asing dalam era MEA. Dalam situasi saat ini, sayangnya hubungan antara Perhimpunan Profesi, khususnya IDI dengan berbagai stakeholders seperti Kemenkes, perguruan tinggi kedokteran terlihat dalam suasana tidak harmonis. Sebagai gambaran ada perbedaan pendapat yang sampai ke pengajuan Yudisial Review di MK dalam kasus Dokter Layanan Primer. Terjadi perbedaan pendapat antar dokter yang sampai di akar rumput para dokter dan terus menjadi isu hangat, walaupun MK sudah memutuskan.

Dalam hal ini perlu perenungan lebih lanjut:

  • Sebenarnya apa peran Perhimpunan Profesi dalam Sistem Kesehatan yang saat ini berada dalam kebijakan JKN;
  • Bagaimana struktur dan hubungannya dengan stakeholders. Apakah IDI merupakan Union atau merupakan lembaga yang mengelola Pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis/Sub-spesialis, atau dua-duanya.
  • Apakah suasana hubungan yang tidak harmonis seperti ini terus dipertahankan dalam era MEA yang membutuhkan keterpaduan sebagai bangsa untuk menghadapi persaingan dengan bangsa lain.
  • Adakah kegiatan-kegiatan lain yang dapat meningkatkan peran Perhimpuan Profesi dan memperat sinergi dengan stakeholder lain untuk meningkatkan efektifitas system kesehatan.

Perenungan-perenungan ini membutuhkan jawaban mendalam, termasuk dengan penelitian. Dalam hal ini memang terlihat bahwa penelitian mengenai peranan Perhimpunan Profesi dalam sistem kesehatan belum banyak dilakukan.

  KEGIATAN YANG DIUSULKAN

Dalam situasi ini PKMK FK UGM merencanakan untuk mengembangkan diskusi secara serial untuk membahas peranan Perhimpunan Profesi dalam Sistem Kesehatan di era JKN dan MEA. Kegiatan berupa diskusi-diskusi dan pertukaran pikiran yang dilandasi semangat untuk memajukan bangsa melalui penguatan Perhimpunan Profesi dan pengembangan hubungan dengan seluruh stakeholders. Kegiatan pada kuartal 1 akan difokuskan untuk menghasilkan topik penelitian bagi mahasiswa S2 dan S3 Kebijakan dan Manajemen Kesehatan yang tertarik untuk meneliti isu ini.

  TUJUAN

  • Membahas peran Perhimpunan Professi dalam era JKN dan MEA;
  • Membahas berbagai kasus nyata kebutuhan Perhimpunan Profesi dalam system kesehatan;
  • Merancang agenda penelitian dan penyusunan proposal untuk memahami peranan perhimpunan ahli dalam system kesehatan.

 

Kegiatan Diskusi Kuartal 1 Tahun 2016

Ada berbagai kegiatan pada 4 bulan pertama di tahun 2016 yaitu:
Diskusi Pembukaan: Perbandingan struktur Perhimpunan Profesi antara Australia dengan Indonesia.
Senin 11 Januari 2016. Pukul 09.00 sd 11.00 Wib

Deskripsi:

Sesi ini merupakan pembukaan untuk seri diskusi mengenai peranan IDI dan Perhimpunan Professi di sistem kesehatan. Bahan yang dibahas adalah posisi dalam sistem kesehatan dan Struktur Perhimpunan Profesi. Secara khusus diskusi akan membahas perbedaan antara 2 negara: Australia dan Indonesia. Posisi Perhimpunan Profesi (termasuk Kolegium) akan dilihat dari fungsi universal yang ada, yaitu sebagai sebuah Union, dan sebagai organisasi pendidik dokter. Dalam konteks pendidikan, akan dibahas apa yang disebut sebagai University-Based dan Hospital-Based education. Latar belakang hukum dalam sistem kesehatan di masing-masing negara akan dibahas.

Pengantar Diskusi Perbandingan Struktur Perhimpunan Profesi antara Australia dengan Indonesia

video

Prof. Laksono Trisnantoro

materi

Pemaparan Topik Perhimpunan Profesi dalam Sistem Kesehatan di Era BPJS Kesehatan dan Masyarakat Ekonomi Asean

video

Prof. Laksono Trisnantoro

Pembahasan oleh Pembahas dari Perhimpunan Profesi

video

dr. Bambang Suryono Suwondo, Sp.An

Sesi Diskusi

bagian 1   bagian 2

 

ringkasan diskusi

 

  REFERENSI

Referensi dan berbagai yang dapat dibaca untuk lebih memahami Diskusi Pembukaan

  1. Situs resmi Australian Doctor Association ( https://ama.com.au/ )
  2. Situs resmi Royal Australian College of Surgeons ( http://www.surgeons.org/ )
  3. Situsresmi Royal Australian College of Pediatrics ( http://www.racp.edu.au/ )
  4. Situs resmi Ikatan Dokter Indonesia ( http://www.idionline.org/ )
  5. Situs resmi Kolegium Dokter Bedah Indonesia berada di situsweb IKABI (Ikatan Ahli Bedah Indonesia) yang berada di bawah IDI.
    http://www.ikabi.org/kolegium-ilmu-bedah-indonesia-kibi/ 

Tulisan-tulisan yang terkait hubungan Perhimpunan Profesi dengan prinsip-prinsip anti monopoli dan system hukum yang berusaha melindungi kepentingan masyarakat.

  1. Sebuah tulisan yang menyatakan Americal Medical Association merupakan lembaga kartel yang berperilaku monopolistic dapat di baca di bawah ini:
    http://www.colorado.edu/Economics/courses/econ2020/Unit8/Unit8-main.html 
  2. Salahsatu bahan dari Amerika Serikat tentang anti-trust yang berlaku di sector kesehatan
    https://www.healthlawyers.org/hlresources/Health%20Law%20Wiki/Antitrust.aspx 
  3. Kegiatan-kegiatan American Medical Association selalu mengacu ke hukum, termasuk Komisi Perdagangan Federal yang melindungi kepentingan publik. Silahkan baca di bawah ini:
    https://www.ftc.gov/news-events/press-releases/1996/04/american-medical-association 

 

Diskusi 1

  Diskusi 1:

Peran IDI di lapangan dalam kebijakan Internship.
Sabtu 16 Januari 2016, pukul 09.30 – 11.45.
Tempat: Kampus FK UGM

selengkapnya

Silahkan klik untuk mengikuti Diskusi-diskusi melalui Webinar dan Live Streaming

Reportase Sesi 3: Isu Prioritas

30design

Sesi ini menghadirkan empat pembicara dan satu pembahas. Di awal paparannya, Ign. Praptorahadjo menyampaikan gambaran secara umum situasi penaggulangan AIDS di tahun 2015 yang mengalami cenderungan penurunan dalam gerakannya . Praptorahardjo merupakan pembicara pertama untuk sesi ini. Beberapa agenda yang mendukung pada arah kebijakan tidak cukup mendapatkan respon. Situasi ini tidak terlepas dari berkurang dan berakhirnya bantuan pendanaan yang berkontribusi dalam upaya merespon kebijakan penanggulangan AIDS, seperti Global Fund, USAID, dan DFAT. Implikasi dari situasi ini adalah semakin berkurangnya sumber-sumber pendanaan yang dapat diakses oleh sektor komunitas yang selama ini kegiatannya lebih banyak di-support oleh Mitra Pembangunan Indonesia (MPI). Salah satu upaya yang sudah dilakukan untuk menyikapi situasi pembiayaan di sektor komunitas adalah dengan memberikan rekomendasi bagi Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas dalam mengembangkan kebijakan bagi pendanaan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).

Sementara itu, refleksi dari tiga agenda utama dalam kebijakan penanggulangan AIDS yang dilakukan melalui penelitian kebijakan, advokasi dan jaringan menunjukkan bahwa (1) Penanggulangan AIDS masih merupakan kegiatan yang bersifat sentralistik dan vertikal yang berfokus pada kebijakan nasional, sementara kebijakan daerah seringkali merupakan replikasi dari kebijakan di level nasional. (2) Sumberdaya dalam isu penanggulangan AIDS masih terbatas. Sektor komunitas lebih banyak melakukan peran pragmatis daripada peran strategis. Sama halnya dengan penelitian kebijakan AIDS cenderung dilakukan oleh peneliti saja, dan belum terintegrasi dengan isu pada kebijakan kesehatan yang lain. (3) Kebutuhan dari jaringan dalam website kebijakan AIDS belum dapat ditangkap secara jelas. Pengelolaan pengetahuan untuk kebijakan belum mendapatkan respon dan partisipasi yang positif dari hasil-hasil kerja jaringan yang dimungkinkan karena variasi dari kepentingan dan kebutuhan yang berbeda. Sebagai bagian dari penutup paparan, pemateri pada sesi ini menyampaikan agenda dan tantangan pada tahun 2016. Isu yang dikedepankan adalah masalah pembiayaan yang terkait dengan kebijakan pemerintah serta, perubahan skema pendanaan penanggulangan AIDS.

Pembicara kedua ialah konsultan senior PKMK FK UGM, yaitu dr. Sitti Noor Zaenab, M. Kes. Pelayanan KIA masih merupakan isu prioritas di Indonesia apalagi dengan melihat Hasil SDKI 2012, hal ini merupakan Isu lama yang tetap menjadi prioritas. Kedepan isu sudah akan berkembang yakni yang dulunya adalah Isu MDG's ke depan kita akan berfokus ke SDG'S dengan sederet target yang lebih ambisius, isu anggaran yang akan naik sebanyak 5% pada tahun depan, isu Jampersal kembali dengan bentuk yang baru, isu keberadaan rumah tunggu, isu APBD sudah diakomodir adanya konsultan (kalau dulu tidak ada) sehingga dimungkinkan adanya monev bersama. Ada juga isu Jamkesda yang akan hilang karena apabila masuk ke konsep jaminan kesehatan nasional (JKN) menjadi tidak luwes.

PKMK FK UGM pada tahun 2015 telah melakukan berbagai kegiatan terkait dengan masalah pelayanan KIA, terutama tentang ketersediaan dokter spesialis melalui kegiatan sister hospital dengan penguatan rumah sakit PONEK yang di mulai sejak tahun 2010 di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan berkembang saaat ini di Balikpapan, Pengembangan manual rujukan maternal dan neonatal yang dimulai sejak 2011 di NTT dan saat ini juga telah meluas dan dikembangkan juga Manual Rujukan KIA ke Kabupaten Mimika, Replikasi Manual Rujukan KIA ke DKI Jakarta sekaligus memperluas ruang lingkup hingga mencakup semua jenis rujukan dari Puskesmas dan Perbaikan mekanisme AMP di tiga Kabupaten NTT termasuk menyusun pedoman 10 langkah AMP.

Ditekankan pula bahwa kerangka konsep dalam manual rujukan bukan hanya rujukan emergensi namun juga elektif dan dalam penyusunannya PKMK sudah mengembangkan langkah penyusunan dan penerapan manual rujukan AMP dengan tidak lupa memasukkan komponen Pemda, karena sangat disadari bahwa masalah kesehatan tidak hanya harus diselesaikan oleh tenaga kesehatan saja sehingga sangat dibutuhkan peran pemerintah daerah. Dengan adanya peran ini sampai dengan tahun 2015 beberapa Kabupaten sudah berada pada tahap sudah menyusun manual rujukan yakni NTT, DIY, Jayapura dan Balikpapan. Ada pula yang saat ini pada tahap sedang menyusun yakni Kota Bontang Kaltim, Kabupaten Kutai Kartanegara Kaltim serta ada juga yang masih dalam tahap sosialisasi yakni Provinsi NTB. Provinsi Maluku dan Kab Mimika.

Hasil yang ada saat ini adalah bahwa angka kematian di tiga wilayah yang menjadi wilayah intervensi KIA oleh tim PKMK mengalami penurunan yakni DIY, NTT dan Balikpapan, terutama di DIY bahwa sekitar 50% target penurunan kematian sudah berhasil ditekan. Ini bukan merupakan suatu kebetulan saja karena sejak lima tahun terakhir upaya intervensi rutin dilakukan agar jumlah kematian dapat menurun. Output yang dihasilkan oleh Tim KIA PKMK FK UGM dalam menekan kematian ibu dan anak sudah cukup menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Prof Laksono Trisnantoro selaku pembahas dalam diskusi isu prioritas bahwa apakah kita sebagai konsultan KIA berguna? Apa bukti-buktinya (apa yang sudah terjadi selama proses pendampingan serta bagaimana dengan kematian?).

Pemaparan ketiga terkait social determinant of health (SDH) adalah setting kondisi sosial yang membuat orang tidak berdaya untuk menjadi sehat. Kebijakan upstream policy perlu dieksekusi dengan baik di bagian hilir. Modul kursus SDH dapat diperoleh dari web Intrect, serta sumber sumber lain yang relevan. Salah satu implementasi SDH di bangku kuliah pada 2015 di lingkungan UGM ialah kursus blended learning. Kursus blended learning tentang Social determinants of health tahap pertama telah dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2015. Peserta dari Indonesia (14), Vietnam (2), Thailand (1) Bangladesh (1) dan Timor Leste (2) mendiskusikan topik- topik social determinant of health dalam masalah-masalah kesehatan pada konteks lokal; kebiasaan minum beer di Vietnam dan Thailand, rendahnya penggunaan layanan maternal oleh ethnis minoritas Raglai di Vietnam, Dengue Fever di daerah kumuh di Dhaka, Domestic Violence dan Malnutrisi pada Balita di Timor Leste, bisnis periklanan terhadap obesitas di daerah perkotaan, pendidikan seks yang rendah di pesantren, bagaimana peran kyai sebagai model perilaku hidup bersih di pesantren, peningkatan demand dan supply maternal care, kegagalan maternal emergency care system , bullying di sekolah, underage Smokers , dan sulitnya akses pengobatan oleh penyandang tuna grahita di Yogyakarta.

Kebutuhan yang penting dan mendesak adalah menyediakan mentor atau supervisor yang tepat dan benar –benar mau terlibat untuk mengembangkan paper yang utuh dari abstrak- abstrak tersebut sebelum Postgraduate Forum 2016. Kendala yang dihadapi adalah koneksi internet yang tidak lancar dan penggunaan website yang belum maksimal. Goal kursus SDH di tahun 2016 adalah mengintregasikan SDH dengan kuliah S2 MPH, pelatihan SDH untuk aktor birokrasi dan dosen dosen muda (Ahok case learning), membuat web yang lebih menarik dan interaktif, akomodasi dan fasilitasi untuk publikasi manuskrip SDH, Travel Fellowship untuk seminar internasional dan kursus SDH spesifik untuk dosen IKM dan FKM serta menciptakan network yang baik antara peserta dan fasilitator serta institusi lain yang terlibat.

Sebagai pembicara terakhir, dr. Luthfan Lazuardi, MPH memaparkan sejumlah hal terkait electronic health (e-health). Ada berbagai definisi yang berbeda mengenai e-health, namun ada beberapa kata kunci yang sama yaitu Information and Communication Technology (ICT) yang digunakan untuk bidang kesehatan, apapun aktivitasnya. Kata kunci yang sering digunakan di literatur terdahulu adalah sistem informasi kesehatan. Namun sejak tahun 2005, WHO kemudian menggunakan kata e-health untuk merujuk pada sistem informasi dan komunikasi di kesehatan. Posisi e-health sebenarnya ada di semua komponen sistem kesehatan. Sehingga harapannya dengan difasilitasi oleh e-health, sistem kesehatan dapat berjalan lebih efektif dan fungsional. Berbagai aktivitas yang sudah dilakukan misalnya untuk memfasilitasi pelayanan kesehatan di puskesmas. Sudah ada 200 lebih puskesmas yang menggunakan sistem yang kita kembangkan. Di level nasional, mungkin sudah ada sekitar seribu lebih puskesmas yang telah difasilitasi oleh e-health.

Salah satu manfaat e-health adalah data dapat lebih mudah dipahami dengan visualisasi yang lebih menarik, pelaporan juga akan lebih mudah dikerjakan. Awal tahun 2007, PKMK mengembangkan dashboard KIA, yang mana menjadi salah satu tonggak sejarah dimana kemudian banyak inovasi visualiasi data kesehatan dikembangkan. Benefit lain yang sebenarnya sangat potensial namun belum banyak dimanfaatkan adalah data yang sudah terkumpul tidak dianalisis lebih lanjut selain untuk pelaporan. Ibaratnya kaya data tapi miskin informasi.

Di level global, paradigma pemanfaatan ICT terus berubah. Pada tahun 80-an tren di negara maju berfokus pada administrasi dan manajemen, misalnya pengembangan billing system untuk rumah sakit. Namun, ketika itu dirasa sudah mapan, pemanfaatan mulai mengarah untuk petugas kesehatan, seperti pembuatan clinical information system, laboratorium information system, sistem untuk nerumerasi dan penghitungan jasa medik. Isu di masa depan akan lebih mengarah ke patient-safety. Isu yang berkembang sekarang pelayanan kesehatan akan mengarah ke personalised medicine, pervasive & ubiquitus health, wearable devices, well-being, dan UHC. Namun, mungkin ini belum kita alami untuk konteks di Indonesia, setidaknya kita masih berfokus ke manajemen.

Pembahasan disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD menegaskan apa kita (konsultan) berguna untuk klien dan masyarakat atau hanya proyek saja? Rekan-rekan PKMK harus berguna untuk masyarakat luas. Hal yang terpenting ialah konsultan PKMK bukan merupakan kelompok konsultan pedagang ilmu.

Dr. dr. Mubasysyr Hasanbasri menyatakan pendapatnya berpikir adalah proses lateral thinking, sehingga sebagai konsultan, kita harus bisa membangun kapasitas lingkungan atau klien. Pasar kita sangat banyak, kita bisa membangun sistem konsultasi yang melahirkan manajer yang efektif. Jangan sampai terjebak dengan membantu orang dalam kepemimpinan yang tidak efektif. Kita harus membangun kapaitas oorang tersebut. Kapasitas manajemen dalam organisasi, Sehingga, uutlook menurut saya ialah apa yang bisa dikerjakan berbeda di tahun depan dan mencari opsi yang berbeda.

Diskusi

Atik Tri Ratnawati menanyakan poin pertama untuk kelompok pencegahan HIV/AIDS, apakah bisa dibentuk gerakan social baru di wilayah 3T angka HIV AIDSnya luar biasa, dari ketidaktahuan, migrasi, banyak pendatang di perbatasan. Jika kebijakan di nasional dan daerah tidak berdaya, jika ada gerakan baru Pusat akan tergerak untuk berubah. Kebijakan bisa di provinsi/kabupaten. Poin kedua untuk SDH perlu disebarluaskan ke mahasiswa S1, S2 dan S3. Banyak masalah kesehatan yang tidak bekerja dengan baik karena hambatan budaya.mengapa orang tidak mampu berdaya karena kesehatan?

Ign. Praptorahardjo menegaskan bahwa gerakan pencegahan penularan HIV/AIDS ini berbeda dengan gerakan lain, fokus kita pada populasi kunci, akhirnya melupakan masyarakat umum. Dulu, masyarakat umum dianggap tidak penting. Saat ini HIV sudah menular ke ibu-ibu yang dianggap beresiko rendah. Usulan ibu Atik sangat relevan untuk kembali ke dasar. Maka, kembali ke daerah menjadi sangat strategis karena lokalitas. Sayangnya, template nasional digunakan di daerah, hal ini kurang sesuai dengan situasi daerah lokal.

Retna Siwi Padmawati sepakat dengan pendapat Atik. Sekitar 50 universitas FKM dan IKM hanya 1-2 yang memberikan SDH ke dalam kurikulum pembelajarannya. Seharusnya SDH ini masuk juga ke fakultas ilmu sosial dan humaniora. Mulai tahun depan SDH akan dikenalkan ke bangku kuliah. Di Kemkes, SDH siapa yang menangani? Dulunya ada, sekarang dipindah ke Promkes.

• Tim reporter:
Swasti Sempulur; Andriani Yulianti, MPH; Yuli Mawarti, MPH; Mohamad Ali Rosadi; Widarti, SIP

{jcomments on}

Reportase Panel 2 : Isu Prioritas

30des-3

Dalam sesi ini, terdapat empat pembicara dan satu pembahas. Tema pertama yang dipaparkan ialah regulasi ke5sehatan. Era saat ini semakin banyak isu-isu yang berkembang dibidang kesehatan. Khalayak umum belum sepenuhnya paham apakah isu-isu yang beredar saat ini termasuk dalam politik kesehatan atau tidak. Sepanjang tahun 2015 telah disusun dan disahkan sebanyak 109 regulasi kesehatan dalam berbagai jenis produk hukum. Regulasi kesehatan itu sendiri adalah seperangkat aturan tertulis bidang kesehatan yang dibuat oleh badan legislatif maupun stakeholder terkait yang tujuannya untuk mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan kesehatan di Indonesia.

Regulasi dalam hukum kesehatan di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu Regeling dan Beschikking. Regiling sifatnya lebih kepada peraturan, lebih pantas diterapkan di Indonesia karena politik hukum kesehatan di Indonesia sangat tinggi. Regeling ini karena sifatnya peraturan sehingga sulit dalam proses penyusunannya. Sedangkan untuk Beschikking lebih kepada penetapan, di Indonesia kemungkinan kecil bisa diterapkan, karena sifatnya adalah penetapan. Beschikking dalam proses penyusunannya lebih mudah.

Politik hukum kesehatan, yang nantinya akan menjadi hukum kesehatan merupakan kajian hukum yang mencoba untuk memeberikan gambaran yang lebih luas tentang eksistensi sistem hukum, terutama di bidang kesehatan. Melalui pendekatan politik hukum diharapkan hukum dapat berfungsi secara efektif, dipatuhi dan diterapkan dalam tindakan aktual sehari-hari.

Dalam akhir penyampaian materi diberikan contoh pada Politik hukum kesehatan terutama untuk rokok dan asuransi kesehatan. Beberapa produk hukum dan sejumlah Undang-undang mengatur tentang rokok dan asuransi kesehatan, apakah regulasi semua produk hukum yang sudah diterbitkan efektif diterapkan? Apakah ada pro dan kontra didalamnya?. Secara keseluruhan belum semua regulasi produk hukum berjalan dengan sebagimana mestinya. Masih perlu pengawalan yang baik untuk implementasinya.

Dalam sesi diskusi ini ada beberapa pertanyaan terkait regulasi kesehatan, diantaranya membahas mengenai kecenderungan IDI yang melakukan pendekatan hukum untuk mencari solusi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sistem pemerintahan di Indonesia MK diberi kewenangan untuk melihat dan mengawasi badan-badan legislatif apakah bekerja sesuai dengan aturan atau tidak. Keberadaan MK juga dimanfaatkan oleh perorngan atau lembaga untuk melakukan Yudisial Riview. Dalam Yudisial Riview ini melihat apakah peraturan yang dilaksanakan dilapangan efektif dibuat berdasarkan dengan hirarki peraturan sebelumnya. Untuk konteks IDI itu sendiri sebaiknya harus melihat apakah aturan yang dilakukan sudah.

Petanyaan kedua dalam sesi diskusi ini mengenai bagaimana menggunakan politik hukum agar rencana yang ada sudah bisa berjalan, terutama untuk regulasi mutu pelaynan kesehatan. Politik hukum untuk melihat apakah peraturan terimplementasi dengan baik atau tidak. Masalah yang berkaitan dengan hukum harus diselesaikan, jika tidak maka akan terjadi umpan balik.

Pembicara kedua ialah Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS, salah satu pengajar di Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM. Andreasta mengawali pemaparan dengan penekanan bahwa SDMK kesehatan merupakan salah satu komponen penting dalam roda sistem kesehatn, karena SDMK merupakan penggerak suatu sistem dan, dengan segala keunikan yang ada, dapat mempengaruhi dinamika sistem kebijakan dan manajemen kesehatan baik dalam skala nasional maupun global. Sepanjang tahun 2015, dunia SDMK dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan yang oleh narasumber digolongkan menjadi lima kelompok kegaduhan, diantaranya: kegaduhan laten (seperti permasalahan distribusi dan retensi SDMK serta dual job holding), kegaduhan terlokalisir (seperti permasalahan terkait kompetensi SDMK dalam memberikan pelayanan maupun kesenjangan kompetensi dalam upaya sistem rujukan), kegaduhan yang besar melalui media sosial (isu terkait remunerasi, gratifikasi, dan jaminan keselamatan SDM), kegaduhan sistemik (permasalahan terkait implementasi dokter layanan primer), dan kegaduhan yang seharusnya muncul ke permukaan (isu terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN [MEA]).

Pada tahun 2015 sendiri, berdasarkan empat pilar SDMK, arah kebijakan dan gerakan masih berputar dalam arus pemenuhan kebutuhan SDMK di Indonesia, namun belum maksimal dalam memikirkan bagaimana distribusi, kompetensi, dan kinerja dari SDMK tersebut. Status Indonesia sendiri sebenarnya telah keluar dari krisis tenaga kesehatan sejak 2010, dengan rasio 2,63 tenaga kesehatan per 1000 penduduk. Sehingga secara makro, kebutuhan SDMK dalam mendukung implementasi JKN sudah terpenuhi. Namun perlu menjadi catatan bahwa saat ini 50% tenaga kesehatan tidak dihasilkan dari universitas yang terakreditasi, sehingga isu keterampilan tenaga kesehatan, terutama mengenai tugas primer sebagai gate keeper, masih menemui banyak permasalahan.

Perkembangan isu terkait dengan SDM kesehatan di tahun 2016 tidak akan terlepas dengan isu tahun sebelumnya, mengingat masih banyaknya permasalahan di tahun 2015 yang belum menemukan solusi yang efektif. Garis besar utama kebijakan dan manajemen SDMK tahun 2016 terletak pada persiapan SDMK dalam menghadapi MEA. Upaya persiapan ini perlu difokuskan pada distribusi, kompetensi, dan kinerja SDMK. Perencanaan SDMK ke depan diharapkan tidak hanya memperhitungkan gap, namun juga sudah mulai mempertimbangkan hal esensial lain seperti cost. Pada tahun 2016 ini juga, oleh narasumber, diharapkan dapat menjadi tahun komunikasi dan koordinasi terkait permasalahan-permasalahan yang masih menjadi perdebatan sistemik, seperti permasalahan terkait implementasi dokter layanan primer. Sebagai penutup, narasumber memberikan beberapa rekomendasi sebagai bahan outlook 2016, diantaranya: penuntasan isu dokter layanan primer dan revitalisasi Country Coordination and Facilitation (CCF) oleh pemerintah, peningkatan kualitas dalam memastikan kompetensi SDMK untuk sesuai dengan kebutuhan layanan, transformasi isu SDMK menjadi regulasi, pengembangan remunerasi di rumah sakit dengan melibatkan dokter spesialis, serta inisiasi aksi dalam rangka mempersiapkan SDMK menghadapi MEA.

Pembicara ketiga ialah Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes. Dwi Handono menyampaikan pembahasan salah satu isu prioritas yang disoroti dalam forum diskusi tersebut mengenai contracting out. Kaleidoskop contracting out 2015 yang dikemukakan pada kegiatan ini menggambarkan bahwa sistem kontrak yang kini diterapkan berfokus pada sistem kontrak lembaga, bukan lagi kontrak individu, sesuai dengan Continuum of Contracting Framework dalam resolusi World Health Assembly ke-56 pada tahun 2003. Mekanisme contracting out sebenarnya telah dikenal di Indonesia sejak tahun 2005, meski sempat stagnan hingga dijalankannya koordinasi pelayanan kuratif dengan kontrak lembaga dalam bentuk sister hospital di NTT pada tahun 2010 yang kemudian diikuti sistem yang sama di Balikpapan pada tahun 2015. Salah satu hambatan pengembangan sistem sister hospital adalah sulitnya dilakukan replikasi program tersebut di wilayah lain. Replikasi dalam skala kecil yang dilakukan di Balikpapan dapat berjalan karena pendanaan dalam proses kontrak bersumber dari APBD, namun penerapan dengan APBN masih belum mungkin dilakukan pada saat ini. Desentralisasi fiskal yang akan terus meningkat pada tahun 2016, termasuk untuk sektor kesehatan, diharapkan dapat memberikan peluang dilakukannya aplikasi sistem kontrak tersebut.

Dwi Handono menyatakan bahwa pada tahun 2016, penerapan contracting out diperkirakan tidak akan mengalami penurunan, namun perlu dicermati hal-hal yang dapat menghambat implementasinya. Di daerah, sistem kontrak lembaga cenderung masih kurang digemari akibat masih terlalu mahalnya alokasi dana yang diperlukan untuk menunjang ide tersebut. Selain itu, permasalahan juga timbul akibat belum optimalnya pemanfaatan otoritas puskesmas BLUD serta belum adanya mekanisme swakelola BOK Non Fisik oleh puskesmas yang dinilai akan dapat mengakomodir kebutuhan puskesmas untuk melakukan contracting out individu secara langsung. Di pusat, permasalahan pada isu contracting out terfokus pada ketersediaan dana namun kurangnya pemanfaatan dana yang menyebabkan terus meningkatnya jumlah anggaran yang tidak terserap. Masalah tersebut akan dapat teratasi apabila dilakukan revisi menu APBN serta pemanfaatan peluang dana donor agency.

Pembicara terakhir ialah dr. Bella Donna, M. Kes. Apa saja bencana yang terjadi pada tahun 2015? Kejadian Bencana yang terjadi pada tahun 2015 didominasi oleh bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan. Bencana kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan merupakan bencana yang paling besar dampaknya pada tahun 2015 ini. Bencana asap menyebabkan kerugian lebih dari 200 trilyun (Center for International Forestry research). Bencana asap telah menyebabkan 425 ribu orang mengalami ISPA di tujuh provinsi di Indonesia.Kejadian bencana yang terjadi tidak murni disebabkan oleh alam, tetapi lebih disebabkan ulah manusia. Kejadian yang berulang karena rendahnya law enforcement kepada pelaku-pelaku yang menyebabkan terjadinya bencana.

Banyaknya kejadian bencana di Indonesia membutuhkan upaya peningkatan kesiapsiagaan sektor kesehatan dalam penanggulangan bencana. Namun, kesiapsiagaan sektor kesehatan (Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan Puskesmas) dalam penanggulangan bencana masih rendah. Kebijakan penanggulangan bencana mengalami perubahan paradigma dari respon bencana menjadi pengurangan risiko bencana.

Kebijakan dan manajemen bencana sektor kesehatan di tahun 2015 lebih banyak berfokus pada fase bencana seperti kebijakan penyusunan klaster kesehatan dalam penanggulangan bencana, peningkatan kesiapan petugas untuk penanggulangan bencana, penyusunan rencana penanggulangan bencana di daerah dan rumah sakit, Kegiatan fase respon bencana fokus pada penanggulangan bencana asap di Sumatera dan Kalimantan, sementara issu pentingnya disaster surveillance pasca bencana belum terlaksana belum diperhatikan.

Bagaimana dengan outlook tahun 2016? Prioritas kebijakan manajemen bencana kesehatan pada tahun 2016 masih berfokus pada pengurangan risiko bencana sesuai dengan Sendai Framework. Prioritas kebijakan masih berfokus kepada penyusunan pedoman klaster kesehatan dalam penanggulangan bencana. Rencana Penanggulangan bencana di daerah dan rumah sakit masih menjadi issue utama terkiat dengan Permenkes No. 64 Tahun 2013, dimana Kabupaten harus memiliki Call Center dan Rumah Sakit memiliki Hospital Disaster Plan.

Sesi Diskusi

Dalam menyikapi pembahasan isu penting terkait regulasi kesehatan, SDM kesehatan, contracting-out, dan manajemen bencara, maka sebagai rangkaian dari kegiatan "Refleksi 2015 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2016" dilaksanakan sesi diskusi mengenai tema-tema tersebut dengan menghadirkan seluruh panelis dan Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA. sebagai pembahas.

Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan sebelumnya, pembahas menggaris awahi dua topik besar. Pertama adalah bahwa seluruh audiens perlu untuk memisahkan mindset pemecahan masalah dalam perspektif ilmu manajemen dan ilmu kebijakan. Ilmu manajemen menyelesaikan permasalahan ketika masalah tersebut masih kecil, sementara ilmu kebijakan mencoba untuk menyelesaikan permasalahan saat masalah tersebut sudah menjadi besar. Pada dasarnya ketika permasalahan tersebut sudah besar, maka akan semakin sulit untuk terselesaikan. Pembahas ingin menekankan bahwa pemecahan isu prioritas akan lebih mudah apabila perumusan solusi sudah dimulai ketika isu tersebut masih kecil.

Sulitnya pemecahan masalah saat ini salah satunya disebabkan oleh belum adanya manajer yang efektif. Saat ini manajer yang duduk di stakeholders sebagian besar masih diisi oleh SDM yang belum dapat mengimplementasi ilmu manajemen dengan baik. Manajer cenderung tidak peka terhadap permasalahan dan bahkan tidak mau menyelesaikan permasalahan yang ada. Pembahas berharap PKMK untuk dapat memfasilitasi para manajer agar dapat mengimplementasi ilmu manajemen dengan baik melalui berbagai pelatihan.

Poin kedua yang ditekankan pembahas adalah kebutuhan akan eksekutor yang dapat menjalankan fungsi manajemen dan kebijakan secara efektif. Banyaknya benturan pengambilan keputusan, baik di bidang manajemen dan kebijakan, memerlukan SDM yang tangguh dan konsisten dalam upaya penanaman manajemen dan kebijakan yang dirasa benar. Sangat penting ke depan untuk memikirkan bagaimana agar PKMK dapat melahirkan banyak eksekutor yang baik dan mereplikasinya agar di setiap tingkatan stakeholder kesehatan diisi oleh SDM yang dengan kategori tersebut.
Sesi diskusi ini sendiri mengakomodir beberapa pertanyaan yang muncul dari audiens. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. mengemukakan pendapat terkait ada tidaknya studi perilaku hukum di Fakultas Hukum (FH) UGM, mengingat saat ini lembaga kesehatan lebih sering menggunakan judicial review sebagai upaya meninjau ulang kebijakan yang telah diputuskan. Laksono juga menyikapi statement pembahas dengan memberikan gambaran bahwa selain eksekutor yang baik, konsultan teknis merupakan salah satu elemen penting lain dalam pengambilan kebijakan. Menanggapi hal tersebut, Rimawati menjelaskan bahwa FH sampai saat ini masih belum memiliki penelitian mengenai law enforcement di bidang kesehatan. Saat ini permasalahan hukum terkait kesehatan cenderung berkutat dengan Undang-Undang yang telah disahkan oleh legislatif, sehingga untuk me-review-nya diperlukan pengajuan di tingkat yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK). Setiap warga negara berhak untuk melakukan judicial review di MK apabila memenuhi kaidah persyaratan. Masih banyaknya permasalahan pasca keputusan MK kadang lebih disebabkan oleh pengambil kebijakan di tingkat yudikatif yang tidak jarang belum memahami sepenuhnya mengenai substansi yang di-judicial review-kan.

dr. Hanevi Djasri mengajukan pertanyaan dengan menggali terkait bagaimana penggunaan politik hukum dalam penyusunan regulasi serta bagaimana upaya implementasi isu agar dapat menjadi regulasi. Menanggapi hal tersebut, Rimawati menjelaskan bahwa politik hukum secara garis besar melihat produk perundangan untuk dapat diimpementasikan atau tidak. Politik hukum merupakan salah satu cara agar regulasi dapat terimplementasi dengan baik. Dalam mengupayakan politik hukum memerlukan dukungan data empiris yang mendukung agar upaya politik hukum yang dijalankan dalam upaya pengembangan sebuah regulasi. Sementara itu, menanggapi pertanyaan kedua, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes. MAS. menjelaskan bahwa upaya pengembangan isu menjadi regulasi sendiri saat ini banyak mengalami benturan. Secara umum, benturan tersebut berupa ketidak jelasan keputusan, terbentur peraturan, dan persepsi. Sebagai contoh, PKMK UGM pada tahun 2013 mengusulkan agar semua dokter yang dikirim ke daerah terpencil perlu diasuransi. Namun ketika dilacak lebih dalam, hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini tidak lepas dari status yang tidak jelas apakah dokter tersebut berstatus mahasiswa atau sudah disebut pekerja. Panelis mengusulkan bahwa perlu ada upaya bersama untuk menganggap setiap dokter yang dikirim agar berstatus pekerja. Pengembangan isu menjadi regulasi sendiri juga tidak lepas dari kuat tidaknya eksekutor dalam memperjuangkan isu tersebut, mengingat saat ini setiap isu yang akan dijadikan regulasi sering menghadapi tembok besar. Kemampuan advokasi merupakan hal yang penting dikuasai oleh eksekutor dalam memperjuangkan isu tersebut hingga tingkat stakeholders.

• Tim reporter:
Elisa Sulistyaningrum, MPH; dr. Haryo Bismantara; dr. Herindita Puspita, Oktomi Wijaya, MPH

 

Reportase Panel 1 : Kebijakan Pembiayaan Kesehatan / JKN

30des-2

Pada sesi pertama ini, terdapat empat pembicara dan satu pembahas yang akan membedah tema pembiayaan kesehatan di Indonesia.

Kebijakan pembiayaan kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional merupakan topik yang dibahas pada panel 1 – outlook kebijakan dan manajemen kesehatan tahun 2015. Sebagai moderator panel 1; dr. Yodi Mahendradhata, MSc, Ph.D terlebih dahulu telah memaparkan mengenai kerangka konsep yang akan dijelaskan lebih lanjut melalui beberapa subtopik berikutnya. Salah satu modifikasi pada kerangka konsep WHO untuk program JKN di Indonesia adalah menambahkan aspek kepesertaan di dalamnya.

Salah satu subtopik mengenai purchasing, pooling, dan supply side disampaikan oleh dr. Tiara Marthias, MPH, Kepala Divisi Public Health, PKMK FK UGM. Selama 2 tahun berlangsungnya program JKN, sejauh mana kesiapan layanan primer dan keberlangsungan sistem pembiayaan UKM menjadi bagian dari isu utama yang ditekankan oleh dr. Tiara. Adanya pertumbuhan kepesertaan JKN yang signifikan perlu mempertimbangkan bagaimana pemerataan pemanfaatan pelayanan kesehatan di daerah. Hal ini tidak lain juga akan berdampak terhadap keberlangsungan pembiayaan program JKN di tengah kemungkinan defisit JKN yang semakin tinggi di tahun 2016.

Apakah proyeksi defisit JKN yang naik menjadi 6,8 T di tahun 2016 akan terjadi? Selama minimnya penguatan UKM, tingginya adverse selection, dan koordinasi antar lembaga belum tertangani dengan baik maka bukan tidak mungkin akan berkontribusi terhadap proyeksi defisit tersebut. Keberlangsungan program JKN, perbaikan sistem kesehatan, kompleksitas sistem pendanaan kesehatan dan integrasi Jamkesda menjadi bagian utama kaleidoskop 2015 untuk perbaikan pembiayaan kesehatan di tahun 2016.

dr. Tiara menekankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjawab tantangan dan peluang di tahun 2016 mendatang yaitu mengenai riset implementasi kebijakan pembiayaan kesehatan dan knowledge management baik di tingkat pusat dan daerah.

Hadir sebagai pembicara kedua yaitu Niluh Putu Eka Andayani, Kepala Divisi Manajemen Rumah Sakit, PKMK FK UGM. Di tahun 2015, penyedia layanan kesehatan belum bisa memenuhi standar yang diharapkan baik pada aspek aktivitas pelayanan maupun aktivitas pendukung. RS cenderung berminat pada klaim BPJS dengan meningkatkan kelas RS, dimana klaim kelas RS yang lebih tinggi pada kelas yang lebih atas. Walaupun pada sisi supply pertumbuhan rumah sakit cukup tinggi terutama di Jawa sementara di daerah Indonesia Timur sangat kurang, terutama adalah RS swasta for profit yang membuktikan bahwa sektor swasta berminat pada bisnis RS dengan segala isu pembiayaan JKN. Di samping itu, tantangan RS antar lain berupa akreditasi RS, sistem rujukan di era JKN, BLUD dan MEA yang belum terantisipasi dengan baik.

Pada 2016 yang akan datang seharusnya RS tidak hanya berfokus pada klaim BPJS tapi juga harus pada peningkatan mutu manajemen pelayanan baik di aspek aktivitas layanan maupun aktivitas pendukung. Mengembangkan layanan unggulan berbasis pada kebutuhan masyarakat pelanggan, pengembangkan clinical leadership, dan perbaikan tim klinis yang multi disiplin profesi menjadi contoh area yang harus diperbaiki. Selain hal tersebut pada aktivitas pendukung perlu dikembangkan antara lain aspek sistem informasi manajemen maupun lean manajemen yang bertujuan untuk efisiensi.

Pembicara ketiga ialah dr. Hanevi Djasri, MARS, Kepala Divisi Mutu Pelayanan Kesehatan, PKMK FK UGM. Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional, naik atau turun? Hal ini menjadi Renungan 2015 dan harapan 2016 Divisi Manajmen Mutu PKMK FK UGM. Hasil Perenungan ini menghasilkan empat poin penting yaitu: 1) Perubahan mendasar dalam sub-sistem pembiayaan masih tidak diikuti dengan perubahan mendasar pada sub-sistem yang lain dalam SKN termasuk regulasi mutu pelayanan kesehatan, 2) Mutu pelayanan kesehatan masih belum benar-benar diukur secara sistematis dan nasional, 3) Akses dan efisiensi masih merupakan dimensi mutu yang paling sering dibicarakan, meninggalkan dimensi lain: efektivitas, akseptabilitas dan keadilan serta keselamatan, 4) Fraud dalam pelayanan kesehatan muncul sebagai salah satu masalah yang berpotensi mengancam hampir seluruh dimensi mutu.

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, dari 6 Sub-Sistem SKN yang ada pada Sistem Kesehatan Nasional (Ppres 72 tahun 2012) diantaranya: 1) upaya Kesehatan, 2) pembiayaan kesehatan, 3) sumber dana manusia kesehatan, 4) obat dan perbekalan kesehatan, 5) pemberdayaan masyarakat, 6) manajemen kesehatan. Dari 6 sub-sistem SKN tersebut didominasi oleh pembiayaan kesehatan dibandingkan dengan sub-sistem lainnya, lima sub-sistem lainnya belum terlalu banyak dibahas atau tersentuh atau mengalami perubahan. Tidak ada perubahan mendasar dalam sub sistem pembiayaan dan tidak diikuti dengan perubahan mendasar pada regulasi mutu pelayanan kesehatan, contohnya, tidak ada national quaity framework, fasilitas kesehatan berbondong-bondong untuk menaikkan kelas untuk meningkatkan tarif yang tidak disertai peningkatan mutu. Selain itu tidak ada perubahan mendasar dalam pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan.

Sebenarnya sudah ada lima regulasi untuk peningkatan mutu, namun dari kelima regulasi tersebut hanya ada satu regulasi yang banyak disoroti saat ini yaitu masalah price, empat regulasi lainnya seperti quality and safety, quantity and diffusion, public information and media, entri to market belum banyak disoroti. Saat ini WHO juga sudah mengeluarkan dimensi kesehatan, sudah diukur, namun masih terpisah-pisah dari dimensi lainnya, dimensi lainnya seperti efektivitas belum diukur padahal sebenarnya data tersebut ada dan bisa dianalisis.

Dari renungan ini diharapkan ada perbaikan ke depan, jika tidak dikhawatirkan tahun berikutnya masalahnya akan sama, yaitu akan terjadi ketimpangan yang semakin melebar. Penutup presentasi dr. Hanevi Djasri MARS menekankan bahwa untuk mencapai UHC/pelayanan kesehatan bermutu sesuai kebutuhan tanpa beban finansial, membutuhkan adanya regulasi mutu pelayanan kesehatan yang dapat memastikan tercapainya ke-6 dimensi mutu.
Sebagai pembicara keempat, dr. Guardian Sanjaya, MSc memaparkan sejumlah kaitan pelayanan kesehatan dan sistem informasi kesehatan di Indonesia. Berbicara JKN, maka kita wajib bicara BPJS Kesehatan, rumah sakit, peserta dan regulator. Dua tahun program JKN berjalan menuntut stakeholder memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan. Sejak diberlakukan program JKN, timbul masalah mulai dari meningkatnya jumlah peserta yang menikmati fasilitas kesehatan, waktu tunggu pasien makin panjang, sistem rujukan belum optimal, munculnya potensi fraud dan sebagainya.

Dunia teknologi menjadi salah satu solusi. Sistem informasi merupakan alat bantu untuk mengubah proses. Pada diskusi outlook dan kaleidoskop yang diselenggarakan PKMK FK UGM, dr. Guardian Sanjaya, MSc mengungkapkan ada 3 isu yang berkaitan dengan sistem informasi kesehatan (Simkes) di era JKN: 1) Adopsi sistem informasi di organisasi kesehatan (Faskes, BPJS,Dinkes, dan Kemenkes); 2) Integrasi dan interoperabilitas antar sistem; dan 3) Penyediaan data sekunder untuk monitoring, evaluasi, penelitian.

Teknologi memudahkan stakeholders untuk mengevaluasi program JKN. Evaluasi meenggunakan data sekunder yang tersimpan di sistem informasi BPJS Kesehatan. Kenyataannya data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan susah diakses oleh Kemenkes apalagi akademisi. Secara tegas, dapat disimpulkan tidak ada akuntabilitas. BPJS Kesehatan akan menjadi organisasi yang kaya akan data, ada jutaan transaksi data tiap bulan. Berkembangnya program JKN akan menuntut stakeholders mengembangkan dan memanfaatkan media sistem informasi. Pelajaran yang bisa dipetik dengan adanya JKN yaitu: 1) Adopsi sistem informasi di Faskes meningkat; 2) Kebutuhan penggunaan standar data kesehatan untuk mendukung integrasi dan interoperabilitas; 3) Penyediaan data sekunder untuk publik (peneliti, lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah); dan 4) Kebijakan ehealth nasional.

Sesi Diskusi Panel 1

Setelah pemaparan 4 subtopik kebijakan pembiayaan kesehatan, sesi diskusi diawali dengan pembahasan oleh Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes yang menekankan bahwa ada tiga poin utama dalam pencapaian Universal Health Coverage (UHC) yaitu kepesertaan, pembiayaan, dan manfaat (benefit package). Dalam mendukung paket manfaat, beberapa kajian menunjukkan masih banyak Puskesmas yang mengalami penurunan dukungan pembiayaan daerah untuk pengadaan obat setelah ada kapitasi. Penguatan promotif preventif pun perlu menjadi perhatian, bahkan ada negara lain yang HMO-nya melakukan subkontrak untuk melakukan fungsi tersebut.

Dampak terhadap mutu dengan adanya sistem pembiayaan yang mendominasi sistem kesehatan di Indonesia patut dipertimbangkan. Menurut Ibu Julita, validitas data untuk monev JKN juga memerlukan reformulasi kebijakan. Beberapa topik tersebut juga diutarakan oleh Bapak Dwi, Ibu Zaenab, dan Ibu Sasi dalam sesi tanya jawab. Bapak Hanevi menambahkan bahwa pengukuran indikator mutu berdasarkan data yang ada dan diikuti dengan penggunaan clinical pathway dapat meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan program JKN.

dr. Tiara dan Bapak Dwi juga sependapat bahwa outlook pemerintah pusat dan daerah perlu dipertimbangkan dalam perbaikan sistem pembiayaan kesehatan. dr. Tiara juga menanggapi pertanyaan Ibu Zaenab bahwa kuota/ mapping faskes bukan hanya dialami oleh rumah sakit, melainkan juga fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang menjadi mitra BPJS Kesehatan. Menurut Ibu Putu, ketersediaan RS yang mempertimbangkan rasio tempat tidur (TT) terhadap jumlah penduduk tidak dapat disamaratakan di setiap daerah, karena akses dan kondisi politis juga patut menjadi perhatian tersendiri, termasuk dalam penerapan lean management dan membangun kemitraan antara BPJS Kesehatan (purchaser) dan rumah sakit (provider).

Peran sistem informasi dan manajemen kesehatan juga tidak dapat dipisahkan dalam memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan. Menurut Guardian, bridging primary care (p-care) dan Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) bahkan bisa dilakukan oleh BPJSK tanpa melibatkan Kemenkes. Peluang big data di BPJS Kesehatan sangat penting untuk diikuti dengan feedback ke daerah, sehingga daerah tidak hanya diposisikan dalam entry data, melainkan dapat mem-pooling dan memanfaatkan data di tingkat daerah. Sependapat dengan hal ini, Ibu Julita juga menegaskan bahwa peran sistem dan regulasi perlu menjadi perhatian utama untuk perbaikan program JKN, terlebih di tengah masih rendahnya angka kontak peserta JKN dalam upaya penyehatan masyarakat.

*Tim reporter:
Budi Eko Siswoyo, MPH; Tri Yuni Rahmanto, MPH; Armiatin, MPH; dan Eva Tirtabayu Hasri, MPH

{jcomments on}

  • angka jitu
  • togel 4d
  • agen togel
  • slot 4d
  • bandar toto 4d
  • togel 4d
  • togel online
  • rajabandot
  • slot gacor
  • toto macau
  • toto macau
  • toto macau
  • toto macau
  • situs toto
  • situs slot
  • rtp live slot
  • toto slot
  • bandar slot
  • toto macau
  • bandar togel online
  • togel online
  • togel sdy
  • togel online
  • toto macau
  • hongkong lotto
  • hongkong lotto
  • situs slot
  • slot gacor
  • bandar slot 4d
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • bandar slot gacor
  • slot dana
  • toto macau
  • bandar togel 4d
  • wengtoto
  • toto hk
  • slot dana
  • hk lotto
  • toto sdy
  • slot gacor
  • slot 5000
  • toto slot
  • toto togel 4D
  • toto macau
  • slot thailand
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • Bandar Slot
  • bandar slot gacor
  • togel macau
  • toto slot
  • slot qris
  • slot toto 4d
  • Toto Togel 4D
  • sdy lotto
  • bola gacor
  • slot 5000
  • toto hongkong
  • toto slot
  • slot 5000
  • slot 5000
  • toto togel
  • slot 5000
  • slot 5000
  • slot 5000
  • situs toto
  • toto macau
  • BATASRAJABANDOT
  • slot 777
  • slot gacor
  • slot gacor
  • Bandar Slot
  • Situs Slot
  • Bandar Slot
  • Slot Gacor
  • situs slot
  • situs slot
  • Bandar Situs Slot Gacor
  • Situs Slot Gacor
  • Slot Demo
  • slot online
  • bokep
  • toto slot
  • Slot Demo
  • situs togel
  • bola slot
  • slot gacor
  • hitam slot
  • permainan slot
  • dewa slot
  • agent slot
  • slot toto
  • slot gacor
  • slot gacor
  • toto slot
  • akun demo slot
  • toto slot
  • slot gacor
  • slot gacor
  • https://heylink.me/iblbettotoslot
  • toto slot
  • slot88
  • situs toto
  • slot 5000