Fasyankes Didorong Pakai Produk Lokal

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mendorong rumah sakit, Puskesmas dan fasilitas layanan kesehatan lainnya menggunakan alat kesehatan (alkes) produk dalam negeri. Mengingat alkes yang beredar di pasar saat ini sudah 46 persen buatan lokal.

"Dari 46 persen itu sayangnya hanya 10 persen yang dipakai fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Sisanya pakai produk impor," kata Darmin Dahuri saat membuka pameran alat kesehatan, Jumat (16/10).

Pameran yang berlangsung 16-17 oktober 2015 itu diikuti 87 peserta industri alat kesehatan.

Ditambahkan, ketergantungan fasyankes pada alat kesehatan impor jelas akan memberatkan anggaran kesehatan. Terlebih, jika nilai dolar naik mengingat pembelian alat kesehatan itu menggunakan kurs dolar.

"Ini tantangan bagi pemerintah bagaimana mendorong rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya seperti klinik dan Puskesmas mau pakai produk lokal. Apalagi jika itu rumah sakit swasta," ujarnya.

Terkait dengan penggunaan alkes lokal, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek mengatakan, pihaknya telah membuat roadmap yang menjadi acuan bagi rumah sakit untuk menggunakan alat kesehatan buatan lokal. Kerja sama akan dilakukan dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.

Jumlah populasi Indonesia merupakan potensi pasar yang dapat dimanfaatkan industri alat kesehatan lokal guna ketahanan komoditi alat kesehatan," tuturnya.

Ditambahkan, hal itu sejalan dengan agenda pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat sebagai antisipasi ketergantungan pada produk luar negeri. Sekaligus merupakan proses terstruktur agenda alih tehnologi.

Beberapa alat kesehatan yang saat ini sudah diproduksi dalam negeri antara lain hospital furniture, sphygmomanometer & stethoscope, handschoen, alkes elektromedik, alkes disposibel dan lainnya.

Adapun sertifikasi kesehatan buatan asing, menurut Menkes Nila, harus wajib mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan, sama halnya dengan alat kesehatan produk lokal.

"Semua standar alat kesehatan produk lokal, harus punya kualitas sama dengan asing. Untuk itu, ada kebijakan baru yang mengharuskan rumah sakit pakai alat kesehatan lokal," kata Nila menandaskan. (TW)

{jcomments on}

PHBS Tekan Kasus Diare hingga 94 Persen

Pemerintah kembali mengajak masyarakat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), agar kasus penyakit menular berbasis lingkungan bisa ditekan seminimal mungkin.

"Karena banyak penyakit yang timbul akibat tak menjaga kebersihan air, sanitasi dan lingkungan," kata Direktur Penyehatan Lingkungan, Ditjen Pengendalian Prnyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Kementerian Kesehatan (Kemkes), Imran Agus Nurali, di Jakarta, Kamis (15/10).

Imran menyebutkan beberapa penyakit yang berhubungan dengan PHBS yaitu diare, cacingan, tifus, penumonia, demam berdarah, dan kaki gajah. Penyakit yang berhubungan dengan kebersihan lingkungan ini menyumbang 3,5 persen dari total kematian di Indonesia.

"Diare mendapat perhatian tertinggi, karena penyakit tersebut menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menjadi penyebab kematian nomor satu pada balita, sebesar 25 persen," ujarnya.

Selain itu, Imran menambahkan, diare juga berada di urutan nomor tiga sebagai penyebab kematian pada semua umur, sebesar 3,5 persen. Kerugian ekonomi menurut penelitian World Bank 2007 diperkirakan mencapai 2,3 persen dari produk domestik bruto.

"Penerapan PHBS terbukti mampu menurunkan sekitar 94 persen penyakit diare. Caranya sangat sederhana yaitu cuci tangan pakai sabun (CTPS)," kata Imran menegaskan.

Karena itu, lanjut Imran Agus Nurali, kampanye CTPS harus terus digelorakan untuk menjamin meningkatnya kesadaran masyarakat lewat perubahan perilaku secara berkesinambungan.

Adapun perilaku CTPS yang tepat, disebutkan, dilakukan sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan terasa kotor, setelah buang air, setelah menceboki anak/bayi, setelah menggunakan pestisida dan sebelum menyusui bayi. (TW)

{jcomments on}

Pengobatan Hemofilia Kini Tersedia di RSUD

Guna memudahkan pasien hemofilia berobat, kini sejumlah rumah sakit umum daerah (RSUD) membuka layanan hemofilia. Karena penderita hemofilia harus berpacu dengan waktu, jika terjadi perlukaan.

"Kurangnya faktor pembeku, membuat darah yg mengalir dr luka sekecil apapun sulit berhenti. Karena itu, diupayakan fasilitas hemofilia tersedia di RSUD," kata Kepala Group Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Ikhsan di sela acara bertajuk "We Care Hemofilia" di RSUD Kabupaten Tangerang, Rabu (14/10).

Hadir sebagai moderator dalam acara itu, aktris yang juga bintang iklan BPJS Kesehatan, Ria Irawan.

Ditambahkan, meski pasien hemofilia jumlahnya tidak terlalu banyak, namun biayanya sangat besar. Hingga September 2015, BPJS Kesehatan telah membayar Rp 68 miliar untuk 19.072 kasus hemofilia.

"BPJS Kesehatan juga menanggung seluruh biaya pengobatan penderita hemofilia. Diharapkan semua penderita hemofilia bisa mengakses layanan kesehatan semakin dekat lagi," ujarnya.

Ikhsan menambahkan, hemofilia merupakan jenis penyakit yang membutuhkan biaya sangat mahal. Karena itu negara harus hadir memberikan solusi. "engobatan hemofilia sangat mahal dan berlangsung seumur hidup," kata Ikhsan.

Diakui sejak awal penyakit diluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hemofilia masuk dalam cakupan manfaat pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan. Tetapi banyak masyarakat yang tidak tahu. Untuk itu, BPJS Kesehatan gencar melakukan sosialisasi.

Sementara itu Rini Purnamasari, dokter spesialis anak daro divisi hematologi onkologi RSU Tangerang menyebut, obat untuk hemofilia yakni faktor pembeku VIII harganya sekitar Rp 2,5 juta per botol dan faktor pembeku IX sekitar Rp 4,3 juta per botol.

Untuk menentukan jenis faktor pembeku darah, dikatakan Dr Rini, pada awal pengobatan seorang pasien hemofilia harus memastikan jenis yang dideritanya, apakah tipe A akibat tubuh kekurangan faktor VIII pembekuan darah, atau hemofilia tipe B akibat kekurangan faktor IX pembekuan darah.

"Karena itu luka sekecil apapun dapat berakibat fatal, karena darahnya tidak dapat berhenti mengucur. Jika tidak ditangani segera maka bisa berakibat fatal berupa kematian," kata dr Rini menandaskan. (TW)

{jcomments on}

 

Tenaga Kesehatan di Tangsel Ikut Sosialisasi UU Tenaga Kesehatan

Sebanyak 80 tenaga nonmedis di Tangerang Selatan mengikuti sosialisasi Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Mereka diharapkan memahami mekanisme kelengkapan administrasi.

Kegiatan yang diikuti tenaga nonmedis klinik dan rumah sakit ini difasilitasi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.

Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Toni Kusdianto menjelaskan kegiatan ini erat kaitannya dengan penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) tenaga kesehatan.

"Memang terkadang banyak tenaga kesehatan yang sulit untuk membuat STR. Kami coba memfasilitasi tenaga kesehatan yang memiliki permasalahan surat izin yang lama keluar," kata Toni di Rumah Sakit Medika, BSD, Tangerang Selatan, Kamis (8/10/2015).

Menurut Toni, STR penting sebagai tanda tenaga kesehatan tersebut kompeten. STR sebagai syarat seorang tenaga kesehatan bekerja di klinik atau rumah sakit.

"Tenaga kesehatan perlu memiliki SIP (Surat Izin Praktik) atau SIK (Surat Izin Kerja) yang dikeluarkan Dinas Kesehatan. Untuk mendapatkan SIP atau SIK ini, mereka harus punya STR yang dikeluarkan oleh MTKI (Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia)," ujar Toni.

Ketua Divisi Pembinaan Profesi MTKI, Mujiarto, juga menekankan pentingnya STR. Dia menyebut STR bisa jadi dasar kepastian hukum bagi petugas kesehatan terkait pelayanannya pada masyarakat.

"Jadi semua tenaga kesehatan yang melakukan praktik harus memiliki STR. Bagi tenaga kesehatan yang baru lulus sekolah di jurusannya wajib mengikuti uji kompetensi untuk melakukan STR yang berlaku selama lima tahun," jelas Muji.
TRK

sumber: http://news.metrotvnews.com/

 

Resistansi Antibiotik di Negara Miskin Naik, Ini Penyebabnya

Riset terbaru The Center for Disease Dynamics, Economics and Policy (CDDEP) Washington, DC, menunjukkan konsumsi global antibiotik meningkat 30 persen selama periode antara 2000 dan 2010. Penggunaan antibiotik yang terus meningkat di seluruh dunia itu terutama didorong oleh naiknya permintaan pasokan dari negara-negara berpendapatan menengah dan miskin.

Penelitian CDDEP mendokumentasikan tingkat resistansi bakteri terhadap antibiotik pamungkas dan akhirnya dapat mengancam kehidupan di seluruh dunia. Pertumbuhan konsumsi antibiotik didorong mayoritas oleh sejumlah negara berkembang, seperti Afrika Selatan, India, Kenya, dan Vietnam.

Laporan ini menyajikan gambaran yang paling jelas bagaimana dan di mana saja antibiotik digunakan dan prevalensi resistansi antibiotik dari tipe bakteri yang berbeda. Di Afrika Selatan dan India, misalnya, antibiotik tersedia secara bebas dan bisa dibeli tanpa resep dokter. Sanitasi di sejumlah daerah di sana juga buruk yang mendorong penyebaran bakteri.

"Untuk pertama kalinya, kami memiliki data dari negara-negara miskin dan menengah, tempat resistansi antibiotik sangat serius tapi jarang fokus pada solusi kebijakan," kata Direktur CDDEP, Ramanan Laxminarayan, saat memaparkan hasil penelitiannya pada 17 September lalu.

CDDEP juga menyajikan Resistance Map secara online yang mencakup seluruh dunia. Mereka berharap peta resistansi itu dapat membantu memberdayakan negara-negara miskin untuk mengambil langkah mencegah perkembangan yang lebih buruk.

Data penelitian berasal dari berbagai sumber, dari laboratorium swasta kecil di India sampai kumpulan data di European Centre for Disease Prevention and Control yang mencakup 30 negara. Data juga dipasok dari Afrika Selatan, India, Thailand, Vietnam, Kenya, Australia, dan Selandia Baru.

Organisasi non-profit ini menggunakan data tersebut untuk memetakan tingkat resistansi antibiotik untuk 12 jenis bakteri di 39 negara dan tren penggunaan antibiotik di 69 negara dalam lebih dari 10 tahun. Dari 12 jenis bakteri umum dan berpotensi mematikan itu, termasuk Escherichia coli, salmonella, dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).

sumber: http://tekno.tempo.co/

 

 

 

RSJ Minim, Lebih dari 18 Ribu ODGJ Dipasung

12oktPelayanan Kesehatan jiwa seharusnya dibuat setara dengan pelayanan kesehatan lainnya. Karena orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memiliki kesempatan pulih jika dideteksi, didiagnosis dan ditreatment dengan cepat.

"Integrasi kesehatan jiwa pada pelayanan umum di Puskesmas sebenarnya bisa menjadi kunci dalam penanganan ODGJ dan orang dengan masalah jiwa (ODMK)," kata Prof Dr Budi Anna Keliat, Guru Besar Keperawatan Jiwa Universitas Indonesia dalam diskusi jelang peringatan Hari Kesehatan Jiwa pada setiap 10 Oktober, di Jakarta, Jumat (9/10).

Diskusi dibuka Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemkes), Eka Viora dan Ketua Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia (KPSI), Bagus Utomo.

Akibat masih minimnya rumah sakit jiwa (RSJ) di Indonesia, lanjut Budi Anna Keliat, penanganan ODGJ dan ODMK dilakukan dengan cara pemasungan. Dari sekitar 1 juta kasus gangguan jiwa berat, ada sekitar 18 ribu orang dipasung.

"Penemuan pasien dipasung hanya fokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif, belum menyelesaikan masalah kesehatan jiwanya," ujarnya.

Menurut Budi Anna Keliat, pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih menyelesaikan masalah di hilir dan bersifat pasif. Fokus pelayanan pun masih di institusi atau rumah sakit jiwa.

"Artinya, menunggu masyarakat membawa ODMK ke rumah sakit jiwa. Pelayanan yang pasif ini merugikan masyarakat. Karena masyarakat tidak tahu kapan memutuskan membawa pasien ke rumah sakit jiwa," ujarnya.

Ditambahkan, hal ini selaras dengan hasil penelitian di Jakarta bahwa 45 persen pasien yang mengalami gangguan jiwa pertama-tama mencari pelayanan ke pengobatan alternatif. Setelah kronis (8,5 persen) baru mencari pelayanan ke kesehatan jiwa.

"Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terus. Pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas sudah tidak bisa ditunda-tundalagi. Agar masyarakat tak lagi berobat ke pemgobatan tradisional," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kemkes, Eka Fiora menyayangkan sikap masyarakat yang masih mengaitkan masalah gangguan jiwa dengan hal-hal supranatural.

'Padahal gangguan jiwa tak terkait dengan hal-hal supranatural. Itu murni penyakit yang bisa diobati hingga sembuh," ucap Eka Viora.

Remaja, menurut Eka, merupakan kelompok yang rentan terkena gangguan jiwa. Remaja sering tak stabil sehingga mereka mudah terpengaruh miras, narkoba, tawuran, dan hal-hal negatif lainnya.

Gangguan jiwa pada remaja bisa dicegah sedini mungkin. Misalkan, pasangan yang akan menikah diberi konseling bagaimana mendidik anak-anaknya kelak dengan baik. Agar anaknya punya mental yang kuat, tak mudah terpengaruh dan jiwanya sehat.

Dalam menangani gangguan jiwa, lanjut Eka, pemerintah sebenarnya sudah mewajibkan Puskesmas untuk memiliki pelayanan kesehatan jiwa. Namun kebijakan itu hingga kini belum diterapkan secara optimal karena keterbatasan sumber daya dokter dan fasilitas penunjang lainnya. (TW)

{jcomments on}

Menkes canangkan Kampanye Nasional Bulan Eliminasi Kaki Gajah Tahun 2015

Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Nila Farid Moeloek Sp.A (K), mencanangkan Kampanye Nasional Bulan Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) tahun 2015 di Lapangan Tegar Beriman, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (1/10) . Kegiatan tersebut merupakan momentum dalam mewujudkan Indonesia Bebas Kaki Gajah pada tahun 2019.

Dalam sambutannya Menkes menyatakan Pemerintah bersama seluruh masyarakat sejak 40 tahun lalu mampu menurunkan masalah penyakit Kaki Gajah di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan menurunnya presentase orang yang terinfeksi Penyakit Kaki Gajah dari 19.6% pada tahun 1970 menjadi 4,7% pada tahun 2014.

"Keberhasian ini akan kita lanjutkan dengan menuntaskan kerja besar ini dengan mewujudkan Indonesia Bebas Kaki Gajah pada tahun 2019", tandas Menkes.

Di tahun – tahun selanjutnya setiap bulan Oktober, sejumlah 105 juta penduduk di 241 kabupaten/kota endemis penyakit Kaki Gajah, harus melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) selama 5 tahun mulai dari 2015 – 2019.

Menkes menegaskan bahwa upaya pengendalian kaki gajah tidak bisa dilakukan sendiri oleh Kementerian Kesehatan. Dukungan diperlukan dari berbagai pihak seperti Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta lintas sektor; masyarakat dan layanan kesehatan.

Di tingkat Pemerintah, perlu dukungan dari seluruh Pimpinan di jajaran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dari level Gubernur hingga Lurah.

Dukungan yang diharapkan diantaranya berupa komitmen dalam mewujudkan Indonesia Bebas Kaki Gajah 2019 yaitu berupa dukungan kebijakan yang efektif, dukungan sumber daya, serta dukungan operasional untuk menggerakkan seluruh komponen masyarakat dalam membasmi penyakit Kaki Gajah.

Di tingkat masyarakat perlu dukungan terkait kepatuhan dalam meminum obat setiap tahunnya. Di layananan kesehatan perlu lebih meningkatkan pemantauan tatalaksana guna mencegah dan mengurangi kecacatan, misalnya dengan mengingatkan pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan dan patuh saat berobat.

Dalam laporannya, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, dr. H. Mohamad Subuh, MPPM mengatakan pada tahun 2000, negara-negara anggota WHO termasuk Indonesia dalam Majelis Kesehatan Sedunia telah menyepakati untuk mengeliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) agar tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi tahun 2020. Terkait ini, Indonesia bertekad untuk mewujudkannya bebas Penyakit kaki Gajah pada tahun 2019.

"Untuk menindaklanjuti kesepakatan global tersebut, Indonesia telah melaksanakan langkah-langkah untuk mewujudkan Eliminasi Filariasis dalam skala Nasional secara bertahap sejak tahun 2002", kata dr. Subuh.

Bertepatan dengan pencanangan Belkaga, Menkes menyerukan kepada seluruh masyarakat agar minum obat bersama untuk Indonesia Bebas Penyakit Kaki Gajah.

Guna memantau pelaksanaan Belkaga di Kabupaten Kota, Menkes melakukan dialog melalui video conference dengan 4 bupati dan masyarakat setempat di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah; Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau; Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumsel; dan Kabupaten Tojo Una – Una, Provinsi Sulteng.

sumber: http://www.antaranews.com/

 

 

Bencana Asap: Penderita ISPA di 6 Provinsi Capai 307 Ribu Orang

6pktKebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan telah menimbulkan masalah kesehatan. Kementerian Kesehatan mencatat ada 307 ribu orang terkena infeksi saluran napas akut (ISPA) selama kurun waktu 29 Juni - 5 Oktober 2015 di 6 provinsi di Indonesia.

"Selama kabut asap masih terjadi, gangguan pernapasan, seperti ISPA dan iritasi mata akan terus meningkat," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (6/10).

Penyakit lain yang mungkin timbul dari bencana asap tersebut, Menkes mengingatkan, seperti diare lantaran keterbatasan air bersih dan sanitasi buruk. Hal itu akan jadi ancaman selama wilayah tersebut tidak turun hujan.

Hadir dalam kesempatan itu Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Kemenkes Achmad Yurianto, presenter Andi F Noya dan relawan dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Akmal.

Menkes merinci 307.360 kasus ISPA yang terjadi di 6 provinsi, yaitu Riau sebanyak 45.668 kasus, Jambi 69.734, Sumatera Selatan 83.276, Kalimantan Barat 43.477, Kalimantan Selatan 29.104, dan Kalimantan Tengah 36.101 kasus.

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kemkes mencatat, jumlah penderita ISPA akibat kabut asap rata-rata meningkat sekitar 15 - 20 persen. Peningkatan terjadi dalam tiga minggu terakhir ini.

"Kondisinya bakal makin mengkhawatirkan, jika asap tidak bisa ditanggulangi," katanya.

Sementara itu, status Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) hingga 5 Oktober 2015 tercatat, Riau sebesar 395,63 (level berbahaya), Jambi 585,27 (berbahaya), Sumatera Selatan 880,85 (berbahaya), Kalimantan Barat 44,16 (baik), Kalimantan Selatan 55,46 (sedang), dan Kalimantan Tengah 763,09 (berbahaya).

Menkes mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan 27.595 ton bantuan ke delapan provinsi terdampak, berupa masker, oxycan, paket obat untuk ISPA, diare, tetes mata, dan vitamin.

Untuk mencegah dampak kesehatan yang meluas, menkes minta masyarakat, terutama yang berisiko tinggi seperti anak-anak, lansia, ibu hamil, dan yang sudah sakit, agar tidak keluar rumah bila tidak mendesak.

"Sebisa mungkin hindari kabut asap tebal, sebab meski sudah menggunakan masker, potensi anak-anak terpapar asap tetap tinggi. Selain itu, dianjurkan menjaga fisik atau kekebalan tubuh, sehingga tidak mudah sakit,"tutur Nila.

Menkes juga minta pemerintah daerah terdampak untuk selalu memperbaharui status ISPU, serta mengumumkannya kepada masyarakat. Sehingga kondisi udara tidak sehat bisa dihindari masyarakat.

Sementara itu, relawan penanggulangan bencana dari Fakultas Kedokteran Undip, Akmal mengatakan, saat ini mahasiswa kedokteran di seluruh Indonesia membuka crisis center untuk mengumpulkan dana.

Dana tersebut disalurkan ke mahasiswa kedokteran daerah terkena bencana asap. Para mahasiswa turun ke jalan untuk mendistribusikan masker, obat tetes mata, dan memberikan edukasi cara mencuci hidung. (TW)

{jcomments on}