Demam Berdarah Masih Jadi Masalah Kesehatan di Asia

Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan penting di Asia. Tak hanya di Indonesia, di negara-negara maju seperti Jepang dan Singapura, kasus-kasus DBD masih menyita perhatian otoritas kesehatan di masing-masing negara.

"Demam berdarah menjadi topik menarik dalam pembahasan pertemuan antarnegara di Manila yang kini sedang berlangsung," tutur Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Prof Tjandra Yoga Aditama dalam siaran persnya, kemarin.

Menurutnya, demam berdarah di Jepang tidak disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti seperti di Indonesia. Tetapi di Jepang, nyamuk vektornya adalah Aedes albopictus, atau dikenal sebagai 'Tiger Mosquito'‎.

Di Singapura, empat jenis virus Dengue tetap ditemukan bersirkulasi, sehingga di Singapura pun sampai sekarang masih jadi masalah kesehatan penting dan bahkan ada yang menyebut DBD di Singapura sebagai 'hyperendemic'.

Data menunjukkan bahwa DBD secara global meningkat kasusnya hingga 30 kali dalam 50 tahun terakhir ini. Jumlah kasus DBD dunia diperkirakan 390 juta setiap tahunnya yang ditemukan pada lebih dari 100 negara.

Setiap tahun sekitar setengah juta orang di dunia‎ mengalami DBD berat, dimana sebagian diantaranya seringkali diikuti dengan syok dan perdarahan. Dan sekitar 40% penduduk dunia ada dalam risiko untuk mendapat sakit DBD‎. "Di negara Asia angka ini tentu lebih tinggi lagi," sambungnya.

Untuk mencegah DBD, ‎kata Tjandra, bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pengendalian vektor nyamuk, khususnya dengan program 3 M plus. Ini masih tetap jadi cara penanggulangan utama, dan juga dilakukan berbagai riset di bidang ini. Lalu melalui vaksin yang kini dikembangkan meski baru menunjukkan perlindungan sekitar 60%.

sumber: http://poskotanews.com/

 

 

Rokok Berpotensi Ancam Bonus Demografi

Sampai saat ini, sudah ada 187 negara yang telah meratifikasi FCTC (Framework Covvention on Tobacco Control). Hal itu, menyisakan sembilan negara yang belum meratifikasi, yaitu Indonesia, Andora, Eriteria, Liechtenstein, Malawi, Monako, Somalia, Republik Dominika, dan Sudan Selatan.

Dalam peringatan Hari Anak Nasional, Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Hery Chariansyah, mengharapkan, pemerintah dapat menunjukkan komitmennya melindungi anak-anak Indonesia dengan segera mengaksesi FCTC.

"Aksesi FCTC selain bertujuan mencegah anak menjadi perokok pemula, juga sebagai upaya pemenuhan hak konstitusional anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal seperti dijamin undang-undang," papar Hery Chariansyah, di Jakarta, Rabu (22/7).

Hery melihat, selama ini regulasi yang ada belum mampu melindungi anak secara menyeluruh dari dampak konsumsi rokok dan paparan asap rokok. Dengan masih longgarnya regulasi tentang iklan dan promosi rokok, menyebabkan anak-anak Indonesia terpapar iklan dan promosi rokok hampir setiap saat dan di mana saja.

Hal yang lebih buruk lagi, tambah Hery, bila anak-anak Indonesia terus terpapar rokok dan tidak ada komitmen pemerintah untuk melindungi mereka dari dampak rokok, maka Indonesia berpotensi tidak mendapat bonus demografi pada 2020-2030.

"Anak-anak Indonesia yang saat ini merokok dan terpapar asap rokok, pada 2020-2030 akan menjadi penduduk yang sakit-sakitan dan menjadi beban ekonomi, sehingga berpotensi mengancam bonus demografi," ujar Hery.

sumber: http://www.beritasatu.com

 

Indonesia Jadi Anggota Penanganan Epidemi Asia Pasifik

Indonesia secara resmi ditunjuk menjadi wakil ketua atau Co-Chair Technical Advisory Group Asia Pasific Strategy on Emerging Infectious Diseases/EID (APSED) pada pertemuan Badan Kesehatan PBB atau WHO 21-23 Juli 2015 di Manila.

Salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan dengan perwakilan negara-negara anggota WHO Asia Tenggara dan Pasifik Barat adalah kemungkinan penggabungan penanganan IHR, EID dan Humanitarian Health Crisis karena bencana alam dalam satu unit, dan menangani agenda keamanan kesehatan global.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan‎ (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan‎‎ Tjandra Yoga Aditama yang mewakili Indonesia di pertemuan itu, menuturkan bahwa dalam pertemuan tersebut, Indonesia banyak belajar mengenai cara penanggulangan epidemi dari Korea Selatan.
Kementerian Kesehatan Korea Selatan menampilkan beberapa fakta tentang virus sindrom Pernapasan Timur Tengah atau MERS Co-V di negara mereka, yang menjadi pelajaran bagus untuk negara lain.

"Korea Selatan menyampaikan analisa penting tentang kenapa MERS Co-V di negara itu meluas dan jadi masalah besar," kata Tjandra dalam keterangan tertulisnya, Selasa 21 Juli 2015.

Meluasnya MERS Co-V di Korea Selatan, kata Tjandra, diakibatkan kurang cepatnya upaya mendeteksi kontak yang mungkin sudah tertular. "Terlalu sempitnya definisi kontak, sehingga kurang banyak yang dikejar untuk dicek sebagai kontak," ujarnya.

Selain itu penularan di rumah sakit banyak terjadi karena penuhnya pengunjung ruang gawat darurat, dan juga bangsal rumah sakit yang diisi beberapa tempat tidur sekaligus. Selain itu, kebiasaan ada penunggu pasien yang ikut tinggal di rumah sakit juga memicu luasnya penyebaran epidemi.‎

"Sejumlah 81 kasus atau sebanyak 44% MERS Co-V di Korea adalah sebenarnya orang yang datang atau dirawat di rumah sakit karena sakit yang lain, lalu karena mereka kebetulan ada di rumah sakit yang sama dengan pasien MERS Co-V maka mereka jadi tertular. Jadi mereka akhirnya dirawat dengan dua penyakit sekaligus," kata dia.

Lalu, Kebiasaan pasien biasanya berobat ke satu dokter, lalu beberapa hari kemudian pindah ke dokter‎ lain, lalu pindah lagi ke dokter lain juga turut berkontribusi.

Tjandra menjelaskan, total ada 186 kasus MERS Co-V di Korea, 36 diantaranya meninggal‎. Secara total mereka menangani, memeriksa dan mengkarantina 16.668 orang sebagai kontak untuk mendeteksi kemungkinan penularan luas di masyarakat.

sumber: http://life.viva.co.id/

 

 

Posko Mudik BPJS: Kesehatan Berikan Layanan Gratis

13julBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kembali menggelar Posko Mudik di pelabuhan dan terminal untuk masyarakat yang ingin melakukan tradisi mudik lebaran. Diharapkan, masyarakat yang sakit dan kelelahan saat mudik bisa mendapat pertolongab.

"Posko Mudik BPJS Kesehatan 2015 dibuka selama 24 jam, mulai 13 Juli hingga 16 Juli di lima titik terpadat pemudik," kata Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan antar Lembaga BPJS Kesehatan, Purnawarman Basundoro di Pelabuhan Merak, Banten, Senin (13/7).

Lima titik terpadat pemudik itu, disebutkan, Pelabuhan Merak, Banten; Pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar; Pelabuhan Gilimanuk, Bali; Terminal Kampung Rambutan, Jakarta; dan Terminal Bungurasih, Surabaya.

Purnawarman menjelaskan, Posko Mudik BPJS Kesehatan telah dilakukan sejak 2014 lalu. Berbagai perbaikan dilakukan bukan saja menambah fasilitas kesehatannya, tetapi juga memperbanyak lokasi posko.

"Pada 2014 lalu, Posko Mudik BPJS Kesehatan baru dibuka di tiga titik yaitudi Pelabuhan Merak, Pelabuhan Soekarno Hatta, dan Pelabuhan Gilimanuk. Sekarang ada di 5 titik," ujarnya.

Di Posko Mudik BPJS Kesehatan 2015 terdapat dokter, paramedis, ambulance serta petugas BPJS Kesehatan. Mereka melayani pemudik yang membutuhkan konsultasi kesehatan, fasilitas relaksasi, istirahat, pemeriksaan kesehatan sederhana, obat-obatan, tindakan sederhana bersifat emergency, dan pemberian rujukan jika dibutuhkan.

"Tahun ini fasilitas ditambah dengan dua kursi pijat yang bisa dimanfaatkan para pemudik untuk relaksasi. Seluruh fasilitas yang ada tidak dipungut biaya. Jadi, masyarakat diminta untuk tidak sungkan untuk mampir, apalagi jika badan terasa pegal atau pusing," tuturnya.

Ditambahkan, pilihan posko diadakan di pelabuhan dan terminal, karena tempat-tempat tersebut membutuhkan perhatian khusus. "Jika di lokasi lain seperti stasiun kereta api dan jalan raya kan sudah banyak posko kesehatan yang disiapkan pihak lain," ujar Purnawarman.

Guna memastikan posko mudik melakukan aktivitasnya dengan lancar, BPJS Kesehatan juga menggandeng Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan PT ASDP Indonesia Ferry, Kantor Kesehatan Pelabuhan setempat. (TW)

{jcomments on}

Pelabuhan Merak Siapkan Enam Posko Kesehatan

Pengelola Pelabuhan Merak Cilegon Banten menyediakan enam posko kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada pemudik yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Bakauheni Lampung.

"Semua posko kesehatan itu dilengkapi obat-obatan, kendaraan ambulans dan peralatan medis kegawatdaruratan," kata Manager Usaha PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Merak Nana Sutisna di Merak, Minggu (12/7).

Ia mengatakan kehadiran posko kesehatan tersebut sangat membantu bagi pemudik yang mengalami gangguan kesehatan.

Para pemudik jika mengalami gangguan kesehatan dapat ditangani di posko itu. Di posko itu terdapat tim kesehatan yang terdiri dari dokter, paramedis dan dibantu petugas Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Cilegon dan Pramuka.

Pengalaman tahun lalu, kata dia, posko kesehatan mampu menangani masalah gangguan kesehatan juga kecelakaan. Jika penumpang mengalami penyakit akut maka dirujuk ke RSUD Cilegon.

"Penumpang yang mendapat pengobatan itu gratis tanpa dipungut biaya sepersen pun," katanya.

Ia menyebutkan keenam posko kesehatan itu antara lain dari Dinas Kesehatan Cilegon, Dinas Kesehatan Provinsi Banten, ASDP Merak, Dinas Kesehatan Pelabuhan dan BPJS Kesehatan.

"Kami mengimbau pemudik bila terkena serangan penyakit maka gunakan posko itu untuk mengatasi gangguan kesehatan," katanya.

Dr Dewi, seorang petugas Posko Kesehatan di Pelabuhan Merak mengatakan pada H-6 atau Sabtu (11/7), pihaknya menangani puluhan pemudik yang berobat ke sini dan kebanyakan mereka terserang gangguan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) akibat kelelahan selama menempuh perjalanan jauh.

Selain itu juga penyakit gejala diare dan lambung juga hipertensi. Penyakit itu, kata dia, tidak membahayakan bagi kesehatan pemudik dan bisa ditangani dengan baik.

"Kebanyakan pemudik yag berobat di sini karena mereka kelelahan setelah mengemudikan sepeda motor dengan cuaca terik matahari," katanya.

sumber: http://www.beritasatu.com/

 

Cegah Virus MERS Merebak, Bandara Jadi Tempat Simulasi Kemenkes

Berbagai kejadian darurat kesehatan terjadi di Indonesia sejak satu dasawarsa terakhir. Misalnya SARS di tahun 2002, flu burung di tahun 2005, pandemik influenza H1N1 di tahun 2009, dan penyebaran polio serta virus ebola di tahun 2014.

Belum selesai gaung kejadian darurat kesehatan tersebut, baru-baru ini Indonesia terpapar isu merebaknya virus MERS CoV yang membuat masyarakat khawatir mengenai dampak penyebarannya.

Hingga saat ini, tercatat beberapa negara Asia telah menyiapkan diri menghadapi dampak penyebaran virus MERS. Hal itu dilakukan karena potensi wabah dapat terjadi kapan saja.

Tercatat, risiko terbesar masuknya virus MERS terjadi di tempat pintu masuk negara, seperti bandara. Risiko penyebaran virus dari tempat itu cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

Kementerian Kesehatan pun menyadari hal tersebut. Sebagai salah satu gerbang utama masuknya virus, bandara memang tempat penting yang harus dilindungi.

Atas dasar itu, kegiatan simulasi kesiapsiagaan dan penatalaksanaan MERS CoV diselenggarakan Kementerian Kesehatan di Bandara Soekarno-Hatta, Jumat (3/7/2015) lalu.

Menurut Menteri Kesehatan Prof. Dr.dr. Nila F Moeloek, Sp.M.(K), kegiatan simulasi tersebut bertujuan meningkatkan kesiapsiagaan dan kemampuan menangani risiko penyebaran virus MERS.

"Sangat penting bagi sektor kesehatan untuk memastikan cara melakukan pencegahan dan pendeteksian dini, jika ada kasus yang masuk melalui pintu masuk negara," ujar Nila F Moeloek dalam sambutannya.

Kegiatan sosialisasi tersebut, menurut Menkes, sangat diperlukan, mengingat sistem kesehatan nasional yang mampu mencegah penyebaran virus MERS sudah menjadi kebutuhan mendesak kini.

Melalui kegiatan sosialisasi dan gerakan waspada MERS CoV yang dilakukan, Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional telah ikut bertanggungjawab menjaga kawasan regional dan global dari penularan virus MERS.

Selain itu, kepentingan nasional bangsa Indonesia pun dapat terlindungi.

Di samping itu, Menkes melanjutkan, dukungan semua pihak untuk ikut menyebarkan informasi virus MERS sangat penting dilakukan.

Sebab, dengan proses edukasi tersebut, masyarakat diharapkan paham mengenai risiko penyakit berbahaya yang telah berkembang luas di berbagai negara di dunia itu.

Selain kegiatan sosialisasi pencegahan virus MERS yang digelar di Bandara Soekarno-Hatta, Menkes pun menyatakan tempat-tempat vital lain yang berpotensi menyebarkan virus MERS turut menjadi perhatian. Contohnya pelabuhan atau pos lintas batas negara.

Selain itu, kemampuan rumah sakit dalam menangani pasien yang diduga terjangkit virus juga menjadi penting. Itu berguna agar pasien yang diduga terpapar virus mendapat diagnosa dan penanganan yang tepat.

Sementara untuk tindakan pencegahan virus MERS yang dapat dilakukan sehari-hari, Menkes menyatakan beberapa cara yang dapat dilakukan.

"Dengan membiasakan cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir, menutup mulut dan hidung saat bersin atau batuk, serta selalu menggunakan masker saat flu," ujarnya.

Di sisi lain, virus MERS tercatat mengalami perkembangan signifikan di negara-negara jazirah Arab. Oleh karena itu, Menkes memberi perhatian khusus pada jemaah umrah dan haji asal Indonesia. Sebab mereka mempunyai risiko tertular virus MERS lebih besar.

Hingga saat ini jumlah jamaah umrah asal Indonesia mencapai 6 ribu orang per bulan, sementara jamaah haji mencapai 168 ribu per bulan.

Angka tersebut belum termasuk TKI yang bekerja di beberapa negara lain yang rawan terjangkit virus MERS, seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Thailand.

Kementerian Kesehatan pun sampai saat ini terus melakukan berbagai upaya agar Indonesia siap siaga menghadapi penyebaran virus MERS.
Dengan berbagai langkah penanganan yang tepat, potensi risiko penyebaran virus MERS dapat dicegah sejak dini.

sumber: http://www.tribunnews.com

 

Kemenkes: Produk Berizin Edar Aman Dipergunakan

9jul15-1Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Maura Sitanggang menegaskan, produk yang telah memiliki izin edar --termasuk 9 merek pembalut dan 7 pantyliner yang dikatakan Yayasan lembaga konsumen Indonesia (YLKI) berklorin-- adalah aman dipergunakan. Karena produk tersebut telah lulus uji mutu, keamanan dan manfaat.

"Hasil sampling pembalut wanita sejak 2012 hingga pertengahan 2015 tidak ditemukan pembalut yang tidak memenuhi syarat," kata Maura kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (8/7).

Maura menjelaskan, Kemenkes dalam proses pemberian izin edar pembalut wanita mensyaratkan SNI (Standar Nasional Indonesia) nomor 16-6363-2000 tentang pembalut wanita harus memiliki daya serap minimal 10 kali dari bobot awal dan tidak berflouresensi kuat.

"Artinya produk tersebut tidak ada flouresensi yang menunjukkan kontaminasi. Badan pengawas obat dan makanan Amerika pun mensyaratkan hal itu. Bahkan masih diperbolehkan jejak residu klorin pada hasil akhir pembalut wanita," ujarnya.

Maura menduga, klorin yang diujikan YLKI adalah jejak residu klorin yang sebenarnya tidak membahayakan kesehatan. "Untuk itu, kami ingin klarifikasi metode pengujian seperti apa yang dilakukan YLKI. Apakah jejak residu klorin itu yang dimaksud dengan pembalut berklorin," ucapnya.

Dijelaskan, proses produksi pembalut wanita yang berasal dari selulose dilakukan proses pemutihan (bleaching). Metode pemutihan itu berdasarkan FDA Amerika ada 2 jenis, ECF (Elemental Chlorine-free) Bleaching yaitu pemutihan yang tidak menggunakan elemen gas berchlorine.

"Metode itu menggunakan chlorine dioxide sebagai agen bleaching dan dinyatakan bebas dioksin," katanya.

Metode kedua dengan cara Totally Chlorine-Free (TCF) Bleaching yaitu pemutihan yang tidak menggunakan senyawa klorin, biasanya hidrogen peroksida. Metode ini pun dinyatakan bebas dioksin.

"Kemenkes melarang penggunaan gas chlorine dalam proses pemutihan terhadap bahan baku untuk pembalut wanita karena menghasilkan senyawan dioksin yang bersifat karsinogenik," ucap Maura menegaskan.

Ditambahkan, bahan baku pembalut wanita yang diizinkan di Indonesia harus menggunakan metode EFC dan TFC dan tidak boleh menambahkan chlorine selama proses produksi.

"Ketentuan ini berlaku ketat, pada waktu pengajuan izin edar maupun uji kesesuaian secara berkala," katanya.

Maura menegaskan, 9 merek pembalut dan 7 pantyliner yang diteliti YLKi itu sudah memiliki izin edar, yang artinya sudah melewati uji keamanan, mutu dan kemanfaatan produk dari laboratorium yang terakreditasi.

"Kami juga melakukan uji kesesuaian secara berkala selama produk beredar melalui sampling dan pengujian ulang," ucapnya.

Jika ditemukan produk yang tidak memenuhi syarat, kata Maura, pihaknya akan menarik produk tersebut dari pasaran. (TW)

{jcomments on}

IDI Ajukan Judicial Review UU No 36/2014

9jul15Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang (UU) No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Sebab UU tersebut telah memuat pasal-pasal "siluman" yang memporakporandakan profesi dokter.

"Organisasi profesi dirugikan karena kewenangan organisasi profesi dalam me­rumuskan standar profesi dokter menjadi domain dan kewenangan pemerintah. Semua diatur pemerintah. Ini berbahaya," kata Ketua Umum PB IDI, Zaenal Abidin kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (7/7) petang.

Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Bambang Suprihatno dan Ketua Umum PDGI, Frischa Hanum serta perwakilan dari organisasi kedokteran lainnya.

Zaenal menuturkan, pihaknya pernah ikut pembahasan dalam RUU No 36/2014 pada sekitar awal 2012. Dalam kesempatan itu ditegaskan agar tenaga medis tidak masuk dalam bahasan RUU tentang tenaga kesehatan tersebut.

"Pada 2013, pembahasan RUU No 36/2014 ini sempat vakum. Tiba-tiba pada Oktober 2014, telah disahkan UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan yang isinya justru tenaga medis di dalamnya. Dan isinya jelas-jelas mencampuradukan profesi dokter dengan tenaga kesehatan," ucapnya.

Padahal, lanjut Zaenal Abidin, tenaga medis yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis su­dah diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

"Lembaga indenpenden Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) terkena imbasnya. Dengan adanya UU No 36/­2014, lembaga tersebut secara hukum dibubarkan. Padahal KKI merupakan lembaga penegakan disiplin dan kompetensi dokter," ujarnya.

Ditambahkan, UU Tenaga Kesehatan juga mengandung banyak kerancuan. Karena pengaturan semua tenaga kesehatan disatukan, sehingga potensi bertentangan dengan UU yang ada, seperti UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran.

"Padahal, kewenangan tenaga medis, paramedis, atau tenaga kesehatan itu berbeda. Jika digabung, menimbulkan kerancuan," katanya.

UU Tenaga Kesehatan mengelompokkan tenaga kesehatan dalam 13 jenis, termasuk tenaga medis. Tenaga kesehatan lain di antaranya tenaga psikologi klinis, keperawatan, kebidanan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, dan gizi.

Selain itu ada tenaga keterapian fisik, keteknisian medis, teknik biomedika, kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain.

"Melalui UU ini pengobat tradisional (battra) menjadi sejajar dengan dokter. Begitupun tukang gigi dan praktik dokter gigi. Itu jelas merugikan masyarakat penerima layanan kesehatan," katanya. (TW)

{jcomments on}