Papua Jadi Sentra Pelayanan Kesehatan Saraf di Indonesia Timur

World Health Organization (WHO) sepakat bekerja sama dengan Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia (Perspebsi) untuk mengembangkan pelayanan pengobatan saraf untuk Indonesia Bagian Timur, khususnya Papua.

Kesepakatan itu dilakukan, setelah tim ahli bedah saraf Indonesia dipimpin oleh Ketua Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia (Perspebsi) Prof. Dr. Endro Basuki, Sp.BS (K), M. Kes melakukan pertemuan dengan Kepala Perwakilan WHO untuk Indonesia, Dr Khamchit Limpakarnjanarat di kantor perwakilan WHO gedung Kementrian Kesehatan, Jakarta, Jumat (30/5).

Dua dokter ahli bedah saraf dari Brain and Spine Centre (BSC) Surabaya, masing-masing dr Sofyanto, Sp.BS dan Dr Agus Anab, Sp.BS yang mengikuti pertemuan itu menjawab Tribun, menjelaskan bahwa untuk pertama kalinya WHO mengundang ahli bedah saraf Indonesia dalam kerangka untuk mengembangkan pelayanan saraf di Indonesia, khususnya Indonesia Timur.

"Dalam pertemuan itu, WHO menyatakan akan mendukung upaya pelayanan medis saraf di Indonesia timur. Untuk Indonesia timur akan dipusatkan di Papua," kata Dokter Agus Anab. Dengan bantuan WHO pula, ahli bedah saraf Indonesia akan memberikan pelayanan di Papua.
"Tentu ini semua akan di bawah naungan Kementrian Kesehatan. WHO memberi support agar pelayanan bedah saraf dan penanganan saraf bisa di Indonesia timur, karena memang selama ini pelayanan bedah saraf di Indonesia sangat kurang.

Dalam presentasi di depan perwakilan WHO di Jakarta, Dokter Endro Basuki menyatakan bahwa jumlah ahli bedah saraf di Indonesia memang kecil, yaitu 280 orang saja harus melayani sebanyak 247 juta penduduk Indonesia.

"Disebutkan perbandingan antara ahli bedah saraf dengan penduduk Indonesia adalah 1:1.000.000. Jadi sangat kecil sekali," kata Dokter Endro. Dari 280 ahli bedah saraf Indonesia yang ada terbanyak ada di Jakarta, yaitu 80 orang. Sisanya baru tersebar di seluruh Indonesia.

Persoalannya, tak satu pun dokter bedah saraf Indonesia berpraktik di Indonesia Timur, khususnya Papua. "Ini yang menjadi tantangan Perspebsi di masa mendatang," kata Endro menegaskan.

Bandingkan dengan Jepang, negeri Sakura itu mempunyai 6.000 dokter ahli bedah saraf dengan jumlah penduduk 128 juta jiwa, dengan perbandingan 1:21.000 (satu dokter melayani 21.000 jiwa). Sedangkan Amerika Serikat memliki 5.000 dokter ahli bedah saraf untuk melayani 389 juta jiwa, dengan perbandingan 1:65.000 (sat dokter bedah saraf untuk 65.000 jiwa).

Kini Perspebsi bertanggung jawab untuk mengembangkan tenaga ahli bedah di Indonesia yang belajar di beberapa pusat pendidikan bedah saraf di Unibersitas Indonesia (1971), Universitas Padjajaran Bandung (1980), Universitas Airlangga (1983), Universitas Sumatera Utara (2010), Universitas Gajah Mada (2011).

"Sampai saat UGM belum melahirkan ahli bedah saraf, karena pendidikan ini membutuhkan waktu lama," tegas Endro Basuki.
Kelak menyusul Universitas Dipongeoro (Semarang), Universitas Udayana (Denpasar), dan Universitas Hasanuddin (Makassar) membuka jurusan spesialis bedah saraf di Indonesia. (priyo suwarno)

sumber: http://kaltim.tribunnews.com

 

Janganlah Kesehatan Dikaitkan dengan Kesejahteraan Petani Tembakau

Metrotvnews.com, Jakarta: Kementerian Kesehatan bersama dengan Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) menggelar konferensi kedua di Jakarta. Acara ini berbicara mengenai bahaya produk tembakau seperti rokok terhadap kesehatan masyarakat, khususnya generasi muda.

"Penggunaan istilah tobaco or health adalah sengaja, ini untuk melihat apakah kita akan memilih produk tembakau atau kesehatan masyarakat itu sendiri," kata Ketua ICTOH Kartono Mohamad dalam pidato pembukaan di Hotel Kartika Chandra, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (28/5/2015).

Dia menekankan, pelaksanaan konferensi ini untuk memperkuat komitmen pemangku kepentingan untuk tetap aktif menekan bahaya produk tembakau. Dengan pelaksanaan konferensi ini, Kartono tak ingin dianggap memusuhi petani tembakau dan tembakau sebagai tanaman.

"Janganlah isu kesehatan dengan pengendalian tembakau ini dikaitkan dengan kesejahteraan petani tembakau," imbuh dia.

Kartono menyebut, perlawanan industri rokok terhadap upaya pemeliharaan kesehatan ini sangat besar. Kata dia, ada banyak tindakan tercela yang dilakukan industri rokok untuk melawan upaya pengendalian produk rokok ini.

"Kami melihat perlawanan industri rokok dengan kekuatan uang sangat besar, termasuk dengan menyuap pembuat kebijakan dan politisi. Ini tak hanya terjadi di indonesia tapi juga negara lain, tergantung dengan integritas pembuat kebijakan itu," jelas Kartono.

Adapun konferensi ini dihadiri Menteri Kesehatan Nila Moeloek dan Dirjen PAUD dan Dikmas Kemendikbud. Selain itu, juga hadir pejabat pemerintah, akademisi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, dan peneliti.
OGI

sumber: http://news.metrotvnews.com/

 

Menkes Prihatin Perempuan Perokok Meningkat 10 Kali Lipat

28meimenkesMenteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek mengaku prihatin atas semakin meningkatkan prevalensi remaja perempuan usia 15-19 tahun perokok di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010-2013 menunjukkan, peningkatan itu mencapai 10 kali lipatnya.

"Diperkirakan ada sekitar 6,3 juta perempuan Indonesia usia diatas 15 tahun yang merokok pada 2013," kata Nila FA Moeloek usai membuka "The 2nd Indonesia Conference onTobacco or Health (ICTOH)" di Jakarta, Kamis (28/5).

Menkes mengemukakan, pemasaran industri rokok saat ini menyasar pasa generasi muda. Jika tidak dilakukan upaya pencegahan, hal ini dikhawatirkan akan mengancam bonus demografi. Karena perokok sangat berisiko terkena berbagai penyakit.

"Menyelamatkan generasi muda dari rokok seharusnya menjadi komitmen bersama, bukan hanya kementerian kesehatan," ucap Nila Moeloel.

Disebutkan, jumlah perokok muda usia yang terus meningkat. Riset Kesehatan Dasar 2007-2013 menyebutkan, prevalensi merokok pada remaja naik dari 34,2 persen menjadi 36,3 persen. Selain itu, ditemukan 1,4 persen perokok berusia 10-14 tahun.

"Iklan menjadi instrumen industri rokok dalam menyasar generasi muda. Akibatnya, generasi muda yang merokok terus naik jumlahnya," katanya menegaskan.

Nila menyebutkan, dari tahun 1995 hingga 2013, prevalensi merokok di Indonesia pada kelompok umur di atas 15 tahun terus naik. Prevalensi merokok tahun 1995 sebesar 27 persen naik menjadi 31,5 persen pada 2001. Angka tersebut naik lagi menjadi 34,4 persen pada 2004.

Pada 2007 dan 2010, prevalensi merokok berada di angka 34,2 persen dan 34,3 persen. Tiga tahun kemudian, prevalensi merokok menjadi 36,3 persen. Rinciannya, prevalensi pada laki-laki 66 persen dan perempuan 6,7 persen.

Prevalensi perokok pada penduduk berusia 15-19 tahun dari tahun 1995 ke 2013 terus meningkat. Yakni, 7,1 persen pada tahun 1995, 12,7 persen tahun 2001, 17,3 persen tahun 2004, 18,8 persen di tahun 2007.

"Prevalensi meningkat lagi di tahun 2010 menjadi 20,3 persen. Walaupun tahun 2013 menurun menjadi 18,3 persen, angka tersebut tetap tinggi," tuturnya.

Dampak merokok, lanjut Nila, kejadian penyakit tidak menular terus meningkat dan membebani ekonomi. Sebanyak 30 persen pembiayaan rawat inap dan 10 persen rawat jalan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terserap untuk pengobatan penyakit tidak menular tersebut.

"Jika ini terus berlangsung, maka akan membebani keuangan negara," ucapnya.

Empat dari lima penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia tahun 2014 sangat terkait dengan rokok, yakni stroke, penyakit kardiovaskular, kanker, dan hipertensi. Bahkan, angka kematian akibat penyakit tidak menular meningkat dari 50,7 persen di tahun 2004 menjadi 71 persen pada 2014.

Menurut Nila, Kementerian Kesehatan tidak bisa bekerja sendirian dalam mengendalikan konsumsi rokok pada generasi muda. Ada peran kementerian lain dalam pengendalian konsumsi rokok. Salah satu yang berperan penting ialah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Penerapan kawasan tanpa rokok di sekolah juga pelarangan penjualan dan iklan rokok di lingkungan sekolah merupakan contoh konkrit kebijakan yang mendukung pengendalian tembakau," katanya.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Taufik Hanafi mengatakan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebenarnya sudah mengirim surat edaran untuk melarang rokok di sekolah.

Selain itu, Kemdikbud telah meminta dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota untuk melarang penjualan rokok di lingkungan rokok, iklan rokok di lingkungan sekolah, dan pemasangan tanda dilarang merokok di sekolah.
(TW)

 

BPJS Kesehatan: Masa Tunggu Pendaftaran Kartu Jadi 14 Hari

28meikkiCalon peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tampaknya harus lebih sabar dalam menggunakan kartunya untuk berobat. Pasalnya, BPJS kesehatan menerapkan peraturan baru masa tunggu dari sebelumnya 7 hari menjadi 14 hari.

Namun, peraturan yang berlaku mulai 1 Juni 2015 itu hanya untuk kelompok Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja yang mengambil kelas I dan II.

"Peserta mandiri kelas III, peraturan tersebut tidak berlaku. Tetapi, syaratnya harus menunjukkan surat keterangan dari dinas sosial yang menyatakan bahwa dia tidak mampu," kata Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (27/5) malam.

Irfan menjelaskan, masa tunggu pendaftaran diperpanjang karena alasan teknis administrasi. Mulai dari verifikasi data kependudukan peserta, penyiapan dan pendaftaran peserta di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) pilihannya, dan penerbitan kartu peserta.

"Yang berbeda, selama masa menunggu 14 hari itu calon peserta tak perlu membayar iuran dulu. Iuran dibayarkan setelah mendapat virtual account, lalu bayar iuran ke bank atau lewat atm. Setelah bayar, peserta bisa mendapat kartu BPJS Kesehatan yang bisa digunakan saat itu juga," tuturnya.

Selain itu, perpanjangan masa tunggu ini diharapkan juga dapat menekan jumlah peserta yang hanya mendaftar saat sakit. Selama ini masyarakat sering berpikir lebih baik mendaftar setelah sakit. Padahal, semua asuransi bertujuan untuk menghindarkan risiko di masa mendatang.

"Tetapi ini bukan asuransi murni, karena kami meminta data kesehatan peserta. Siapapun, dengan kondisi penyakit yang parah sekalipun bisa menjadi peserta BPJS Kesehatan," tuturnya.

Tentang pendaftaran bayi yang akan dilahirkan, Irfan menjelaskan, hal itu bisa dilakukan sejak bayi dalam kandungan. Namun, masih menggunakan data ibunya. Pembayaran iuran baru dilakukan paling lambat 3 bulan setelah dilahirkan.

Ditambahkan, pelayanan kesehatan baru bisa diberikan kepada bayi 14 hari setelah pembayaran iuran. Namun, ketentuan itu tidak berlaku bagi bayi baru lahir anak peserta penerima biaya iuran (PBI) yang didaftarkan sebagai peserta PBPU dengan hak kelas III.

"Begitupun pada bayi baru lahir dari penduduk yang didaftarkan oleh Pemda sebagai PBPU dengan hak kelas III. Peserta dan bayi baru lahir dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang ditetapkan Menteri Sosial dan telah didaftarkan peserta BPJS Kesehatan dengan hak kelas III," ujarnya.

Selain itu, bagi peserta dan bayi baru lahir dari peserta PBPU dan peserta Bukan Pekerja yang mendaftar kelas III dengan menunjukkan surat rekomendasi dari Dinas Sosialsetempat sebagai orang tidak mampu dan/atau keterangan lain yang dibutuhkan. (TW)

{jcomments on}

Rokok Berpotensi Gagalkan Bonus Demografi Indonesia

Satu dari lima penduduk dunia kecanduan merokok. Dari total 1,35 miliar perokok di seluruh dunia, sekitar 22,5 persen di antaranya merupakan anak muda. Hal itu disampaikan CEO Indonesia Medika dr Gamal Albinsaid. Menurut dia, industri rokok jelas mengancam kelanjutan generasi muda yang sehat dan berdaya ekonomi tinggi.

"Sekitar 78 persen perokok di kita sudah mulai merokok sebelum usianya 19 tahun. Bahkan, sepertiganya mengaku sudah mulai mencoba (rokok) sejak 10 tahun," ujar dr Gamal Albinsaid, Selasa (27/5) di sela-sela acara Youth Forum 2nd Indonesian Conference on Tobacco or Health 2015 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.

Dr Gamal menambahkan, industri rokok menyasar konsumen dari rentang usia anak-anak muda di Indonesia. Karena itu, dia mengapresiasi acara hasil kerja sama dengam Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini.

Sebagai perbandingan, lanjut Gamal, setiap tahunnya pemerintah Indonesia mengalokasikan anggaran Rp 1,1 triliun untuk mengatasi penyakit akibat paparan asap rokok. Bahkan, rumah tangga rata-rata keluarga Indonesia, yang memiliki perokok biasanya sebagai suami/kepala keluarga, cenderung tidak masuk akal dalam mengalokasikan pendapatan per bulannya. Sebab, alokasi untuk pendidikan dan kesehatan masih kalah dibandingkan untuk membeli rokok.

"Menghabiskan 11,5 persen pendapatan per bulannya untuk konsumsi rokok. Sementara, per bulannya mereka hanya menghabiskan 3,2 persen untuk pendidikan dan 2,3 persen untuk kesehatan," ucap dr Gamal Albinsaid.

Kondisi demikian, lanjut Gamal, sangat sering dijumpai justru pada keluarga Indonesia dari kelas menengah ke bawah, bukan kalangan berpenghasilan tinggi. "Padahal, sekitar 50 persen dari total penduduk Indonesia per harinya hanya mendapat 2 dolar AS per hari. Bahkan, 18 persennya hidup dengan (penghasilan) di bawah 1 dolar AS per hari."

Lantaran itu, lanjut dia, perlu peran dan keberpihakan pemerintah terhadap kampanye antirokok. Apalagi, sebut Gamal, menjelang puncak bonus demografi Indonesia pada rentang tahun 2020-2030. Gamal mengatakan, saat ini, jumlah penduduk usia produktif sebanyak kira-kira 180 juta orang, dibandingkan dengan jumlah penduduk usia nonproduktif yakni 85 juta orang.

"Tantangannya, bagaimana agar mereka yang usia produktif, benar-benar produktif. Saya kira, produktivitas itu sangat dekat dengan kesehatan. Jadi, ketika kesehatan itu rendah, produktivitas juga rendah," tutur dia.

Padahal, lanjut Gamal, bonus demografi pasti segera diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk usia nonproduktif. Dengan demikian, apabila kesehatan kaum muda Indonesia kini terganggu akibat rokok, Indonesia berpeluang besar melewati puncak bonus demografi tanpa hasil yang diharapkan.

"Kita tua sebelum menjadi kaya. Artinya, usia tidak produktif menjadi dominan, sehingga memberikan dampak yang negatif," pungkasnya.

Acara Indonesian Conference on Tobacco or Health kali ini dihadiri oleh sekira dua ratus orang peserta dari berbagai kelompok kepemudaan. Acara ditutup dengan dibuatnya surat terbuka oleh para pemuda yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo agar pemerintah segera meratifikasi FCTC.

sumber: http://www.republika.co.id

 

Pemerintah Dorong BPJS Kesehatan Skrining Hipotiroid Kongenital

26mei-2Kementerian Kesehatan tengah membahas kemungkinan tindakan skrining hipotiroid kongenital pada bayi-bayi baru lahir, masuk dalam layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

"Skriming itu menjadi penting untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cerdas," kata Tritarayati, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Mediko Legal dalam diskusi seputar tiroid, di Jakarta, Selasa (26/5).

Ditambahkan, skrining hipotiroid kongenital pada bayi-bayi baru lahir menjadi penting, karena semakin cepat penyakit ditemukan akan semakin baik proses pengobatannya. "Jika gangguan tiroid ditemukan pada bayi dibawah tiga bulan, maka tingkat kesembuhannya bisa 100 persen," ujarnya.

Jika tindakan skrining hipotiroid kongenital masuk ke dalam program BPJS Kesehatan, menurut Tritarayati, hal itu masuk ke dalam upaya preventif dan promotif. Jika hal itu berjalan dengan baik, maka pemerintah akan menghemat lebih banyak uang. Karena jumlah penduduk Indonesia yang sakit semakin sedikit.

Dijelaskan, gangguan tiroid bukanlah jenis penyakit menular tetapi bisa menimbulkan masalah saat dewasa. Karena hal iyu bisa menimbulkan kanker tiroid, auto imun, gangguan kesuburan, depresi dan defisiensi iondium.

"Pada bayi yang terkena gangguan tiroid, akan mengakibatkan keterbelakangan mental," kata dr Tritarayati.

Pemeriksaan skrining hipotiroid kongenital (SHK) yang dilakukan selama 2000-2014 di sejumlah lokasi terpilih, kasus positif proporsinya 0,4 per 1000 bayi lahir.

"Bila tidak dilakukan intervensi, diperkirakan 16-26 tahun mendatang 24 ribu-39 ribu orang Indonesia mengalami keterbelakangan mental dengan kerugian Rp 5000-8000 triliun atau per tahun rugi Rp 309 triliun," katanya.

Ditambahkan, SHK sebenarnya menjadi standar pelayanan bagi semua bayi lahir. Hal itu tertuang dalam Permenkes No 25 Tahun 2014 tentang upaya pelayanan kesehatan anak dan permenkes no 78 tahun 2014 tentang SHK.

Pada 2015 ini, SHK akan diimplementasikan di 19 provinsi yakni Aceh, Sumut. Sumbar, Riau, Lampung, DKI jakarta, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulsel, Sultra dan NTT.

"Pasa 2016, semua wilayah Indonesia telah diperkenalkan dan melayani SHK," kata Tritarayati menandaskan. (TW)

 

Hadiri Sidang WHA ke-68, Menkes Sampaikan Pernyataan Sikap Indonesia

Menteri Kesehatan Prof. Dr. Nila F. Moeloek menyampaikan beberapa poin penting mengenai posisi Indonesia dalam pembangunan kesehatan pada sidang World Health Assembly (WHA) ke-68 di Jenewa, Swiss.

Dalam acara yang dihadiri Direktur Jenderal WHO dr. Margareth Chan, para menteri kesehatan 193 negara anggota WHO serta berbagai partisipan lainnya tersebut, Menkes menyatakan beberapa sikap Indonesia terhadap berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit polio, keadilan pelayanan kesehatan, dan keberhasilan Indonesia menghadapi pandemi influenza.

Selain itu, Menkes pun menyampaikan keperihatinan rakyat dan pemerintah Indonesia untuk rakyat Nepal dan keluarga yang terkena gempa bumi beberapa waktu lalu.

Dalam pernyataan mengenai polio, Menkes menegaskan komitmen Indonesia pada program global pemberantasan polio dan siap mendukung segala upaya terkait hal tersebut. Indonesia telah berhasil bebas polio sejak 2006 dan akan terus menjaga keberhasilan tersebut hingga saat ini.
Sementara berkenaan dengan kebijakan dunia untuk menggantikan trivalent OPV (Vaksin Polio Oral) ke bivalen OPV, Indonesia menyatakan kesetujuannya, karena hal tersebut merupakan kunci utama mensukseskan pemberantasan Polio.

Meski demikian, Menkes pun menggaris bawahi bahwa Indonesia menyadari kemungkinan munculnya tantangan implementasi di masing-masing negara.

"Indonesia menghimbau WHO memimpin proses transisi ini melalui penetapan kerangka waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara anggota. Indonesia juga terbuka terhadap berbagai usulan, sehingga kami akan terus melakukan kajian dalam pelaksanaan segala rekomendasi global yang mungkin bertentangan dengan program nasional pemberantasan polio," kata Menkes.

Selain perhatian terhadap polio, Menkes juga menyampaikan pernyataan tentang keadilan dan inklusi dalam layanan kesehatan untuk semua rakyat.
Secara geografis dan demografis, kondisi Indonesia rentan terhadap bencana alam. Pengalaman tsunami tahun 2004 dan wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome atau SARS) menjadi pelajaran berharga akan pentingnya adaptasi dan persiapan menghadapi bencana, serta bagaimana sistem kesehatan dapat menanggulangi hal tersebut dengan cepat.

Melalui pembangunan dan pengembangan sistem kesehatan, tantangan dari dalam adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), Stunting (tubuh pendek), kesehatan lingkungan, dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan. Sementara tantangan yang berasal dari luar adalah determinan ekonomi dan sosial.

Target utama pembangunan kesehatan Indonesia tahun 2019 adalah tercapainya penguatan dan transformasi pada layanan kesehatan dasar di Puskesmas. Hal ini perlu didukung dengan sistem rujukan yang efektif, layanan kesehatan yang memadai di rumah sakit rujukan tingkat menengah, penelitian untuk peningkatan ilmu kesehatan pada tingkat tersier, serta mekanisme jaminan sosial untuk menjamin kesehatan seluruh rakyat (Universal Health Coverage).

"Kami percaya Indonesia berada dalam tahapan yang benar untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional guna memberikan keadilan dan layanan kesehatan yang berkeadilan untuk seluruh masyarakat," ungkap Menkes.

Selain itu, pada kesempatan tersebut Menkes juga menyampaikan keberhasilan Indonesia dalam mengadaptasi kerangka kerja PIP (Pandemic Influenza Preparedness) atau kesiapan dalam menghadapi pandemik flu pada tahun 2011.

Hal ini membuktikan seluruh tantangan kesehatan global dapat diatasi dengan kerjasama multilateral di bawah kepemimpinan WHO sebagai Badan PBB untuk bidang kesehatan.

"Tugas kita di masa mendatang adalah melaksanakan kerangka kerja ini secara menyeluruh, termasuk finalisasi elemen kontribusi kemitraan yang dibutuhkan negara-negara berkembang dalam peningkatkan kapasitas menghadapi epidemi global yang mungkin timbul," tegasnya.
Menkes RI menghimbau kepada seluruh negara anggota WHO memperhitungkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki, serta belajar berbagi pengalaman dalam pencapaian MDG selama 15 tahun.

"Oleh karenanya, data yang benar dan digunakan secara tepat menjadi penting di dalam negeri dan antar negara, sehingga kita bisa saling berbagi pengalaman dalam pembangunan ketahanan komunitas global," tegas Menkes.

Di akhir pernyataannya, Menkes kembali menekankan komitmen tinggi Indonesia untuk bekerjasama dengan komunitas Internasional dalam membangun ketahanan sistem kesehatan.

"Kami percaya, melalui dialog yang terus menerus, pertukaran informasi, dan fokus dalam pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kita akan berada pada derajat kehidupan yang lebih baik dalam melaksanakan resolusi yang bermanfaat untuk masyarakat global," kata Menkes.
"Resolusi hanya bisa bermanfaat apabila dapat dilaksanakan. Indonesia menghimbau semua dapat bertanggung jawab dalam melaksanakan resolusi yang kita sepakati," tambahnya.

sumber: http://www.tribunnews.com

 

Kemenkes Luncurkan Iklan Bahaya Menjadi Perokok Pasif

22meikkiKementerian Kesehatan (Kemenkes) meluncurkan iklan kampanye anti rokok versi baru yang mengingatkan para perokok pasif akan bahaya asap rokok. Iklan tersebut menampilkan Ike, perempuan usia 37 tahun yang terkena kanker pita suara.

Ike terpapar asap rokok di tempat kerja,sebuah restoran yang dipenuhi asap rokok terus menerus selama 10 tahun. Suaminya bukan perokok. Ike kini berkomunikasi lewat kertas dan pena, karena pita suaranya hilang lantaran harus dibuang akibat kanker.

Sekjen Kemenkes Untung Suseno Sutarjo dalam peluncuran iklan layanan masyarakat bertajuk "Berhentilah Merokok, Asapmu Membunuh Orang-Orang di Sekitarmu", di Jakarta, Jumat (22/5) mengatakan, kampanye itu dilakukan untuk membangkitkan lagi kesadaran masyarakat akan bahaya menjadi perokok pasif. Mengingat, jumlah perokok di Indonesia sudah mencapai 53,7 juta orang.

"Bukan saja diingatkan, tapi masyarakat harus berani menegur orang yang merokok di tempat-tempat yang ada larangannya," ucap Untung Suseno menegaskan.

Mengutip hasil riset kesehatan dasar (Rikesdas) 2010, ada sekitar 95 juta orang di Indonesia terpapar asap rokok, termasuk di dalamnya 40,3 juta anak Indonesia berusia 0 – 14 tahun sebagai perokok pasif. Paparan asap rokok memiliki dampak negatif yang sama bahayanya dengan perokok aktif.

Dalam kutipan buku The Tobacco Atlas yang diterbitkan American Cancer Society dan World Lung Foundation dinyatakan pula paparan asap rokok meningkatkan risiko terkena kanker paru-paru sebesar 30 persen dan penyakit jantung koroner sebanyak 25 persen.

"Hasil penelitian Global Adult Tobacco Survey (GATS) periode 2008 – 2013 menunjukkan data persentase prevalensi paparan asap rokok terhadap orang dewasa di Indonesia. GATS mencatat lebih dari 85 persen orang dewasa Indonesia terkena paparan asap rokok di rumah, lebih dari 78 persen di tempat makan, dan 50 persen di tempat kerja," katanya.

Terkait kebijakan anti rokok, Untung Suseno mengatakan, Indonesia telah menyusun berbagai aturan yang mengatur perlindungan masyarakat dari bahaya paparan asap rokok. Salah satunya lewar penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai tempat umum maupun tempat kerja, terutama di lingkungan sekolah dan rumah sakit. (TW)

{jcomments on}