TB Banyak Ditemukan di Lapas/Rutan

24feb15Penyakit tuberkulosis (TB) ternyata paling banyak ditemukan di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan). Hal itu bisa terjadi sebagai dampak dari sesaknya penghuni di kedua tempat tersebut.

"Orang di penjara biasanya mudah stress. Orang stress daya tahan tubuhnya rendah. Kena percikan ludah dari penderita TB sedikit saja, kumannya langsung menular," kata Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Sigit Priohutomo di Rutan Cipinang, Jakarta, Selasa (24/2).

Hadir dalam kesempatan itu Direktur Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana, Kementerian Hukum dan HAM, Nugroho dan Kepala Rutan Kelas I Cipinang, Asep Sutarda.

Untuk itu, lanjut Sigit, program eliminasi TB sejak tahun lalu difokuskan di rutan maupun lapas. Dari 382 lapas/rutan yang ada di Indonesia, sudah ada 251 lapas/rutan yang mendapat intervensi penanganan TB.

"Biasanya penyakitnya sudah komplikasi dengan penyakit lain seperti TB dengan Hiv/Aids, TB dengan hipertensi atau TB dengan diabetes. Semua diobati sesuai indikasinya," tutur Sigit Priohutomo.

Sigit mengakui bukan perkara mudah mengobati pasien TB. Karena butuh ketekunan minum obat rutin hingga 6 bulan nonstop. Biasanya, pasien berhenti di bulan kedua, karena merasa kondisi kesehatannya membaik dan ditunjang rasa bosan minum obat terus menerus.

"Begitu berhenti minum obat, kuman jadi resisten atau kebal. Sehingga butuh obat baru TB yang lebih kuat dan waktunya lebih lama," kata Sigit.

Ia mencontohkan pengobatan TB normalnya selama 6 bulan. Jika kuman sudah resisten, diganti obat lain dengan waktu pengobatan diperpanjang menjadi 1,5 tahun.

Jika menggunakan obat suntik yang biasanya selesai dalam kurun waktu 2 bulan. Jika sudah resisten pengobatan dengan suntik diperpanjang menjadi 6 bulan.

"Kalau sudah resisten, biaya pengobatannya jadi mahal. Karena harga obat baru lebih mahal dibandingkan obat TB lama. Waktunya pun jadi lebih lama. Kenaikan biayanya jadi berlipat-lipat," ujar Sigit.

Kepala Rutan Cipinang, Asep Sutarda mengakui adanya over kapasitas di setiap lapas/rutan. Di Rutan Cipinang sendiri, kelebihan kapasitas itu mencapai 302 persen.

"Kapasitas Rutan Cipinang yang seharusnya dihuni sekitar 1000 orang, kini menjadi 3 ribu orang. Bisa dibayangkan bagaimana sesaknya di rutan," kata Asep.

Ditambahkan Asep, penyakit tertinggi yang ada di Rutan Cipinang selain TB juga ada HIV, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), hepatitis, hipertensi, dan penyakit kulit.

"Tahun 2014 ada 42 kematian di Rutan Cipinang. Faktor penyebabnya komplikasi penyakit TB dengan HIV. Ada karena Ispa dan hepatitis," kata Asep menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Bank Dunia: Pelayanan Kesehatan di Indonesia Memprihatinkan

Bank Dunia mengatakan bahwa penerapan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah sebuah langkah maju yang penting dalam memerangi kemiskinan dan mengurangi kerentanan kemiskinan. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah terkait kesehatan.
Adapun hal tersebut, antara lain fasilitas kesehatan dan akses untuk mendapatkannya. Selain itu, ketersediaan tenaga ahli dalam bidang kesehatan yang dinilai masih minim.

Kepala Tim Bank Dunia yang menangani masalah isu kesejahteraan sosial di Indonesia, Cristobal Ridao Cano mengatakan bahwa negara ini memerlukan pelayanan kesehatan yang memadai.

"Fasilitas kesehatan belum dilengkapi pelayanan dasar secara baik terutama di Indonesia Timur, misalnya imunisasi rutin bayi, pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kebidanan," ungkap Cristobal di Kantor Bank Dunia, Jakarta, Rabu, 18 Februari 2015.

Selain itu, lanjutnya, akses kesehatan memang sudah meningkat tetapi tetap menjadi tantangan serius di beberapa daerah khususnya Indonesia bagian timur. "Di Indonesia Timur banyak warga yang pergi lebih dari 20 kilometer bahkan di atas 30 kilometer untuk akses kesehatan terdekat," jelasnya.

Menurut dia, fasilitas puskesmas tidak memiliki sarana pelayanan dasar, seperti perawatan kehamilan dan imunisasi anak. "Oxytocin juga tidak tersedia, lalu lebih dari 20 persen puskesmas di Papua, Papua Barat dan Maluku tidak punya vaksinasi yang baik, apakah itu DPT, Polio dan BCG," terangnya.

Dia pun menegaskan, tenaga profesional di bidang kesehatan memang sudah diperkuat tetapi kebanyakan hanya berada di Pulau Jawa. Dan berdasarkan penemuannya, kebanyakan pekerja kesehatan yang di daerah tidak mempunyai keterampilan yang memadai.
"Tenaga profesional sudah diperkuat tapi kurangnya keterampilan menjadi masalah," ucapnya.
Akibat dari pelayanan yang kurang memadai tersebut, berdasarkan hasil penemuannya maka didapat angka kematian Ibu melahirkan tetap tinggi. Kemudian, sebanyak 37 persen balita bertubuh kecil masih ditemukan dan ini sama sekali tidak ada perubahan.
"Kematian Ibu melahirkan dan angka malnutrisi pada anak yang cukup tinggi ini relatif terhadap tingkat pendapatan di Indonesia," ujarnya.

Oleh karena itu, dia dengan UHC (Universal Health-Care Coverage) ingin mengajak pemerintah Indonesia melakukan sosialisasi kampanye kesehatan publik, juga kampanye tidak merokok agar semua penduduk terlindungi.
"Perlu sosialisasi agar masyarakat berkontribusi. Dengan fasilitas kesehatan yang lengkap maka tingkat kematian akan turun, " kata dia..

sumber: http://bisnis.news.viva.co.id/

 

BPOM Beri Sanksi Kalbe Farma

20febBadan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) membekukan sementara izin produksi dan edar Buvanest Spinal buatan Kalbe Farma, menyusul meninggalnya dua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang, akibat penggunaan obat anestesi tersebut.

Ampul Buvanest yang seharusnya berisi Bupivacanie untuk anestesi justru berisi asam traneksamat, bahan baku obat injeksi penghenti atau mengurangi perdarahan.

"Dari hasil investigasi terbukti telah terjadi kekeliruan dalam ampul Buvanest yang tak sesuai label," kata Kepala BPOM Roy Alexander Sparingga dalam penjelasan kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (18/2).

Hadir dalam kesempatan itu Menkes Nila FA Moeloek, Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes, Akmal Taher, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, Maura Linda Sitanggang.

Roy menambahkan, pihaknya menginstruksikan sejumlah hal kepada perusahaan farmasi tersebut. Pertama, Kalbe Farma diinstruksikan menarik seluruh produk produk Buvanest Spinal, tak hanya pada batch tertentu.

Kedua, lanjut karena izin edar dicabut dengan sendirinya produksi juga dihentikan. Enam line produksi di pabrik Kalbe yang dipergunakan untuk produk Buvanest sudah disegel.

Ketiga, Badan POM membekukan izin peredaran kedua produk obat tersebut. Lanjut atau tidaknya izin produksi, diputuskan nanti berdasarkan hasil investigasi lanjutan.

Selain itu, Badan POM juga mengirimkan surat edaran ke rumah sakit di seluruh Indonesia dan kolegium dokter spesialis anestesi agar tidak menggunakan kedua obat tersebut.

"Proses investigasi sendiri belum rampung. Nanti, kalau sudah rampung baru bisa diputuskan kebijakan lanjutan yang akan dilakukan pada kasus ini," tambah Roy.

Ditanyakan kasus lain yang mungkin terjadi karena produksi dalam satu batch ada sebanyak 26 ribu ampul, Menkes Nila Moeloek mengaku dirinya belum menerima laporan pasien lain yang mengalami kematian akibat penggunaan Buvanest Spinal. "Belum ada kasus lain," kata Menkes.

Ditanya soal prosedur rumah sakit, Dirjen BUK Akmal Taher menjelaskan, pihaknya sudah melakukan investigasi ke rumah sakit Siloam Karawaci. Pihaknya belum menemukan ketidaksesuaian prosedur dalam kasus tersebut.

"Dokternya punya izin praktik, begitupun proses penyimpanan obat sesuai prosedur. Tak ada yang salah dalam proses pengobatannya," kata Akmal.

Roy menambahkan, pihaknya telah melakukan pengujian atas sisa bahan anestesi sebanyak 1 miligram, yang dipergunakan dalam proses pengobatan di RS Siloam.Hasil penelitian menunjukkan ada ketidaksesuaian isi.

Diceritakan kronologi meninggalnya dua pasien tersebut bermula pada tanggal 11 Februari 2015, kedua pasien mendapatkan injeksi Buvanest Spinal. Satu pasien mendapat injeksi Buvanest untuk tindakan Sectio Caesarea (operasi caesar).

Sedangkan, satu pasien lain terkait dengan kasus urologi, di mana yang bersangkutan sedang melakukan cek kandung kemih lewat uretra. Setelah pemberian injeksi tersebut, kedua pasien mengalami kejang dan panas. Sumber lain juga mengatakan pasien mengalami gatal-gatal.

Kemudian, pasien mendapatkan perawatan intensif di ICU. Kurang dari waktu 24 jam, pada 12 Februari 2015, kedua pasien meninggal. Untuk pasien operasi caesar, diketahui sang bayi selamat. Pada tanggal 12 Februari itu pula, Kalbe Farma menarik 2 produk yakni seluruh batch Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy 4 ml dan Asam Tranexamat Generik 500 mg/Amp 5 ml dengan nomor batch 629668 dan 630025. (TW)

{jcomments on}

BPJS Kesehatan: Mulai Maret, Seluruh Peserta Mendapat KIS

Mulai Maret 2015, kartu BPJS Kesehatan akan berganti nama menjadi Kartu Indonesia Sehat (KIS). Pada tahap awal, pergantian kartu baru diperuntukan bagi peserta Penerima Biaya Iuran yang berjumlah 86,4 juta orang.

"Selain PBI, peserta BPJS Kesehatan yang mendaftar pada Maret akan langsung mendapat kartu baru," kata Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris usai penandatanganan kerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), di Jakarta, Selasa (17/2). Hadir dalam kesempatan itu Kepala LKPP, Agus Rahardjo.

Kerja sama dengan LKPP, dijelaskan Fachmi, khususnya dalam lelang pembuatan kartu KIS sesuai dengan jumlah peserta BPJS Kesehatan yang mencapai lebih sari 133 juta orang. Lelang pekerjaan oleh LKPP dilakukan, karena harganya bisa lebih murah hingga separo dari harga pasaran.
Ditanyakan citra pemegang KIS adalah orang miskin, Fachmi berharap hal itu tidak terjadi lagi. Pemegang KIS adalah seluruh peserta program JKN.
"Hanya ganti nama saja, karena baik ukuran maupun bentuk kartunya sama. Kartu lama masih bisa dipakai. Tanpa kartu pun bisa berobat asalkan hapal nomor kependudukan," ujarnya.

Untuk mempercepat proses pencetakan dan distribusi, Agus Rahardjo menjelaskan, pencetakan kartu akan dilakukan per region. Hal itu dilakukan untuk mempercepat proses pendistribusian kartu. (TW)

{jcomments on}

BPJS Kesehatan: Premi PBI Diusulkan Naik Jadi Rp 27.500

fahmi15Ketidakcocokan antara rasio klaim dengan penerimaan premi dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014, tak ada upaya lain yang harus dilakukan selain menaikkan besaran premi. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan kenaikan premi bagi penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung pemerintah dari sebelumnya Rp 19.225 per bulan menjadi Rp 27.500 atau sebesar 43persen.

"Saat ini ketidakcocokan rasio klaim menggunakan dana talangan dari pemerintah sekitar Rp 6 triliun. Tahun depan, kami dana itu tidak dalam bentuk dana talangan, tetapi kenaikan premi PBI yang ditanggung pemerintah. Sehingga keberadaannya bisa dipastikan," kata Dirut Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris usai penandatangan kerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/jasa Pemerintah (LKPP), di Jakarta, Selasa (17/2).

Fachmi menjelaskan, perubahan premi baru bisa dilakukan pada 2016 sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pengusul
kenaikan premi pun dari DJSN, bukan dari BPJS Kesehatan. "Kami hanya pelaksana. Yang berhak mengusulkan adalah pemerintah yang diwakilkan
DJSN. Perubahannya nanti dalam bentuk Peraturan Presiden," tuturnya.

Fachmi mencontohkan total premi yang belum diaudit hingga Desember 2014 tercatat Rp 41,06 triliun, sementara biaya manfaat (klaim)
sebesar Rp 42,6 triliun. Jadi ada mismatch (ketidakcocokan), rasio klaim sampai 103,88 persen selama tahun 2014.

"Ketidakcocokan angka ini harus diantisipasi ke depan bukan dalam bentuk dana talangan lagi, tetapi kenaikan premi PBI. Sehingga hitung-hitungannya sangat jelas," ucap Fachmi menegaskan.

Ketidakcocokan tersebut, menurut Fachmi Idris, bisa terjadi sebagai dampai fenomena efek asuransi atau insurance effect. Masyarakat kelas
bawah berbondong-bondong mendaftar BPJS Kesehatan karena kondisinya yang sudah sakit.

"Selama kurun waktu 2014, tercatat ada 9 juta jiwa yang dirawat di rumah sakit. Bisa dibayangkan biaya pengobatan mereka, misalkan
rata-rata Rp 1 juta per bulan, sementara biaya iurannya hanya Rp 19.225 per bulan," katanya.

Terkait dengan kondisi itu, pihak BPJS Kesehatan ini memberlakukan peraturan baru yang mana kartu tidak bisa dilakukan saat itu juga,
seperti pada aturan 2014 lalu. Tetapi ada masa tunggu selama 1-3 bulan untuk proses aktivasinya.

"Jadi orang tidak menjadi anggota BPJS Kesehatan karena kondisinya yang sudah sakit. Tetapi kesadaran baru bahwa asuransi itu untuk
mempersiapkan kalau terjadi sakit. Masih kita telaah apakah 1 bulan atau 3 bulan untuk masa tunggunya," ujarnya.

achmi menyebutkan, tahun 2015 ini pihaknya menargetkan bisa mengumpulkan premi sebesar Rp 55 triliun dengan rasio klaim 98,25
persen. Hingga 13 Februari 2015, jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai 137,7 juta dan ditargetkan bisa mencapai 168 juta orang di
tahun ini.

"Target premi Rp 55 triliun tahun ini, biaya manfaat 98,25 persen dari total premi seperti biaya rumah sakit," katanya. (TW)

{jcomments on}

Layanan Kesehatan Harus Mudah Diakses

BANDA ACEH - LSM Masyarakat Transprasni Aceh (MaTA) menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh memiliki peran melekat mengawasi jalannya pelayanan kesehatan rakyat dalam program Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) yang digagas Pemerintah Aceh bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). "DPR Aceh merupakan pihak yang turut bertanggung jawab mengawasi jalannya program JKRA pada Pemerintahan Aceh. Sehingga tidak terkesan pemerintah hanya menggelontorkan anggaran besar tapi tidak mengawasinya dari sisi akuntabilitas dan tranparansi pelaksanaannya di lapangan," ujar Koordinator MaTA, Alfian menanggapi laporan Eksklusif Serambi berjudul "600.000 Warga Aceh belum Daftar BPJS" yang disiarkan Minggu 15 Februari 2015.

Menurut Alfian, sebagai lembaga pengawas DPRA memiliki akses yang lebih besar untuk memantau apa yang terjadi di lapangan. Mulai dari sisi penggunaan anggaran hingga pelayanan di level bawah. Dari sisi anggaran, DPRA berkewajiban memastikan anggaran yang dikeluarkan Pemerintah Aceh untuk jaminan kesehatan rakyat digunakan secara transparan dan akuntabel. Sementara di level lapangan, pelayanan kesehatan kepada rakyat yang dijamin oleh pemerintah harus menganut prinsip yang mudah diakses dan tidak membebani masyarakat.

Alfian menyebutkan, merujuk dari anggaran yang digelontorkan Pemeritah Aceh lewat program JKRA bekerja sama dengan BPJS, seharusnya pelayanan jaminan kesehatan untuk rakyat Aceh jauh lebih baik dan tidak mengesankan kerumitan. Alfian menyebutkan ketika jaminan kesehatan masih sepenuhnya dijalankan pemerintah Aceh lewat program JKRA banyak ditemukan ketimpangan dalam pelaksanannya. Justru hal ini sebagian besar dialami warga miskin.

"Misalkan ada dokter yang memberi resep obat di luar dari daftar obat yang ditanggung program JKRA. Kondisi ini membuat keluarga pasien, harus menebus obat tersebut di apotek dengan harga yang tinggi. Pasien yang rata-rata hidup miskin tidak punya pilihan lain. Kalau ada komplain, dokter beralasan sudah disetujui pasien," ujarnya. Praktik dokter semacam ini, kata Alfian sangat merugikan pasien. Ia mensinyalir ada modus lain mengapa kalangan oknum dokter mengambil kebijakan itu. Menurut Alfian dengan anggaran yang besar dari sektor kesehatan seharusnya layanan kesehatan yang diperoleh rakyat Aceh semakin lebih baik dari tahun ke tahun. Terlebih setelah Pemerintah Aceh pada 2015 kembali menjalin kerja sama dengan BPJS dengan menggelontorkan anggaran yang mencapai Rp 467 miliar sebagai jaminan kesehatan rakyat Aceh. Besaran anggaran tersebut mampu mengcover (menutupi) biaya kesehatan 2,3 juta jiwa penduduk Aceh dari total sekitar 5 juta penduduk.

Jumlah alokasi anggaran jaminan kesehatan tersebut lebih besar dari tahun 2014. Pada tahun 2014 Pemerintah Aceh hanya mengalokasikan Rp 415 miliar lebih untuk mengcover 1,6 juta jiwa penduduk Aceh.

Menurut Alfian, dengan besarnya alokasi jaminan kesehatan tersebut semestinya pelayanan kesehatan yang didapat rakyat Aceh jauh lebih baik. "Tapi faktanya sampai saat ini masih banyak ditemukan kasus yang tidak sesuai di lapangan," sebutnya. Pemerintah juga perlu membentuk unit komplain untuk menampung berbagai laporan masyarakat yang tidak mendapat pelayanan kesehatan memadai.

"Unit komplain ini penting agar masyarakat tahu kemana mengadu, dan mendapatkan haknya sebagai warga yang dijamin kesehatannya oleh pemerintah," ujar Alfian. (sar)

sumber: http://aceh.tribunnews.com/

 

Menkes: Promotif Prefentif, Arah Kebijakan Kesehatan di Era JKN

Menteri Kesehatan Nila Moeloek membuka Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) tahun 2015 di Bali, Minggu malam (15/2). Dalam sambutannya, Menkes menyampaikan bahwa dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pemerintah mengambil kebijakan menggeser arah pembangunan kesehatan dari kuratif menjadi promotif preventif.

"Paradigma sehat, mengarusutamakan pembangunan berwawasan kesehatan, kita menariknya lebih ke hulu," ujar Menkes.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah akan menguatkan akses layanan kesehatan primer, melakukan optimalisasi rujukan dan peningkatan mutu layanan kesehatan.

Menkes mengatakan, penguatan akan dilakukan kepada 6.000 Puskesmas di seluruh Indonesia dan membentuk 14 rumah sakit rujukan nasional dan 144 rumah sakit rujukan regional.

Sementara untuk masalah kesehatan, Indonesia, kata Menkes, masih mengalami beban ganda, di mana masih tingginya angka stunting (balita dengan tinggi badan kurang), malnutrisi juga masih banyak ditemukan namun juga mengalami obesitas.

Menkes juga menyampaikan perhatian ekstra perlu diberikan terhadap HIV/AIDS yang penderitanya meningkat di seluruh provinsi.

Menkes juga meminta agar perhatian diberikan terhadap perubahan beban pembiayaan yang tadinya terbesar pada penyakit infeksi/menular menjadi penyakit tidak menular yang seharusnya bisa dicegah.

"Perubahan ini akan memberatkan dalam pembiayaan. Dulu terbesar untuk penyakit infeksi tapi sekarang terbesar stroke disusul oleh kecelakaan lalu lintas," ujar Menkes.

Rakerkesnas tahun 2015 di Bali akan berlangsung selama tiga hari mulai tanggal 16-18 Februari.

sumber: http://www.beritasatu.com/

Menristek-Dikti Luncurkan LAM-PTKes

12feb15Menteri Ristek dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), Mohammad Nasir mengatakan, mulai tahun ini program studi (prodi) bidang kesehatan akan diakreditasi LAM-PTKes. Diharapkan, pendidikan bidang kesehatan semakin terjaga mutunya.

"Karena LAM-PTKes tak hanya melakukan penilaian terhadap prodi bidang kesehatan, tetapi juga pembinaan dan pengawasan. Semoga mutu pendidikan kesehatan di Indonesia semakin meningkat," kata Nasir usai peluncuran secara resmi LAM-PTKes, di Jakarta, Kamis (12/1).

Nasir menjelaskan, proses akreditasi saat ini dibedakan antara lembaga PT dan prodi. Untuk lembaga perguruan tingginya akreditasi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT, sedangkan prodi dilakukan LAM-PT.

"Untuk LAM-PT sebenarnya ada dua jenis, yang dilakukan pemerintah dan yang dilakukan masyarakat. Untuk LAM-PTKes ini oleh swasta," ujar Nasir.

Pendirian LAM-PTKes didirikan atas inisiatif 7 profesi kesehatan, antara lain. kalangan dokter, bidan, perawat, dokter gigi, farmasi. Mereka membuat instrumen penilaian dan uji coba secara mandiri. Karena itu, proses akreditasi oleh LAM-PTKes dipungut biaya.

Soal biaya, Ketua Umum LAM-PTKes, Usman Chatib Warsa menjelaskan, biaya akreditasi dipungut sekitar Rp 65 juta hingga Rp 87,5 juta per prodi. Pada tahun mendatang besaran biaya akan diupayakan lebih rendah lagi.

"Saya belum tahu berapa biaya akreditasi yang bisa ditekan pada tahun mendatang. Karena dalam satu tahun ini kita lihat dulu mana kegiatan yang bisa diefisiensikan," ucap mantan Rektor Universitas Indonesia itu.

Ditanya soal biaya yang hampir Rp 90 juta per prodi, Guru Besar FKUI itu menjelaskan, biaya itu hasil perhitungan atas semua pengeluaran selama proses akreditasi mulai dari pembuatan instrumen, biaya para assessor, hingga proses penilaian.

"Sementara ini ada bantuan pemerintah untuk pembuatan instrumen. Tetapi jumlahnya masih amat terbatas. Dari 166 jenis instrumen, yang dibiayai pemerintah ada sekitar 43 instrumen. Sisanya LAM-PTKes cari sendiri, termasuk sewa kantor dan gaji karyawan," ujar Usman Chatib Warsa.

Ditanya soal independensi hasil penilaian LAM-PTKes, Usman Chatib Warsa mengatakan, meski dikenakan bayaran, proses penilaian akan dilakukan sesuai dengan fakta di lapangan. Karena assessor yang dilakukan masing-masing proses berbeda-beda.

"Yang melakukan penilaian akhir pun ada tim sendiri yang tidak kami jamin tidak ada permainan uang. Sehingga hasilnya semurni mungkin," katanya. (TW)

{jcomments on}

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot