Tiap Tahun, 600 Ribu Orang Indonesia Berobat ke Luar Negeri

Kongres para dokter bedah dunia yang saat ini berlangsung di Nusa Dua Bali, Selasa (21/10), membawa dampak positif bagi pembenahan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

Minimnya peralatan medis di Indonesia dan sebaran tenaga medis yang tidak merata menyebabkan banyak pelayanan kesehatan masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak mendapatkan pelayanan secara adil merata.

Pada kesempatan yang sama, masyarakat kelas menengah ke atas memilih berobat ke luar negeri. Padahal, para dokter di Indonesia secara kapasitas dan kredibilitas serta keahlian tidak jauh berbeda dengan dokter-dokter yang ada di rumah sakit kelas tinggi di luar negeri.

Ketua Kongres Dokter Bedah Paul Tahalele saat ditemui di Nusa Dua Bali, Selasa (21/10) menjelaskan, data terakhir tahun 2013 menunjukkan, ada sekitar 600 ribu Indonesia dari kelompok kelas menengah ke atas yang berobat ke luar negeri. Jumlah ini akan terus bertambah setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya orang kaya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

"Jumlah ini sejauh yang terdata dalam survei kami, masih ada banyak data yang tidak terekam. Hampir dipastikan jumlahnya melebihi atau meningkat di tahun 2014 ini," ujarnya.

Negara yang menjadi target pasien asal Indonesia adalah Singapura, Malaysia, China dan beberapa negara di Eropa dan Amerika.

Menurutnya, ada dua penyebab mengapa orang Indonesia banyak yang berobat ke luar negeri. Pertama, faktor gengsi dan secara finansial mereka memang mampu untuk melakukan hal tersebut.

"Bagi orang kaya, berobat ke Singapura atau Jerman bukan masalah bagi mereka. Padahal mereka juga tahu bahwa dokter di Indonesia mampu melakukan hal tersebut. Kedua, faktor peralatan dan teknologi. Memang harus diakui, banyak sekali peralatan medis yang belum memadai sekalipun para dokter dan pakar di Indonesia mampu melakukannya," ujarnya.

Banyaknya pasien di Indonesia yang berobat ke luar negeri menyebabkan terjadi kerugian devisa bagi Indonesia. Data yang diterima dari Kementerian Kesehatan, potensi kerugian devisa negara akibat banyaknya pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri sebanyak Rp100 triliun per tahun.

Sementara data dari BUMN menjelaskan total kerugian negara akibat banyaknya pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri sebanyak Rp60 triliun per tahun.

"Kedua lembaga pemerintah ini memang memiliki data yang berbeda. Namun kalau kita ambil yang tengah-tengahnya, total kerugian itu mencapai Rp80 sampai Rp90 triliun per tahun. Ini angka yang cukup besar bagi Indonesia. Artinya, dalam setahun, jumlah ini sia-sia dibawa keluar negeri. Padahal kalau mau dibenahi pelayanan medis di Indonesia, jumlah ini tidak terbuang sia-sia ke luar negeri," ujarnya.

Sementara pakar bedah syarat Indonesia Prof Sri Muliawan menjelaskan, saat ini Indonesia hanya memiliki 4 ribu tenaga dokter bedah di tahun 2014. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1800 orang berasal dari dokter bedah umum. Dari jumlah dokter umum sebanyak 1800 orang, ada 1250 orang yang tinggal di kota besar di Jawa dan Bali. Jadi sampai saat ini, di rumah sakit tipe C dan D yang membutuhkana dokter bedah umum ternyata tidak bisa terpenuhi karena masih banyak dokter yang tinggal di daerah perkotaan. (Arnoldus Dhae)

sumber: http://rona.metrotvnews.com

 

Kemenkes dan Bio Farma Bahas Cakupan Imunisasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan PT Bio Farma (Persero) menggelar Pertemuan Nasional Koordinasi Pelaksanaan Intensifikasi Imunisasi Rutin, bertempat di Discovery Kartika Plaza, Bali, akhir pekan lalu.

Acara yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan imunisasi atau Universal Child Immunization (UCI) dihadiri oleh 144 peserta terdiri dari perwakilan Dinas Kesehatan (Dinkes) dari 33 provinsi.

Dalam sambutan Dirjen PPPL yang disampaikan oleh Kasie Bimbingan dan Evaluasi, Subdit Imunisasi dr.Sulistya Widada, berharap peserta yang hadir pada pertemuan ini, dapat mengimplementasikan upaya yang inovatif dan strategis untuk perluasan dan pemerataan jangkauan pelayanan imunisasi.

"Dengan adanya upaya yang inovatif, kami berharap jangkauan dan pelayanan imunisasi bisa merata hingga 100% di seluruh desa di Indonesia, khususnya imunisasi untuk bayi usia 0 – 11 bulan, setidaknya bisa mencapai 90%", kata dr Sulis dalam rilis yang diterima Tribun, Senin (20/10).

Pda kesempatan tersebut hadir pula, Ditjen Binfar Alkes, Ditjen PPPL, Subdit Imunisasi, Komisi Daerah KIPI, perwakilan Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI), Indonesian Technical Advisory Group Immunization (ITAGI) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO)

sumber: http://www.tribunnews.com

Calon Menteri Kesehatan Sebaiknya Bukan Politikus

Indonesia akan memasuki pemerintahan baru di bawah pimpinan presiden terpilih Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla. Nama-nama telah disiapkan untuk mengisi kursi menteri, termasuk Menteri Kesehatan (Menkes).

Kesehatan merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan bernegara. Menkes akan mengemban tugas yang cukup berat di tengah banyaknya persoalan bidang kesehatan di Indonesia. Untuk itu Menkes dinilai sebaiknya berasal dari kalangan profesional atau bukan dari partai politik.

"Terlalu riskan kalau menyerahkan ke politisi. Apalagi politisi tidak begitu mengerti tentang kesehatan, banyak masalahnya," ujar Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zainal Abidin di Kantor IDI, Jakarta, Jumat (17/10/2014).

Menurut Zainal, Kemenkes harus mengerti mengenai konsep kesehatan secara menyeluruh. Mulai dari langkah pencegahan, sosialisasi kesehatan, dan penanganannya. Menkes juga diminta dapat bekerja sama secara baik dengan kementerian terkait dan profesi strategis, termasuk dengan para dokter, perawat, bidan, hingga apoteker.

"Harus dekat. Artinya kalau dia ngomong apa semua dengar. Kalau ditolak oleh kelompok ini saya yakin dia lumpuh. Karena itu, dia musti diterima dengan baik," lanjutnya.

Hal senada dikatakan Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Wijayarta. Menurut dia, selain dari kalangan profesional, calon Menkes harus punya rekam jejak yang baik.

"Orangnya harus bersih, jujur, tidak pernah terlibat kasus seperti korupsi, maupun masalah klinik, dan misalnya yang gelar doktor jangan plagiat. Harus profesional, tidak ada hubungan dengan partai," ujar Marius.

Marius mengatakan, meskipun Menkes dari kalangan profesional misalnya dokter, ia pun harus bekerja profesional dan memiliki program kerja yang jelas untuk menyentuh masyarakat secara menyeluruh.

"Kalau dasar profesional dari dokter, nanti jangan hanya membela dokter dan dia harus lepaskan profesi dokter," kata dia.

Saat ini ada sejumlah nama yang disebut-sebut bakal menggantikan Menkes Nafsiah Mboi. Mereka diantaranya mantan Ketua IDI yang saat ini menjabat Direktur BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Agus Purwadianto.

Sementara itu, seperti dikutip dari Harian Kompas, Jokowi-JK sudah memastikan tujuh kementerian yang harus diisi oleh kalangan profesional murni. Tujuh kementerian itu adalah Keuangan, Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Pertanian, Pekerjaan Umum, Kesehatan, serta Kementerian Pendidikan.

Adapun hari ini, Jokowi-JK melalui tim transisi telah menyerahkan 43 calon anggota kabinetnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Nantinya, calon para pembantu Jokowi-Jusuf Kalla itu akan ditelusuri kedua lembaga tersebut.

sumber: http://health.kompas.com

 

Menkes Lantik Pejabat Eselon 1 dan 2

menkes17oktMenkes Nafsiah MboiDihari terakhirnya sebagai menteri kesehatan, Jumat (17/10) Nafsiah Mboi melantik 4 pejabat eselon 1 dan 25 pejabat eselon 2 di lingkup jajarannya. Pergantian itu dilakukan semata mengisi sejumlah jabatan yang kosong dalam beberapa bulan terakhir.

"Kursinya kosong karena ada yang pensiun, ada yang naik jabatan, ada geser ke posisi lain. Tak ada maksud apapun dibalik pelantikan ini," kata Nafsiah Mboi menegaskan, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta.

Ia mengatakan, pejabat yang dilantik hari ini merupakan pribadi pilihan yang bertanggungjawab, dan bisa bekerjasama dengan lintas sektoral. Karena itu, Menkes meminta pada para pejabat bekerja secara sungguh-sungguh.

Beberapa nama yang dipromosikan antara lain, dr HM Subuh sebagai Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), drg Usman Sumantri, MSC sebagai Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM).

Selain itu, drg Tini Suryanti Suhandi, MKes sebagai staf ahli menteri bidang pembiayaan dan pemberdayaan masyarakat dan drg Tritarayati, SH sebagai staf ahli menteri bidang Mediko Legal.

Nama-nama lainnya adalah pejabat eselon 2, diantaranya dr Slamet, MHP sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran, setelah sebelumnya menjabat Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung.

Selain itu, di lingkungan BPPSDM, pejabat eselon 2 yang dilantik adalah dr Kirana Pritasari MQIH sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan. Dra Meinarwati Apt M.Kes sebagai Kepala Pusat Standardisasi, Sertifikasi, dan Pendidikan Berkelanjutan SDM Kesehatan.

Ditambahkan, dr Achmad Soebagjo Tancarino MARS sebagai Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan dan dr Zaenal Komar Apt MA sebagai Kepala Balai Besar Pelatihan Kesehatan Jakarta.

Pada kesempatan itu Menkes juga memberikan penghargaan kepada beberapa pegawai atas jasa-jasa dan prestasinya. Beberapa nama yang memperoleh piagam prestasi antara lain Dirjen Bina Upaya Kesehatan Prof Akmal Taher dan Sesjen Kemenkes dr Untung Suseno.

Menkes juga menceritakan sekilas tentang perjalanan karirnya sebagai menteri selama kurang lebih dua tahun terakhir. Meski awalnya banyak pihak yang mengkritik karena ia dinilai terlalu tua untuk jadi menteri, anggapan tersebut terbukti salah karena ternyata ia masih bisa dan sanggup menjabat sebagai menteri hingga akhir jabatannya pada jumat (17/10).

"Katanya waktu saya naik jadi menteri, banyak yang tidak suka. Tapi alhamdulillah di lingkup Kemenkes sendiri tidak ada. Saya menerima banyak dukungan dan cinta. Toh, bekerja paling menyenangkan jika dengan cinta," kata Nafsiah Mboi menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Global Fund Apresiasi Program Kesehatan Jokowi

Global Fund untuk penanganan Aids, Tuberculosis, dan Malaria menyambut baik program kesehatan yang bakal menjadi perhatian Presiden Joko Widodo yang secara resmi memulai pemerintahannya pada Senin, 20 Oktober 2014 ini.

Senior Fund Portofolio Manager High Impact Asia Departemen Global Fund Gail Steckley mengatakan program jaminan kesehatan yang selama ini dijalankan Jokowi ketika menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta patut dilanjutkan untuk program yang berlaku di seluruh Indonesia. "Semoga presiden baru lebih banyak memperhatikan bidang kesehatan, dan pendidikan," kata Gail.

Ia menyatakan hal ini di sela kegiatan pelatihan yang berfokus pada isu hak asasi manusia untuk orang yang hidup bersama HIV-Aids, penanganan malaria di Asia Tenggara, dan tubercolusis. Pelatihan ini diikuti sejumlah jurnalis dan ahli dari Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika di kantor pusat Global Fund di Jenewa, Swiss, Rabu-Kamis, 15-16 Oktober 2014.

Global Fund berkomitmen untuk mengucurkan duit sebesar lebih dari 693 juta dolar Amerika Serikat atau lebih dari Rp 8,3 triliun ke Indonesia. Dari jumlah itu, Global Fund telah mencairkan setidaknya Rp 6,8 triliun untuk membantu penanganan HIV-Aids, TBC, malaria, dan penguatan sistem kesehatan di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan laporan Global Fund, program penanangan malaria di Indonesia berjalan sesuai harapan. Program ini berlangsung di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan sejumlah wilayah timur Indonesia. "Program kami di sejumlah provinsi di bagian timur Indonesia saat ini sedang berjalan," kata Gail.

Upaya penanganan TBC di Indonesia, setengah di antaranya dapat nilai bagus sesuai harapan dan setengah sisanya dapat nilai cukup. Untuk program penguatan sistem kesehatan, Global Fund memberi nilai cukup. Untuk penanganan HIV-Aids, sebagian di antaranya dapat nilai cukup. Namun, Global Fund juga tak menutup mata bahwa ada juga program penanganan HIV-Aids ini yang meleset dari target.

Global Fund merupakan konsorsium negara-negara donor. Negara yang menjadi penyumbang dana, di antaranya Swiss, Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan Jepang.

sumber: http://www.tempo.co/

 

MENKES: Gunakan Antibiotik Secara Rasional

19oktMenkes Nafsiah MboiMenteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi mengingatkan kalangan dokter untuk meresepkan obat antibiotik secara rasional. Begitupun dengan masyarakat, hendaknya tak mengonsumsi obat antibiotik tanpa resep dokter.

"Terus terang saja saya galau melihat penggunaan antibiotik yang sudah berlebih. Bukan saja dokternya, tetapi juga masyarakatnya. Kena penyakit flu saja minumnya antibiotik," kata Nafsiah Mboi usai melantik pengurus Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (PRA) 2014-2019, di Jakarta, Kamis (16/10).

Komite PRA menjadi penting, menurut Menkes, karena resistensi antimikroba sudah menjadi masalah serius di dunia, termasuk Indonesia. Apalagi hasil penelitian Amrin (Antimicrobial Resistance in Indonesia)2000-2005 menunjukkan resistensi antimikroba telah terjadi di sejumlah rumah sakit di Tanah Air.

Malahan, lanjut Menkes, antibiotika banyak dipergunakan di peternakan dan perikanan tanpa tujuan medis, tetapi semata demi bisnis. Padahal, daging hewan dan ikan tersebut untuk konsumsi manusia.

"Pengendalian antibiotik tak hanya pada manusia, tetapi hewan juga. Karena konsumen dari hewan itu kan manusia juga. Ini sungguh sudah merusak kesehatan masyarakat," kata Nafsiah menegaskan.

Hal senada dikemukakan pula Ketua Komite PRA, Hari Paraton. Ia menjelaskan hasil penelitian resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance/AMR) tahun 2013 lalu di 6 rumah sakit di Indonesia.

Hasil penelitian itu menunjukkan, resistensi antimikroba terjadi di semua rumah sakit terutama pada bakteri e-coli dan klebsiela pneumonia yang memproduksi enzim ESBL berada pada kisaran 40-60 persen.

"Kita tahu bakteri itu sudah kebal terhadap antibiotika sefalosporin generasi I-IV," ujarnya.

Tanpa gerakan pengendalian AMR, Hari Paraton menilai, kondisi Indonesia di masa depan diprediksikan bakal terjadi 4 hal. Disebutkan, angka kematian dan kesakitan akibat AMR akan meningkat.

Selain itu, biaya perawatan pasien infeksi menjadi mahal. Hal itu akan "mengerus" cadangan dana baik di rumah sakit maupun dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

"Tenaga ahli asing maupun turis akan semakin takut datang ke Indonesia. Karena kumannya sudah imun dengan obat antibiotik yang ada," ucapnya.

Dampak lainnya yang tak kalah penting, Hari Paraton menambahkan, adalah produktivitas kerja secara nasional menurun, karena tingkat kesakitan yang meningkat. Karena makin banyak penduduk yang mengalami kesakitan akibat belum adanya obat baru untuk penyakitnya tersebut.

"Penyebaran AMR di rumah sakit karena pemahaman serta implementasi universal precaution yang masih rendah," kata dokter ahli kandungan tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Menkes melantik 5 anggota Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) periode 2014-2017. Menkes juga mencanangkan Gerakan Penggunaan Antimikroba bijak dan menyerahkan Sertifikat Akreditasi Internasional kepada 5 rumah sakit.

Menkes juga menyerahkan buku Pedoman Pengendalian Resistensi Antimikroba di RS kepada RS Dr Soetomo Surabaya, RSPI Prof Dr Sulianti Saroso, Jakarta, RSU Annisa, Tangerang dan RS Bhayangkara Sespimma Polri Jakarta. (TW)

{jcomments on}

 

Indonesia Kekurangan Tenaga Kesehatan Penerbangan

Menghadapi Open Sky dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 mendatang. Indonesia masih minim infrastruktur. Kekurangan tenaga kesehatan penerbangan juga masih terasa. Hal itu disampaikan Marsekal TNI (purn) Chappy Hakim, Rabu 15 Oktober.

Chappy yang juga mantan Kasau hadir di Makassar dalam simposium nasinal kesehatan penerbangan yang diadakan di hotel Sahid Jaya. Dalam persentasenya, dia menjelaskan perkembangan teknologi penerbangan searah dengan keselamatan penerbangan. Salah satu aspeknya kesehatan penerbangan. "Semakin modern suatu pesawat, harus safer and safer (semakin aman, red)," ujarnya.

Chappy mencontohkan, rapinya standar operasional prosedur (SOP) salah satu maskapai Australia yang pernah ditumpanginya. Saat itu ada penumpang yang terkena serangan jantung dan berhasil diselamatkan karena sigapnya awak kabin.

Di Indonesia, saat pengusaha beramai-ramai mendirikan airlines, apalagi tingginya pengguna transportasi udara hingga mencapai 64 juta penumpang. Tapi itu tidak dibarengi dengan sumber daya manusia memadai. "Pilot kita kurang, air control juga, termasuk tenaga kesehatan. Akhirnya kita kena banned Uni Eropa," keluhnya.

Senada, Marsda TNI Achmad Hidayat menyebut, 80 persen penyebab kecelakaan penerbangan faktor manusia. Karena itu dia menekankan pentingnya tenaga kesehatan penerbangan, termasuk kasus MH 370 yang ditengarai akibat human factor akibat pilot yang kurang sehat,"bebernya.

Hal itu sebenarnya coba dijawab Universitas Patria Artha (UPA) dengan mendirikan jurusan perawat penerbangan. Mahasiswanya sendiri saat ini baru berjumlah 80 orang. "Kedepan, alumni UPA akan terserap di bandara, airlines, serta petugas kesehatan haji," tandas Ketua Yayasan UPA, Bastain Lubis.

Simposium diikuti ratusan peserta dari UPA, TNI AU, akademisi dan masyarakat umum. Hadir sebagai pembicara, Marsekal TNI Chappy Hakim, Marsda TNI Achmad Hidayat, Fasilitator AMS UIMF Dr Soemardoko Tjokrowidigdo, Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib, serta pembicara lainnya. (ris)

sumber: http://fajar.co.id

 

Puncak Peringatan Cuci Tangan Pakai Sabun

15oktDirektur Penyehatan Lingkungan, Ditjen P2PL, Kemenkes, Wilfried H PurbaStudi WHO 2007 menunjukkan intervensi modifikasi lingkungan dapat menurunkan angka penyakit diare hingga 94 persen.
Atas dasar itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejak 2008 lalu membuat program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dengan harapan terjadi perubahan perilaku higienis dan saniter di masyarakat.

"Program STBM terbukti mampu menurunkan angka kesakitan diare hingga 94 persen dan kecacingan hingga 71,6 persen," kata Direktur Penyehatan Lingkungan, Ditjen P2PL, Kemenkes, Wilfried H Purba dalam jumpa pers, di Jakarta, Rabu (15/10) terkait puncak peringatan "Hari Cuci Tangan Pakai Sabun (HCTPS) se-Dunia 2014" pada 18 Oktober mendatang di Jakarta.

Wilfried menjelaskan, CTPS merupakan satu bagian dari program STBM yang tak kalah penting diperkenalkan ke masyarakat. Karena dari tindakan yang terlihat sepele itu, mampu mencegah penyakit menular seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas). Bahkan, CTPS dijadikan standar pencegahan penyakit kritis seperti ebola.

"Perilaku CTPS harus dilakukan di 5 waktu penting, yaitu usai buang air besar (BAB), setelah menceboki bayi/balita, sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan dan sebelum menyusui," ujarnya.

Fakta lain di luar 5 waktu penting yang patut mendapat perhatian terkait CTPS, Wilfried menyebutkan, 71 persen tidak mencuci tangan setelah menyentuh permukaan benda di tempat umum.

"Seharusnya segera CTPS setelah menyentuh gagang pintu, tombol lift di tempat umum. Bahkan di rumah sakit yang bisa menyebabkan infeksi nosokomial. Kuman yang terdapat di tangan akan masuk ke tubuh saat menyapukan tangan ke mata dan hidung," ujarnya.

Selain itu, Wilfried menambahkan, 86 persen tidak mensterilkan keranjang belanjanya. Kuman tidak hanya ditemukan di gagang keranjang belanja, tetapi juga dalam daging dan makanan lainnya. "Setelah berbelanja, segera lakukan CTPS," katanya menegaskan.

Tentang penggunaannya cairan pembersih tangan tanpa bilas, Wilfried mengatakan, hal itu bisa dilakukan sebagai alternatif jika tidak ada air bersih di sekitar. Namun, yang terbaik menggunakan sabun dan air.

"Para ahli tetap menyarankan untuk cuci tangan pakai sabun dan air," kata Wilfried menegaskan.

Ia menyebutkan sejumlah yang paling banyak ditemukan kuman. Di tempat perbelanjaan, terutama pada keranjang belanja yang terbukti 70-90 persen memiliki bakteri e-coli. Tempat bermain anak, padahal sebagian besar anak yang bermain disana memasukan mainan tersebut ke mulutnya.

Selain itu, kuman banyak pada toilet umum. Terutama pada wastafel dan dispenser sabun. Tempat lainnya justru di meja kantor yang terbukti memiliki 400 kali kuman lebih banyak dibandingkan kursi toilet. Bahkan pada meja perempuan, kuman tiga kali lebih banyak dibandingkan meja kerja milik laki-laki.

"Di restoran, kuman paling banyak ditemukan pada lap meja. Ini harus diperhatikan para konsumen," tutur Wilfried seraya menyebutkan data itu berasal dari International Journal Of Enviromental Health Research 2005.

Tempat lainnya di perpustakaan, terutama pada buku-buku yang paling banyak dipinjam. Sedangkan di pusat perbelanjaan, tempat yang patut diwaspadai adalah pegangan tangan pada eskalator. (TW)

{jcomments on}