Selama lebih dari 20 tahun terakhir, terdapat ekspansi besar-besaran dalam literatur akademik yang membahas tentang kebijakan kesehatan maupun area lain terkait kesehatan dan pengobatan dalam konteks ilmu sosial. Kebijakan kesehatan bahkan tidak hanya dibahas oleh kalangan akademisi maupun professional kesehatan dan medis, tapi juga oleh para politisi, kelompok masyarakat, serta media dan umum. Hal ini disebabkan karena pelayanan kesehatan semakin berkembang menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia, di saat pertumbuhan dan perkembangan yang banyak menimbulkan ketidakpastian; merupakan dasar yang penting untuk perdebatan dalam politik (the basis of important policy debates).
Apa itu Kebijakan Kesehatan?
Health policy embraces courses of action that affect the set of institutions, organizations, services, and funding arrangements of the health care system. It goes beyond health services, however, it includes actions or intended actions by public, private, and voluntary organizations that have an impact on health ( Walt, 1994).
Secara sederhana, kebijakan kesehatan dipahami persis sebagai kebijakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Pemahaman tentang arti kebijakan kesehatan dilengkapi oleh Janovsky & Cassels (1996), sebagai : “ The networks of interrelated decisions which together form an approach or strategy in relation to practical issues concerning health care delivery”. Atas dasar itu ia membagi kebijakan kesehatan dalam Kebijakan teknis (technical policies) atau kebijakan operasional (operational policies) yang cenderung bernuansa pelaksanaan kegiatan dan Kebijakan institusional (institutional policies) atau kebijakan strategis (strategic policies) yang cenderung bernuansa strategis.
Oleh karena itu, ada yang melihat kebijakan kesehatan sebagai kebijakan publik karena memang merupakan kebijakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan.
Kebijakan Transformasi Kesehatan di Indonesia
Pada tahun 2023, Kementerian Kesehatan melakukan kebijakan transformasi kesehatan dengan menempatkan layanan primer sebagai hal penting. Berbagai kebijakan publik di layanan primer sampai rujukan dilakukan dengan dukungan berbagai kebijakan pendanaan, SDM, logistik obat, dan teknologi kesehatan. Berbagai kebijakan besar antara lain: kebijakan penurunan stunting, kebijakan penyebaran alat USG ke puskesmas, penyebaran alat antropometeri, pengembangan ketahanan industri obat dan alat kesehatan, pemerataan SDM kesehatan dan berbagai hal lainnya. Berbagai kebijakan tersebut diperkuat dengan adanya UU no 17 tahun 2023 yang bersifat Omnibus Law mengenai Kesehatan.
Mengapa pelaksanaan kebijakan perlu diteliti?
Dalam hal ini ada pertanyaan penting mengenai apa impact kebijakan tersebut ke proses pembangunan kesehatan dan juga status kesehatan masyarakat. Berbagai kebijakan tersebut perlu diteliti dengan pendekatan riset kebijakan untuk memonitor dan mengevaluasi kebijakan. Dalam hal ini ada pertanyaan, siapa yang akan memonitor dan mengevaluasi kebijakan ini?
Penelitian kebijakan kesehatan merupakan salah satu cabang ilmu yang baru berkembang. Pemahaman kalangan akademis yang membidangi masalah kebijakan kesehatan mengenai bagaimana melaksanakan penelitian kebijakan masih sangat terbatas. Hal ini menjadi kendala yang menyebabkan hasil analisis dan riset kebijakan yang dikembangkan oleh peneliti kebijakan kesehatan belum dapat menjelaskan berbagai kesenjangan atau permasalahan yang melatarbelakangi belum efektifnya pengelolaan kebijakan yang dilaksanakan.
Oleh karena itu perlu diadakan peningkatan kapasitas peneliti kebijakan. Salah satunya melalui pelatihan metode penelitian kebijakan kesehatan untuk para peneliti yang tergabung dalam jaringan kebijakan kesehatan di Indonesia.
Seri Webinar ini merupakan pengantar bagi para dosen Poltekkes di Indonesia untuk memahami penelitian kebijakan untuk monitoring implementasi dan evaluasi. Dari webinar ini diharapkan para dosen Poltekes tertarik untuk mengikuti pelatihan riset implementasi.
Tujuan
Kegiatan series webinar ini bertujuan untuk:
Memahami penelitian kebijakan untuk para peneliti kebijakan kesehatan di Indonesia
Memahami penelitian implementasi kebijakan
Memahami peran advokasi dan policy brief
Memulai penulisan proposal.
Setelah melaksanakan rangkaian webinar series, kegiatan dilanjutkan dengan beberapa pelatihan, sebagai berikut:
Pelatihan terstruktur untuk menguasai metode riset kebijakan dan riset implementasi
Pelatihan terstruktur untuk menulis policy brief
Pelatihan untuk melakukan advokasi kebijakan.
Metode
Pelatihan ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode Webinar dengan Ujian. Webinar gratis, sementara ujian diselenggarakan untuk menguji 4 topik sekaligus untuk mendapatkan sertifikat pelatihan
Setelah peserta mengikuti rangkaian kegiatan knowledge event dan kursus kebijakan pada 4-7 Desember 2023. Panitia Asia Pacific Network for Health Systems Strengthening (ANHSS) bersama otoritas Rumah Sakit Hong Kong dan Rumah Sakit Prince of Wales memberikan hospital tour untuk peserta pada 8 Desember 2023. Hospital tour ini dipandu oleh Professor Chin-tim Hung dan Dr Leung Kwan Wa Maria serta tenaga kesehatan lainnya.
Hospital tour dimulai dengan pengenalan bagian dari gedung yang berada di sekitar Shaw Auditorium. Hung menjelaskan bahwa rumah sakit memiliki 1600 tempat tidur dan sedang ada pembangunan gedung baru sehingga dapat menampung 2400 tempat tidur. RS baru tersebut diperkirakan akan beroperasi pada 2027 dengan bantuan dari sektor privat.
Lokasi kedua dari hospital tour adalah Departemen Family Medicine yang dipandu oleh Dr Leung Kwan Wa Maria. Maria menunjukan lokasi layanan Family Medicine memberikan pelayanan kesehatan primer kepada masyarakat melalui klinik rawat jalan umum dan Klinik Spesialis Kedokteran Keluarga. Sasaran utama pasien mereka adalah lansia, kelompok berpendapatan rendah, dan penderita penyakit kronis. Di Departemen Family Medicine mereka memiliki mesin Penjadwalan Mandiri untuk Pengambilan Darah sebelum masuk ke ruang tunggu. Melalui mesin tersebut pasien dapat mengatur jadwal dan lokasi pemeriksaan darahnya sendiri. Selain itu, Maria juga menjelaskan bahwa Otoritas Rumah Sakit di Hong Kong juga memiliki rekam medis yang terintegrasi sehingga pasien yang pindah fasilitas kesehatan tidak perlu melakukan pendaftaran ulang dan membawa bukti riwayat penyakit sebelumnya, semua fasilitas kesehatan di Hong Kong dapat mengaksesnya data pasien berdasarkan nomor kependudukan.
Departemen Family Medicine ini memiliki jejaring yang terdiri dari 10 Klinik Rawat Jalan Umum (General Outpatients Clinics) dan 3 Klinik Spesialis Kedokteran Keluarga (Family Medicine Specialist Clinic FMSC). Dari presentasi yang disampaikan oleh Dr Lee Man Kei, GOPC telah dikunjungi oleh 469,260 pasien dan FMSC telah dikunjungi 43,157 pasien. Pasien dari GOPC berkaitan dengan kasus penyakit episodik dan membutuhkan tindak lanjut rutin untuk penyakit kronis. Sementara pasien di FMSC mayoritas rujukan penanganan rujukan dari Spesialis Klinik Lainnya.
Peserta tidak hanya mendapatkan kesempatan untuk mengenal RS Prince of Wales, Dr Maria juga menyiapkan beberapa sesi presentasi. Sesi pertama membahas sistem layanan primer di Hong Kong yang dilaksanakan oleh publik dan privat. Peranan publik melalui Biro Kesehatan Hong Kong yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan untuk mengelola kesehatan masyarakat. Sementara privat menyediakan layanan primer melalui praktik mandiri dan pengobatan China mandiri. Layanan primer di Hong Kong ini sangat terhubung dengan Otoritas Rumah Sakit yang mengelola layanan sekunder terdiri dari RS, klinik rawat jalan umum, spesialis dan pengobatan China. Di bawah otoritas RS di Hong Kong, terdapat 7 kluster dengan 74 Klinik Rawat Jalan umum dengan jumlah kunjungan 5,2 juta pasien. Pengelolaan layanan primer dan sekunder Hong Kong masih mengalami tantangan seperti RS Publik memberikan perawatan 90% pasien rawat inap.
Tantangan lainnya layanan rawat jalan dan rawat inap banyak memiliki pasien dengan penyakit kronis dan waktu tunggu yang lama untuk kasus baru di Rawat Jalan Klinik Spesialis. Tantangan ini ditangani dengan Hong Kong berupaya menerapkan model integrasi antara layanan primer, layanan sekunder, pasien, privat, pasien, komunitas dan program pemerintah. Dalam model integrasi tersebut, setiap elemen dihubungkan dengan program pemerintah Hong Kong yang semuanya saling berkaitan. Seperti untuk layanan primer (GOPC) dan RS dapat terhubung dibutuhkan hubungan dengan FMSC, dan untuk GOPC dapat terhubung dengan pasien membutuhkan hubungan dengan District Health Center (DHC). Kemudian untuk layanan primer dapat melibatkan swasta dibutuhkan PPP dan untuk melibatkan NGO layanan primer dapat menggunakan Smart Hub. Sistem integrasi Hong Kong dari setiap layanan dan kelompok sasaran tersebut memiliki media yang mengubunghungkannya. Utamanya adalah DHC yang baru-baru ini dilaksanakan Hong Kong dengan peranan sebagai penghubung GOPC maupun Family Doctor. Selain itu, pelaksanaan promosi, preventif, screening dan manajemen kasus dilakukan oleh DHC. Hasil dari temuan screening DHC dihubungkan ke GPOC maupun Family Doctor sebagai gatekeeper untuk ditindaklanjuti pelayanan kesehatan sekunder.
Dari paparan dalam hospital tour, terdapat hal pelibatan NGO yang layanan primer yang menjadi poin penting lainnya. Di Hong Kong, pemerintah memberikan dukungan kepada NGO untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Dukungan berupa dana ini ditindak lanjuti oleh Departemen Kesehatan dan Otoritas RS untuk berkolaborasi dengan NGO melalui program SMART Hub.
Dalam program tersebut, NGO yang berada di remote area Hong Kong diharapkan dapat membantu pemenuhan layanan primer masyarakat dengan Telemedicine. Pemenuhan layanan ini dilakukan dengan NGO mendapatkan alat kesehatan pintar, membantu pelaksanaan telekonsultasi antara dokter dan pasien di remote area. Dengan SMART Hub, NGO lokal menjadi perpanjangan tangan dari layanan primer di Hong Kong dengan proses rekrutmen, melakukan program pemberdayaan pasien, tele-konsultasi, pengiriman obat dan konseling, kunjungan bulanan dan pertemuan tatap muka per tahun.
Sesi pemaparan terakhir dari Hospital Tour mengenai Integrasi antara privat dan layanan sekunder untuk Penyakit Kronis dalam Piloting Perawatan Bersama (CDCC). Kebijakan di telah ditetapkan pemerintah Hong Kong pada 2022 dengan subsidi untuk masyarakat yang mendapatkan diagnosa awal di pelayanan sektor swasta. CDCC ini sedang masuk uji coba dengan menyediakan skrining, monitoring dan intervensi pada penyakit kronik dan komplikasi.
CDCC memanfaatkan peranan Family Doctor untuk memberikan layanan ke semua masyarakat sehingga proses layanannya adalah: pelaksanaan skrining pada masyarakat usia 45 tahun ke atas di DHC- DHC menghubungkan pasien ke Family Doctor - memberikan perawatan sesuai dengan subsidi - melakukan perawatan jangka panjang ketika pasien memiliki diagnosa tekanan darah tinggi/gula darah tinggi. Pasien yang mendapatkan CDCC memiliki kriteria lain, tidak hanya usia lebih dari 45 tahun tetapi juga tidak mengetahui riwayat atau kondisi kesehatan, terdaftar di DHC dan setuju untuk datanya dibagi ke program EHRSS.
Dari rangkaian hospital tour, pembelajaran integrasi layanan kesehatan menjadi garis penting adanya pembagian peranan yang jelas dan spesifik antara pemangku kepentingan, adanya sharing data antara pemangku kepentingan sektor kesehatan yang transparan dan akuntabel dan adanya dukungan sumber daya yang mencukupi untuk dapat melibatkan pihak diluar otoritas pemerintah dalam sistem layanan kesehatan.
Kursus Kebijakan tentang Transformasi Sistem Kesehatan: Keterlibatan Sektor Swasta untuk Layanan Kesehatan Terpadu yang digerakkan oleh Layanan Kesehatan Primer
Hari kedua kursus kebijakan (6/12/2023) dimulai dengan preview dari pertemuan pertama oleh Shita Dewi selaku Kepala Divisi Kesehatan Masyarakat, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Setelah itu Shita juga memaparkan materi terkait Private Health Sector Assessment (PHSA).
PHSA disampaikan perlu dilakukan dengan spesifik tujuan sistem kesehatan dan bersifat objektif. Hasil dari PHSA juga diharapkan dapat meningkatkan intervensi kebijakan dan adanya dialog kebijakan dengan pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan kesehatan nasional. Shita memberikan panduan untuk melakukan asesmen sektor swasta melalui pemetaan. Untuk peserta juga diajak untuk melakukan diskusi berkelompok.
Pembicara selanjutnya adalah Professor Chi-tim Hung selaku Professor of Practice in Health Services Management, JC School of Public Health and Primary Care, Faculty of Medicine, The Chinese University of Hong Kong. Professor HUNG memaparkan terkait topik akreditas rumah sakit di Hong Kong yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Rumah sakit swasta memiliki regulasi tersendiri untuk mendapatkan akreditasinya yang diatur dalam Code of Practice for Private Hospital.
Di Hong Kong terdapat pula Joint Commission International (JCI) Tracer yang membantu proses akreditasi rumah sakit swasta. Hong Kong juga pernah melakukan piloting untuk mengadaptasi Australia Council of Healthcare Standar (ACHS) dengan proses siklus empat tahunan until self assessment, organizational survey, self assessment dan periodic review. Akreditasi rumah sakit ini dinilai memiliki dampak positif untuk membentuk tim dan mengubah kultur organisasi, menambah sumber daya, peningkatan sistem kesehatan dan adanya regular review eksternal. Namun, akreditasi ini juga memiliki dampak negatif pada beban kerja, sulitnya rekomendasi baru untuk diaplikasikan, terlalu banyak urusan dokumen, dan banyaknya standar penilaian interpretasi.
Terdapat juga pembicara lainnya yakni Professor Adi Utarini yang membahas akreditasi. Utarini menjelaskan dalam perspektif kualitas regulasi dan tujuannya yang memiliki struktur licencing, certification dan accreditation. Dalam mengatur akreditasi, jelaskan peranan dari regulator dari pemerintah sebagai pengawas, lembaga akreditas dan pemerintah sebagai penyedia. Utarini juga berbagi pengalaman di Indonesia dalam menerapkan akreditasi rumah sakit yang diatur oleh Kementerian Kesehatan. Di Indonesia peningkatan kualitas layanan telah dilakukan dari 1988 hingga sekarang yang memiliki enam lembaga akreditasi. Saat ini, akreditasi dalam proses akreditasi sebanyak 2277 rumah sakit. Akreditasi rumah sakit di Indonesia ini berkaitan dengan untuk rumah sakit dapat terlibat dalam jaminan kesehatan di Indonesia.
Infrastructural Mechanism for Integrated Health Care – Global Experience
Pembicara selanjutnya dari Thailand oleh Associate Professor Chantal Herberholz selaku Director, Centre of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University. Chantal menjelaskan tentang mekanisme infrastruktur untuk integrasi pelayanan berdasarkan pengalaman global. Implementasi PPP dinilai berbeda dengan implementasi kebijakan lainnya, karena ada pembagian risiko, hubungan jangka panjang dan memiliki indikator kunci.
Terdapat tiga bentuk PPP yakni infrastructure based, clinical service dan co-location. Dari semua model tersebut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seperti kemauan dan komitmen pemerintah, situasi lingkungan legislatif dan regulator, kemampuan publik, kapasitas privat, rancangan kontrak, pelibatan stakeholders, dan transparansi.
Kemudian, topik ini dilanjutkan oleh Professor Siripen Supakankunti selaku Professor, Centre of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University yang menjelaskan pengalaman Thailand dalam mengimplementasikan PPP. Di Thailand, PPP telah dilakukan dalam bentuk Co-location dimana terdapat rumah sakit publik yang dioperasionalkan oleh privat sektor sehingga layanan dapat diintegrasikan.
Banyak keterbatasan fasilitas dan layanan di RS Thailand yang dikerjasamakan diselesaikan dengan PPP. Seperti tidak adanya area parkir kendaraan di rumah sakit, maka publik melibatkan swasta untuk menyediakan instruktur parkir tersebut. Supakankunti berbagi banyak pengalaman di Thailand dalam implementasi PPP pada sektor kesehatan khususnya di Rumah Sakit untuk negara memiliki fasilitas dan layanan yang baik.
Purchasing for Integrated Health Care; Primary Care Package and Specialist and Hospital Care
Setelah istirahat, diskusi dilanjutkan bersama pembicara lain yakni Professor Laksono Trisnantoro membahas belanja kesehatan strategis atau strategic health purchasing (SHP). SHP merupakan konsep baru yang diharapkan dapat membuat perubahan dari belanja yang pasif menjadi lebih strategis untuk memiliki kualitas layanan kesehatan yang baik dan sesuai standar. SHP memiliki karakteristik sistem pembayaran yang membuat insentif, melakukan seleksi dalam pemberian kontrak, adanya peningkatan layanan kesehatan dan membuat harga yang memiliki kualitas. Setelah menjelaskan konsep, terdapat tiga kasus BKS dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan, program TB dan pembiayaan berbasis kinerja di Indonesia. Untuk saat ini, BKS belum terlaksana dan masih sangat pasif dalam pembelanjaannya.
Purchasing and Organisation Mechanisms for Integrated Health Care
Topik terkait belanja kesehatan dilanjutkan pemateri kedua oleh Professor Ying Yao Chen selaku Deputy Dean, School of Public Health, Fudan University dari China. Chen membahas tentang mekanisme belanja dan organisasi untuk integrasi layanan kesehatan. Di China, pengeluaran kesehatan dari OOP sangat rendah meskipun mayoritas masyarakat lebih sering menggunakan layanan di RS daripada layanan primer. Ketersediaan jumlah RS di China sendiri sangat banyak dan setiap tahunnya mengalami peningkatan yang terdiri dari Publik, Private Non Profit dan Private. Dari ketiga RS tersebut, jumlah RS Publik di China dari 2017 hingga 2021 mengalami penurunan cukup drastis berbeda dengan RS Private yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Penurunan jumlah RS Publik di China karena lemahnya dukungan dari pemerintah seperti subsidi hanya 10% dari pengeluaran kesehatan. Kondisi ini membuat RS Publik di China tidak bertahan lama dan harus mengikuti kondisi pasar.
Purchasing, Professional and Clinical Mechanisms for Integrated Health Care
Berbeda dengan Malaysia, Professor Dr Sharifa Ezat Wan Puteh selaku Professor of Public Health, Department of Community Health, National University of Malaysia menjelaskan bahwa di Malaysia tidak memiliki jaminan kesehatan dan masih memiliki OOP yang tinggi. Meskipun demikian, Malaysia telah mengimplementasikan BKS dengan Kementerian Kesehatan sebagai purchaser. Terdapat dua point penting yang perlu dilakukan dalam implementasi BKS dari pengalaman Malaysia yang dapat tercatat yakni 1) stabilitas tata kelola instansi 2) memanfaatkan pendekatan ekonomi kesehatan untuk memastikan cost-benefit. Serta menggunakan HTA dalam penetapan manfaat kesehatan.
Pembicara terakhir dari kursus kebijakan hari ini (6/12/2023) adalah Professor Maria Elena B. Herrera dari Adjunct Faculty of Asian Institute of Management, Makati City, Metro Manila, Philippines. Maria menjelaskan tentang Social Franchising, Exhortation dan Information yang merupakan bagian penting dari instrumen kebijakan. Dalam social franchising ini dilakukan untuk dapat memperluas kebijakan yang baik dan di replika pada tempat atau daerah yang berbeda-beda. Sementara exhortation dan information dalam konsep pelibatan sektor swasta ini perlu melakukan social marketing yang tidak hanya berupa diseminasi tetapi ditujukan untuk mengubah perilaku.