Reportase Hari Kedua

Policy Course on Health System Transformation: Private Sector Engagement for Primary Care Led Integrated Health Care

26 November 2024

Summary Hari Pertama

26nov 1Pada hari kedua kursus kebijakan yang berlangsung pada 26 November 2024, Shita Dewi, selaku Peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, membuka sesi dengan memberikan ulasan dari pertemuan sebelumnya. Dalam ulasannya, pihaknya menyoroti poin-poin penting yang disampaikan para narasumber dan mengundang peserta untuk berdiskusi lebih lanjut tentang topik yang telah dibahas sebelumnya.

Selain memberikan ulasan, Shita juga memaparkan agenda hari kedua, yang mencakup topik-topik menarik terkait pengalaman dari China, Malaysia, dan Thailand. Fokus utama pembahasan adalah mekanisme belanja dan pengorganisasian untuk integrasi layanan kesehatan, yang akan disampaikan oleh narasumber dari berbagai negara tersebut.

 

SESI PAGI

Sesi 1. Organization, Functional, Professional & Clinical Modalities and Mechanisms: Purchasing for Integrated Seamless Health Care; Primary Care Package, Specialist and Hospital Care

26nov 1Pembicara selanjutnya adalah Professor Laksono Trisnantoro, Direktur ANHSS dan Profesor Kebijakan serta Manajemen Kesehatan dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia yang memaparkan terkait belanja kesehatan strategis atau strategic health purchasing. Laksono membahas pentingnya strategic purchasing dalam sistem kesehatan untuk memastikan efisiensi, keadilan, dan kualitas layanan. Pendekatan ini melibatkan pengambilan keputusan strategis tentang layanan yang dibeli, seleksi penyedia, dan mekanisme pembayaran. Di Indonesia, BPJS Kesehatan memainkan peran kunci sebagai pembeli utama layanan kesehatan, menghadapi tantangan seperti distribusi fasilitas yang tidak merata, lemahnya pengawasan kualitas, serta risiko fraud dalam kontrak. Salah satu langkah penting adalah menerapkan sistem insentif berbasis kinerja untuk meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pengelolaan diabetes, yang bertujuan menurunkan komplikasi dan meningkatkan hasil pengobatan.

Strategic purchasing menekankan pentingnya pergerakan dari pendekatan pasif ke strategi aktif, yang mencakup kontrak selektif, sistem insentif, dan pemantauan kualitas. Mechanism Active Purchasing memungkinkan pengalokasian sumber daya yang lebih efektif, serta peningkatan akses dan efisiensi layanan kesehatan, terutama di sektor primer dan rujukan. Namun, hal ini juga memerlukan regulasi yang kuat, integrasi program kesehatan masyarakat, serta keterlibatan masyarakat dalam menentukan kebutuhan kesehatan. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan peningkatan kapasitas pemangku kebijakan dan penguatan akuntabilitas sistem kesehatan.

Sesi 2. Country experiences

Purchasing and Organization Mechanisms for Integrated Seamless Health Care

26nov 1Pemateri pertama adalah Professor Ying Yao Chen dari School of Public Health, Fudan University dari China. Sejak 2009, China telah mencatat kemajuan besar dalam reformasi sistem kesehatannya, dengan hampir seluruh penduduknya kini tercakup dalam sistem asuransi kesehatan sosial dan paket layanan kesehatan publik dasar. Langkah ini telah mengurangi kebutuhan kesehatan yang tidak terpenuhi dan memperkecil kesenjangan dalam akses layanan. Namun demikian, reformasi lebih lanjut tetap diperlukan, terutama untuk meningkatkan kualitas layanan rumah sakit publik, memanfaatkan sumber daya kesehatan secara optimal, serta mengintegrasikan sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan.

Meski cakupan asuransi hampir universal telah memperluas akses ke layanan kesehatan, perlindungan finansial bagi masyarakat miskin harus ditingkatkan untuk menghindari risiko pengeluaran kesehatan yang memberatkan. Selain itu, efektivitas belanja kesehatan memerlukan penguatan efisiensi sistem, pengembangan layanan kesehatan primer, dan reformasi mekanisme pembayaran penyedia layanan secara menyeluruh.

China juga telah mengembangkan sistem layanan kesehatan publik yang mencakup layanan dasar hingga khusus, dengan sektor publik sebagai aktor utama, meskipun sektor swasta terus berkembang. Upaya integrasi antara sektor publik dan swasta, rumah sakit dan layanan primer, serta aspek klinis dan preventif sedang dilaksanakan. Untuk mendukung integrasi ini, insentif seperti penggantian biaya untuk layanan terpadu mulai diterapkan. Selain itu, layanan kesehatan masyarakat terus diperkuat, terutama dalam pencegahan dan pengendalian penyakit menular, kesehatan ibu dan anak, manajemen penyakit tidak menular, serta perawatan bagi lansia.


Purchasing, Professional and Clinical Mechanisms for Integrated Seamless Health Care

26nov 1Pemateri kedua adalah Professor Dr Sharifa Ezat Wan Puteh selaku Professor of Public Health, Department of Community Health, National University of Malaysia. Sistem kesehatan Malaysia menghadapi tantangan kompleks, mulai dari biaya kesehatan yang tinggi hingga meningkatnya masalah obesitas dan diabetes, yang membebani masyarakat, terutama kelompok tanpa penghasilan tetap atau tanpa asuransi. Meskipun sektor swasta memainkan peran penting dengan kualitas layanan yang dianggap lebih baik, hal ini menciptakan ketimpangan akses bagi masyarakat kurang mampu. Selain itu, pengadaan sumber daya kesehatan masih terganjal oleh kurangnya transparansi, keterbatasan anggaran untuk penelitian, serta peraturan yang kaku, khususnya di rumah sakit pendidikan. Pemerintah memiliki peran sentral dalam mengatasi tantangan ini dengan langkah-langkah seperti memperkuat sistem rujukan, meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan di daerah terpencil, memperluas aksesibilitas layanan kesehatan, dan mengintegrasikan sistem informasi kesehatan.

Salah satu pendekatan penting adalah penerapan pembelian strategis (strategic health purchasing), yang melibatkan pemilihan penyedia layanan berkualitas, negosiasi harga obat dan alat kesehatan, serta mendorong inovasi teknologi. Namun, implementasi mekanisme ini terkendala oleh kurangnya data akurat, kapasitas sumber daya manusia yang terbatas, dan regulasi yang kompleks. Kerja sama erat antara sektor publik dan swasta, pengembangan infrastruktur digital, serta transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan sangat diperlukan untuk mendukung efisiensi, mengurangi korupsi, dan mencapai Cakupan Kesehatan Universal (universal health coverage/ UHC).


Purchasing and Organization Mechanism for Integrated Seamless Health Care: The Case of Universal Coverage Scheme (UCS) in Thailand

26nov 1Pemateri ketiga adalah Waraporn Suwanwela selaku Deputy Secretary-General, National Health Security Office, Thailand. Thailand memiliki berbagai skema asuransi kesehatan publik untuk memastikan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, termasuk CSMBS untuk pegawai negeri dan keluarganya sejak 1963 (mencakup 8% populasi), SSS untuk pekerja sektor swasta sejak 1990 (18%), UCS sebagai skema terbesar sejak 2002 (72%), dan skema khusus untuk pegawai pemerintah tertentu (2%).

Pemberlakuan Undang-Undang Jaminan Kesehatan Nasional (UU JKN) pada 2002 bertujuan untuk menyediakan jaminan kesehatan universal, melindungi masyarakat miskin dari risiko keuangan, dan memastikan kualitas serta aksesibilitas layanan kesehatan. UU ini membentuk lembaga pengelola seperti Badan Jaminan Kesehatan Nasional dan Kantor Jaminan Kesehatan Nasional, mengatur pengelolaan dana, fasilitas pelayanan, standar mutu, dan perlindungan hak peserta. Di bawah UCS, mekanisme pembelian strategis diterapkan dengan desain paket manfaat kesehatan, negosiasi dengan penyedia layanan, alokasi anggaran berdasarkan kebutuhan, dan metode pembayaran berbasis capitation atau fee-for-service. Pendekatan ini memungkinkan efisiensi alokasi dana, perluasan akses terhadap layanan berkualitas, dan peningkatan kepuasan masyarakat.

 

Reporter: Monita Destiwi dan Ester Febe (PKMK UGM)

 

Link Terkait

 

 

Hari kelima: The 8th Global Symposium on Health Systems Research

Jumat, 22 November 2024

Knowledge for Just Health Systems

​​Sesi pleno hari ini, sekaligus menandai penutupan kegiatan HSR2024, mengambil fokus “pengetahuan untuk sistem kesehatan yang berkeadilan”.  Sesi ini diketuai oleh Dr Ana Amaya (associate professor, Pace University) dan dimoderatori oleh Dr Prashanth Srinivas (Institute of Public Health Bengaluru). Sesi ini menghadirkan empat panelis, yakni Dr Seye Abimbola (associate professor, School of Public Health University of Sydney), Professor Chelse Watego (profesor indigenous health, Queensland University of Technology), Dr Margareta Matache (Department of Social and Behavioral Sciences, Harvard T.H. Chan School of Public Health), dan Fatuma Guleid (mahasiswa doktoral KEMRI Wellcome Trust). Keempat panelis memaparkan topik seputar empat poin agenda komunitas penelitian sistem kesehatan (health systems research/HSR), kemanusiaan dan kesejahteraan berbasis kearifan lokal (indigenist health humanity), rasisme dan kaitannya dalam produksi pengetahuan dan sistem kesehatan, serta kuasa (power) dalam translasi pengetahuan.

hsr26Abimbola sebagai panelis pertama menjelaskan empat poin agenda komunitas HSR, yakni transparansi, non-ekstraktif, demokratisasi, dan transformasi. Transparansi adalah hal yang penting dalam suatu penelitian karena memproduksi pengetahuan berarti menciptakan sebuah sistem kesehatan yang adil. Non-ekstraktif artinya penelitian tidak boleh bersifat eksploitatif.

Seringkali peneliti memulai dari sudut pandangnya sendiri, bukan dari sudut pandang subjek yang menjadi penerima manfaat penelitian tersebut. Abimbola dengan tegas mengkritik peneliti yang sering kali menikmati kekuasaan yang mereka miliki. Abimbola mengingatkan bahwa peneliti memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Transformasi seharusnya menjadi tujuan utama penelitian, yakni untuk mencari keadilan atas nama mereka yang termarjinalkan. Peneliti tidak seharusnya sekadar memaparkan masalah, melainkan juga harus menantang struktur yang menciptakan masalah tersebut.

hsr26Watego sebagai panelis kedua membuka paparan dengan menceritakan kegelisahannya sebagai bagian dari komunitas Aboriginal and Torres Strait Islander (ATSI), masyarakat asli di Australia. Watego mengkritik bahwasanya komunitas ATSI sering dipandang sebagai komunitas yang “bermasalah” secara kesehatan dan “kurang manusiawi”. Pandangan ini menciptakan konsekuensi material yang nyata.

Watego mengatakan bahwa kesetaraan kesehatan harus menjadi bagian integral dari penelitian dan penyediaan layanan. Selain itu, struktur yang menciptakan masalah tersebut juga harus disoroti dan dikritisi. Watego dengan tegas mengkritik pendekatan kesehatan yang melanggengkan logika rasisme, yang sering kali memperparah ketidakadilan. Pendekatan positivis dalam penelitian juga kerap memperburuk masalah ini.

Watego menjelaskan tentang Inala Manifesto sebagai visi transformatif penelitian kesehatan indigenous, yang menekankan pentingnya pengetahuan, pengalaman, dan kedaulatan masyarakat asli. Menutup pemaparannya, Watego mengingatkan seluruh peneliti untuk bertindak lebih dari sekadar membuat produk translasi pengetahuan, namun juga secara aktif menantang sistem yang menciptakan ketidakadilan. Terkait dengan kesehatan indigenous, Watego mengatakan bahwa kedaulatan masyarakat asli harus hadir di setiap bukti penelitian dan pada setiap waktu.

hsr24 1Panelis ketiga, yakni Matache, memaparkan tentang rasisme dalam sistem kesehatan dan penelitian. Baginya, penelitian yang membandingkan kelompok-kelompok tertentu atau menggunakan sampel genetik kecil sering kali menyebabkan segregasi komunitas. Selain itu, pendekatan perilaku dan intervensi kesehatan sering mengasumsikan bahwa individu memiliki gaya hidup yang homogen, sehingga mem-perpetuasi deskripsi rasial yang bermuatan diskriminasi.

Selain itu, pemodelan kemiskinan seringkali belum mengkaji etnisitas sebagai proksi rasisme dan rasisme sebagai penentu struktural kesehatan. Matache menegaskan bahwa untuk mengatasi ketidakadilan kesehatan, kerangka baru yang menekankan antirasisme, non-ekstraktivisme, dan penghormatan terhadap hak diperlukan. Penelitian harus melibatkan dan memberi ruang kepada cendekiawan dari komunitas yang terkena dampak kesehatan untuk memimpin, sehingga perubahan transformatif dan sistem kesehatan yang adil dapat tercipta.

hsr24 1Guleid sebagai panelis keempat sekaligus mewakili fellowship emerging voices for global health, mengatakan bahwa translasi bukti penelitian selalu berputar di pertanyaan yang sama, yakni “Bagaimana pembuat kebijakan menggunakan hasil penelitian?” Guleid mengajak komunitas peneliti untuk merefleksi, apakah dengan pertanyaan ini, peneliti telah menangani isu yang penting dan menciptakan dampak nyata.

Guleid memberikan contoh bahwa kendati berbagai policy brief telah diproduksi, perhatian banyak pemerintah di berbagai belahan dunia belum pada isu keadilan kesehatan. Senada dengan panelis lainnya, Guleid mengajak komunitas peneliti untuk mengkritisi kekuasaan melanggengkan ketidakadilan. Guleid memberi contoh strategi desain anggaran partisipatif di Brasil dan aksi kolektif sebagai upaya untuk memberdayakan, mengatasi ketidakadilan, dan mendorong perubahan.

Sesi ini kemudian dilanjutkan dengan upacara penutupan, di mana salah satunya berisi pengumuman lokasi dan topik HSR selanjutnya yang akan diselenggarakan di tahun 2026. Dengan diakhirinya kegiatan HSR2024 di Nagasaki, diharapkan semangat untuk berkontribusi terhadap perubahan nyata melalui aksi kolektif, kritis, dan reflektif terus menjadi nyawa peneliti HSR guna mewujudkan sistem kesehatan yang berkeadilan.

Reporter: Mentari Widiastuti (Divisi PH)

 

Link Terkait

 

Reportase Hari Pertama

Senin, 25 November 2024

25nov 1

Pembukaan

Hari pertama kursus kebijakan (25/11/2024) dimulai dengan pembukaan. Pada sesi pembukaan acara, beberapa sambutan disampaikan oleh perwakilan dari berbagai institusi. Sambutan pertama disampaikan oleh Associate Professor Nopphol Witvorapong, Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand, yang memberikan ucapan selamat datang kepada para peserta yang hadir dari berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Selanjutnya, Associate Professor Chantal Herberholz, Direktur Pusat Unggulan Ekonomi Kesehatan di Fakultas Ekonomi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand, memberikan sambutan atas nama Pusat Unggulan Ekonomi Kesehatan dan menjelaskan terkait pusat ekonomi kesehatan yang didirikan sejak 1993 dan bergerak dalam bidang penelitian, pengajaran dan pelatihan.

Kemudian, sambutan terakhir disampaikan oleh Professor Laksono Trisnantoro, Direktur ANHSS dan Profesor Kebijakan serta Manajemen Kesehatan dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Laksono menyampaikan ucapan selamat datang atas nama ANHSS. Acara ANHSS sebelumnya diadakan di Hong Kong dan kini berlangsung di Bangkok dengan dihadiri sekitar 40 peserta dari berbagai negara seperti China, Hong Kong, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Fokus utama Asia-Pacific Network for Health Systems Strengthening (ANHSS) adalah membahas reformasi sistem kesehatan pasca COVID-19 yang mengungkap kelemahan seperti ketidaksetaraan akses dan rendahnya kesiapan menghadapi krisis global. Workshop ini bertujuan meningkatkan kualitas, efisiensi, dan ketahanan sistem kesehatan. Tahun depan (2025), acara akan digelar di Hongkong untuk Private Health Insurance Policy, di Shanghai dengan tema Kebijakan Health Technology Assessment (HTA), dan di Kuala Lumpur untuk Health Finance Transformation. 

25nov 5

 

 

SESI PAGI

Tantangan bagi keterlibatan sektor swasta dalam sistem kesehatan untuk perawatan primer dalam menghasilkan perawatan kesehatan terpadu

Panel ini menghadirkan 3 pembicara tamu utama, yaitu Dr. Athaporn Limpanylers, Wakil Sekretaris Jenderal dari Kantor Keamanan Kesehatan Nasional Thailand; Dr. Watchai Charunwatthana dari Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand; serta Dr. Eduardo P. Banzon, Spesialis Kesehatan Utama dari Departemen Regional Asia Tenggara di Asian Development Bank.

25nov 2Dr. Athaporn Limpanylers memberikan gambaran komprehensif tentang evolusi kemitraan antara sektor publik dan swasta dalam penyediaan layanan kesehatan primer di Thailand, khususnya dalam konteks program Universal Coverage Scheme (UCS), mulai dari awal kerja sama pada 2003 hingga inovasi terbaru pada 2024. Kemitraan ini berawal dengan melibatkan rumah sakit swasta sebagai mitra pemerintah dalam pelayanan primer.

Pada 2019, National Health Security Office (NHSO) memperkuat akses dan kualitas layanan dengan penyediaan fasilitas kesehatan yang lebih merata. Selama pandemi COVID-19 (2020-2022), kolaborasi semakin meningkat melalui perluasan partisipasi apotek dan klinik swasta. Pada 2024, program inovatif "30-Bath Treatment Anywhere" diperkenalkan untuk meningkatkan keterjangkauan dan aksesibilitas layanan kesehatan di seluruh Thailand.

Kemitraan sektor swasta dalam Universal Coverage System (UCS) memiliki peran strategis untuk mengurangi beban fasilitas pemerintah, memanfaatkan sumber daya secara efisien, dan meningkatkan kualitas pelayanan. Contohnya, sektor swasta dapat menyediakan layanan dasar seperti imunisasi hingga perawatan khusus. Namun, tantangan seperti distribusi layanan yang tidak merata, insentif bagi sektor swasta, dan kendali mutu tetap perlu diatasi. Program seperti "30-Bath Treatment Anywhere" menunjukkan komitmen untuk memperluas layanan kesehatan, mengurangi kesenjangan akses, dan menciptakan sistem kesehatan yang inklusif serta berkelanjutan.

25nov 3Selanjutnya adalah pemaparan dari Dr. Watchai Charunwatthana yang menjelaskan jika sistem kesehatan di Thailand telah mengalami evolusi signifikan sejak 1970-an. Dekade-dekade awal merupakan pembentukan struktur dasar seperti komunitas kesehatan nasional dan pergeseran menuju inisiatif kesehatan berbasis komunitas. Dekade-dekade berikutnya berfokus pada pengembangan sumber daya manusia, peningkatan akses layanan kesehatan, dan desentralisasi manajemen kesehatan. Tonggak penting termasuk pengenalan program Sukarelawan Kesehatan Desa (VHV), perluasan cakupan asuransi kesehatan, dan pembentukan sistem kesehatan distrik.

Model kesehatan primer Thailand ditandai dengan penekanan kuat pada partisipasi masyarakat, pencegahan, dan desentralisasi. Integrasi dukun tradisional dan penggunaan luas VHV menunjukkan pendekatan unik dalam penyampaian layanan kesehatan. Model ini juga menyoroti pentingnya kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Aspek utama termasuk fokus pada promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan penggunaan data untuk pengambilan keputusan.

Meskipun telah mencapai kemajuan signifikan, sistem kesehatan Thailand masih menghadapi tantangan berkelanjutan, termasuk kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta kebutuhan investasi berkelanjutan dalam sumber daya manusia. Pandemi COVID-19 telah menyoroti pentingnya sistem kesehatan yang tangguh dan adaptif. Masa depan sistem kesehatan Thailand harus diperkuat dengan sistem informasi kesehatan, mempromosikan perawatan terintegrasi, dan mengatasi beban penyakit tidak menular yang meningkat. Pengalaman Thailand menawarkan pelajaran berharga bagi negara lain yang ingin meningkatkan sistem kesehatan primer mereka.

25nov 4Pembicara tamu berikutnya ialah Dr Eduardo P. Banzon dari Asian Development Bank yang menyampaikan terkait Hambatan dalam Optimalisasi Sektor Kesehatan Swasta. Pemerintah menghadapi beberapa kendala utama dalam memanfaatkan sektor kesehatan swasta. Dua diantaranya ialah kapasitas regulasi dan pembelian pemerintah yang masih lemah. Selain itu, ekspektasi sektor swasta sering kali tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, khususnya terkait paket manfaat dan mekanisme pembayaran. Klinik pelayanan primer swasta yang berskala kecil dan beroperasi secara independen juga menjadi tantangan, mengingat keterbatasan kapasitas manajemen dan kurangnya integrasi atau koordinasi dengan rumah sakit.

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan pendekatan berbeda dalam memperkuat sistem kesehatan. Jepang dan Eropa dikenal dengan regulasi yang ketat serta kapasitas pembelian yang tinggi. Di Indonesia, pendekatan dilakukan melalui skema kapitasi berbasis kinerja yang dikombinasikan dengan pembayaran berbasis layanan tertentu. Filipina menerapkan undang-undang yang mewajibkan pemerintah bermitra dengan sektor swasta, mengadopsi model dari Thailand. Selain itu, beberapa negara seperti India, Kolombia, dan Filipina mengembangkan sistem penyedia layanan kesehatan swasta yang terintegrasi, menghubungkan rumah sakit dengan fasilitas perawatan primer. Model jaringan klinik pelayanan primer swasta juga menjadi bagian dari perkembangan ini. 

 

 

Reporter: Monita Destiwi dan Ester Febe (PKMK UGM)
Editor: Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)

Link Terkait

 

 

 

Hari keempat: The 8th Global Symposium on Health Systems Research

Kamis, 21 November 2024

Governance and Institutional Frameworks

Sesi pleno hari ini berfokus pada tantangan dalam membangun tata kelola kesehatan yang efektif di era modern, di mana kemajuan teknologi, serta perubahan politik dan beban penyakit terjadi secara cepat. Panelis memaparkan topik seputar kolaborasi lintar sektor, dinamika pasar, dan transformasi digital, serta bagaimana ketiganya membentuk sistem kesehatan yang adil dan berkelanjutan di tengah berbagai dinamika. Mengambil pengalaman-pengalaman di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, panelis dalam sesi ini terdiri atas Profesor Kelley Lee (Simon Fraser University), Dr Suwit Wibulpolprasert (Kementerian Kesehatan Thailand), Profesor Daniel Maceira (Center for the Study of State and Society, National Council of Scientific Research, University of Buenos Aires), dan Dr Parfait Uwaliraye (Financing Alliance for Health).

hsr 22Sebagai pembicara pertama, Lee memberikan gambaran umum tentang tantangan sistem kesehatan di tengah kemajuan teknologi, serta perubahan politik dan pasar. Lee menjelaskan bagaimana determinan komersial yang didorong oleh internasionalisasi perdagangan dan kapital, ekspansi korporasi, dan adanya demand untuk pertumbuhan ekonomi dapat memengaruhi kesehatan dan lingkungan. Di samping itu, partisipasi masyarakat dalam pemerintahan juga penting bagi tata kelola sistem kesehatan.

Lee mengambil contoh negara Swiss, di mana kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan relatif lebih tinggi dibandingkan temuan di negara-negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) lainnya. Hal ini terjadi karena masyarakat memiliki wadah untuk berpartisipasi aktif yang didukung dengan sistem two chambers, one parliament. Selanjutnya, Lee mengatakan bahwa pemerintahan dapat menggunakan kemajuan teknologi sebagai daya ungkit untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, misalnya melalui intelligent chatbots untuk dialog interaktif atau platform diskusi kolektif online.

 

hsr 22Panelis kedua, yakni Wibulpolprasert menjelaskan beberapa prinsip tata kelola yang baik (good governance), yakni partisipatoris, transparan, akuntabel, adil, dipimpin oleh hukum, dan efisien.  Untuk mencapai keenam prinsip ini, diperlukan komitmen dari semua pihak yang terlibat dalam mekanisme tata kelola, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil (OMS), sektor swasta, dan komunitas. Selain itu, semua pihak perlu bekerja secara kolaboratif.

Wibulpolprasert mengambil contoh Thailand sebagai studi kasus, di mana terdapat National Health Foundation dan National Health Commission yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Komisi ini melibatkan berbagai aktor, termasuk partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil. Menutup paparannya, Wibulpolprasert kembali menegaskan bahwa prinsip tata kelola yang baik harus menjadi landasan dalam membangun sistem kesehatan yang inklusif dan berkelanjutan.

 

hsr 22Selanjutnya, Maceira memberikan penjelasan dan pandangannya tentang kolaborasi antar sektor dalam sistem kesehatan. Pada dasarnya, kolaborasi antar sektor dapat dibagi menjadi kolaborasi vertikal dan horizontal. Maceira mengambil tiga negara di Amerika Latin sebagai studi kasus. Maceira menjelaskan bahwa kawasan Amerika Latin memiliki karakteristik distribusi pendapatan yang tidak merata dan hal ini memengaruhi bentuk sistem kesehatannya. Pembiayaan dan tata kelola sistem kesehatan di kawasan tersebut juga melibatkan berbagai aktor yang menciptakan sebuah dinamika yang kompleks.

Di samping itu, organisasi sistem kesehatan di kawasan ini memiliki struktur yang rumit, termasuk menyangkut skema perlindungan sosial. Sektor swasta juga memainkan peran kunci dalam hampir semua konfigurasi sistem kesehatan. Kolaborasi antar sektor menjadi hal yang esensial untuk menciptakan sistem kesehatan yang adil dan berkelanjutan dan mencapai kesehatan masyarakat yang lebih baik.

 

hsr 22Panelis terakhir adalah Uwaliraye yang menjelaskan tentang peran pasar dan transformasi digital untuk sistem kesehatan yang berkualitas dan berkelanjutan. Menurutnya, salah satu tantangan utama sistem kesehatan adalah keengganan sektor swasta untuk berinvestasi pada riset dasar. Uwaliraye juga menyoroti bahwa transformasi digital kesehatan sering kali dipandang sebagai program spesifik, bukan sebagai pendorong sistem kesehatan secara keseluruhan dan mengarah pada pendanaan vertikal.

Oleh karena itu, negara seharusnya tidak hanya berperan sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai pengambil risiko utama yang menciptakan inovasi-inovasi baru, seperti produksi vaksin, penggunaan drone untuk memperlancar rantai pasokan, dan pengembangan kecerdasan buatan dengan berinvestasi pada pendidikan, infrastruktur, dan riset dasar. 

Sesi dilanjutkan dengan tanya-jawab dengan peserta di ruangan. Sesi ini memunculkan bahasan-bahasan mengenai kolaborasi global untuk memperkuat tata kelola investasi dan mengurangi risiko intervensi yang terlalu jauh dari korporasi. Uwaliraye mengatakan bahwa berbagai kerangka telah disusun untuk hal ini dan komunitas sistem kesehatan perlu melibatkan pemilik atau penyelenggara bisnis untuk mengoperasionalkan kerangka ini. Lee menekankan perlunya instrumen untuk mengukur conflict of interest. Sementara itu, Wibulpolprasert mengatakan bahwa komunitas sistem kesehatan tidak boleh menghindari politik karena politik menentukan siapa-memperoleh-apa-dan-bagaimana. Sejatinya hubungan intersektoral adalah politik dan untuk membuatnya berjalan dengan baik, diperlukan rasa saling percaya antar pihak yang terlibat.

Reporter:
Mentari Widiastuti (Divisi PH)

 

Link Terkait

 

 

Hari ketiga: The 8th Global Symposium on Health Systems Research

 Selasa, 20 November 2024

Inclusion in Times of Peace and Conflict

Sesi pleno hari ini menyoroti permasalahan pemerataan kesehatan dalam konteks krisis dan konflik. Sesi ini menghadirkan empat orang pembicara, yakni Dr Seita Akihiro (director of health, UNRWA), Profesor Papaarangi Reid (The University of Auckland), Dr Walter Flores (direktur eksekutif CEGSS Guatemala), dan Rosemary Mburu (direktur eksekutif WACI Health).

hsr 15Akihiro sebagai pembicara pertama menceritakan pengalamannya ketika melakukan kunjungan ke Gaza, Palestina sebanyak tiga kali. Akihiro menyaksikan bagaimana situasi dapat berubah dengan sangat cepat dan menyebabkan terganggunya sistem kesehatan. Namun, di tengah kekacuan tersebut, ia menyaksikan sebuah momen harapan.

Pada hari kampanye polio, Akihiro menyaksikan antrean panjang warge di pusat Gaza yang menunggu giliran untuk memvaksin anak-anak mereka. Kampanye ini menjadi kampanye polio pertama sejak konflik dimulai dan kegiatan imunisasi tersebut merupakan momen di mana keluarga-keluarga dapat keluar rumah dengan merasa aman untuk pertama kalinya. Menurut Akihiro, hal tersebut menunjukkan bahwa harapan dan solidaritas tetap hidup di tengah konflik.

 

hsr 15Sebagai pembicara kedua, Reid memaparkan tentang kekerasan sistemik terkait kolonisasi. Kolonisasi menyebabkan terjadinya perbudakan, dehumanisasi, dan pengklaiman sumber daya masyarakat asli, sebagaimana yang dialami oleh bangsa Maori di Selandia Baru dan orang-orang asli di Australia.

Kolonisasi mengabaikan keberadaan masyarakat asli yang telah lebih dulu hidup, tinggal, dan menjaga alam di wilayah tersebut dalam waktu yang lama. Reid menegaskan bahwa desain sistem kesehatan harus dirancang menjadi lebih adil dan setara, serta mencerminkan nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya.

Reid melemparkan sebuah pertanyaan untuk direnungkan, yakni, “Apakah kira membutuhkan perubahan radikal untuk mendesain ulang sistem kesehatan? Atau, lebih jauh lagi, apakah kita perlu mengubah nilai-nilai sosial yang mendasarinya? Menutup pemaparannya, Reid menekankan bahwa sistem kesehatan dapat benar-benar menjadi inklusif hanya jika sistem tersebut memprioritaskan keadilan dan kesetaraan.

 

hsr 15Selanjutnya, Flores dari Guatemala mengajak seluruh peserta untuk merenungkan kembali sebuah pertanyaan mendasar, yakni, “Siapa yang menentukan bahwa sesuatu disebut konflik atau perdamaian? Untuk siapa perdamaian ditujukan?” Flores mengatakan bahwa kekerasan dapat muncul dari kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar, seperti keamanan dan air bersih.

Selain itu, komunitas yang termarjinalkan mengalami berbagai bentuk kekerasan setiap harinya, namun mereka jarang dilibatkan dalam diskusi-diskusi terkait perdamaian. Flores juga mengatakan bahwa tidak ada kategori absolut tentang perdamaian dan konflik.

Kedua konsep ini sepenuhnya bergantung pada dinamika kekuasaan. Pihak yang berada di posisi dominan sering kali mendefinisikan konflik dan perdamaian sesuai dengan kepentingan mereka, tanpa mempertimbangkan pengalaman dan suara kelompok rentan. Menutup pemaparannya, Flores menegaskan bahwa memahami perdamaian sejatinya adalah merangkul keberagaman perspektif dan memastikan semua proses berjalan dengan inklusif.

 

hsr 15Pembicara keempat, Mburu, membuka paparannya dengan sebuah pertanyaan perenungan,”hard-to-reach groups or hard-to-reach services?” Kelompok-kelompok yang dianggap sebagai hard-to-reach sering dikecualikan dari riset. Selain itu, sistem kesehatan juga dapat berkontribusi pada peningkatan ketimpangan sosial.

Sementara itu, kurangnya akses ke pelayanan kesehatan juga dapat mendorong individu dan komunitas semakin dalam ke jurang kemiskinan dan menghambat inklusi finansial dan sosial. Mburu juga mengkritik bahwa sistem kesehatan kerap gagal memberikan penghormatan, melindungi, dan memenuhi hak atas kesehatan. Hal ini berakibat pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan reformasi yang mendalam untuk mencapai sistem kesehatan yang betul-betul inklusif.

Sesi pleno dilanjutkan dengan pandangan panelis terhadap inklusivitas sistem kesehatan, terutama di waktu krisis, dalam sebuah gambar. Masing-masing panelis menampilkan satu gambar dan menceritakan bagaimana gambar tersebut mewakili pandangan mereka akan sistem kesehatan yang inklusif. Flores, misalnya, menampilkan salah satu kegiatan organisasinya di Guatemala dan menjelaskan bahwa participatory action research adalah salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas dan otonomi komunitas dalam hal check and balance serta memahami resiliensi dan perubahan iklim. Sementara itu, Reid membagikan foto haka, sebuah tarian seremonial di Selandia Baru yang menyiratkan bahwa kita semua harus terus menerus berjuang untuk menciptakan sistem kesehatan yang inklusif.

Sesi pleno ditutup dengan beberapa pesan kunci tentang peran health policy and systems research dalam hal konflik dan perdamaian. Salah satu pesan kunci tersebut adalah pentingnya meningkatkan kapasitas peneliti untuk memahami secara mendalam konteks komunitas sebelum menarik kesimpulan atau merancang intervensi. Pendekatan ini dipercaya dapat membuat sistem kesehatan menjadi lebih adil dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.

Reporter:
Mentari Widiastuti (Divisi PH PKMK FK-KMK UGM)

Link Terkait

 

 

Hari kedua: The 8th Global Symposium on Health Systems Research

Selasa, 19 November 2024

Sesi Pagi

Research that should matter at Primary Health Care level: linking demand and supply in Asia Pacific

Hari kedua HSR2024 diisi dengan kegiatan seminar, diskusi panel, dan peningkatan kapasitas. Hari ini juga menandai pembukaan resmi kegiatan HSR2024 di Nagasaki yang diisi dengan sesi pleno. Reportase ini mendokumentasikan berbagai kegiatan yang merupakan bagian dari rangkaian hari kedua HSR2024.

Salah satu kegiatan di hari kedua adalah sesi satellite bertajuk “Advancing learning systems for health in the Asia-Pacific Region through health policy and systems research”. Sesi ini berisi pemaparan dan diskusi kelompok. Sesi ini menghadirkan empat pemapar dari beragam institusi.

Pembukaan

hsr 7Sesi ini dibuka oleh Dr Nima Asgari, direktur Asia Pacific Observatory (APO). Dalam pemaparannya, Asgari memperkenalkan APO sebagai suatu kemitraan yang mendukung evidence-informed health system policy di tingkat kawasan maupun nasional. Lebih jauh lagi, Asgari menjelaskan lima klaster tematik APO, yakni (1) Primary Health Care (PHC) untuk mendukung pencapaian Universal Health Coverage (UHC); (2) ketahanan sistem kesehatan; (3) kesehatan digital (memanfaatkan teknologi dan data untuk meningkatkan hasil kesehatan); (4) Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK), yang dirancang untuk kebutuhan kini dan nanti; serta (5) ketimpangan dalam kesehatan (aspek gender dan inklusi sosial dan aspek hard-to-reach). Untuk memperkuat kolaborasi, APO mendorong keterlibatan organik berbagai pihak melalui penyelenggaraan acara dan prakarsa, termasuk pembentukan local chapters yang melibatkan peneliti, organisasi kebijakan kesehatan, lembaga penelitian, pekerja kesehatan, pembuat kebijakan lokal, dan pemerintah.

Pembicara pertama

hsr 7Pembicara pertama pada sesi ini adalah Manoj Jhalani, direktur Health Systems Development, WHO SEARO. Jhalani membuka paparannya dengan menggambarkan pelajaran penting dari pandemi COVID-19, yakni bahwa investasi awal dalam fondasi PHC untuk kesiapsiagaan dan respons adalah hal yang penting. Pandemi juga menegaskan pentingnya efisiensi PHC dalam mencapai UHC, keterlibatan komunitas, serta kolaborasi multisektoral. Komitmen politik terhadap PHC sebagai dasar UHC telah mendapat momentum, dimulai dari deklarasi Menteri Kesehatan Asia Tenggara pada bulan September 2021, yang menyebut pandemi sebagai pendorong transformasi sistem kesehatan berbasis PHC. Deklarasi ini diperkuat dalam pertemuan UNGA 2023, KTT G20, hingga Delhi Declaration pada Oktober 2023 yang menegaskan PHC sebagai elemen kunci UHC. Berbagai negara di kawasan Asia Tenggara juga telah memprioritaskan PHC dan menerbitkan kebijakan pendukung. Selain itu, Forum PHC, seperti yang baru-baru ini digelar di Jakarta, memfasilitasi pertukaran praktik baik antarnegara, memperkuat budaya sistem kesehatan yang terus belajar dan berinovasi sesuai konteks lokal.

Pembicara kedua

hsr 7Sesi dilanjutkan dengan pemaparan dari Lluis Vinyals Torres, direktur Health Systems and Services WHO WPRO. Torres mengawali paparannya dengan menekankan kebutuhan terhadap PHC. Model pelayanan kesehatan yang ada saat ini tidak mampu menangani volume perawatan yang timbul terkait dengan tingginya beban penyakit tidak menular (PTM) dan ageing population. Isu perawatan jangka panjang, yang membutuhkan tenaga kerja dan model layanan yang memadai, juga perlu menjadi perhatian utama dalam konteks populasi yang menua. Torres juga mengatakan bahwa dengan ekonomi Asia Tenggara yang tumbuh pesat dan masyarakat yang semakin sadar akan kesehatan, PHC harus lebih responsif dan mampu membangun hubungan saling percaya yang berkelanjutan antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan. Perubahan-perubahan ini menuntut pendekatan baru dalam mengorganisasi PHC untuk memastikan kebutuhan kesehatan terpenuhi secara efektif.

Torres memberikan contoh area tematik produksi pengetahuan yang relevan dengan tujuan di atas. Dalam konteks SDMK, selain terkait dengan ketersediaan dan maldistribusi, hal yang tidak kalah penting untuk dikaji adalah ketiadaan data dasar SDMK. Terkait dengan sistem informasi, fragmentasi sistem dan tingginya beban pengisian data menjadi isu. Torres menekankan bahwa pertukaran pengetahuan perlu terjadi antarnegara maupun antar unit dalam negara (misalnya provinsi). Dalam hal supply chain, isu mendasar yang diamati oleh Torres adalah bahwa kesehatan seringkali diatur oleh mekanisme pasar yang mempengaruhi ketersediaan item-item yang, kendati esensial, dianggap tidak mendatangkan keuntungan komersial. Torres menutup pemaparannya dengan memberikan pesan kunci bahwa pengetahuan yang diproduksi perlu diterjemahkan dan dikomunikasikan pada pembuat kebijakan, sehingga peran perantara kebijakan sangat dibutuhkan.

Pembicara ketiga

hsr 10Pembicara terakhir dalam sesi ini adalah Dr Jasper Tromp dari National University of Singapore School of Public Health. Tromp memaparkan hasil kajiannya tentang lanskap penelitian PHC di Asia Tenggara (SEAR) dan Pasifik Barat (WPR) dan potensi menutup kesenjangan antara produksi pengetahuan dengan implementasi. Studi ini menggunakan metode systematic mapping artikel ilmiah yang dipublikasi dalam 10 tahun terakhir dalam bahasa Inggris atau Cina, diikuti dengan presentasi hasil awal dan workshop untuk mendiskusikan hasil tersebut.

Studi ini menemukan bahwa publikasi penelitian PHC di SEAR dan WPR meningkat sejak tahun 2014 dan mencapai puncaknya pada kisaran tahun 2020. Jika didisagregasi per negara, penelitian sebagian besar berasal dari Australia, China, dan India, diikuti oleh Malaysia, Selandia Baru, Singapura, dan Jepang. Beberapa negara, seperti Maladewa dan negara-negara Pasifik memiliki jumlah publikasi yang sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Fokus penelitian di negara berpenghasilan tinggi (HIC) cenderung pada PTM, sementara negara berpenghasilan menengah dan rendah (LMIC) lebih banyak meneliti kesehatan ibu dan anak (MCH). Studi ini juga menemukan bahwa sebagian besar penelitian memiliki fokus penyampaian layanan, namun belum banyak yang berfokus pada sistem informasi kesehatan, kepemimpinan dan tata kelola, serta pembiayaan kesehatan. Pendanaan penelitian PHC di negara HIC didominasi oleh sumber domestik, sementara di LMIC dan negara-negara kepulauan Pasifik (PIC), proporsi pendanaan domestik jauh lebih rendah. Outcome penelitian sebagian besar berfokus pada kualitas dan efektivitas layanan., sementara outcome terkait keselamatan, akses atau cakupan layanan, serta responsivitas layanan belum banyak tersentuh.

Studi ini mengidentifikasi beberapa faktor yang menjadi tantangan dalam produksi penelitian PHC yang berkualitas. Pertama, penelitian sering kali tidak menjadi prioritas pembuat kebijakan dan lebih didorong oleh mitra pembangunan eksternal. Oleh karena itu, prioritas nasional untuk penelitian PHC perlu ditetapkan. Kedua, SDMK, terutama di fasilitas kesehatan, sering kekurangan waktu dan sumber daya untuk melakukan penelitian. Mengaitkan penelitian PHC dengan jenjang karier dianggap dapat menjadi solusi alternatif. Ketiga, pembatasan regulasi dan struktur penelitian, termasuk akses terbatas ke Institutional Review Boards (IRB), juga menjadi tantangan. Terakhir, terdapat kesenjangan signifikan antara peneliti dan orang-orang yang bekerja di lapangan, sehingga pertanyaan penelitian sering tidak relevan atau tepat waktu. Untuk mengatasi ini, diperlukan penguatan hubungan antara pemerintah, akademisi, klinisi, dan konsumen melalui community of practice dan kolaborasi penelitian. Selain itu, studi juga memberikan rekomendasi pendanaan domestik yang selaras dengan prioritas nasional untuk mendukung produksi penelitian PHC yang berkualitas.

Ketiga sesi ini kemudian diakhiri dengan sesi tanya-jawab dan diskusi berkelompok. Pada sesi tanya jawab, muncul pembahasan tentang diskoneksi antara peneliti dengan orang-orang yang bekerja di lapangan, tekanan politis untuk mengatasi permasalahan di lapangan, dan pentingnya pendekatan interdisiplin. Dalam kegiatan diskusi kelompok, timbul bahasan-bahasan tentang hal-hal yang mendukun kolaborasi dan penyelarasan riset PHC di tingkat nasional berdasarkan pengalaman berbagai negara. Konsep konsorsium PHC yang ada di Indonesia mendapatkan perhatian dari para peserta. Sesi ditutup dengan perenungan terkait kebijakan berbagi data riset PHC dan peninjauan kembali peran dan posisi seorang perantara kebijakan.

 

Reporter:
Mentari Widiastuti  (Divisi PH, PKMK FK-KMK UGM)

 

Link Terkait

 

 

 

 

Sesi Pra-Konferens, The 8th Global Symposium on Health Systems Research 2024

Senin, 18 November 2024

Advancing learning systems for health in the Asia-Pacific Region through health policy and systems research

Hari pertama HSR2024 merupakan sesi pra-konferens yang terdiri atas seminar, diskusi panel, dan peningkatan kapasitas. Reportase ini mendokumentasikan berbagai kegiatan yang merupakan bagian dari rangkaian hari pertama HSR2024.

Salah satu sesi seminar diskusi di hari pertama berjudul “Advancing learning systems for health in the Asia-Pacific Region through health policy and systems research”. Sesi ini terdiri dari empat bagian yang terdiri dari 2 sesi pemaparan dan 4 sesi diskusi panel.

sesi 1

Pemaparan Pertama

Sesi ini dimoderasi oleh Kumanan Rasanathan yang merupakan Direktur Eksekutif Alliance for Health Policy and Systems Research. Sesi ini menghadirkan dua pembicara, yakni Dr. Viroj Tangcharoensathien (senior health advisor International Health Policy Program, Kementerian Kesehatan Thailand) serta Diah Satyani Saminarsih (pendiri dan chief executive officer / CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives / CISDI).

Tangcharoensathien memaparkan bahwa sebuah learning health system membutuhkan ketersediaan dan analisis data beban penyakit, akun kesehatan, dan akun sumber daya manusia kesehatan (SDMK). Pendekatan partisipatif multisektoral juga merupakan aspek yang penting, utamanya ketika menghadapi isu kompleks seperti pengendalian resistensi antimikroba.  Selain itu, analisis kebijakan yang aktif dan kemampuan untuk mengubah arah kebijakan manakal diperlukan juga menjadi kunci sebuah learning health system. Tangcharoensathien menekankan bahwa proses evidence to policy atau penerjemahan bukti penelitian menjadi kebijakan memerlkukan kapasitas nasional yang kuat. Sebuah negara idealnya lebih memahami konteks lokalnya dibandingkan mitra eksternal mana pun. Tangcharoensathien menggarisbawahi posisi peneliti dan akademisi yang seringkali tidak berada di pusat lingkaran kebijakan membuat proses ini menemui tantangan. Oleh karena itu, penelitian kebijakan dan sistem kesehatan atau health policy and systems research (HPSR) memiliki kesempatan untuk meningkatkan kapasitas akademisi dan peneliti dalam berkomunikasi dengan pembuat kebjiakan. Selain itu, HPSR juga diharapkan mampu mengeksplorasi lebih dalam keterampilan policy entrepreneurship yang terdiri atas pemahaman mendalam tentang pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dan kemampuan komunikasi yang efektif untuk untuk penyampaian pesan dan pertanyaan kebijakan yang relevan.

hsr 1Pembicara kedua, yakni Saminarsih, menggarisbawahi peran pelayanan kesehatan primer atau primary health care (PHC) sebagai tulang punggung sistem kesehatan Indonesia. CISDI sebagai sebuah think tank telah mendorong agenda ini selama lebih dari satu dekade dan pada akhirnya diakui oleh Kementerian Kesehatan Indonesia. Pada tahun 2012, CISDI meluncurkan program Pencerah Nusantara untuk menguji perubahan proses bisnis PHC di daerah pedesaan. Prinsip dari program ini kini telah diperluas dan diterapkan hingga ke puskesmas pembantu.

Saminarsih juga menjelaskan bahwa dalam konteks HPSR di Indonesia, tata kelola merupakan tantangan utama sekaligus faktor pengungkit. Rekomendasi dari penelitian harus diterjemahkan menjadi kebijakan, diimplementasikan dalam program, dan hasilnya disebarluaskan. Saminarsih menggambarkan beberapa praktik baik dari CISDI, seperti program penguatan peran dan kapasitas kader kesehatan untuk melakukan skrining dan pemantauan individu melalui program PN-Prima. Kendati program ini mendapat pengakuan dan perhatian dari pemerintah nasional, terdapat berbagai tantangan dalam pelaksanaannya, seperti ketiadaan dokumen identitas pada beberapa individu, resistensi masyarakat dalam memberikan informasi keluarga, perasaan kurang percaya diri dari kader kesehatan, dan kebutuhan digitalisasi untuk mendukung pemantauan. CISDI terus bergerak untuk memperkuat PHC dan kader kesehatan, termasuk pada saat ini mulai memprioritaskan peningkatan kualitas layanan keseehatan.

Pada sesi tanya-jawab, muncul bahasan-bahasan seputar pengalaman negara di mana pemerintah menggunakan bukti dari penelitian untuk pembuatan kebijakan serta HPSR di situasi krisis, misalnya kawasan-kawasan konflik. Salah satu poin penting dari sesi tanya-jawab adalah pernyataan tentang Tangcharoensathien perlunya mementingkan policy formulation, tidak hanya agenda setting. Selain itu, Saminarsih juga menggarisbawahi bahwa untuk mendukung evidence-to-policy perlu upaya pelembagaan yang kuat dan berkelanjutan, di samping menyediakan lembaga yang memfasilitasi proses tersebut.

 

Reporter:
Mentari Widiastuti (Divisi PH, PKMK FK-KMK UGM)

Link Terkait

 

 

 

Diseminasi “Analisis Implementasi Pelayanan Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas dalam Mencapai Universal Health Coverage (UHC)”

Diseminasi
“Analisis Implementasi Pelayanan Kesehatan untuk
Penyandang Disabilitas dalam Mencapai Universal Health Coverage (UHC)”

Policy Brief

  Pendahuluan

Di Indonesia, 1,2 juta penyandang disabilitas memiliki akses ke JKN-PBI, dan sekitar 20.404 orang menerima alat bantu sejak 2015 hingga 2017 (TNP2K & Pemerintah Australia, 2019). Namun, jaminan kesehatan yang telah dimiliki oleh orang dengan disabilitas tersebut dinilai belum optimal dalam menyediakan manfaat pelayanan kesehatannya. Disisi lain, pelayanan kesehatan yang tersedia dinilai masih sulit untuk diakses oleh orang disabilitas karena fasilitas kesehatan belum inklusif. Saat ini, jaminan kesehatan telah menyediakan manfaat untuk disabilitas berupa alat bantu kesehatan seperti alat bantu dengar, protesa alat gerak, korset tulang belakang serta collar neck dan kruk sesuai dengan standar yang telah⁷ ditetapkan dalam Permenkes 28/2014. Namun, memastikan pencapaian UHC di Indonesia telah inklusif untuk kelompok rentan-marginal utamanya orang dengan disabilitas, tidak cukup hanya dengan melihat jumlah alat bantu yang telah diberikan. Hal ini karena kebutuhan kesehatan disabilitas tidak hanya berkaitan dengan alat bantu, tetapi mereka juga perlu untuk mendapat pelayanan kesehatan mendasar lainnya.

Untuk itu, PKMK FK-KMK UGM dengan dukungan INKLUSI melakukan survei di Bali, DI Yogyakarta dan NTT pada September - Desember 2023 untuk mengukur manfaat pelayanan kesehatan pada penyandang disabilitas yang telah didapatkan. Saat ini, terdapat 2666 data yang telah kami kumpulkan dan analisis. Dari data tersebut, kami mengetahui jumlah penyandang disabilitas yang memiliki jaminan kesehatan nasional (JKN), yang memiliki alat bantu kesehatan dan kualitasnya, dan yang mengakses pelayanan kesehatan dan kualitasnya. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif sehingga pada Januari - Februari kami melakukan FGD dengan pemangku kepentingan. Dari hasil FGD tersebut didapatkan bahwa masing-masing pemangku kepentingan telah berperan untuk menyediakan kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas. Namun, hasil FGD kami menemukan masih adanya tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan inklusif untuk penyandang disabilitas. Selain itu, berdasarkan pengalaman dari penyandang disabilitas, terdapat tantangan yang mereka hadapi ketika mengakses pelayanan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan RS. Tantangan yang paling banyak dihadapi adalah sarana prasarana dan tenaga kesehatan yang tidak inklusif untuk penyandang disabilitas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan kesehatan yang inklusif. Kemudian, Mitra INKLUSI dan organisasi penyandang disabilitas lainnya dapat memanfaatkan untuk proses advokasi kebijakan tingkat nasional dan daerah.

  Tujuan

  1. Memaparkan hasil penelitian mengenai implementasi pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas fisik, disabilitas sensorik, dan disabilitas ganda
  2. Mendiskusikan tantangan dan peluang dalam perbaikan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas fisik, disabilitas sensorik, dan disabilitas ganda
  3. Menyampaikan rekomendasi kebijakan untuk peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan yang inklusif bagi penyandang disabilitas fisik, disabilitas sensorik, dan disabilitas ganda

  Waktu

Hari, tanggal : Rabu, 30 Oktober 2024
Pukul : 12.00 - 16.00 WIB
Tempat : Ruang Auditorium Lt. 1, Gedung Pascasarjana Tahir Sayap Utara, FK-KMK UGM

  Poster

 

 

Susunan Acara

Waktu

Kegiatan

12.00 - 13.00 WIB

Registrasi Peserta dan Makan Siang Bersama

13.00 - 13.10 WIB

Sambutan

  1. Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, MAS - Kepala Pusat PKMK, FK-KMK UGM
  2. Irene Widjaya - Head of Partnership and Policy, INKLUSI

video

13.10 - 13.15 WIB

Pembukaan: Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, M.A - Ketua Tim Penelitian

video

13.15 - 14.20 WIB

Presentasi Hasil Penelitian

  • Metode yang diimplementasikan dalam penelitian - (Tri Muhartini - Peneliti)
  • Pelayanan Kesehatan Inklusif - (Relmbus Fanda - Peneliti)
  • Penggunaan Jaminan Kesehatan - (Ardhina Nugrahaeni - Peneliti)
  • Alat bantu dan alat bantu kesehatan - (M Faozi Kurniawan - Peneliti)
  • Akses Pelayanan Terapi - (Tri Muhartini - Peneliti)

video   materi

14.20 - 15.20 WIB

Pembahasan dalam bentuk Talk Show

  1. drg. Vensya Sitohang, M.Epid, PhD - Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia, Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan
  2. Sedy Fajar - BPJS Kesehatan
  3. Iftita Rahma Iklima - BAPPENAS
  4. Muh Syamsudin, S.E - Wakil Direktur SIGAB
  5. Sigit Triyono, A.Md. Kep. - Kasi Tim Medis, Pusat Rehabilitasi YAKKUM
  6. drg. Iien Adriany, M.Kes - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur

Video

15.20 - 15.45 WIB

Diskusi: tanya dan jawab - Shita Listya Dewi - Peneliti

15.45 -16.00 WIB

Penutupan - Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, M.A - Ketua Tim Penelitian

video

 

 

 

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot