sesi 1
Pemaparan Pertama
Sesi ini dimoderasi oleh Kumanan Rasanathan yang merupakan Direktur Eksekutif Alliance for Health Policy and Systems Research. Sesi ini menghadirkan dua pembicara, yakni Dr. Viroj Tangcharoensathien (senior health advisor International Health Policy Program, Kementerian Kesehatan Thailand) serta Diah Satyani Saminarsih (pendiri dan chief executive officer / CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives / CISDI).
Tangcharoensathien memaparkan bahwa sebuah learning health system membutuhkan ketersediaan dan analisis data beban penyakit, akun kesehatan, dan akun sumber daya manusia kesehatan (SDMK). Pendekatan partisipatif multisektoral juga merupakan aspek yang penting, utamanya ketika menghadapi isu kompleks seperti pengendalian resistensi antimikroba. Selain itu, analisis kebijakan yang aktif dan kemampuan untuk mengubah arah kebijakan manakal diperlukan juga menjadi kunci sebuah learning health system. Tangcharoensathien menekankan bahwa proses evidence to policy atau penerjemahan bukti penelitian menjadi kebijakan memerlkukan kapasitas nasional yang kuat. Sebuah negara idealnya lebih memahami konteks lokalnya dibandingkan mitra eksternal mana pun. Tangcharoensathien menggarisbawahi posisi peneliti dan akademisi yang seringkali tidak berada di pusat lingkaran kebijakan membuat proses ini menemui tantangan. Oleh karena itu, penelitian kebijakan dan sistem kesehatan atau health policy and systems research (HPSR) memiliki kesempatan untuk meningkatkan kapasitas akademisi dan peneliti dalam berkomunikasi dengan pembuat kebjiakan. Selain itu, HPSR juga diharapkan mampu mengeksplorasi lebih dalam keterampilan policy entrepreneurship yang terdiri atas pemahaman mendalam tentang pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dan kemampuan komunikasi yang efektif untuk untuk penyampaian pesan dan pertanyaan kebijakan yang relevan.
Pembicara kedua, yakni Saminarsih, menggarisbawahi peran pelayanan kesehatan primer atau primary health care (PHC) sebagai tulang punggung sistem kesehatan Indonesia. CISDI sebagai sebuah think tank telah mendorong agenda ini selama lebih dari satu dekade dan pada akhirnya diakui oleh Kementerian Kesehatan Indonesia. Pada tahun 2012, CISDI meluncurkan program Pencerah Nusantara untuk menguji perubahan proses bisnis PHC di daerah pedesaan. Prinsip dari program ini kini telah diperluas dan diterapkan hingga ke puskesmas pembantu.
Saminarsih juga menjelaskan bahwa dalam konteks HPSR di Indonesia, tata kelola merupakan tantangan utama sekaligus faktor pengungkit. Rekomendasi dari penelitian harus diterjemahkan menjadi kebijakan, diimplementasikan dalam program, dan hasilnya disebarluaskan. Saminarsih menggambarkan beberapa praktik baik dari CISDI, seperti program penguatan peran dan kapasitas kader kesehatan untuk melakukan skrining dan pemantauan individu melalui program PN-Prima. Kendati program ini mendapat pengakuan dan perhatian dari pemerintah nasional, terdapat berbagai tantangan dalam pelaksanaannya, seperti ketiadaan dokumen identitas pada beberapa individu, resistensi masyarakat dalam memberikan informasi keluarga, perasaan kurang percaya diri dari kader kesehatan, dan kebutuhan digitalisasi untuk mendukung pemantauan. CISDI terus bergerak untuk memperkuat PHC dan kader kesehatan, termasuk pada saat ini mulai memprioritaskan peningkatan kualitas layanan keseehatan.
Pada sesi tanya-jawab, muncul bahasan-bahasan seputar pengalaman negara di mana pemerintah menggunakan bukti dari penelitian untuk pembuatan kebijakan serta HPSR di situasi krisis, misalnya kawasan-kawasan konflik. Salah satu poin penting dari sesi tanya-jawab adalah pernyataan tentang Tangcharoensathien perlunya mementingkan policy formulation, tidak hanya agenda setting. Selain itu, Saminarsih juga menggarisbawahi bahwa untuk mendukung evidence-to-policy perlu upaya pelembagaan yang kuat dan berkelanjutan, di samping menyediakan lembaga yang memfasilitasi proses tersebut.
sesi 2
Pemarapan Kedua
Sesi pemaparan kedua mengusung topik “challenges in learning health systems”. Sesi ini menghadirkan dua pemapar, yakni Manoj Jhalani (direktur Health System Development WHO SEARO) dan Lluis Vinyals Torres (direktur Division of Health Systems and Services, WHO Regional Office for the Western Pacific).
Jhalani menjelaskan bahwa berbagai negara dan kawasan mengalami peningkatan cakupan layanan kesehatan, namun di sisi lain, pengeluaran kesehatan yang bersifat katastropik juga meningkat. Profil epidemiologis pada tahun 2021 menunjukkan bahwa COVID-19 mendominasi beban penyakit (DALY) global, sementara kemajuan penanganan tuberkulosis (TB) masih terlalu lambat untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDG). Dalam konteks SDMK, masalah kualitas dan kinerja SDMK perlu ditelaah lebih lanjut. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sektor swasta memiliki peran dan proporsi yang signifikan, sehingga diperlukan strategi yang efektif untuk melibatkan sektor swasta dalam pelayanan kesehatan. Dalam konteks PHC, perlu dipertimbangkan apakah PHC perlu dirancang sebagai sistem yang komprehensif atau selektif untuk isu kesehatan tertentu. Selain itu, indikator yang dipilih sebaiknya bukan indikator yang hanya mudah diukur, melainkan indikator yang betul-betul memberikan pengukuran yang bermakna. Lebih jauh lagi, Sistem Informasi Kesehatan di berbagai wilayah juga masih terfragmentasi. Namun demikian, semua tantangan ini sejatinya memberikan berbagai peluang untuk perkembangan di masa depan. Jhalani mengakhiri paparannya dengan memberikan aksi strategis untuk melembagakan learning health systems, yakni membangun institusi yang berfungsi sebagai katalis pembelajaran, baik di dalam maupun di bawah kementerian yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan pemerintah, sekaligus memberikan masukan kepada pemerintah. Selain itu, diperlukan kemitraan dengan institusi pengetahuan seperti universitas dan lembaga penelitian serta melakukan upaya untuk memproduksi pengetahuan, menyebarluaskannya, serta membangun kapasitas untuk mendukung implementasi kebijakan yang berbasis bukti.
Selanjutnya, Torres membuka paparannya dengan menjelaskan masalah terkait kurangnya kebijakan efektif untuk mengatasi kesulitan finansial akibat layanan kesehatan dan belum optimalnya penyediaan layanan kesehatan dalam konteks penuaan penduduk dan peningkatan prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM). Model pelayanan kesehatan klasik yang bersifat wait and see dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan isu kesehatan saat ini. Selain itu, salah satu tantangan utama dalam mencapai Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) adalah keterbatasan SDMK. Memperbaiki masalah SDMK diperkirakan memerlukan waktu setidaknya 10 tahun, sementara banyak negara masih belum memiliki sumber daya dan sistem informasi yang memadai untuk mendukung inisiatif tersebut. SDMK selama ini banyak diatur oleh mekanisme pasar yang menentukan distribusi dan remunerasi SDMK. Meskipun berbagai negara telah menunjukkan praktik-praktik baik, skalanya belum cukup besar. Torres menutup pemaparannya dengan mengajak audiens untuk terus belajar satu sama lain dan terus melakukan penelitian untuk memperbaiki sistem kesehatan secara menyeluruh.
Sesi diskusi memunculkan bahasan terkait kader kesehatan sebagai SDMK yang penting dalam PHC, namun pengelolaannya masih terfragmentasi dan belum mendapatkan investasi yang memadai. Topik diskusi lain adalah terkait data SDMK yang tidak digunakan dengan optimal akibat kurangnya sumber daya, kapasitas, dan ruang kebijakan untuk menjalankan rekomendasi SDMK. Sesi diskusi memunculkan ide tentang pentingnya bekerja sama dengan media untuk mendiseminasi dan mempopulerkan topik atau ide untuk mendapatkan atensi dari pembuat kebijakan.
sesi 3
Diskusi Panel Pertama
Sesi dilanjutkan dengan diskusi panel pertama yang menghadirkan tiga panelis yang merupakan akademisi universitas, yakni Dr Taufique Joarder (associate professor, SingHealth Duke-NUS Global Health Institute), Dr Seye Abimbola (associate professor, University of Sydney), dan Dr Katherine Ann Reyes (health promotion program, National Institutes of Health, University of the Philippines Manila).
Mengawali diskusi panel, Joarder mengatakan bahwa kawasan Asia-Pasifik memiliki populasi yang sangat besar dan kaya akan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan, namun hal ini belum berlangsung optimal. Salah satu masalah utama adalah jeda waktu yang panjang antara proses produksi dan transfer pengetahuan kepada pembuat kebijakan, sehingga menghambat penerapan kebijakan berbasis bukti secara efektif. Melanjutkan pernyataan Joarder, Abimbola mengatakan bahwa learning health systems sejatinya tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga unit-unit kecil seperti fasiltias kesehatan. Platform untuk pembelajaran di unit-unit ini harus dioptimalkan agar pengetahuan yang ada di dalam sistem dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Panelis selanjutnya, yakni Reyes, membagikan pengalaman di Filipina, di mana UHC berbasis bukti telah didukung oleh kebijakan nasional. Selain itu, terdapat hibah khusus untuk penelitian promosi kesehatan. Reyes juga menggarisbawahi pentingnya produksi bukti yang dekat dengan episentrum masalah dan menanyakan pertanyaan yang tepat kepada pihak yang tepat. Selain itu, learning health systems harus dikelola oleh pihak yang memiliki kapasitas untuk melakukannya secara berkelanjutan. Saat ini, untuk promosi kesehatan di Filipina, lembaga-lembaga universitas telah mengambil peran dalam mewujudkan hal ini dan membangun kapasitas untuk mendukung implementasi kebijakan yang berbasis bukti.
Diskusi dilanjutkan dengan pertanyaan pemantik tentang perubahan yang dibutuhkan untuk mewujudkan learning health systems. Reyes merespon dengan menggarisbawahi bahwa kolaborasi lintas disiplin perlu diajarkan di lingkup academia, termasuk memberikan mentorship kepada kolega muda agar merasa nyaman berinteraksi dengan pembuat kebijakan, serta memastikan pembuat kebijakan memiliki literasi dan kenyamanan yang cukup untuk memanfaatkan bukti dalam pengambilan keputusan. Abimbola menambahkan bahwa pembuat kebijakan perlu memahami sistem secara menyeluruh, infrastruktur informasi yang mencakup sektor lain di luar kesehatan perlu tersedia, dan bahwasanya tidak semua penelitian efektif untuk semua jenis audiens harus disadari dengan baik. Selanjutnya, Joarder mengatakan bahwa penggunaan kecerdasan buatan yang bijaksana, integrasi pengetahuan, dan interaksi yang lebih bermakna antara peneliti dan pembuat kebijakan diperlukan untuk memperkuat HPSR, di samping pentingnya perluasan cakupan HPSR ke disiplin ilmu lainnya, seperti kesehatan lingkungan dan hewan.
Sesi ditutup dengan pertanyaan dari audiens terkait ketimpangan antara proses evidence to policy terhadap kebutuhan akan hal tersebut. Panelis menjelaskan faktor seperti kurangnya sumber daya dan lemahnya komunikasi yang jelas antara peneliti dan pembuat kebijakan sebagai pendorong ketimpangan tersebut.
sesi 4
Diskusi Panel Kedua
Diskusi panel kedua menghadirkan lima panelis, yakni Somil Nagpal (lead health specialist, The World Bank), Ikuo Takizawa (JICA Ogata Research Institute), Sweta Saxena (Health Systems Advisor, Asia Bureau, USAID), Jean Kagubare (Deputy Director Primary Health Care, Bill and Melinda Gates Foundation), dan Diah Satyani Saminarsih (CEO CISDI).
Topik pertama yang dibahas pada sesi ini adalah tentang investasi untuk HPSR. Nagpal mengatakan bahwa kompleksitas sistem kesehatan yang berkembang dan transformasi pembiayaan kesehatan memerlukan asesmen yang tepat tentang area investasi dan kapasitas untuk mengoperasionalkan investasi. Selanjutnya, Takizawa mengatakan bahwa riset sistem kesehatan terkadang dianggap tidak cukup tangible jika dibandingkan dengan riset-riset biomedis. Namun demikian, JICA mulai bergerak untuk mengeksplorasi investasi di bidang HPSR, dengan catatan sumber daya dan konteks lokal harus dipahami dengan baik. Saxena menimpali dengan menjelaskan bahwa USAID Asia Bureau melakukan analisis lanskap untuk menentukan area yang menerima alokasi dana dan masalah utama yang membutuhkan bantuan USAID. Hasil analisis lanskap yang dilakukan USAID juga menunjukkan adanya kesenjangan dalam hal evidence to policy yang mensinyalir pentingnya memperkuat inisiatif tersebut. Selanjutnya, Kagubare menekankan bahwa pendanaan penelitian harus bersifat katalitik dengan fokus pada kebutuhan negara dan solusi lokal. Namun demikian, perlu diakui bahwa saat ini belum ada indikator pengukuran kinerja sistem kesehatan yang baku, di samping anggaran dan iklim politik yang seringkali menjadi hambatan penguatan sistem kesehatan. Saminarsih kemudian menambahkan bahwa waktu adalah hal yang dibutuhkan untuk sebuah intervensi sistem kesehatan mulai menampakkan hasilnya.
Pertanyaan pemantik selanjutnya membahas tentang hal-hal yang bisa dilakukan untuk merespon tantangan yang dikemukakan oleh panelis. Nagpal menekankan pentingnya mempercepat timeline produksi pengetahuan, misalnya dengan memanfaatkan data yang ada (seperti EMR) guna menunjukkan bahwa HPSR memiliki good value for money. Takizawa menambahkan bahwa momentum seperti pemilihan umum dapat digunakan untuk mempromosikan HPSR kepada pembuat kebijakan. Saxena menggarisbawahi pentingnya translasi pengetahuan, serta melakukan kolaborasi dan mengembangkan visi bersama melalui proses co-creation. Selanjutnya, Kagubare mengatakan bahwa penggunaan data secara optimal penting untuk memprioritaskan area investasi. Terakhir, Saminarsih menyatakan perlunya ruang bagi organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk menjadi policy enterpreneurs dan berfokus pada proof of concept. Saminarsih juga mengingatkan bahwa kesehatan memerlukan pemikiran jangka panjang, sehingga perlu dilakukan pemetaan perkembangan karakteristik pemimpin politik untuk membantu pihak-pihak yang terlibat dalam HPSR memahami dan memprediksi arah politik.
sesi 5
Diskusi Panel Ketiga
Diskusi panel ketiga menghadirkan Dr Sarah Louise Barber (direktur WHO Kobe Center), Dr Karen Grepin (associate professor, the University of Hong Kong), dan Dr Kun Tang (associate professor, Tsinghua University) sebagai panelis. Diskusi ini mengusung topik,”how to make impact in HPSR”.
Barber memulai dengan menyatakan bahwa tantangan HPSR termasuk tantangan kerja sama global health security (GHS) dan tantangan dari luar sektor kesehatan. Grepin menambahkan bahwa learning sejatinya terjadi pada konteks dan tingkatan yang berbeda, namun HPSR seringkali berfokus pada konteks nasional atau kawasan. Tang menimpali bahwa peneliti dan pembuat kebijakan masih sangat terpisah dan belum berinteraksi dengan optimal. Salah satu pengamatan Tang adalah kurangnya kelompok peneliti yang bertujuan untuk mengadvokasi isu tertentu.
Terkait dengan pengukuran dampak HPSR, Grepin mengatakan bahwa sejatinya tidak ada model terbaik untuk memahami evidence to policy, sehingga mengukur dampaknya juga merupakan suatu tantangan. Barber mengusulkan resiliensi sistem kesehatan terhadap perubahan politik sebagai dampak yang bisa dieksplorasi bersama. Sementara itu, Tang mengatakan bahwa indikator global tidak seharusnya menjadi fokus pengukuran dampak HPSR. Menurut Tang, asesmen kualitatif lintas negara lebih diperlukan untuk menunjukkan dampak pada tingkat global.
Sesi ini diakhiri dengan pertanyaan dari audiens, yang mencakup pembahasan tentang pentingnya peneliti untuk selalu siap dengan riset dan jawaban, bahkan sebelum pembuat kebijakan mulai merumuskan pertanyaan kebijakan. Namun demikian, independensi peneliti juga tetap perlu dijaga di dalam proses ini.
sesi 6
Diskusi Panel Keempat
Diskusi panel yang keempat menghadirkan Dr Adnan Hyder (dean for research, Milken Institute School of Public Health, The George Washington University), Dr Steph Topp (professor, James Cook University), dan Dr David Bishai (professor, The University of Hong Kong). Diskusi panel ini mengusung topik pembangunan kapasitas HPSR dan kolaborasi yang lebih baik.
Diskusi panel ini memunculkan gagasan seperti perlunya mengubah paradigma riset supaya tidak hanya berfokus pada produksi publikasi, sebagaimana dikemukakan oleh Hyder. Topp menambahkan bahwa pendidikan tinggi perlu mempersiapkan sumber daya manusia yang siap untuk HPSR dan melakukannya secara lintas disiplin. Menimpali gagasan Topp, Bishai mengatakan bahwa untuk mempersiapkan SDM HPSR, diperlukan upaya lebih dari sekadar “simulasi pemerintahan” dalam kurikulum pendidikan tinggi. Selain itu, panelis juga menekankan pentingnya kurikulum yang mempersiapkan karir di bidang HPSR. Terkait dengan ini, Hyder mengajak audiens merefleksi apakah sejatinya SDM HPSR perlu dibedakan dengan SDM kesehatan masyarakat. Terkait dengan penguatan kolaborasi, Hyder menekankan bahwa institusi yang terlibat dalam kolaborasi harus mencakup beragam entitas. Topp menambahkan bahwa iklim insentif academia terlalu bersifat individualis, sehingga struktur ini perlu dikritisi supaya kolaborasi dapat terjalin.