Reportase Webinar

Program-Program Pengembangan Kepemimpinan sebagai respon Berlakunya UU Kesehatan 2023 dan PP 28 Tahun 2024

26 Agustus 2024

rep 26ags

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada (PKMK UGM) menyelenggarakan webinar Program-Program Pengembangan Kepemimpinan sebagai respon Berlakunya Undang Undang (UU) Kesehatan 2023 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 pada Senin (26/8/2024).

Kegiatan dibuka oleh Master of Ceremony (MC) dan dilanjutkan dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M,Sc, PhD. Laksono memaparkan mengenai program-program PKMK FK-KMK UGM untuk Kepemimpinan dalam era UU Kesehatan Tahun 2023. Situasi sistem kesehatan di Indonesia saat ini digambarkan melalui status kesehatan masyarakat yang masih belum baik, pemerataan pelayanan kesehatan belum tercapai, dan keberlanjutan pendanaan kesehatan masih menjadi tanda tanya. Salah satu komponen penting dalam sistem kesehatan adalah governance dimana terdapat aspek kepemimpinan di dalamnya yang berfungsi sebagai regulator, operator, pendanaan, dan pelatihan sumber daya manusia untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Secara keseluruhan, masih diperlukan kolaborasi dari pemerintah, masyarakat, dan kelompok usaha untuk membangun fungsi governance yang jelas. Selama 20 tahun sebelum berlakunya UU Kesehatan, belum ada kerja sama yang baik antarpemimpin di sektor kesehatan.

Laksono menilai dibutuhkan pengembangan kepemimpinan secara umum, bersifat pelatihan yang berprinsip pengembangan secara berjenjang, mencakup banyak pemimpin di satu wilayah, penerapan sense making dengan menggunakan UU Kesehatan sebagai faktor kuatnya, dan penggunaan alat atau metode kepemimpinan meta leadership, serta menggunakan platform digital untuk pembelajaran yang tergabung dalam Plataran Sehat. PKMK FK-KMK UGM sebagai pusat pengembangan ilmu mencoba membantu semua pihak agar lebih mudah mempelajari isi UU dan PP dengan menggunakan platform digital agar mudah dipahami dan berbagai pelatihan kepemimpinan dengan dasar UU Kesehatan 2023.

Acara selanjutnya adalah pembahasan yang disampaikan oleh perwakilan organisasi profesi. Pembahas pertama adalah Dr. dr. Beni Satria dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Beni menyampaikan mengenai kompleksitas rumah sakit sebagai penyedia pelayanan kesehatan yang dihadapkan pada berbagai regulasi, undang-undang, dan risiko lainnya. Keharusan mengimplementasikan PP No 28 Tahun 2024 dalam waktu 1 tahun akan berdampak besar terhadap industri rumah sakit. Terlebih dengan ditegaskannya bahwa pimpinan fasyankes tidak diwajibkan harus tenaga medis, maka hal ini perlu diterjemahkan lebih lanjut secara rinci baik dari aspek leadership, manajemen RS, pengalaman, dan pendidikan, serta indikator untuk mengukur kapabilitasnya. RS memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menyesuaikan perubahan berdasarkan UU Kesehatan 2023.

Pembahas kedua, yakni Dr. R. Danang Sananto Sasongko, M.M dari Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA) menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan regulasi, yang paling terdampak pertama kali adalah RS pemerintah. Tantangan lain yang dihadapi adalah regulasi di tiap daerah dan regulasi lain yang harus diimplementasikan oleh rumah sakit, pajak, dan kesamaan persepsi stakeholder di luar RS. Danang menilai bahwa pemimpin di RS hendaknya merupakan seorang yang ahli dalam manajemen RS dan manajemen pasien agar dapat menyusun kebijakan dan mengatur kepemimpinan lebih optimal.

Pembahas ketiga dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yakni Dr. dr. Moh Adib Khumaidi, Sp.OT. Menurut Adib, upaya adaptasi IDI terhadap regulasi yang baru terbit dilakukan melalui upaya transformasi dan reborn untuk persiapan menghadapi tantangan global. Langkah-langkah IDI reborn meliputi reframing, restructuring, revitalitation, dan renewal. UU Kesehatan tidak menyebutkan secara spesifik kewenangan organisasi profesi (OP). Namun OP berupaya mendukung implementasinya melalui penguatan SDM dokter, kesejahteraan, dan perlindungan hukum.

Pembahas keempat yakni Dr. dr. Dollar, Sp.KKLP ,SH .MH .MM, dari Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) memaparkan bahwa para pemimpin kesehatan memiliki peran yang sangat penting dalam sistem kesehatan. Para pemimpin kesehatan harus mampu membuat keputusan yang strategis, melakukan komunikasi dan edukasi kepada pemangku kepentingan, organisasi, dan masyarakat, dan pengembangan penelitian bidang kesehatan. Selain itu, pemimpin kesehatan juga berperan dalam advokasi dan edukasi. Dengan adanya UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024, manajemen OP dinilai sangat penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan memastikan standar praktik yang tinggi. PDSI mendukung penuh dan melaksanakan dengan sebaik baiknya UU dan PP tersebut.

Pembahas kelima adalah dr. M. Subuh, MPPM dari Asosiasi Dinas Kesehatan (ADINKES). Subuh memaparkan mengenai prinsip adinkes adalah bahwa UU yang telah disahkan pemerintah bersifat final namun belum tentu mengikat. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 terdapat 458 pasal, sementara PP Nomor 28 Tahun 2024 berisi 1170 pasal. Critical issue meliputi pemahaman teman teman daerah untuk memahami pasal tersebut. Jika ditilik dari pasal-pasal yang ada, sebenarnya pola kepemimpinannya tidak disebutkan jelas. Tetapi di pasal 413 disebutkan koordinasi, sinkronisasi, penguatan sistem pencatat. Sangat disayangkan jika UU ini tidak menyebut standar pelayanan minimal. Hal yang berkaitan dengan nomenklatur. ADINKES pernah membuat modul pelatihan kepemimpinan yang diatur oleh Permenkes Nomor 10 Tahun 2020.

Pembahas keenam, yakni Prof. Dr. drg. Wahyu Sulistiadi, MARS dari Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia ⁠(IAKMI) menjelaskan bahwa implementasi UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 tidak mudah dan perlu upaya penyederhanaan untuk meningkatkan pemahaman. Rencana program juga perlu pendampingan. Diantara peran OP merujuk pada UU Kesehatan dan PP Nomor 28 Tahun 2024 adalah mempromosikan dan advokasi kebijakan yang mendukung layanan kesehatan yang lebih baik, menetapkan standar profesi, memastikan bahwa layanan publik yang diberikan oleh para profesional memenuhi standar profesi, dan berperan dalam pengaturan kebijakan publik. Menurut Wahyu, prinsip kepemimpinan dan sense making terhadap UU Kesehatan dan PP Nomor 28 Tahun 2024 meliputi komitmen pada transformasi, fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi, kolaborasi dan partisipasi, data-driven leadership, serta kepemimpinan etis dan inklusif. Penerapan kebijakan kesehatan juga perlu didukung platform digital melalui pengembangan sistem informasi kesehatan nasional, digitalisasi sistem rujukan kesehatan, telemedicine, manajemen data, pemantauan, dan evaluasi program.

Pembahas terakhir, yakni drg. Bayu Yudanto dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan bisa sejalan dengan UU Kesehatan terbaru. Pelaksanaan UU Kesehatan akan mempengaruhi sistem kesehatan, termasuk di dalamnya implementasi Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN). Bayu menilai ke depannya perlu diadakan pengembangan dan pelatihan-pelatihan yang dapat mengantisipasi risiko terkait dinamika dalam sistem kesehatan yang dapat berdampak pada JKN. Misalnya long covid yang menyebabkan lonjakan jumlah kunjungan peserta ke fasilitas kesehatan dan dinamika ekonomi yang dapat berpengaruh terhadap iuran JKN. PKMK diharapkan dapat menyajikan pelatihan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal di luar sistem kesehatan yang mungkin berpengaruh terhadap kondisi JKN.

Reporter: Mashita Inayah (PKMK UGM)

Link terkait kegiatan silahkan klik disini