Persiapan Pelayanan Kesehatan dan Sistem Di Masyarakat
untuk Penanggulangan Penyakit Tidak Menualar

r2ncd

Sesi ini di moderatori oleh Dr. Yayi Suryo Prabandari, pembahasan mengenai tantangan dan penanggulangan penyakit tidak menular tidak hanya dapat ditangani dengan cara-cara tradisional. Diperlukan inovasi dan pendekatan yang lebih untuk menghadapinya. Salah satu inovasi yang diungkap dalam seminar ini adalah sistem informasi kesehatan dan pendekatan sistem kemasyarakatan.

dr. Lutfan Lazuardi, PhD mencontohkan dengan inovasi di sistem teknologi informasi kesehatan. Misalnya, penerapan telemedicine di Swedia, dimana dokter dan pasien dapat berkomunikasi dan melakukan pemeriksaan dari jarakjauh.

Penjelasan tersebut ditambahkan oleh Dr. Maria Nillson dengan pengembangan sistem berbasis masyarakat untuk mengontrol penyakit tidak menular di Vasterbotten, Swedia. Dengan pendekatan ini, kita akan mendapatkan potensi yang maksimal dari masyarakat, kekuatan dalam kapasitas serta keberlanjutan kegiatan akan lebih pasti.

Bagaimana cara penguatan sistem dimasyarakat terutama di negara berkembang ? Hal ini dibahas oleh Dr. Fatwa Sari Tetra Dewi dengan menekankan pada pemberdayaan masyarakat. Misalnya pada pengalaman program pengurangan penyakit jantung di Yogyakarta (Proriva).

Dua sesi berikutnya adalah presentasi poster.Kegiatan poster diikuti lebih dari 20 peserta dari berbagai negara. Menarik, mereka saling bertukar pengalaman dalam penanggulangan penyakit tidak menular, banyak poster membahas tentang kontrol rokok, obesitas, dan gizi. Diakhir kegiatan, tiga presenter poster terpilih sebagai pemenang dan penghargaan pada satu presenter yang mengangkat tentang hak asasi manusia.

Sintesis internasioanal simposium disampaikan oleh dr. Yodi Mahendradata, PhD, salah satu pesannya bahwa penanggulangan penyakit tidak menular memerlukan dukungan system kesehatan yang baik untuk itu kita tidak bisa menghindarkan diri dari politik. Senang tidak senang kita harus memperjuangkan penyakit tidak menular dengan dukungan kebijakan dan politik. Selain juga, dukungan inovasi dan penguatan sistem di masyarakat.

 

 

sponsor

Kerangka Acuan

Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara untuk
Perluasan Cakupan Sektor Informal Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

29 September – 2 oktober 2013
Royal Ambarrukmo Hotel Jogjakarta

 

 Latar Belakang

Banyak negara di dunia, dan yang tergabung dalam Joint Learning Network for Universal Health Coverage (JLN) sedang berupaya menuju Cakupan Kesehatan bagi seluruh penduduknya (UHC), termasuk Indonesia, Filipina, Thailand, China dan Korea. Umumnya Jaminan kesehatan bagi pegawai pemerintah, tentara/polisi, pegawai swasta formal dan masyarakat miskin sudah ada mekanisme yang mengatur dan sudah berjalan meskipun masih ada kendala di lapangan. Hal yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana mencakup masyarakat di sektor informal dan atau hampir miskin seperti petani, nelayan, supir, pedagang kaki lima, dsb.

Khusus untuk Indonesia, hal itu merupakan tantangan yang harus dihadapi dan memerlukan masukan dari berbagai pihak mengingat bahwa BPJS Kesehatan akan mulai dilaksanakan pada tahun 2014. Semua warga negara Indonesia termasuk pekerja informal dan formal pada akhir tahun 2019 akan mendapatkan jaminan kesehatan. Namun keadaan saat ini, sejumlah besar pekerja sektor informal belum tercakup dalam jaminan kesehatan. Meskipun ada perluasan Jamkesmas dari 76,4 juta orang menjadi 86,4 juta yang akan dicakup BPJS tahun 2014, sejumlah besar pekerja sektor informal ini masih belum tercakup jaminan kesehatan.

Pekerja sektor informal adalah pekerja yang tidak mendapatkan gaji (unsalaried) dan tidak memiliki hubungan formal perusahaan-karyawan atau disebut sebagai pekerja di Luar Hubungan Kerja (LHK). Ada sekitar 73,2 juta orang di Indonesia termasuk dalam kategori pekerja sektor informal (diantaranya 53,2 juta mendapatkan upah dan 20 juta lagi tidak mendapatkan upah). Menurut Informal Economy Study (IES)1 tahun 2011/2012, sekitar 31,2 juta pekerja sektor informal (yang mendapat upah) tidak akan ditanggung jaminan kesehatan pada tahun 2014.

Persoalan yang perlu diperhatikan adalah, akan ada sejumlah besar pekerja informal yang tidak termasuk dalam kategori penerima bantuan iuran, harus membayar iuran/kontribusi kepada BPJS Kesehatan, termasuk pekerja informal yang dekat titik cut off (pemisah antara wajib membayar dan tidak); yaitu dengan hanya sedikit peningkatan pendapatan akan mengakibatkan mereka harus membayar iuran/kontribusi secara penuh dan begitu pula sebaliknya. Di sisi lain, jika semua pekerja sektor informal mendapat subsidi bantuan iuran, maka akan terjadi orang dengan kemampuan membayar yang sama akan diperlakukan secara berbeda berdasarkan status hubungan kerja mereka (formal vs. informal). Dan, seperti yang Wagstaff (2012) telah temukan di Thailand, kontribusi pemerintah ternyata mendorong terjadinya informalisasi yang lebih besar.

Kemampuan membayar dan kemauan membayar iuran jaminan kesehatan merupakan dua isu yang perlu diperhatikan. Masyarakat belum beranggapan bahwa iuran sebagai sesuatu hal yang baik. Hal ini dilihat dari masih tingginya pengeluaran langsung (out-of-pocket),serta belum maksimalnya penggunaan fasilitas layanan (mungkin belum memenuhi kualitas yang diinginkan).

Di sisi sektor keuangan, iuran jaminan kesehatan diperlukan untuk menjamin kebijakan fiskal yang sehat dan sebagai komplemen terhadap anggaran pemerintah yang terus meningkat untuk sektor kesehatan dan subsidi jaminan kesehatan masyarakat miskin.

Oleh karena itu beberapa kalangan berpendapat bahwa strategi yang komprehensif diperlukan untuk menangani masalah sektor informal, yakni meliputi konseptualisasi, kebijakan implementasi, perencanaan, pemasaran sosial, partisipasi, dan metode pengumpulan iuran. Unsur-unsur strategi implementasi dapat diujicobakan di beberapa daerah, dengan mempertimbangkan keragaman sektor informal dalam hal karakteristik sosial ekonomi, sosial budaya dan daerah. Beberapa pemikiran yang sering mengemuka antara lain, apakah kebijakan iuran/kontribusi atau subsidi, atau beberapa kombinasi akan digunakan untuk mencapai target cakupan Jaminan Kesehatan Nasional pada tahun 2019.

 

  Tujuan

Sesuai dengan pendekatan countres practice learning to learning practice dalam JLN, forum ini bertujuan:

  1. Mengkaji isu mengenai perluasan cakupan kesehatan dengan fokus pada masyarakat hampir miskin dan sektor informal berdasarkan pengalaman antar negara
  2. Mempresentasikan isu-isu dan pendekatan dari negara masing-masing, dan mendiskusikan solusi yang mereka tempuh untuk mengatasi masalah cakupan kesehatan semesta (UHC), membahas bagaimana mereka mengatasi masalah cakupan kesehatan untuk kelompok populasi yang lebih sulit dijangkau.
  3. Menggambarkan dampak dari pendekatan yang berbeda terhadap kebijakan tenaga kerja, kebijakan fiskal dan pertumbuhan ekonomi makro juga akan disajikan dan dibahas dalam forum ini.
  4. Mengembangkan perpaduan praktik terbaik global dan mengembangkan beberapa pendekatan langkah demi langkah untuk mengembangkan pilihan dan solusi guna menjangkau masyarakat sector informal.

 

  Peserta

Peserta forum berjumlah sekitar 100 orang, terdiri dari para pengambil kebijakan di tingkat nasional, pemerintah daerah propinsi dan kabupaten, wakil rakyat, lembaga profesi, akademisi, wakil organisasi masyarakat, praktisi BPJS, dengan narasumber JLN countries , dalam dan luar negeri,

  Agenda

29 September – 2 oktober 2013
Royal Ambarrukmo Hotel Jogjakarta
Agenda selengkapnya silahkan 

  Waktu dan Tempat

Forum akan diawali dengan "welcome dinner" pada hari Minggu tanggal 29 September 2013 dilanjutkan dengan Acara Forum Diskusi Senin 30 September 2013 sampai dengan Rabu 2 Oktober 2013 bertempat di Hotel Royal Ambarrukmo, Kota Yogyakarta. Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi sdr. Emy, PPJK Kemenkes (021-5221229, hp 081398149097), Yuni Astuti, Pusat KPMAK FK GM ( 0274-544044 / 631022, HP : 0811283824).

Opening Remarks

Pembukaan Symposium on Research, Policy & Action to
Reduce the Burden of Non-Communicable Diseases

r1ncd

Pembukaan Symposium on Research, Policy & Action to Reduce the Burden of Non-Communicable Diseases, diselenggarakan pada Kamis (26/09/2013) di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kegiatan ini akan berlangsung hingga Jumat (27/9/2013), kurang lebih 200 orang mahasiswa berbagai minat FK UGM maupun dari universitas lain mengikuti acara ini. Hadir pula para peserta lain dari kalangan profesional di Indonesia maupun luar negeri. Acara dibuka dengan tarian yang dipersembahkan oleh Roro Sinta Puji Wiboyo, mahasiswa FK UGM. Kemudian, dilanjutkan dengan laporan kegiatan yang dipaparkan oleh dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD. Acara secara resmi dibuka dengan pemukulan Gong oleh Dekan FK UGM, Prof . Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B (K) Onk.

Sesi 1

NCDs, Health and Development agendas

r1ncd2

Tema yang diangkat pada sesi pertama Simposium Internasional tentang Penelitian Kebijakan, dan aksi pengurangan penyakit tidak menular ini adalah NCDs, Health and Development. Sesi ini menghadirkan dua pemateri yaitu Dr Yodi Mahendradhata, MSc, PhD dan Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH. Presentasi pertama disampaikan oleh Dr Yodi Mahendradhata, MSc, PhD yang menyoroti tentang masih banyaknya masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia, adanya pembangunan Millennium Development Goals 4 dan 5 juga tidak cukup mengatasi berbagai masalah lapangan kerja yang produktif, kekerasan terhadap perempuan, perlindungan sosial, ketimpangan, penyingkiran sosial, keanekaragaman hayati, malnutrisi dan peningkatan penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi dan kompleksitas yang berkaitan dengan dinamika demografi, perdamaian dan keamanan, pemerintahan, supremasi hukum dan hak asasi manusia. Terkait hal tersebut terdapat empat dimensi pembangunan berkelanjutan yang direncanakan untuk kedepannya yaitu pembangunan nasional, inklusi sosial, kelestarian lingkungan dan pemerintahan yang baik.

Pemaparan kedua disampaikan oleh Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH, Menurutnya ada banyak agenda-agenda kedepan yang akan di kerjakan di Indonesia. Muncul delapan fokus prioritas nasional untuk kesehatan yaitu 1) meningkatkan kesehatan ibu dan keluarga, 2) perbaikan gizi, 3) CD dan NCD kontrol, kesehatan lingkungan, 4) meningkatkan tersedianya, keterjangkauan, keamanan, kualitas, makanan dan obat, 5) Jamkesmas, 6) pengembangan, bencana dan krisis manajemen komunitas, dan 7) meningkatkan layanan kesehatan primer, sekunder dan tersier. Dari kedelapan fokus prioritas tersebut pengurangan penyakit tidak menular masuk dalam prioritas ketiga, menurut data Riskesdas penyakit tidak menular di Indonesia masih tinggi. Stroke masih menjadi penyebab utama kematian di Sumatera dan Jawa. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang telah membuat perencanaan untuk prioritas tersebut. Pernyataan Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH ini disambut meriah oleh peserta yang hadir dengan tepuk tangan.

Sesi 2

Hubungan Perubahan Iklim dengan Penyakit Tidak Menular

r1ncd4

Sesi kedua, pembahasan lebih banyak tentang hubungan dan dampak perubahan cuaca terhadap penyakit tidak menular. Secara signifikan penyakit tidak menular meningkat seiring peningkatan temperatur suhu bumi. Perubahan iklim juga menyebabkan banyaknya korban dan kematian akibat bencana. Begitu juga dengan upaya pencegahan perubahan iklim pada sektor lain memperlihatkan penurunan angka penyakit tidak menular.

Prof. Dr. Rainer Sauerborn dari Universitas Heildelberg, Jerman memaparkan secara jelas bagaimana perubahan cuaca berhubungan dengan penyakit tidak menular. Hal ini merupakan tantangan dari penelitian dan kebijakan kesehatan karena perubahan apapun yang terjadi untuk menangani perubahan iklim akan berdampak bagi sektor kesehatan.

Kasus penyakit yang berhubungan dengan dampak perubahan iklim di Indonesia dipaparkan oleh Prof. Dr. Hari Kusnanto dari Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada. Contohnya, peningkatan permukaan suhu laut berdampak pada kehidupan nelayan dan keluarganya. Begitu juga dengan kekeringan yang terjadi akhir-akhir ini berdampak pada meningkatnya penyakit tidak menular dan kasus kurang gizi.

 

Sesi 3

Strategi Sektor Kesehatan untuk Mencegah dan
mengendalikan Non-Communicable Diseases (NCD)

r1ncd3

Sesi ini di awali oleh permainan Piano Prof. Dr Rainer Sauerborn. Peserta sangat terhibur dengan adanya permainan piano tersebut. Setelah itu acara dilanjutkan kembali, pada sesi ini ada 2 pembahas yaitu Dr. dr. Hernani Djarir, MPH dan dr. Prima Yosephine , kedua pembahas ini menyoroti Strategi Strategi Sektor Kesehatan untuk Mencegah dan mengendalikan Non-Communicable Diseases (NCD).

Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena NCD (63 % dari seluruh kematian) dan hampir setengah (14 juta) kematian NCD terjadi sebelum usia 70 tahun. Penyebab kematian terbesar NCD adalah kardiovaskular, kanker, penyakit pernapasan kronis dan diabetes yang hampir 80 % kematian NCD ini terjadi di Negara berpenghasilan rendah dan menengah dan sebagian besar bisa dicegah. Dampak negative dari epidemic NCD ini ternyata menimbulkan dampak yang serius bagi kehidupan masyarakat seperti mengurangi produktivitas dan berkontribusi terhadap kemiskinan. Sehingga NCD menciptakan beban yang cukup signifikan terhadap system kesehatan dan beban ekonomi pada suatu Negara.

Tiga pilar strategi Dunia untuk mencegah dan mengendalikan NCD adalah dengan surveillance (melakukan pemetaan epidemic dari NCD), prevention (mengurangi tingkat paparan faktor risiko) dan management (memperkuat pelayanan kesehatan untuk penderita NCD). Lalu bagaimana strategi Indonesia mencegah dan mengendalikan NCD?

Tantangan dalam mencegah dan mengendalikan NCD di Indonesia adalah (1) kesenjangan layanan (upaya untuk mengontrol NCD belum difokuskan dan masih terfragmentasi, terbatasnya akses di daerah pedesaan dan masyarakat miskin); (2) kesenjangan system kesehatan (alokasi anggaran kesehatan yang terbatas, tidak tepat waktu, tidak proposional dan tenaga kesehatan yang tidak memadai, terlatih dan tidak cukup diberdayakan); dan (3) Kesenjangan kebijakan (sector program yang distorsi (tidak efisien) dan berlebihan; pemerintah daerah yang belum berorietasi pada skala prioritas (seperti MDGs) berdasarkan rencana anggaran).

Kebijakan kesehatan yang telah dibuat Pemerintah Indonesia sebagai salah satu cara mencegah dan mengendalikan NCD meliputi

  1. PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan
  2. Permenkes No 28 Tahun 2013 tentang pencantuman peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan produk tembakau
  3. Permenkes No 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman informasi kandungan gula, garam dan lemak serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji guna menekan konsumen dari penyakit tidak menular

Indonesia melakukan pencegahan dan pengendalian NCD dengan multi sektoral yaitu (1) mengurangi factor risiko yang dimodifikasi melalui intervensi yang cost-effective; (2) mengembangkan dan memperkuat kegiatan pelayanan kesehatan berbasis masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian factor risiko NCD. Program NCD yang dilakukan seperti (1) promosi kesehatan melalui pos pembinaan terpadu pada masyarakat yaitu menjelaskan perilaku hidup sehat (tidak merokok, makan makanan yang sehat, melakukan aktivitas yang sehat); (2) pengendalian terpadu pada factor risiko NCD (hipertensi, perokok, obesitas) melalui dokter keluarga dan puskesmas; (3) rehabilitasi pada kasus NCD melalui home care, monitoring & controlling.

Kesimpulannya untuk melawan NCD perlu tindakan yang cepat dan kepemimpinan yang kuat di tingkat global, regional dan nasional.

Sesi 4

Peningkatan Tanggung jawab Sistem Kesehatan
terhadap Penyakit Tidak Menular

r1ncd5

Sesi terakhir ini mengalir dalam pembahasan mengenai respon sistem kesehatan menangani ancaman penyakit tidak menular. Dimoderatori langsung oleh Prof. Laksono Trisnantoro, diskusi tentang penilaian Dr.Krishna Hort (Nossal Institute, Universitas Melbourne, Australia) terhadap sistem kesehatan Indonesia langsung dikomentari oleh Dr. Soewarta A Kosendari perwakilan Kementerian Kesehatan.

Dampak peningkatan penyakit tidak menular akan memperbanyak kerja enam komponen sistem kesehatan. Misalnya, pembiayaan kesehatan akan meningkat dengan berulangnya pengobatan penyakit tidak menular. Selain itu mampukah pelayanan kesehatan dan sumberdaya kesehatan kita dalam menyikapi penyakit tidak menular yang penanganannya berbeda dengan penyakit menular. Misalnya, masih sulitnya tenaga kesehatan dalam menentukan penyebab dari penyakit tidak menular.

Dalam presentasinya, Dr. Krisna Hort menunjukkan tools untuk mengukur kesiapan sistem kesehatan suatu negara menghadapi penyakit tidak menular. Bangladesh dan Fiji menjadi negara yang telah dinilai dan hasilnya mereka masih pada fase kedua yang baru menapaki masa pelaksanaan. Bagaimana dengan Indonesia? Selengkapnya silahkan simak materi Dr. Krisna Hort dan tanggapan mengenai penelaian tersebut simak pada materi Dr. Soewarta A. Kosen.

 

 

Refleksi dari peserta

Kebijakan health for all mengacu pada Universal Health Coverage (UHC), tujuannya ialah kesetaraan kesehatan untuk semua orang. Universal health care yaitu kesehatan untuk semua orang bahkan yang mengalami disabilitas, misal di Jerman mereka menempatkan huruf Braile di transportasi publik.

Sementara, health in all yaitu kesehatan masuk dalam semua semua sektor, misalnya Kementrian Perhubungan, Kementrian Pendidikan dan lain-lain. Bridge untuk menghapus gap yang ada di masyarakat? Bridge yang bisa dibentuk salah satunya pendidikan, pendidikan ini yang akan membantu menghilangkan gap.

Modul:

Geospatial differences: the role of social and environmental variables

lutfan

Modul ini disampaikan oleh Lutfan Lazuardi, dosen dari FK UGM. Faktor yang mempengaruhi SDH meliputi: sosial ekonomik, transportasi, perumahan, akses untuk servis kesehatan, grup sosial dan tekanan lingkungan atau sosial. Perbedaan geospasial terlihat dari distribusi dokter di Indonesia terpusat di kota, bahkan di DIY juga begitu. Atau kasus masyarakat Jogja yang berada di bawah garis kemiskinan yang tinggal di bantaran sungai terancam penyakitmisalnya TBC. Hal tersebut diungkap penelitian yang berjudul Delayed treatment of TB patients in rural areas of Yogyakarta provice, Indonesia-Yodhi Mahendradata, et al. Seharusnya data ini bisa diambil untuk menjadi masukan dalam perumusan kebijakan.

Kolaborasi antar sektor dan penemuan kasus yang tepat sangat dibutuhkan. Misalnya untuk kasus darurat persalinan di Yogyakarta. Kondisinya seperti ini: RS yang terdekat sering penuh, jadi, dibutuhkan informasi yang terintegrasi mana yang akan dituju ketika kedaan darurat. Kombinasi pengukuran atas keadaan dan strategi untuk mengukur estimasi bisa menjadi solusi, yaitu melalui google map untuk melihat traffic dan seberapa jauh harus berpindah. Lalu masalah geospasial lain yang terjadi yaitu air di Yogya sudah tercemar nitrat, sekitar 98 persen dari populasi yang ada.

Masalah besar dalam kesehatan di Indonesia ialah perbedaan pembangunan yaitu sangat modern dan sangat terpencil. Lalu diikuti biaya hidup yang terlalu tinggi di suatu daerah. Hal ini terjadi di Indonesia, misal untuk program vaksinasi harus berbeda besaran biayanya untuk masing-masing daerah. Misal Aceh-Jogja-Papua. Selain itu, untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi, bisa disusun regulasi hulu untuk sarana telekomunikasi dan transportasi: mungkin bisa dilakukan telemedicine di negara ini. Bisa menjadi universal service public transportation, untuk membuka remote area pada akses kesehatan. Atau dapat diikuti dengan dibukanya penerbangan perintis dari perusahaan penerbangan Indonesia, namun hal ini perlu advokasi ke pemerintah. Penerbangan ini bisa untuk semua hal, bukan hanya kesehatan. Hal yang perlu digarisbawahi, masih dibutuhkan komitmen dari pemerintah untuk menghubungkan akses antar pulau. Lalu, masalah persebaran dokter umum dan spesialis yang harus dipikirkan ulang. Silahkan simak paparan selengkapnya 

Modul:

Social networks and exclusion:
The case of medical pluralism among the urban floor in yogyakarta

siwi

Penelitian "Social network and exclusion: The case of medical pluralism among the urban floor in Yogyakarta" disampaikan oleh Retna Siwi Padmawati. Penelitian ini dilakukan secara antropologi dan menemukan banyak hal menarik. Pembukaan dari sesi ini, Siwi menyampaikan bahwa pemerintah memberikan asuransi pada masyarakat sejak 2005 dalam bentuk jamkesmas, jamkesda, dan lainnya. Seting untuk riset ini masih banyak masyarakat di bantaran sungai yang melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya mandi, cuci piring dan lain-lain di sungai.

Responden yang terlibat dalam penelitian ini bekerja di sektor informal. Dalam proses penelitian ini, Siwi menemukan ada tukang gigi yang tidak bersertifikat, hal ini bisa memicu infeksi gigi. Sedangkan, tidak ada penyelamatan dari pemerintah pada warga dari hal seperti itu. Kebijakan dan sistem kesehatan di Indonesia harus melihat, pertama: banyak proses sosial dalam masyarakat. Kedua, akses pada fasilitas kesehatan dan pengobatan alternatif. Ketiga, ekonomi politik sosial budaya merupakan empat elemen yang saling berinteraksi.

Terdapat dua hal yang bersifat sangat kuat dalam masyarakat Indonesia, yaitu concept of the effectiveness of medicine, masyarakat sering menyebut obat yang cocok/cespleng untuk masing-masing orang, karena tidak semua obat pas untuk semua orang. Serta concept of searching for cure, masyarakat sangat berusaha bersungguh-sungguh untuk berobat dan mencoba banyak pengobatan (ikhtiar). Pengobatan tradisional atau alternatif sesuai untuk warga miskin, karena umumnya keahlian ahli obatnya karena kursus atau diwariskan orang tua dan umumnya biaya yang harus dibayarkan hanya 5 ribu hingga 200 ribu.

Konstruksi masyarakat atas pengobatan tradisional, yang disebut ahli pengobatan tradisional dalam masyarakat yaitu mereka yang memberikan pengobatan yang baik dan sesuai, siap melayani 24 jam, bisa memberikan obat sesuai kebutuhan pasien, kadang menggratiskan pengobatan tersebut (atau biaya periksa yang ''terserah" pasien). Pengobatan tradisional ini campuran antara biomedicine, akupuntur, bekam dan herbal dari China. Mereka banyak yang beralih ke alternatif karena mengalami dilema, yaitu ingin segera sembuh, terpengaruh sugesti lingkungan untuk obat yang tepat, dan lain-lain.

Implikasi pada hulu dan hilir kebijakan yang diharapkan yaitu menunda perawatan yang tepat, menghapus diskriminasi jamkesmas serta kualitas perawatan di sektor informal. Lalu diikuti refleksi: Apalagi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan masyarakat miskin dan pengobatan tradisional?

Modul:

Pathway from social experience to health, health behavior and nutrition

istiti

Modul ini dipaparkan oleh BJ Istiti Kandarina, dosen dari FK UGM. Masalah kesehatan yang mengintai masyarakat kita yaitu perbedaan (geografis, ekonomi, dan sebagainya) serta masalah nutrisi. Nutrisi awal yang harus dicermati dalam siklus kehidupan yaitu untuk anak yang baru lahir. Setelah anak lahir, nutrisi apa yang dibutuhkan? Tentu saja jawabnya Air Susu Ibu (ASI). Namun, ASI yang akhir-akhir ini dikampanyekan untuk diberikan secara eksklusif selama 6 bulan mengalami tantangan. Masih ada kasus seperti ini, umumnya yang mengasuh anak ketika lahir itu nenek dari anak tersebut. Sehingga, banyak yang tidak memberikan ASI eksklusif. Terkadang hal ini, dipicu karena ibunya merupakan wanita yang bekerja penuh di luar rumah.

Dukungan pemerintah pada wanita hamil yaitu makanan khusus ibu hamil. Nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil telah disediakan pemerintah Indonesia yaitu makanan khusus yang terbuat dari ikan. Namun, sayangnya makanan tersebut dikonsumsi anggota keluarga yang lain. Hal tersebut masih terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Selain nutrisi, regulasi untuk wanita hamil yang sangat berbeda di masing-masing negara. Di Jerman, cuti hamil satu tahun dan bekerja setelah 3 tahun melahirkan. Di Bangladesh, cuti melahirkan 6 bulan. Di Indonesia, cuti melahirkan 3 bulan, bahkan jika bekerja di bank itu cuma sebulan.

Diskusi dalam sesi ini mengarah pada hingga saat ini, hal yang paling dibutuhkan di Indonesia ialah pendidikan dan promosi kesehatan. Sejak 2011, pemerintah mengkampanyekan Jaminan Persalinan (Jampersal), asuransi persalinan dari lahir hingga satu bulan setelah melahirkan. Mereka harus ke Puskesmas untuk dikontrol kehamilannya. Namun, banyak dari saran bidan yang menangani ibu hamil ini tidak didengar. Kadang hal inilah yang membuat ibu hamil tersebut kekurangan gizi.

Life cycle nutrition ialah hal esensial yang dibutuhkan untuk menjamin generasi yang baik untuk semua. Hamil yang berulang itu mempengaruhi malnutrition, jadi butuh adanya KB. Kebijakan di China one child is better, tapi itu menjadi dilema siapa yang akan mengasuh orang tua nanti ketika 15 atau 20 tahun yang akan datang. Namun, faktanya masih banyak yang punya anak lebih dari 4. Lalu, masih banyak yang melakukan aborsi karena ingin anaknya laki-laki. Sesi ini ditutup dengan beberapa video, yang pertama video dari Public Health, Harvard University yang menyampaikan pesan the society is our patient. Lalu video dari WHO saat deklarasi Rio tahun 2011, meninggalkan pesan yang mendalam yaitu fundamental human rights-health, so reduce inequity.

Materi silahkan 

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
bekerjasama dengan
MTAF Global Fund

Menyelenggarakan pengembangan konsultan kesehatan
dengan pendekatan jarak-jauh dan tatap muka

Kegiatan Perdana:

Informasi dan Pembentukan Data Based Konsultan Manajemen Kesehatan
dalam program
Management and Technical Assistance Facility (MTAF)

Kamis tanggal 3 Oktober 2013 pukul 10.00 – 14.30
di Ruang Theater Lt.2 , Gedung Perpustakaan FK UGM
dan disiarkan melalui Video Streaming di

www.kebijakankesehatanindonesia.net

  Pengantar

Pengembangan sistem kesehatan Indonesia dalam era desentralisasi membutuhkan peran aktif konsultan teknis dan manajemen. Tanpa ada jenis tenaga ini, akan sulit untuk memicu pengembangan dan memonitor kinerja pembangunan kesehatan. Tuntutan akan adanya konsultan teknis dan manajemen ini juga disuarakan oleh badan-badan dunia untuk pembangunan kesehatan.

Saat ini sedang dikembangkan data-base untuk konsultan dan manajemen teknis oleh Program MTAF Global Fund. Data-base ini merupakan kegiatan awal untuk mengembangkan informasi, komunikasi, dan kerjasama antara konsultan. Langkah ini kemudian diikuti dengan pengembangan kapasitas individu dan lembaga penyedia tenaga jasa konsultan.

 

  Tujuan Kegiatan

  1. Membahas tujuan Program Managemen and Technical Assistance Facility
  2. Membahas sistem data base konsultan kesehatan dari Program MTAF Global Fund.
  3. Melakukan rencana pengembangan konsultan di masa depan melalui program jarak jauh dan tatap muka.

 

 Jadwal Acara dan Topik

Waktu

Topik

Pembicara

09.30 – 10.00

Registrasi

 

10.00 – 12.00

Pembukaan oleh Prof. Laksono Trisnantoro

Informasi dan Pembentukan dan Operasionalisasi MTAF

Membahas makna konsultan manajemen dan konsultan teknis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Krisyani Inawati, SE,Ak, MBA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

12.00 – 13.00

Ishoma

 

13.00 – 14.30

Data Based Konsultan Kesehatan di Indonesia melalui www.konkes.org 

Perencanaan lebih lanjut untuk pengembangan konsultan melalui program jarak jauh 

 

dr. Bambang Hartono, SKM, M.Sc

 

 

 

 

 

 

 

 

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

 

 

 

  Peserta

  1. Konsultan Pusat-pusat di FK UGM dan luar daerah
  2. Dosen IKM dan S2 IKM
  3. Dosen Kedokteran Tropis
  4. Manajer PKMK FK UGM
  5. Bapelkes Yogyakarta dan Jawa Tengah
  6. Dosen IKM dan FKM di Universitas se Jawa tengah

Kegiatan ini diselenggarakan secara tatap muka dan live-streaming melalui www.kebijakankesehatanindonesia.net  Kegiatan dilakukan dengan cara jarak-jauh. Ujian dilakukan secara jarak-jauh dan tatap muka. Mengikuti kegiatan ini gratis, namun apabila ingin diuji akan ada pembayaran.

 

Keterangan lebih lanjut dan pendaftaran :

Hendriana Anggi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting) / +6281227938882
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. / This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Pembukaan Winter School 2013:
Social Determinants of Health Developing Countries Perspective

winterd1

Pembukaan Winter School 2013 dilakukan hari ini (17/9/2013) di Ruang Senat FK UGM. Winter school dibuka oleh empat orang yang terkait dengan kursus ini, yaitu Prof. Laksono sebagai Advisor, B. J Istiti Kandarina sebagai Director, Prof. Adi Utarini sebagai perwakilan Dekan FK UGM dan Stefanie Rohrs sebagai perwakilan dari Institute of Tropical Medicine and International Health, Charite-Universitatsmedizin Berlin.

Pembukaan ini dihadiri sekitar 20 peserta aktif yang tertarik dengan isu SDH dan Post Agenda MDGs 2015. Mereka berasal dari China, Bangladesh, Indonesia, Jerman dan negara lain. Winter school akan berlangsung selama 10 hari dengan kelas kecil yang akan diisi dosen dari Indonesia dan Jerman. Acara ini berlangsung atas kerjasama S2 IKM FK UGM, DAAD dan Institute of Tropical Medicine and International Health, Charite-Universitatsmedizin Berlin. Kursus ini dimulai tahun 2009 lalu, saat itu tema yang diambil yaitu health insurance.

Dari pertemuan ini, panitia berharap akan ada kesepakatan dan pemahaman yang sama tentang Social Determinants of Health untuk diaplikasikan dalam upaya mengurangi kesenjangan sosial. Selain itu, kursus ini diharapkan dapat mengungkap apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan yang saat ini terjadi serta menyelaraskan program SDH dengan MDGs 2015 yang akan berakhir pada 2015.

winterd1-1

Module 1: Social Determinants of Health and post 2013 agenda

Modul pertama disampaikan oleh Prof. Charles Surjadi dan dimoderatori oleh Mubasyir Hasanbasri. Faktor individual, komunitas, meso, global, faktor ini mempengaruhi suatu keadaan. Untuk mewujudkan SDH yang baik, maka dibutuhkan aksi global. Aksi global membutuhkan: pertama, meningkatkan kondisi hidup sehari-hari. Hal ini bisa dilakukan mulai dari pertumbuhan anak yang baru lahir. Kedua, mengatur kesenjangan dalam uang, sumber daya dan kekuatan. Proses ini bisa dilakukan di tingkat lokal, nasional dan global. Ketiga, mengukur dan memahami masalah dan pengaruh dari aksi. Kesenjangan kesehatan dapat diatasi dengan investasi pada training pembuat kebijakan dan praktisi kesehatan. Lalu diikuti kesepahaman publik pada Social determinants of health. Hal ini juga membutuhkan fokus yang kuat di riset kesehatan publik.

Konferensi Rio Oktober 2011 memberikan rekomendasi 53 kebijakan dan 16 poin yang dideklarasikan. Salah satunya kesehatan harus masuk dalam seluruh kebijakan atau Health in All Policies (HiAP). Pendekatan HiAP dilakukan secara horisontal, kebijakan yang melengkapi dan terkait strategi dengan potensial tinggi untuk berkontribusi pada kesehatan populasi. Inti dari HiAP yaitu menguji faktor yang terkait kesehatan, dimana dapat berpengaruh pada peningkatan kesehatan namun masih terkontrol oleh kebijakan dari banyak sektor di luar kesehatan. Universitas harus menjembatani komunikasi SDH-kebijakan dengah pemerintah dan media.

Inequity yang terjadi dalam kesehatan, bukan karena natural namun karena konstruksi masyarakat atau dibentuk. Akar penyakit yang harus diselesaikan bukan lagi hanya di permukaan lagi. SDH yang diterapkan di masing-masing negara harus selaras dengan MDGs 5, sehingga seluruh negara mampu maju secara bersamaan. MDGs sesuai dengan konsep yang diterapkan, sesuai dengan framework dengan SDH. Fokusnya pada kondisi di lapangan untuk pembangunan dan kebijakan atau bisa disebut strenghtening health system. SDH digunakan untuk berfokus pada bagaimana menggunakan frameworks SDH untuk menjalankan program (promote reframe health development). Program kesehatan tergantung perilaku individu. Kebijakan seperti apa yang membentuk masyarakat? Apa yang memicu ketidakadilan? Hal ini bisa dijawab dengan pergi ke lapangan dan Anda akan tahu apa saja masalah kesehatan yang terjadi. Selengkapnya tentang paper Prof. Charles, silahkan 

Kemudian, Mubasysyir Hasanbasri memaparkan concept and case of SDH .Di bagian hulu terdapat aspek kebijakan dan pada hilir terdapat aspek kuratif. Hal yang perlu diperjuangkan kali ini adalah mengubah aspek hilir ke hulu. Bagaimana akademis bisa mempengaruhi kebijakan dalam kesehatan? Selain itu, aspek kuratif dan preventif yang dilakukan dokter masuk dalam aspek hilir. Seluruh aspek yang dilakukan perilaku individu masuk dalam hilir. Misalnya : perilaku mencuci tangan yang dilakukan di SD. Kemudian, hulu atau apa saja yang dilakukan pemerintah itu misalnya pemerintah menyediakan tempat khusus untuk mencuci tangan. Hal yang perlu kita cermati dan lakukan adalah aware of why people do downstream and upstream.

Kemudian, faktor lain yang mempengaruhi kesehatan dalam masyarakat adalah faith. Faith is stop asking question. Banyak dari faktor kepercayaan yang membentuk masyarakat bahwa suatu hal tak bisa diubah. Kebijakan pemerintah India misalnya, dengan memberi subsidi makanan untuk komunitas. Hal ini berlaku untuk yang miskin. Hal yang perlu dilakukan adalah mengubah kebijakan tersebut untuk semua warga negara. SDH mengarah pada faktor-faktor yang menentukan kesehatan dan sosial. Policy maker cant frame what is social determinants. They need the logic of the social determinant. Policy maker need an explanation of SDH. Improving health to raise the community. Coalition the strategy to influence the policies. Scientist sebagai aktor dalam SDH, esensi jika ada pertemuan scientist dalam SDH yaitu diskusi untuk melihat SDH. Focus on our actions: no policies but action is more important. Poin yang harus disadari ialah penyakit itu bukan dari individu namun masyarakatnya (perilakunya).

winterd1-2

Modul ketiga disampaikan Stefanie Rohr, dengan judul "How do social determinants influence health". Faktor yang mempengaruhi kesehatan diantaranya: lingkungan, pendidikan, tempat, pendidikan dan lain-lain. Pendidikan yang penting untuk ditanamkan mencakup kematian, kematian anak, depresi, kesehatan jiwa dan lain-lain. Bukti nyata jika pendidikan memberikan pengaruh positif pada tidak merokok, aktivitas fisik, menggunakan perawatan preventif, sudah menggunakan perawatan spesialis, manajemen yang baik untuk penyakit kronis. Hubungan antara pendidikan orang tua dan kematian anak menunjukkan hal seperti berikut: terdapat lima penyebab umum di negara miskin dan berkembang yaitu pneumonia, diare, malaria, kondisi saat lahir dan campak. Sementara, dampak urbanisasi pada kesehatan meliputi: kekerasan dan kejahatan, perumahan, bencana alam, traffic dan transisi nutrisi. Interaksi antara faktor sosial yaitu antara: ketidakadilan sosial dan kesehatan. Social determinants (SDH) ini berpengaruh besar pada health outcomes. Simak paparan lengkapnya melalui link berikut 

Modul selanjutnya dipaparkan oleh Stefanie Rohr lagi. Kali ini ia menyampaikan tema Gender and health. Hubungan antara gender dan kesehatan ternyata sangat erat. Tahun 1995 di Amerika, terjadi 1,5 kali lipat resiko terkena kanker kulit pada laki-laki karena mereka tidak menjaga kulitnya dari sinar matahari. Hal-hal yang dilakukan perempuan, seperti memakai sunblock jika keluar rumah, memakai baju panjang dan topi dianggap tidak maskulin oleh laki-laki. Mereka ingin tampil natural atau cenderung cuek pada penampilan dan kesehatannya.

Masyarakat dunia masih patriarki, jadi masih terjadi ketidakseimbangan. Misalnya masyarakat China yang masih senang jika anaknya lahir laki-laki, bukan perempuan. Laki-laki dan perempuan sangat dominan berperan dalam menentukan feminim atau maskulinnya suatu perilaku. Gender adalah konsep konstruksi sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat. Masyarakat aktif dalam konstruksi gender tergantung perilakunya. Perilaku berdasar gender memiliki implikasi yang kuat dalam kesehatan. Silahkan simak paparan Stefanie melalui 

Kelompok KIA:
Workshop Penyusunan Rencana Tindak Lanjut POKJA KIA 

32c3

Selama 4 hari pelaksanaan Forum Nasional IV Jaringan kebijakan Kesehatan Indonesia dan Konas IAKMI yang tahun ini dilaksanakan di Kupang, dibahas berbagai Program besar salah satunya Program KIA yang sedang berjalan di indonesia. Khusus Untuk POKJA KIA telah di bahas tiga konsep besar di mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan Policy Brief . Untuk Perencanaan telah di petakan adanya MAF di tingkat provinsi yang digunakan di Jawa tengah dan Perencanaan Berbasis bukti dan Penetapan Prioritas Program KIA dengan Analityc Herarcy Proses (AHP) di Sulbar, sedangkan untuk Pelaksanaan telah dipetakan juga 1) Revolusi KIA, 2) Program SH , 3) Program Expending maternal dan neonatal survival (Emas di prov jawa tengah), 4) Penelitian "Health seeking behavior di provinsi NTT dan Jawa Timur, 5) Penggunaan surveilans respons dan jumlah kematian absolut di provinsi DIY. Selanjutnya sudah disusun beberapa Policy Brief diantaranya Analisis kebijakan: Tentang penggunaan data kematian dan terjadinya stagnasi program di berbagai daerah, 2) Strategi penurunan jumlah kematian bayi dengan revitalisasi AMP, 3) Manual rujukan KIA, 4) surveilans respon, 5) Menyoroti gerakan revolusi KIA di NTT, 5) Determinasi kunjungan ANC di daerah Kumuh/perkotaan, 6) Evalusasi Kebijakan Jampersal di DIY.

Pada sesi ini yang bertindak selaku moderator adalah dr. Hanevi Djasri, MARS. Sesi ini cukup diminati oleh peserta. Pada sesi diskusi ada banyak usulan yang diberikan oleh peserta yang hadir diantaranya: 1). Perluasan informasi mengenai inovasi KIA, 2). Perbaikan tampilan/kemasan policy brief , 3) Memetakan dukungan politis dari sisi parlemen, 4). Distribusi policy brief ke dinkes, parlemen, 4). Intervensi dalam mutu pelayanan klinis (Clinical care) misalnya: Mutu ANC tidak hanya memantau cakupan K1 dan K4, Standarisasi pelaksana manual rujukan (pelaksana harus distandarisasi pelaksana-pelaksana ini , misalnya bidan faktanya bidan tidak mampu untuk memberikan pertolongan), Adanya komitment yang kuat dari pelaksana (dr. yang masih on call), 5). Menyusun modul program KIA sesusai dengan kondisi lokal (Misalnya modul MTBS 1-12) disederhanakan untuk provinsi papua) POA di level provinsi (bisa ambil pengalaman dari penyusunan manual rujukan KIA, 6) Keterlibatan tokoh adat dan pemuka agama, 7) Strategi implementasi yang lebih baik berdasarkan peraturan yang sudah ada: contoh Bimtek Monev KIA untuk melihat komitment Dinkes dan RS (Tim AMP) , 8) Menyusun strategi replikasi yang berlaku secara umum, 9). Pelatihan advokasi di level struktural dan kultural, 10) Menyebarluaskan manual rujukan yang sudah ada, 11) Progres berbagai inovasi yang dipaparkan tahun 2013, 12) Analisa berbagai kebijakan terkait KIA, 13) Keterkaitan antara aspek ilmiah dengan implementasi lapangan (Desain ilmiah dengan desain project), 14) Tanggapan atau analisis dari organisasi profesional :POGI, IDAI, Feto, Hogsi, Perinasia, JNPK , P2KB, dsb keterkaitan antara aspek klinisi –manajerial –regulasi, 15) Meningkatkan penerimaan konsep surveilans respon, 16) RS PONEK harus: AMP, dashbord, rujukan balik, 17) Policy brief harus evidence based jangan hanya experience based, 18) Menyusun topok-topik yang dapat diteliti oleh mahasiswa S2 sesuai dengan POA Pokja KIA

Ditulis oleh Armiatin

Sesi 3. 4c

Makalah Bebas Kelompok KIA dan Penyakit Tidak Menular

Makalah bebas kelompok KIA dan penyakit tidak menular di laksanakan di ruang Pearl Hotel On The Rock Kupang. Pada sesi ini ada 6 pembicara yang mempresentasikan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai daerah di indonesia. Presentasi pertama oleh Qomariah Alwi, dalam penelitiannya Qomariah Menyoroti tentang gerakan Revolusi KIA dalam meningkatkan Linakes di Faskes, pemberian ASI Ekslusif dan penimbangan Balita di Kab. Kupang NTT. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan revolusi KIA dan PPKIA dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya persalinan Nakes di fasilitas kesehatan, pemberian asi ekslusif dan penimbangan. Qomariah menjelaskan bahwa ada banyak dampak positif yang dirasakan dengan adanya revolusi KIA ini, salah satunya adanya kebijakan lokal pemerintah untuk menerbitkan Perbub Revolusi KIA dan Perbub tentang percepatan pelayanan KIA, dengan adanya Perbub ini semakin meningkatkan Linakes dan Lin-Faskes, terjalin mitra bidan dukun-dukun dan kader diatur dengan reward dan punishment, Kades membuat Perdes persalinan Toma Toga berperan serta dalam persalinan dan kegiatan posyandu, ada MOU antara Puskesmas dengan pihak kecamatan/Satpol PP untuk penyelamatan bayi, tidak hanya itu Linakes di faskes meningkat cukup drastis, meskipun banyak manfaat yang dirasakan namun ada juga kekurangan-kekurangannya dalam pelaksanaannya, diantaranya kebijakan revolusi KIA tidak didukung dengan sarana prasarana SDM, biaya dan tidak adanya monitoring dari Provinsi. Gerakan ini masih berfokus ke kekesehatan ibu, belum serius ke masalah gizi balita.

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh Tumiji dari Balitbangkes Surabaya, dengan judul Determinasi kunjungan antenatal care di daerah kumuh perkotaan di indonesia, dalam presentasinya Tumiji menyampaikan bahwa ditemukan hanya 60% ibu hamil yang menerima lengkap komponen antenatal care dan puskesmas memberikan pelayanan yang lebih baik. Wanita yang melakukan antenatal care di sektor swasta memiliki resiko lebih tinggi untuk menerima kecukupan anc yang rendah, meski kualitas teknis layanan antenatal care lebih rendah dibanding dipuskesmas/polindes, namun fasilitas kesehatan justru mendapat kunjungan antenatal care yang lebih tinggi. banyak alasan masyarakat memilih sektor swasta namun layanan yang diberikan sering tidak memadai dan tidak sesuai dengan pedoman pemerintah, sektor swasta dinilai lemah dalam peraturan dan kontrol meskipun ada, seringkali kurang efektif karena rendahnya pengawasan publi dan lemahnya penegakan hukum.

Selanjutnya Presentasi ketiga disampaikan oleh Ummul Khair dari Bapelkes Dinkes DIY. Penelitiannya menyoroti tentang Evaluasi Kebijakan jaminan persalinan di Provinsi DIY. berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar AKI dan AKB menurun, salah satunya adanya kebijkan Jampersal, namun menurutnya perlu dilakukan evaluasi kebijakan Jampersal ini. Penelitiannya dilakukan di 5 Kab/Kota dengan subyek penelitian Dinas Kesehatan dan pemberi layanan dan pengumpulan datanya dengan indepth interview. Hasil penelitiannya ditemukan SDM belum memenuhi secara kuantitas dan kualitas, masih ada RSUD yang belum memiliki dokter obsgyn, keterbatasan tenaga bidan di puskesmas dan masih kurangnya jumlah MOU dengan bidan. Untuk nominal jasa yang diberikan tidak sepadan dengan nilai jasanya, paketan jampersal yang belum akomodatif dan kadang-kadang menimbulkan image negatif, pemgembalian atau pencairan dana memakan waktu lama. Fasilitas dan peralatan di puskesmas belum kondusif dan kelengkapan peralatan di RS rujukan tidak semua puskesmas Poned memadai. Kebijakan yang ada tidak sinkron

Selanjutnya Presentasi keempat disampaikan oleh Triastuti Sugiatmi dari Dinkes Provinsi Tarakan dengan judul Evaluasi Kebijakan PPD test dalam kasus TB anak di dinkes kota tarakan. Hasil Penelitiannya menunjukkan PPD test diadakan dengan dana APBD pada tahun 2010 dan dimanfaatkan pada tahun Januari 2011- Oktober 2012, Logistik pendukung TB anak untuk kasus lanjutan khususnya yang didiagnosa positif TB anak (INH profilaksis) belum terjaga sustainabilitasnya—penatalaksanaan belum sesuai standar walaupun sudah dilakukan penegakan diagnosa yang lebih baik. Pelatihan ataupun on the job training TB anak belum ada program yang terpusat. Baru dilaksanakan di kota Tarakan Juni 2013. Tidak seluruh puskesmas yang menyelenggarakan tes PPD –mempunyai SOP. (3 dari 7 puskesmas ), TB Anak memang program yang masih sering diabaikan baik dalam tataran nasional maupun lokal. Upaya pengadaan PPD test dengan dana dari APBD II untuk meningkatkan cakupan program TB anak patut dihargai walaupun banyak kekurangan dalam tataran implementasi . Hasil mantoux test yang bisa memberikan hasil yang positif palsu maupun negatif palsu menggambarkan masih sulitnya penegakan diagnosis TB anak kasus khusus di layanan primer walaupun sudah memanfaatkan mantoux test.

Berikutnya Yusni Zainal berasal dari Dinkes Kab. Sinjai dengan judul Kelemahan dalam pelaksanaan pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan anak. Menurutnya penting dilakukan pemantauan, karena semua pelaksanaan kegiatan memiliki potensi kegagalan, dan monitoring merupakan cara untuk menemukan kegagalan. Monitoring berguna untuk memperbaiki komponen kegagalan program. Temuan dalam penelitiannya adalah PWS KIA berorientasi pada peningkatan capaian, kurang dalam menemukan kasus-kasus yang justru perlu ditindaklanjuti, kasus-kasus yang harus di tindaklanjuti cepat justru tidak masuk dalam prioritas pencatata. Diharapkan kedepannya point tindak lanjut dari masalah situasi setempat harus menjadi tekanan dalam pelaporan pemantauan, sistem teknologi informasi bisa membantu akses oleh semua pihak dan diharapkan Dinkes mengontrak manajer untuk tindak lanjut masalah KIA. Pembicara Rini Anggraeni dari FKM Unhas menutup sesi dengan mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul Faktor resiko penyakit tidak menular (Hipertensi dan DM) di Kab. Tana toraja tahun 2011. Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan angka kematian yang semakin meningkat. Sedangkan hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebeb meningkatnya resiko penyakit stroke, jantung dan ginjal. Tanah toraja merupakan salah satu kabupaten di sulawesi selatan yang masyarakatnya diduga memiliki resiko yang tinggu akan DM dan hipertensi. Pengamatan terhadap kebiasaan masyarakat/budaya menunjukkan bahwa tingkat konsumsi lemakcukup tinggi serta cenderung memiliki pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Kebiasaan ini dapat memicu konsumsi lemak yang tinggu dan memungkinkan terjadinya obesitas hiperlipidemia/hiperkolesterolemia dan hipertensi.

Ditulis oleh Armiatin

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot