Reportase Launching The Lancet Paper “Universal health coverage in Indonesia: concept, progress, and challenges”

Jakarta, 20 Desember 2018

Diskusi Panel 1: “Universal health coverage in Indonesia: concept, progress, challenges and its global implication”.

Diskusi pertama ini dimoderatori oleh Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, SpOG (K) sekaligus membuka sesi dengan apresiasi penuh haru kepada para panelist yang selama 2,5 tahun ini mengerjakan tulisan mengenai UHC di Indonesia. Selanjutnya dr. Rina selaku penulis utama mendapat kesempatan lebih dulu memaparkan pengalaman dan substansi secara singkat jurnal yang pada Kamis (20/12/2018, pukul 06.30 WIB) telah terbit di The Lancet jurnal terkemuka dengan Q1 – Indeks faktor 5,2.

dr. Rina memulainya dengan statement yang menstimulus peserta seminar bahwa ternyata banyak hal yang dapat diangkat untuk menjadi tulisan isu UHC – JKN yang pada tahap ini masih memiliki tantangan yaitu pada masyarakat missing middle yang merupakan usia sehat atau tidak akan sakit dalam waktu lama; gap financing; Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang menurut data melakukan pendaftaran ketika sakit dan mengalami tunggakan iuran; pertumbuhan penyakit tidak menular dan kesiapan yang kurang baik dari tenaga kesehatan serta fasilitas kesehatan terutama di tingkat primary. Akademisi lulusan UGM tersebut menutup pemaparannya dengan pernyataan bahwa pelaksanaan UHC – JKN membutuhkan roadmap yang terencana dengan strategis melalui kebijakan atau program yang customizes, adaptif dan fleksibel.

Dr. Teguh Dartanto selaku ahli kemiskinan dan pembangunan sosial dari FEB UI merasa bangga bisa ikut berkontribusi dalam jurnal tersebut. Teguh menyampaikan bahwa tarif minimum masih menjadi masalah utama pendanaan UHC – JKN; perlunya intervensi pada perilaku manusia untuk memiliki perspektif hidup sehat atau mencegah sakit, karena faktor perilaku ini juga mempengaruhi kesuksesan penyelenggaraan UHC dan Government System BPJS Kesehatan, pencegahan fraud dan TKMKB yang masih belum optimal. Prof. Hasbullah Thabrany melanjutkan dengan persoalan transparansi BPJS Kesehatan selaku badan publik yang masih kurang terbuka. Manajemen dan komunikasi menjadi salah satu masalahnya yaitu pada penanganan defisit. Banyak dana – dana yang dapat dimobilisasi untuk menjadi hibah tanpa harus menggantungkan pada bantuan pemerintah. Dari sisi pelayanan kesehatan, dr. Akmal Taher menyatakan perlu redesain kembali konsep primary health care yang apabila ingin benar – benar menjadi gate keeper dalam JKN yaitu dari pendanaan, sumber daya dan regulasi. Hal ini disampaikan karena Hasbullah melihat terjadi kekeliruan pemahamani standar kompetensi kedokteran yang disamakan dengan standar pelayanan kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Pengembangan teknologi dalam mengawal primary health care juga perlu diperhatikan, karena hal ini dirasa mampu mengatasi minimnya ketersediaan tenaga kesehatan.

Diskusi Panel 2: “Defining high priority and high impact research and publications to advance universal health coverage”

Diskusi kedua ini dimoderatori oleh Dr. Anuraj H Shankar, DSc (Harvard University). Anuraj menyampaikan bagaimana membuat tulisan yang dapat diterbitkan Jurnal Internasional yaitu hasil penelitian dapat menjawab masalah tidak hanya pada tingkat nasional tetapi global. Pada topik UHC menindaklanjuti pernyataan Prof. Endang L. Achadi , MD dari FKM UI bahwa penyakit katastropik penyebab utamanya adalah kurangnya gizi pada 1000 hari awal kehidupan. Penyakit ini lebih banyak didominasi oleh masyarakat menengah ke bawah. Untuk itu, saatnya kita mulai menggeser paradigma untuk benar – benar fokus pada promotifpreventif untuk mengurangi beban negara atas pelayanan kesehatan.

Dr. Anuraj menyatakan cukup banyak yang dapat digali di Indonesia yang perlu disampaikan kepada dunia internasional yaitu ; stunting reduction, rapid and low cost diagnostic, and early childhood development. Namun yang terpenting adalah akademisi dapat menyampaikan secara tuntas dan terbukti ilmiah implikasi program UHC bagi pembangunan kesehatan di Indonesia.

Pada sesi pertanyaan, dari PKMK UGM – menanyakan bagaimana menuliskan penelitian yang tengah dilakukan di 10 provinsi namun yang dapat berjalan masih 7 Provinsi terkait JKN yang membahas UHC dengan pendekatan realist evaluation. Metode realist evaluation adalah metode yang kompleks dan sampai saat ini masih mengalami perkembangan.

Dr. William S.M. Summerskill selaku Executive Editor The Lancet menanggapi bahwa metode Realist Evaluation cukup kompleks, yang terpenting dalam menuliskan hasil karya ilmiah adalah bagaimana kita menceritakan hasil oberservasi dengan lugas, faktual, terbukti ilmiah dan tentunya harus menghadirkan solusi dari masalah besar yang menjadi concern bukank hanya tingkat nasional melainkan juga dunia. Isu UHC-JKN di Indonesia masih cukup menarik untuk dipublikasikan karena Indonesia negara kepulauan dengan sistem otonomi yang telah lama berkembang.

link terkait https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(18)31647-7/fulltext 

Reportase: Tri Aktariyani (PKMK UGM)

 

 

 

 

Reportase Hari Kelima: Konsultasi Publik dan Advokasi Kebijakan

ab1 9

Hari Kelima, Alam Syukur (STIA LAN Makasar) menyampaikan konsep dan pentingnya advokasi kebijakan dengan membahas bahwa advokasi adalah suatu kegiatan pembelaan kasus atau beracara di peradilan (ligitasi). Advokasi kebijakan merupakan upaya bersama yang terkoordinasi untuk melakukan perubahan dalam penyelesaian permasalahan konflik. Salah satu kerangka analisis yang dapat digunakan untuk memahami suatu kebijakan publik adalah dengan melihat kebijakan tersebut sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari isi hukum, tata laksana hukum dan budaya hukum. Advokasi kebijakan bukan merupakan upaya publikasi untuk organisasi, namun merupakan usaha sengaja dilakukan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.

Advokasi kebijakan harus dapat melakukan strategi menggalang sekutu dan pendukung. Syarat untuk mendapatkan dukungan dalam melakukan advokasi kebijakan adalah memang penting dan berarti bagi mereka yang kita ajak, sebaiknya dengan cakupan atau lingkup terbatas dulu yang khas, isu harus mencerminkan adanya tujuan – tujuan perubahan yang lebih besar dalam jangka panjang, isu yang ditawarkan memiliki landasan untuk membangun kerjasama dan persekutuan yang lebih lanjut di masa mendatang, kerja sama yang dibangun dalam menghadapi isu memungkinkan saling bermanfaat satu sama lain, membuka kesempatan luas untuk saling membagi pengalaman, informasi, keahlian dan keterampilan keterlibatan semua pihak (hal yang paling penting) dalam perumusan dan pemilihan issu.

Ciri persekutuan yang efektif adalah fokus pada tujuan atau sasaran-sasaran advokasi yang sudah disepakati bersama, tegas menetapkan menggarap satu issu tertentu atau, sekalian menggarap beberapa issu sekaligus sepanjang disepakati bersama, ada pembagian peran dan tugas yang jelas diantara semua yang terlibat dan terbentuknya sebagai hasil atau dampak dari adanya pertentangan dalam masyarakat. Mereka yang bergabung adalah yang benar – benar merasakan perlunya bekerja sama

ab1 10

(Reporter: Relmbuss Biljers Fanda)

Link Terkait:

 

Reportase Hari Keempat: Praktik Analisis Kebijakan dan Penyusunan Policy Brief dan Policy Paper

ab1 7

Hari Keempat. Erna Irawati mewakili LAN melakukan review ulang tentang definisi dan tahap analis kebijakan. Materi pada hari keempat menekankan bahwa analisis kebijakan dapat meningkatkan proses pembuatan kebijakan. Alasan yang pertama, karena analisis kebijakan menggunakan metode analisis kebijakan untuk memberikan informasi lebih lanjut dan lebih baik dalam setiap tahapan pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan juga menerjemahkan informasi dan analisis ke dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh orang lain.

Analisis kebijakan dapat menyiapkan dokumen saran kebijakan tertulis seperti, policy paper, policy brief, policy memo tentang solusi potensial untuk suatu masalah dan alasan terakhir karena analisis kebijakan dapat mengkomunikasikan isi dokumen saran kebijakan baik melalui briefing, rapat, percakapan, dan konferensi kepada para pembuat kebijakan.

Berikutnya, policy brief yang dibuat harus dapat mendukung pembuatan kebijakan (pembuatan keputusan) berdasarkan informasi yang relevan (informed evidence-based) pada pihak – pihak (organisasi) yang relevan (memiliki wewenang untuk membuat kebijakan/ membuat keputusan). Policy brief ditujukan kepada pembaca yang sangat spesifik dan memiliki agenda yang sangat padat, namun tidak selalu memiliki ‘pengetahuan yang tinggi’ tentang subyek/ fokus dalam produk kebijakan (apalagi dibandingkan penulis produk kebijakan).

Policy brief memiliki 2 tujuan utama yaitu sebagai media untuk eksplorasi dan advokasi. Media advokasi artinya policy brief memberikan pilihan terhadap sebuah solusi tertentu sedangkan media eksplorasi artinya policy brief tidak memberikan sebuah rekomendasi terpilih. Berikut adalah daftar cek yang harus dipersiapkan sebelum menulis policy brief:

ab1 8

(Reporter: Relmbuss Biljers Fanda)

Link Terkait:

 

Reportase Hari Ketiga: Analisis Pemangku Kepentingan

ab1 5

Hari Ketiga. Dr. Andi Taufik, M.Si sebagai perwakilan Lembaga Administrasi Negara menyampaikan materi tentang analisis pemangku kepentingan. Andi Taufik mengilustrasikan bahwa tugas birokrat (pemerintah) seperti wasit dalam pertandingan sepak bola. Ketika wasit memandang pelanggaran pastilah ada dan bahkan wajar sebagai akibat adanya keseriusan tiap pemain dalam memenangkan pertandingan. Hal yang berbeda dapat terjadi, ketika wasit tidak berhasil melerai pelanggaran hingga dalam serta meluas dan bersifat sistemik, dapat melibatkan pengurus, pelatih, pemain, dan bahkan penonton.

Perubahan paradigma government (pemerintah) menjadi governance (tata kelola). Pemerintah yang merupakan organisasi yang dibentuk untuk menjalankan kekuasaan negara, harus dapat memahami tata kelola yang baik yaitu proses penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dalam rangka memecahkan masalah sosial, ekonomi dan politik suatu bangsa. Asumsi – asumsi tata kelola melibatkan peran pemerintah yang kuat agar penerapan aturan dapat dilakukan secara konsisten. Peran masyarakat yang kuat berfungsi dalam pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Peran dunia usaha yang kuat berfungsi untuk menguatkan ekonomi masyarakat. Ketika tata kelola sudah mendapatkan dukungan dari ketiga pihak tersebut, hasil yang diharapkan adalah pemerintah yang kokoh, kuat, cakap bersih dan akuntabel.

ab1 6 

Pada pemetaan pemangku kebijakan terdapat beberapa metode yang telah ada di modul pelatihan analis kebijakan LAN. Analisis stakeholder setidaknya dapat memberikan informasi penting sebagai berikut: 1) siapa saja yang akan dipengaruhi; 2) siapa saja yang dapat mempengaruhi baik dalam proses maupun hasil dari sebuah kegiatan; 3) pihak mana saja yang harus dilibatkan, dan 4) kapasitas pihak mana/ siapa yang perlu ditingkatkan untuk menjadikan mereka terlibat dalam sebuah kegiatan. Model pemetaan stakeholder yang paling terkenal adalah Model Net Map dimana teknik memetakan jenis stakeholder dengan kepentingan, tingkat pengaruh dan pola hubungannya.

(Reporter: Relmbuss Biljers Fanda)

Link Terkait:

 

Reportase Hari Kedua: Analisis Kebijakan Publik

ab1 2

Hari Kedua, Erna Erawati (LAN) membuka sesi hari kedua dengan menyampaikan defisini analisis kebijakan menurut William N Dunn. Analisis kebijakan merupakan suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metodologi penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan dalam lingkungan politik tertentu untuk memecahkan masalah – masalah kebijakan. Analisis kebijakan terdiri dari analisis terhadap kebijakan dan analisis bagi penyusunan kebijakan.

ab1 3

Langkah – langkah analisis kebijakan menurut Wiliam Dunn dimulai dari definisi sampai evaluasi. Tahap definisi masalah menjelaskan informasi tentang kondisi yang ditimbulkan masalah. Tahap prediksi menjelaskan informasi tentang konsekuensi dari diterapkan/ tidaknya alternatif kebijakan. Tahap preskripsi menjelaskan informasi tentang nilai dari konsekuensi alternatif kebij masa mendatang. Tahap deskripsi menjelaskan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Pada tahap akhir (evaluasi) menjelaskan manfaat alternatif dalam memecahkan masalah. Namun ada tahapan yang berbeda dari Eugene Bardach, yang divisualisasikan sebagai berikut:

ab1 4

Selanjutnya, Erna Irawati menjelaskan tentang masalah kebijakan adalah keadaan tidak terwujudnya kebutuhan, nilai, dan peluang, yang meskipun sudah bisa diidentifikasikan, tetapi pemecahannya mengharuskan adanya tindakan negara / pemerintah (kebijakan publik). Beberapa kriteria masalah yang baik adalah 1) definisi yg dibuat harus menyatakan dengan jelas adanya ketidaksesuaian antara standar/ harapan yang ditetapkan dengan fakta, 2) Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas, pihak – pihak yang terkait/ berkepentingan dengan terjadinya masalah dan 3) Definisi yang dibuat bukanlah seperti sebuah solusi yang samar. Pernyataan masalah harus memiliki penjelasan tentang kesenjangan, terlalu kecil, tidak cukup, usahakan kuantitatif dan hindari solusi implisit dalam pernyataan masalah.

(Reporter: Relmbuss Biljers Fanda)

Link Terkait:

 

Reportase Pelatihan Kompetensi Analis Kebijakan

ab1 1

Gambar 1. Konsep kebijakan dan metode kebijakan kesehatan publik

Hari pertama. Pelatihan Kompetensi Analis merupakan program kerjasama antara Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti), Lembaga Adminsitrasi Negara (LAN), dan Knowledge Sector initiative (KSI). Pada pemaparan materi awal disampaikan oleh Erna Irawati dari LAN tentang Konsep dan Studi Kebijakan Publik. Studi kebijakan publik menekankan pada apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah dan harus menjelaskan apa yang dilakukan, mengapa dan apa dampak dari intervensi tersebut. Dimensi kebijakan yang harus dipahami oleh analis kebijakn adalah opsi yang dipilih merupakan opsi yang disengaja, mengambarkan keputusan yang diambil dan bagaimana konsekuensinya, terstruktur yaitu memiliki sumber daya manusia dan strategi dalam pelaksanaannya, terdapat nilai politis yang mempertimbangkan nilai – nilai tertentu, dan kebijakan tersebut harus bersifat dinamis.

Pertimbangan intervensi pemerintah harus memperhatikan beberapa kriteria pokok dan tahapan dalam analisis kebijakan. Kriteria pokok yang harus dipertimbangkan adalah Keadilan (equity) sehingga orang dengan berbagai perbedaan level memiliki akses yang sama terhadap barang/jasa, Kebutuhan (needs) bukan kemampuan untuk membayar, Efisiensi (efficiency) sehingga lebih mudah untuk menyediakan secara kolektif dalam skala besar, dan dapat mengurangi masalah the free – rider terkait dengan barang publik murni. Tahapan dalam analisis kebijakan dimulai dari penetapan agenda (mengidentifikasi persoalan) atas sebuah isu atau keputusan sebelumnya, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan tersebut. Selanjutnya, video dari youtube dengan judul “Eli – The Little Red Elevator” ditayangkan dan para peserta diberikan kesempatan membedah persoalan dari tahapan kebijakan tersebut. Video tersebut dapat diakses pada tautan https://www.youtube.com/watch?v=0NijIzUkfbU

Selanjutnya, Erna memberikan kesempatan kepada peserta dalam kelompok untuk mengidentifikasi model pengambilan keputusan. beberapa diantaranya Management Science Approach (menggunakan model statistik dan matematika untuk mencari solusi optimal), Incremental Decision Process (Fokus pada aspek tertentu dalam menyelesaikan masalah) dan garbage can (tidak selalu harus dimulai dengan masalah dan diakhiri dengan solusi). Pendekatan tersebut memang berbeda-beda bergantung pada tujuan dan urgensi kebijakan.

Terakhir, hari pertama ditutup dengan materi tentang evidence based-policy (EBP). EBP adalah kebijakan yang didasarkan pada bukti (evidence) untuk menghasilkan outcome yang diinginkan. Diskusi tentang video “Evidence – Based Policymaking Made Easy by ‘Results First’ Tool” ( https://www.youtube.com/watch?v=MXUEBloG-tU ) memberikan gambaran tentang pentingnya manajemen data kebijakan. Setiap kebijakan hendaknya dikumpulkan ke dalam satu sistem yang terorganisir, Data evaluasi kebijakan yang pernah ada menggambarkan kriteria – kriteria yang pernah terjadi sehingga proses penetapan kebijakan lebih terpercaya.

(Reporter: Relmbuss Biljers Fanda)

Link Terkait:

 

Reportase Hari Kedua Sesi Pagi

Kamis, 8 November 2018

Rangkuman Fornas JKKI VIII Hari Pertama

rangviii

Membuka Fornas hari kedua, Laksono Trisnantoro didampingi Faozi Kurniawan menyampaikan rangkuman kegiatan selama hari pertama berlangsung. Sebagai narasumber, Laksono menegaskan pada pertemuan pertama kemarin banyak menyampaikan hasil penelitian evaluasi JKN berdasarkan realist evaluation. Penelitian – penelitian tersebut yang harus digarisbawahi adalah yang memiliki prinsip – prinsip yang dipergunakan dalam evaluasi. Bukti yang dipergunakan merupakan bukti yang benar – benar bermutu. Dengan bukti yang bermutu maka rekomendasi yang disampaikan kepada pembuat kebijakan akan menjadi rekomendasi yang bermutu. Prinsip yang kedua adalah komunikasi riset yang lebih efektif.

Komunikasi ini merupakan proses advokasi peneliti kepada pengambil kebijakan. Hal tersebut merupakan seni yang harus dipelajari oleh analis kebijakan, karena dalam proses komunikasi ini analis harus bisa menjalin relasi yang tidak mengurangi independensi analis. Akan tetapi, faktor independensi juga tidak boleh menjadi penyekat antara peneliti dengan pengambil kebijakan. Prinsip ketiga adalah pembelajaran untuk riset yang lebih baik, pengembangan penelitian bisa mengacu kepada buku kebijakan “Evidence Syntheses for Health Policy and Systems: A Methods Guide”. Buku tersebut merupakan buku baru (terbit 2018) yang mungkin bisa dibedah untuk dijadikan sebagai referensi penelitian selanjutnya.

Dalam hal penelitian evaluasi ini, Laksono juga mengangkat mengenai independensi peneliti. Sumber pendanaan penelitian akan mempengaruhi independensi hasil penelitian. Mengingat pemberi dana memiliki kepentingan terhadap hasil penelitian yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari kontrak awal, ketika kontrak awal ada indikasi untuk sensor atau membatasi publikasi hasil penelitian, maka indikasi hasil penelitian akan kurang independen.

Dalam sesi diskusi, Dumilah menanggapi mengenai independensi peneliti ini. Independensi peneliti harus pintar diolah dengan rasa seni. Peneliti jangan menjaga jarak dengan pembuat kebijakan tapi juga jangan terlalu dekat. Independensi bersifat dinamis, fleksible sesuai dengan waktu.

materi dapat di akses pada link berikut

  klik disini   video

Konsep dan Metode Analis Kebijakan Kesehatan dalam Evaluasi JKN

Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS (FKM UI), Gabriel Lele, PhD (Fisipol UGM), Shita Listyadewi (PKMK UGM)

fnviiih2

Dumilah menyampaikan bahwa mengevaluasi kebijakan yang dampaknya luas kepada seluruh rakyat Indonesia memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Dalam evaluasi kebijakan, diharapkan tidak hanya muncul dialog, tetapi minimal terdapat pemahaman lebih baik oleh pengambil kebijakan terhadap kebijakan yang dievaluasi. Sebuah kebijakan bertujuan untuk menyelesaikan masalah, akan tetapi implementasinya belum tentu sesuai dengan tujuan awal yang dibuat. Dalam kasus evaluasi JKN, perlu dipahami siapa pengguna penelitian? Bagaimana kemudahan yang diperoleh dalam proses penelitian? Bagaimana kaidah etik evaluasi dan yang terpenting adalah asas kebermanfaatannya.

materi   video

Gabriel Lele sebagai narasumber kedua menggebrak dengan menyampaikan bahwa pemerintah tidak pernah menghasilkan kebijakan yang terbaik. Suatu kebijakan akan berjalan jika beruntung, dan apabila kebijakan tidak bisa berjalan itu suatu hal yang normal atau wajar. Gabriel juga memaparkan bahwa evaluasi kebijakan ada dua jenis yakni “analysis of policy” dan “analysis for policy”. Evaluasi JKN ini lebih mendekati analysis of policy. Kegiatan analisis ini bisa menghasilkan rekomendasi berupa tetap menjalankan kebijakan, memodifikasi dan menjalankan kebijakan dan menghentikan kebijakan. Analisis kebijakan saat ini lebih cenderung melihat manusia sebatas angka-angka, untuk itu di dunia Barat berkembang emotional policy. Di akhir penjelasan Gabriel menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan terdiri atas Government Audit, People’s Audit, dan Social Audit.

materi   video

Narasumber ketiga, Shita Listyadewi menyampaikan langkah – langkah apa saja yang harus dilakukan analis kebijakan ke depan. Evaluasi kebijakan harus tetap dilaksanakan sementara proses politik juga berjalan beriringan. Analisis kebijakan tidak akan dapat menggantikan proses politik. Analis kebijakan harus mampu menarik perhatian pengambil keputusan untuk menjadikannya sebagai dasar penyusunan kebijakan. Dalam proses analisis kebijakan, analis harus mampu mendefinisikan permasalahan dengan tepat karena setengah permasalahan akan selesai jika analis bisa mendefinisikannya.

materi   video

Dalam sesi diskusi, ada hal menarik yang disampaikan Gabriel Lele. Dalam menyusun hasil analisis kebijakan kepada pengambil kebijakan, sebaiknya disampaikan dalam policy brief yang mampu mengkompilasi semua seluruh isi analisis kebijakan. Dalam policy brief juga sebaiknya dibuat sedramatis mungkin, bahkan jika perlu dalam kalimat awal sudah didramatisasi sehingga pengambil kebijakan tidak dapat tertidur lelap sebelum menyelesaikan permasalahan kebijakan yang dianalisis.

 

Reporter: Barkah Wahyu P

Analisis Kebijakan Berbasis Hasil Evaluasi JKN Tingkat Daerah

fornas om

Panel 2 Forum Nasional VIII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (08/11/2018) membahas tentang analisis kebijakan berbasis hasil evaluasi JKN tingkat daerah kasus di D.I. Yogyakarta dan di Nusa Tenggara Timur. Sesi ini dipandu oleh moderator Dr. Diah Ayu Puspandari Apt. M.Kes, MBA dan diawali dengan topik pengantar tentang Pendekatan Analisis Kebijakan oleh Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc.,Ph.D. (Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM),

kemudian dilanjutkan dengan penyampaian hasil analisis kebijakan berbasis evaluasi JKN tingkat daerah oleh Tri Aktariyani S.H.,M.H. dan Relmbuss Biljers Fanda, MPH. Hasil analisis ini dibahas oleh 3 pembahas yaitu Riyadi Santoso (Ketua Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia), drg. Hunik Rimawati , M.Kes (Bidang Yankes Dinkes Kab. Kulon Progo) dan Dadan Suparjo Suharmawijaya (Ombudsman RI).

Materi paparan Prof. Laksono dapat disimak pada link berikut

  klik disini   video

Sebagai pengantar Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc.,Ph.D. menyampaikan bahwa analisis kebijakan diperlukan untuk mengetahui substansi kebijakan terkait informasi masalah yang ingin diselesaikan dan dampak yang muncul dari implementasi kebijakan, informasi kebijakan tersebut dapat dihasilkan dengan adanyan hubungan kerjasama antara pembuat kebijakan (policy maker) dan analis kebijakan (policy analyst).

Kemudian, dilanjutkan dengan pemaparan draf analisis kebijakan evaluasi JKN sementara di D.I.Yogyakarta oleh Tri Aktariyani S.H.,M.H. dan di Nusa Tenggara Timur oleh oleh Relmbuss Biljers Fanda, MPH dimana analisis fokus pada 3 topik temuan yaitu tata kelola, equity dan mutu pelayanan. Masalah utama yang ditemukan di daerah Yogyakarta yaitu pada titik “tata kelola” di mana pemerintah daerah Yogyakarta dan BPJS Kesehatan belum menjalin koordinasi yang baik sehingga berdampak pada banyak hal. Sedangkan, di NTT masalah utama yang ditemukan paling banyak yaitu pada topik temuan “equity” dimana pertumbuhan Rumah Sakit mencapai 4% di bawah rata-rata nasional, dan minimnya jumlah tenaga dokter.

Analisis kebijakan ini memunculkan proses identifikasi alternatif kebijakan yang disesuaikan dengan kriteria efektivitas, efisiensi, equity dan responsive dari masing-masing daerah. Dari identifkasi elternatif kebijakan masing-masing memiliki 3 alternatif kebijakan yaitu alternatif 1 tidak melakukan perubahan kebijakan, alternatif 2 melakukan perubahan dengan mengoptimalkan Perpres 82/2018 terkait mekanisme keterbukaan data BPJS Kesehatan, kemudian alternatif terakhir untuk daerah Yogyakarta yang menekankan pada masalah “tata kelola” yaitu adanya peninjauan kedudukan Hak dan Kewajiban BPJS Kesehatan dan Pemda dengan adanya MoU kerjasama sehingga implementasi kebijakan dapat berjalan efektif dari pusat ke daerah, sedangkan untuk NTT pada masalah “equity” yaitu optimalisasi skema pendanaan nasional untuk pemerataan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan dan pemilihan alternatif kebijakan juga disesuaikan dengan temuan masalah utama di daerah sebagai penentuan prioritas.

Menanggapi hasil paparan analisis kebijakan evaluasi JKN di daerah Yogyakarta dan NTT, Riyadi Santoso (Ketua Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia) menyebutkan bahwa analisis kebijakan membutuhkan evaluasi kebijakan afirmatif yaitu disesuaikan dan dipetakan berdasarkan kabupaten, kota dan provinsi, kerena tidak bisa disamaratakan. sehingga hasil evaluasi mampu memperbaiki implementasi kebijakan yang akan datang. Sebagai pelaku kebijakan drg. Hunik Rimawati , M.Kes (Bidang Yankes Dinkes Kab. Kulon Progo) menambahkan alternatif kebijakan tentang perlunya kebijakan terkait sistem rujukan berjenjang yang tidak disamakan pada semua program, serta pemberlakuan sanksi fraud yang tidak hanya untuk pemberi pelayanan kesehatan namun juga untuk BPJS Kesehatan khususnya terkait keterlambatan pencairan dana klaim.

Dadan Suparjo Suharmawijaya (Ombudsman RI) juga menambahkan bahwa konsep JKN BPJS sebenarnya adalah konsep yang mulia dan universal, namun karena kapasitasnya minim dan dihadapkan dengan kendala yang banyak sehingga diperlukan adanya kebijakan yang tidak bersifat tambal sulam serta memiliki sinergisitas dari lintas sector, selain itu “tata kelola” dalam pelayanan publik dapat dinilai dari beberapa hal yaitu transparasi pelayanan, kebijakan terkait SDM dan sistem, orientasi pelayanan publik. Kemudian juga dari sisi arah birokrasi pelayan publik, BPJS telah berada di arah birokrasi new public service yaitu pemberi layanan kesehatan terbaik pada masyarakat, namun memiliki banyak kendala dan sekarang birokrai publik mulai mengarah pada new public value, yaitu ada nilai yang diperjuangkan agar pelayanan diberikan merata, namun hal ini juga belum bisa dicapai. Dadan menyarankan bahwa analisis kebijakan evaluasi JKN Yogyakarta dan NTT bisa diperdalam, untuk menilai keluhan yang terlayani dan yang belum terlayani.

Dari topik diskusi ini, para narasumber menekankan bahwa evaluasi kebijakan yang sudah berjalan memerlukanan analisis kebijakan afirmatif berdasarkan daerah yang mencakup data mikro yaitu data kabupaten atau kota hingga makro yaitu data provinsi, selain itu juga perlu melihat banyak aspek baik dari segi kewenangan daerah, kesiapan daerah, serta cakupan supply dan demand dimana cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan harus diimbangi dengan pemerataan pelayanan di seluruh daerah. Selain itu, diharapkan BPJS Kesehatan bisa berperan aktif dalam memberikan data yang transparan dan akuntabel.

Aulia Zahro Novitasari

Sesi presentasi oral yang kedua dipandu oleh Shita Listyadewi, selaku Steering Committee Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ini terdapat lima presentan yang memaparkan hasil peneliti hasil penelitian yang dilakukan dengan berbagai pendekatan.

Analisis Pembiayaan Kesehatan Bersumber Anggaran Pemerintah Daerah di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2015 – 2017

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Ch.Tuty Ernawati dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas. Tuty menyampaikan bahwa pembiayaan kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat masih rendah di bawah 5%. Hasil penelusuran permasalahan yang ditemukan antara lain pemanfaatan dokumen perencanaan yang belum optimal, anggaran kesehatan dari APBD dalam kurun waktu tiga tahun cenderung menurun, keterbatasan waktu dan pengaruh politik dalam penentuan prioritas serta kurangnya advokasi dan koordinasi. Sehingga Tuty menyarankan TAPD harus mengikuti jadwal pembahasan RKA OPD dan meningkatkan realisasi anggaran kesehatan secara bertahap.

Kajian Normatif Pemenuhan Kompensasi Kebutuhan Medik Era Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Tri Aktariyani sebagai akademisi dan praktisi hukum kesehatan. Seperti yang diketahui bahwa Indonesia masih menghadapi permasalahan pemerataan dan keterjangkauan upaya pelayanan kesehatan di era JKN. Menurut pasal 23 ayat (3) UU SJSN menyatakan bahwa terdapat kewajiban BPJS Kesehatan untuk memenuhi dana kompensasi bagi peserta dan fasilitas kesehatan yang belum memadai dalam memenuhi kebutuhan medik masyarakat sekitarnya. Namun berdasarkan kajian normatif, regulasi tersebut masih belum memadai. Sehingga dapat dilakukan upaya mengubah regulasi yang ada dengan menambahkan uraian batas waktu, tanggung jawab dan daftar wilayah yang masuk dalam zona daerah membutuhkan kompensasi oleh BPJS Kesehatan ke dalam Peraturan Pemerintah.Pemerintah Daerah dapat menetapkan sebuah kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah yang dilengkapi dengan Keputusan Daerah sebagai pelaksana untuk menjelaskan pelaksanaan kompensasi di daerah tersebut.

Perubahan Ekuitas Pemanfaatan Keluarga Berencana setelah Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia (Analisis Data Susenas tahun 2012-2016)

Hasil penelitian ini disampaikan Siti Khadijah Nasution, M.Kes. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi JKN berdasarkan indikator ekuitas, terutama dalam pelayanan KB. Contraceptive Prevalence Rate (CPR) dan Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih (MKET) merupakan indikator untuk mengevaluasi kemajuan ekuitas pemanfaatan KB. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa hingga 2016, program JKN tidak dapat meningkatkan CPR, namun meningkatkan cakupan MKET, meskipun sangat kecil. Ekuitas geografi dalam cakupan MKET belum tercapai, karena kemajuan di daerah pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan. Sehingga cakupan CPR dan MKET harus ditingkatkan melalui kesadaran masyarakat, memperbaiki sisi sarana dan prasarana program KB, meningkatkan koordinasi antara penyedia dan pemangku kepentingan program KB.

Policy Brief : Gugus Tugas Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat untuk Penyelamatan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan Penurunan Stunting

Hasil penelitian ini dipresentasikan oleh Nina Triana, Sp, MKM dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang. Nina mengangkat isu stunting karena 37.970 anak di Kabupaten Sumedang mengalami masalah gizi pendek/stunting pada 2013. Upaya intervensi masalah gizi harus dilakukan sejak 1000 HPK. Solusi efektif yang ditawarkan yaitu intervensi sensitif yang dapat memberikan kontribusi sebesar 70% terhadap keberhasilan penanggulangan masalah gizi masyarakat. Intervensi tersebut dikoordinir oleh gugus tugas percepatan perbaikan gizi masyarakat. Untuk itu, peneliti menyusun suatu policy brief yang memuat kesepakatan global sun movement, kebijakan nasional untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat, benang merah dengan SDGs, Intervensi sensitif untuk stunting dan overview singkat stunting.

Strategi Penanggulangan Tuberkulosis (TB): Mengapa Indonesia Menempati Urutan Kedua Penderita Tuberkulosis di Dunia?

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Uciatul Adawiyah dari Universitas Negeri Malang. Penanggulangan TB terdapat dalam Permenkes No. 67 tahun 2016. Tujuan adanya regulasi tersebut untuk melindungi masyarakat dari penularan TB melalui peran serta masyarakat, antara lain membentuk dan mengembangkan warga peduli TB. Namun implementasinya belum optimal dan merata. Sehingga rekomendasi yang muncul yaitu adekuasi sumber daya yang terlibat dalam upaya penanggulangan TB dari lingkungan terkecil, meningkatkan peran tenaga kesmas dalam upaya promotif dan preventif, membentuk badan pengawas audit untuk melakukan survei lapangan ke daerah potensi penyebaran TB serta upaya pembentukan dan pengembangan warga peduli TB.

Di akhir sesi presentasi oral ini, John Langenbrunner dari BANTU-USAID membagikan pengalamannya ketika berkunjung ke Thailand. Terdapat dua hal menarik di Thailand terkait program penanggulangan TB yaitu adanya case manager yg mengawasi pengobatan pasien dan mekanisme pembayaran dan insentif yang mendukung. Apabila tidak ada pelaporan TB positif, maka tidak ada pembayaran dari asuransi. namun jika da laporan TB positif, maka case manager akan mendapat bonus. Sehingga, kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia terkait kontribusi BPJS Kesehatan dalam mekanisme pembayaran kasus TB.

Semua Materi presentasi dapat disimak pada link berikut

  klik disini

Reporter : Afifah Nasyahta Dila (PKMK UGM)

Reportase South-East Asia Biennal Conference On Population And Health 2018

8 November 2018

Opening Ceremony

PKMK – Malang. Pembukaan South-East Asia Biennal Conference on Population and Health dimulai dengan sambutan oleh Professor Saseendan Pallikadavath dari PB Center, University of Portsmouth United Kingdom. Professor Saseendan menyampaikan gambaran mengenai populasi di Asia Tenggara, dimana Indonesia memiliki jumlah penduduk terbanyak yaitu 263 juta dan Brunnei Darussalam dengan jumlah populasi yang paling sedikit yaitu kurang dari satu juta penduduk. Beberapa permasalahan terkait kependudukan di Asia Tenggara adalah: bonus demografi di beberapa negara termasuk Indonesia, meningkatnya populasi orang tua atau ageing population beserta permasalahannya. Saat ini persentasi populasi penduduk berusia lebih dari 65 tahun tertinggi di Asia Tenggara ada di Singapura yaitu 12% sedangkan di Indonesia terdapat 5.3% dari populasi yang ada. Saseendan juga membahas sekilas mengenai kondisi penyakit yang mempengaruhu kualitas hidup suatu negara seperti Non-Communicable Diseases. Oleh karena itu, konferensi ini dipandang sangat penting untuk membahas tentang isu – isu terkait kesehatan populasi di Asia Tenggara.

Prof. Dr. Ir Nuhfil Hanani AR., MS., Rektor Universitas Brawijaya menyampaikan selamat datang dan mengungkapkan kebanggaannya terhadap Universitas Brawijaya Malang sebagai tuan rumah dari konferensi berbasis Internasional ini. Nuhfil berharap kerja sama antar institusi, baik itu institusi pemerintah maupun pendidikan. Sambutan berikutnya diberikan oleh Paul Smith OBE, Director British Council, Indonesia yang menyatakan bahwa tujuan dari konferensi ini untuk membawa dampak bagi pertumbuhan sosial dan ekonomi bangsa, dimana masing – masing negara bisa saling belajar satu sama lain. Selanjutnya secara resmi, konferensi ini dibuka oleh Kepala BKKBN Indonesia, Dr. Sigit Priohutomo, MPH. Dalam sambutannya, Sigit mengungkapkan konferensi ini diharapkan dapat menciptakan diskusi serta solusi pemecahan masalah kependudukan dan kesehatan di Asia Tenggara.

“Kegiatan ini berfungsi sebagai sarana diskusi, kolaborasi dan kerja sama para akademisi dan praktisi yang mengkaji isu – isu kependudukan dan kesehatan termasuk di dalamnya isu mengenai bonus demografi, keluarga berencana, perkawinan dan keluarga, lansia, migrasi, penyakit akibat gaya hidup serta pembiayaan kesehatan,” tutur Sigit. Selanjutnya secara simbolis diadakan pemukulan gong tanda konferensi resmi dimulai.

Konferensi berskala internasional ini dihadiri oleh 200 orang dari dalam dan luar negeri. Terdapat 9 sesi yang dibagi menjadi beberapa kelas dan dilaksanakan selama 2 hari ini. Sesi – sesi tersebut adalah: Family Planning, Fertility and Population Dividend, Population Ageing, Family, Marriage and Divorce, Population and Development, National and International Migration, Lifestyle, Diseases and Mortality, Maternal, Adolescent and Child Health dan Health System and Health Financing.

Sesi Oral Session Day 1: Family Planning, Population Ageing, Population and Development

Hari pertama konferensi South – East Asia Biennal Conference on Population and Health diselenggarakan untuk mendengarkan hasil presentasi penelitian yang berhasil lolos untuk presentasi oral. Terdapat enam sesi yang secara bersamaan berlangsung di dua ruang pertemuan di Singhasari Resort, Batu. Pada sesi Family Planning dipimpin oleh Professor Terry Hull dari Australia National University. Terdapat 5 presentasi menarik yang dipresentasikan di sesi ini. Empat presenter berasal dari BKKBN Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, salah satu presenter adalah mahasiswa dari Northwestern University, the US. Tema yang disampaikan cukup beragam dimulai dari penelitian tentang bagaimana upaya Indonesia mengatur dan mengorganisasi program KB dalam kurun waktu satu setengah dekade terakhir. Penelitian ini menyoroti Total Fertility Rate (TFR) yang masih stagnan pada angka 2.4 selama 15 tahun. Serta merekomendasikan untuk pemerintah meninjau kembali regulasi saat ini dan lebih melihat dari konteks lokal. Kemudian pembagian divisi yang jelas dari pusat dan daerah juga diperlukan . Supaya pengawasan program KB di daerah – daerah dapat terpenuhi.

Ada pula penelitian yang membahas tentang aplikasi yang dibuat oleh BKKBN yaitu Monitoring Berkualitas (Monika). Aplikasi ini bertujuan untuk mengetahui dan memperbaharui kompetensi dokter dan bidan dalam melakukan pelayanan KB. Proyek ini diuji coba di 6 provinsi di Indonesia. Hanya saja masih terdapat banyak kendala antara lain masih banyak tenaga kesehatan yang belum terbiasa dengan teknologi berbasis website dan android ini. Penelitian selanjutnya mengenai bagaimana pengetahuan dan sikap dari pelayanan KB memberi pengaruh terhadap penggunaan alat kontrasepsi di kalangan remaja yang belum menikah di Indonesia. Latar belakang penelitian ini adalah jumlah remaja Indonesia yang cukup banyak dan permasalahan yang kompleks di dalamnya termasuk jumlah kehamilan tidak diinginkan di kalangan remaja. Penelitian ini melihat survei dari IFLS 2014 dan melihat pengetahuan KB di kalangan remaja dengan sosio ekonomi rendah serta latar belakang pendidikan yang rendah sangatlah kurang. Penelitian ini merekomendasikan untuk pemerintah lebih lagi melihat kebutuhan remaja termasuk didalamnya pendidikan mengenai kesehatan reproduksi.

Sesi berikutnya mengenai Population and Ageing yang dipimpin oleh Dr. Rosserin Gray dari Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Thailand. Terdapat empat presenter yang akan mempresentasikan hasil penelitiannya. Keempat presenter tersebut berasal dari tiga negara yang berbeda yaitu: Vietnam, Thailand dan Indonesia sehingga menarik sekali untuk melihat masalah geriatri yang ada di tiga negara ini. Presenter dari Vietnam mempresentasikan tentang perbedaan kualitas hidup (QoL) dari sudut pandang gender di antara orang – orang tua di pedalaman Vietnam. Peneliti memakai skala QoL dari WHO dan menemukan bahwa wanita berusia senja di pedalaman Vietnam memiliki kualitas hidup lebih baik dibanding pria. Presenter dari Thailand menilai tentang perawatan keluarga di kalangan geriatri pada kondisi rumah tangga yang terpinggirkan. Penelitian ini menemukan bahwa hidup berdampingan dengan tetangga yang mendukung akan mempengaruhi QoL. Sehingga menjadi tugas dan perhatian bersama untuk bagaimana menciptakan kondisi yang bersahabat bagi para geriatri tersebut. Mengangkat tema yang serupa, peneliti Indonesia dari Universitas Brawijaya menyoroti bahwa kestabilan ekonomi adalah faktor determinan yang cukup memberi pengaruh terhadap kesehatan mental kaum usia senja di Indonesia.

Sesi terakhir pada hari pertama tentang Population and Development yang dipandu oleh Dr. Wendy Hartono, MA, BKKBN Indonesia. Presentasi pertama disampaikan oleh Professor Prijono Tjiptoherijanto dari Universitas Indonesia yang menyampaikan hasil penelitiannya untuk Bapenas dengan judul Population Development and National Development. Hasil dari evaluasi RPJMN 2010-2014 menunjukkan bahwa perkembangan keseluruhan populasi masih jauh dari perkembangan ideal yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena koordinasi yang lemah dan kurangnya kapasitas institusi yang masih menjadi isu untuk didiskusikan. Oleh karena itu, kebijakan ke depannya mengenai pembangunan populasi haruslah memiliki tujuan untuk menguatkan kapasitas institusi di pusat maupun di regional dengan lebih menitikberatkan pada kualitas kebijakan populasi yang komprehensif dan juga sistem administrasi yang baik. Presenter berikutnya dari BKKBN Sumatera Barat yang menyoroti tentang urbanisasi dan implikasinya terhadap kebijakan populasi untuk mengurangi kemiskinan di kaum urban. Peneliti menilai mengerti konteks urbanisasi itu penting dalam merancang kebijakan. Urbanisasi tidak hanya berarti masyarakat cenderung berpindah dari desa ke kota tapi juga kondisi dimana sebuah desa berubah menjadi kota. Presentasi terakhir hari itu membahas efek transisi demografi pada pertumbuhan ekonomi di Papua. Peneliti menilai bahwa di samping Papua saat ini menjadi banyak incaran pihak-pihak luar baik itu dari sisi kekayaan sumber daya alam dan pariwisata, namun hal ini tidak banyak berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Papua. Permasalahan gender juga berperan besar di dalamnya. Dimana ditemukan bahwa wanita Papua berusia kurang dari 15 tahun malah menyumbang hasil positif ke GDP karena mayoritas dari mereka putus sekolah dan bekerja secara kasar, sedangkan wanita berumur 15 – 64 tahun memberi efek negatif pada pertumbuhan ekonomi disebabkan mayoritas wanita bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Sesi presentasi di hari pertama berakhir pukul 15:30 Wib dan dilanjutkan dengan presentasi poster yang juga mengangkat tema yang sama. Ada sekitar 70 poster yang disajikan di konferensi ini.

Reporter: Sandra Frans (PKMK UGM)

Link Terkait

Reportase South-East Asia Biennal Conference On Population And Health 2018

9 November 2018

{tab title=”sesi 1″ class=”orange”}

Lifestyle Diseases and Mortality

seab 1

Hari kedua South – East Asia Biennale Conference on Population and Health 9 November 2018 dimulai pada pukul 08:30 WIB. Sesi ini akan membahas tentang penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup dan kematian. Sesi ini dipimpin oleh Professor Djoko Wahono Soeatmadji, SpPD., KEMD dari Universitas Brawijaya. Ada tiga hasil penelitian yang memaparkan hasil penelitian mereka. Pertama dari Department of Public Health, Faculty of Medicine, University of Miyazaki, Japan. Judul penelitian adalah Community Social Capital and Suicide Mortality in Miyazaki, Japan, an evaluation of temporal changes. Ditemukan bahwa social cohesion berasosiasi dengan suicide rates untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan. Hanya saja, alasan perbedaan pengaruh dari sosial kapital pada kejadian bunuh diri didasarkan pada perbedaan gender masih belum jelas. Sebuah hipotesa yang mungkin adalah perbedaan dari peran gender secara tradisional di Jepang yang mempengaruhi social cohesion dan kejadian bunuh diri. Secara tradisional, mayoritas laki – laki Jepang bekerja di luar yang menyebabkan tekanan secara psikologis yang mana mengharapkan mereka untuk menyeimbangkan hubungan sosial antara lingkungan komunitas dan pekerjaan. Studi ini mengambil kesimpulan bahwa mortalitas bunuh diri dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi yang mana telah berubah sepanjang tahun. Partisipasi sosial dari kaum orang tua akan berpengaruh baik terhadap penurunan kejadian bunuh diri di Jepang.

Presentasi berikutnya adalah dari Universitas Gadjah Mada mengenai Emotional Response of Dietary Reccomendation in Patients with Type 2 Diabetes. Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif yang mengeksplor kendala utama pasien diabetes dalam menjalankan rekomendasi diet. Penelitian ini menyatakan faktor emosi merupakan faktor kunci dalam membahas diet pasien. Pasien sering kali merasa tertekan dengan sikap dari keluarga yang tidak sensitif terhadap perasaan pasien. Oleh karena itu, dalam memberikan rekomendasi diet, penting bagi tenaga kesehatan untuk mengingatkan keluarga pasien agar menciptakan suasana yang positif sebagai daya dukung pasien untuk mengubah gaya hidup dan pola makan. Presentasi terakhir dibawakan oleh presenter dari Universitas Brawijaya yang membawakan penelitian dengan judul: The Effect of Learning Tabletop DIsaster Exercise (TDE) To Improve Knowledge Among Nursing Students for Disaster Emergency Response. Latar belakang penelitian ini adalah keadaan dimana Indonesia disebutkan sebagai supermarket untuk bencana baik itu bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan juga bencana buatan manusia seperti kecelakaan transportasi, kerusuhan dan teror. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan dari semua orang termasuk juga mahasiswa keperawatan mengenai hal ini. Penelitian ini menganalisa efek pembelajaran TDE untuk menyediakan manajemen respon penanggulangan bencana. Dengan pendekatan quasy experimental, peneliti membandingkan antara grup yang diberi pembelajaran TDE dan grup yang diberi modul standar. Ditemukan bahwa terdapat perbedaan dari pengetahuan tentang penanganan bencana dengan grup pembelajaran TDE menunjukan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu, memperkenalkan TDE bisa direkomendasikan untuk meningkatkan kesiagaan mahasiswa tenaga kesehatan dalam menghadapi bencana.

 

{tab title=”sesi 2″ class=”green”}

Wrap Up Session

Sesi terakhir South – East Asia Biennal Conference on Population and Health adalah kesempatan bagi para pemimpin sembilan sesi untuk memberikan kesimpulan ataupun tanggapan terhadap hasil presentasi dan diskusi selama dua hari yang menginspirasi ini. Sesi dibuka oleh Professor Saseendan Pallikadavath dari pusat studi Portsmouth Brawijaya. Saseendan memberikan ringkasan dari keseluruhan tema yang diangkat di konferensi kali ini. Dikatakan secara keseluruhan kematian ibu di regio Asia Tenggara telah menurun namun masih ada pekerjaan rumah untuk lebih lagi fokus ke kesehatan reproduksi remaja. Selanjutnya Saseendan menambahkan tentang masih kurangnya kepuasan publik terhadap sistem kesehatan di regio ini. Berkaitan dengan sistem kesehatan, belum banyak dukungan terhadap populasi geriatri yang kian hari kian bertambah. Satu isu mengenai demographic dividend adalah bagaimana menyiapkan lapangan kerja bagi anak-anak muda yang merupakan bonus demografi. Ada suatu kebutuhan untuk terus kembali merevisi kebijakan mengenai populasi. Misalnya untuk program keluarga berencana, menurut Saseendan masih banyak hal yang bisa dieksplorasi contohnya kaitan antara program KB yang berhasil dengan meningkatnya kesejahteraan suatu daerah.

Selanjutnya professor Terry Hull dari Australia National University memberikan refleksi mengenai presentasi dari para peneliti muda di konferensi kali ini. Terry menekankan tidak ada yang lebih penting dari pengembangan manusia seperti yang sedang dibangun saat ini. Meningkatnya perhatian dari para peneliti muda terhadap isu populasi dan kesehatan haruslah dinilai sebagai hal yang positif, dan negara juga regio Asia Tenggara mesti memberi dukungan penuh terhadap hal ini. Berkaitan denagn sesi Keluarga Berencana yang dipimpin oleh Terry, salah satu pertanyaan yang menggelitik adalah berkaitan dengan hierarki dan birokrasi yang kadang disebut menjadi satu masalah penghambat pengembangan program KB. Menurut narasumber, penting sekali kita bertanya, apakah hierarki pada hari ini di BKKBN masih sama dengan hierarki pada masa orde baru ketika BKKBN baru dibentuk. Mengingat saat ini, pemerintah Indonesia telah banyak berubah dengan adanya otonomi daerah dibanding dengan masa lalu yaitu otonomi terpusat. Ditambahkan beliau, saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengintegrasi program KB dan program kesehatan lainnya. Oleh karena itu, penelitian – penelitian, analisa data, evaluasi yang kritis dibutuhkan untuk hal ini.

Berikutnya Dr Wendy Hartanto dari BKKBN Indonesia menyampaikan mengenai grand design pemerintah mengenai perkembangan populasi. Bonus demografi bisa digunakan sebagai aset dari negara. Oleh karena itu penting untuk mengintegrasi kebijakan sosial dilihat dari sudut pandang budaya, sosial ekonomi, lingkungan dan sebagainya. Penting juga untuk menyeimbangkan antara jumlah, struktur dan distribusi dari populasi. Hanya saja tantangannya pada saat ini adalah kebijakan populasi yang belum terintegrasi dengan kebijakan pengembangan. Kesempatan berikutnya adalah Professor William Stones dari Malawi College of Medicine memberikan kesimpulanmengenai sesi yang dipimpinnya yaitu sesi Maternal and Child Health. William mengutarakan bahwa yang tak kalah penting dari pengetahuan teknis tentang penanganan kesehatan ibu dan anak adalah selalu mempraktekkan kemampuan teknis tersebut agar selalu sesuai dengan pedoman. Selain itu, penting untuk mempraktekan sikap yang sesuai kepada pasien. Tidak semua yang datang untuk pelayanan KIA termasuk juga untuk pelayanan KB adalah mereka yang sedang ‘sakit’. Orang – orang ini tidak ingin diperlakukan seperti sedang sakit. Terminologi yang cocok untuk ini adalah klien. Sudah saatnya tenaga kesehatan memandang orang – orang yang datang dalam konteks ini sebagai klien. Penting sekali untuk memberikan perhatian terhadap budaya dan juga aspirasi individu. Hal ini juga untuk menghindari over medicalization, seperti yang terjadi di India dan China yaitu angka caesarian section yang tinggi. Sehingga muncul istilah ‘too much too soon or too little too late’. Oleh karena itu kompetensi dari petugas kesehatan mulai dari konseling dan penanganan klien yang tepat perlu menjadi perhatian dari para pemegang kebijakan.

Sesi ini menjadi penutup konferensi dua hari ini. Diharapkan banyak hal positif yang bisa didapat dari kegiatan ini, seperti kerja sama antara institusi serta yang lebih utama lagi hasil – hasil penelitian ini bisa menarik perhatian dari para pemegang kebijakan untuk menjadi referensi dalam pengambilan keputusan.

{/tabs}

Reporter: Sandra Frans (PKMK UGM)

Link Terkait

 

Reportase Post Forum Nasional VIII

Jumat, 9 November 2018

Workshop Desain Analisis Kebijakan dan Agenda Advokasi

gabviii

Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) mengadakan workshop desain analis kebijakan dan agenda advokasi yang merupakan rangkaian acara setelah Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia kedelapan di Yogyakarta. Acara ini diselenggarakan pada 9 November 2018 dengan total 25 peserta berlatar belakang mahasiswa, tenaga pendidik, kementerian kesehatan, Ombudsman, dan dinas kesehatan. Pembicara pada pelatihan ini adalah Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si (Fisipol UGM) dan Dr. Dumillah Ayuningtyas, MARS (FKM UI) serta dimoderatori oleh M. Faozi Kurniawan (PKMK FK-KMK UGM).

Sebagai moderator dan fasilitator, M. Faozi Kurniawan menjelaskan pentingnya sektor kesehatan memahami konsep desain analis kebijakan dan agenda advokasi. Faozi menambahkan, peneliti dengan disiplin ilmu kebijakan masih sedikit yang mendalami konsep analis kebijakan. Terkadang peneliti kebijakan kesehatan terperangkap dalam perbedaan analisis kebijakan dan riset kebijakan. Selain itu, peneliti PKMK FK-KMK UGM ini mengemukakan, lembaga penelitiannya dan beberapa institusi pendidikan saat ini sedang melaksanakan penelitian evaluasi kebijakan JKN pada level nasional dan daerah. Oleh karena itu, konsep desain analisis kebijakan dan advokasi perlu dipelajari dengan mendalam untuk menghasilkan output penelitian yang menjadi daya ungkit positif bagi kualitas kebijakan kesehatan, khususnya kebijakan JKN. Faozi kembali menjelaskan, kegiatan ini diimplementasikan melalui praktik langsung bagaimana membuat analisis kebijakan dari kerangka ilmu politik dan kebijakan kesehatan.

Pada sesi pertama, Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si yang merupakan Dosen Fisipol UGM memaparkan tentang analisis dampak dan risiko kebijakan. Gabriel mengawali, terkadang peneliti dan akademisi memang sering terjebak dalam perbedaan mendasar pada riset kebijakan dan analisis kebijakan secara definitif serta implementatif. Gabriel menjelaskan kembali, sifat analisis kebijakan yakni menguak sebabakibat kebijakan dan mengkritik nilai kebijakan. Tanpa dua elemen ini, dokumen analisis ini hanya dapat dinilai sebagai riset kebijakan. Esensi nilai analis kebijakan adalah bagaimana pembuat dokumen analis tersebut mampu membuat aktor kebijakan mempertimbangkan kebijakannya tersebut memiliki sesuatu yang perlu diperbaiki atau diubah namun tidak keluar dari konteks pada inti kebijakan. Selain itu, dia menambahkan, analis kebijakan juga perlu menjelaskan tentang poin positif dan negatif dari hasil analisis kebijakan yang diberikan kepada aktor kebijakan.

Sesi ini dilanjutkan dengan diskusi yang banyak memaparkan tentang konsep analisis kebijakan secara konseptual serta pengalaman akademisi dalam membuat dokumen analisis kebijakan. Hal yang menarik, Gabriel menerangkan tentang konsep teknokrat dan politisi pada kursi pemerintahan yang memiliki peran sebagai aktor kebijakan kunci. Dia menjelaskan proporsi teknokrat, ahli kredibel bidang tertentu pada pemerintahan, yang menjadi aktor kebijakan dan vokal masih sangat sedikit “gaungnya”. Ini merupakan tantangan utama bagaimana analis kebijakan mengarahkan hasil analisisnya kepada aktor kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas kebijakan.

Pembicara selanjutnya, Dr. Dumillah Ayuningtyas, MARS (FKM UI), menjelaskan konsep analisis kebijakan kesehatan. Praktisi kebijakan kesehatan ini memaparkan bahwa lahirnya analisis kebijakan berawal dari sebuah kebijakan muncul sebagai respons terhadap kepentingan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat untuk memberikan solusi dari suatu permasalahan kebijakan. Analisis kebijakan kesehatan diperlukan karena kebijakan kesehatan memiliki implikasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang perlu dikaji berdasarkan efektivitasnya. Ini dikarenakan, kebijakan yang tidak berkualitas akan menghasilkan program yang tidak efektif, pemborosan sumber daya, dan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks. Dumillah kembali menjelaskan, setiap tahap pengembangan kebijakan (agenda setting hingga evaluasi kebijakan) memiliki ruang untuk memberikan umpan balik kepada aktor kebijakan. Sesi ini lebih banyak memaparkan tentang teori kebijakan dan pentingnya data bagi analis kebijakan. Pada sesi ini, peserta diminta menjelaskan kebijakan yang perlu dianalisis dan dioptimalkan. Selanjutnya, pemateri akan menjelaskan konsep instrumen kajian dan analisis kebijakan.

  materi


Instrumen Kajian dan Analisis Kebijakan

pfnviii

Workshop desain analisis kebijakan dan agenda advokasi forum nasional JKKI VIII sesi kedua dilanjutkan dengan penyampaian materi dan arahan terkait instrumen kajian dan analisis kebijakan oleh Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS (FKM UI). Dumilah menyampaikan bahwa instrumen utama dari analisis kebijakan adalah sang “analis” sendiri dimana analis melakukan expert judgement berbasis data dan berbasis intuisi. Sehingga analis harus menajamkan kemampuan diri dalam proses memahami masalah, mengkaji, memformulasi, mengevaluasi dan mengambil keputusan berdasarkan data. Di sesi ini, Dumilah juga menjelaskan perbedaan dari riset kebijakan dan analisis kebijakan sehingga memunculkan diskusi yang aktif dari para peserta terkait refleksi proyek yang telah mereka lakukan, apakah merupakan riset kebijakan atau analisis kebijakan. Studi kebijakan dan analisis kebijakan memang memiliki perbedaan namun pada prosesnya saling melengkapi, Dumilah menjelaskan bahwa riset kebijakan tujuannya untuk mengembangkan keilmuan dan melihat dampak dari kebijakan yang dilakukan yang bersumber dari data primer, temuan, informasi baru dan hasil uji statistik atau hipotesis dimana output dari riset ini digunakan sebagai sumber data analisis kebijakan. Jika hanya berupa riset kebijakan tanpa dianalisis maka akan terdapat “jarak” antara data hasil dengan pemanfaatannya pada para stakeholder. Disinilah fungsi analisis kebijakan yaitu “mensintesis, mengintegrasi dan mengkontekstualisasi” data hasil riset kebijakan yang sudah tersedia disusun menjadi “rekomendasi kebijakan” untuk mengubah atau memperbaiki kebijakan.

Selanjutnya Dumilah juga mengajak peserta untuk berdiskusi keterkaitan antara analisis kebijakan dan evaluasi, analisis kebijakan bisa digunakan untuk mengevaluasi suatu kebijakan yang bisa dilakukan mulai dari diterbitkannya hasil kebijakan (policy output) hingga dampak dari kebijakan (policy outcome) dan juga pengaruh dari kebijakan (policy impact) dimana ukuran evaluasi kebijakan meliputi enam dimensi yaitu efektivitas, efisiensi, ketepatan menjawab masalah, ekuitas, responsivitas dan ketepatgunaan. Hasil diskusi menekankan pada pemahaman terhadap perbedaan penggunaan riset kebijakan dan analisis kebijakan, proses perencanaan instrumen analisis kebijakan dan diskusi terhadap topic – topik kebijakan yang dianalisis, bagaimana langkah analisisnya dan output-nya. Dumilah menggarisbawahi sebuah kebijakan bersifat multidimensi sehingga tim analis seharusnya berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, karena proses analisis menekankan pada expert judgement by good intuition yang berdasarkan temuan hasil data empirik, dengan ketajaman pengembangan kesimpulan dan menghasilkan rekomendasi.

  materi

Kerangka Kerja dan Agenda Advokasi Kebijakan

Sesi terakhir dari workshop desain analisis kebijakan dan agenda advokasi Forum Nasional JKKI VIII membahas tentang kerangka kerja dan agenda advokasi kebijakan, pada awal sesi ini Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS (FKM UI) selaku pemateri membuka paparan dengan membacakan puisi yang berisikan pesan – pesan advokasi dari berbagai sudut pandang baik itu dari masyarakat sebagai pengguna kebijakan, hingga pemerintah sebagai pemangku kebijakan, dari puisi tersebut Dumilah menjelaskan bahwa pesan advokasi bisa dikemas dalam berbagai media. Advokasi merupakan langkah lanjutan untuk menjembatani rekomendasi kebijakan yang telah dihasilkan agar dapat tersampaikan pada pemangku kebijakan. Dalam memilih isu strategis untuk advokasi harus memperhatikan aspek aktualitas, penting dan mendesak, serta memiliki derajat tertinggi akan ketidakterpenuhan. Dumilah juga menekankan advokasi adalah tentang bagaimana hasil analisis kebijakan yang berupa rekomendasi “dibawa dan didesakkan” pada pemangku kebijakan agar terjadi sebuah perubahan yang dilakukan dengan strategi proaktif seperti lobby, kampanye, public hearing maupun pada pembuat kebijakan dan strategi reaktif seperti demonstrasi. Rekomendasi kebijakan yang dibawa ke pemangku kebijakan dibuat dalam bentuk policy brief dimana di dalamnya terdapat pesan yang dikemas secara ringkas, tidak hanya berupa angka namun mengandung pesan emosional yang disesuaikan dengan kepentingan dari masing – masing pemangku kebijakan.
Advokasi tidak bisa berdiri sendiri, perlu adanya koalisi yang tediri dari berbagai aktor kebijakan seperti politikus, pegawai negeri, jurnalis, akademisi dan kelompok lainnya dimana setiap koalisi ini menginterpretasikan data dengan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan kebijakan. Dalam sesi diskusi juga dibahas tentang success story dari peserta workshop terkait proses advokasi, bagaimana agar advokasi dapat diiimplementasikan yaitu tergantung dari skill advokator dalam memilih strategi advokasi, memilih media advokasi, menyampaikan pesan advokasi agar mencapai awareness dan acceptance dari pemangku kebijakan serta kemampuan membangun jejaring media, karena advokasi memiliki unsur seni atau art of advocacy. Workshop ini diakhiri dengan penyampaian dari Dumilah bahwa advokasi adalah bridging yang mengubungkan jarak hasil analisis dengan pemanfaatan oleh pemangku kebijakan, dan policy brief adalah toolkit atau media advokasi serta tugas advokator adalah mengatur keberimbangan jarak antara hasil dan pemanfaatan, oleh karena itu sebelum melakukan advokasi perlu untuk melakukan stakeholder mapping.

Reporter: Aulia Zahro Novitasari dan Nopryan Ekadinata (PKMK FK-KMK UGM)

Workshop Menggali Dana Filantropisme Bagi Para Manajer Rumah Sakit Non-Profit untuk Meningkatkan Keadilan Sosial

filviii

Sesi 1 – Perkembangan Filantropisme di Indonesia

workshop pada Jum’at, 9 November 2018 pagi ini dimoderatori oleh Min Adadiyah, SKM.,MPH (RS PKU Muhammadiyah, Temanggung) dan mengundang Prof. dr. Laksono Trisnantoro yang langsung menyapa peserta dengan materi pengantar filantropisme dalam pendanaan rumah sakit di era JKN. Workshop mengkaji kembali potensi filantropisme dalam pembiayaan rumah sakit dimana saat era JKN berada dalam situasi sulit. Filantropisme pada rumah sakit (kesehatan) dinilai cukup potensial, karena Indonesia telah memiliki budaya tradisional –gotong – royong.

Dr. Meta Dewi Tedja yang mengikuti workshop secara webinar dari RS Atma Jaya Jakarta, menambahkan praktek filantropisme rumah sakit sudah berlangsung sejak 1960, yaitu saat Yayasan Atma Jaya didirikan oleh sekelompok cendekiawan Katolik. Filantropisme tersebut saat ini menjadikan RS Atma Jaya sebagai kontributor dalam dunia kesehatan nasional. Filantropisme di RS Atma Jaya juga telah menggandeng beberapa lembaga seperti Yayasan Samaritan, Dana Sosial Pastoral, Yayasan Putra Peduli, Baznas, Wecare, Perkumpulan Increso, Yayasan Budah Suci Tzu Chi, Kitabisa.com dan donator perorangan.

Hamid Abidin selaku Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia juga ikut bergabung bersama melalui webinar di RS Atma Jaya Jakarta. Hamid menyampaikan bahwa Indonesia menempati urusan nomor satu negara paling dermawan di dunia. Namun, praktek filantropisme di Indonesia memiliki tantangan dan hambatan, diantaranya direct giving yang menjadikan penerima donasi menjadi ketergantungan, no name yang tidak terorganisir, tidak kritis, belum berorientasi jangka panjang, mini data, kebijakan yang belum mendukung, transparansi dan akuntabilitas yang belum optimal.

materi presentasi Hamid Abidin dapat disimak pada link berikut

  materi

Sesi 2 – Mapping Potensial Filantropi Kesehatan di Indonesia

Pada sesi ini dimoderatori oleh dr. Albarissa Shobry. Kemudian pemateri pertama adalah dr. Jodi Visnu, MPH. menyampaikan mengenai “Filantropi Kesehatan dalam Agama Kristen dan Katolik”, Jodi memaparkan bahwa karya karitatif (memberi bantuan secara langsung kepada mereka yang membutuhkan) awal Kristiani ada pada sektor pendidikan, kesehatan dan sektor lainnya. Spiritual misioner di RS keagamaan telah mempraktikkan filantropisme tidak hanya dengan materi namun, melalui pelayanan dengan kasih untuk orang miskin. Hal ini tercermin dalam kultur biarawan/biarawati dalam memberikan pelayanan kesehatan yang profesional karena memiliki ideologis bahwa RS tempat “mencari kehidupan”. Pada zaman kolonial, rumah sakit dibangun atas hutang moril Belanda – Indonesia, untuk penyejahteraan rakyat dan politik balas budi. Rumah sakit pada masa itu berlokasi strategis dan sampai kini masih berdiri secara mandiri, namun ada juga yang diserahkan pemerintah untuk dikelola. materi presentasi dapat diklik pada link berikut

  materi

Sedangkan materi mengenai “Potensi Filantropi Islam untuk Pembiayaan Kesehatan” diawali dengan memaknai definisi Filantropi menurut KBBI yaitu sebagai cinta kasih kepada sesama. Filantorpi bertujuan untuk memberi kesempatan pada orang lain untuk merasakan kebaikan dengan didasari rasa kasih sayang,ada kesukarelaan di dalamnya. Filantropi Islam banyak diajarkan pada ayat dalam Al-Quran, dan sejarah filantropi kesehatan Islam di Indonesia yang disampaikan oleh Min Adadiyah, MPH dimulai sejak 1912 yang diprakarsai oleh K.H. Ahmad Dahlan-pencetus Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO atau saat ini lebih dikenal PKU Muhammadiyah). PKU memulai kiprah sebagai satu – satunya lembaga filantropi kesehatan yang didirikan oleh pribumi yang saat itu belum memiliki dokter/tenaga kesehatan. Kini Muhammadiyah membentuk sebuah lembaga filantropi terbesar bernama Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (LAZISMU) untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia yang ingin memberikan donasi. LAZISMU telah menyiapkan skema khusus dalam hal pembiayaan kesehatan di rumah sakit dengan konsep rumah sakit berbagi dan menerima manfaat kebaikan. berikut materi presentasinya.

  materi

Sesi 3 – Workshop I

Sesi ini Prof. dr. Laksono Trisnantoro dengan metode ceramah dan diskusi membuka perspektif peserta mengenai filantropi kesehatan dan potensinya dalam mewujudkan pemerataan pelayanan kesehatan. Peserta workshop mengusulkan agar dalam workshop mendatang turut mengundang para pengambil kebijakan, agar memiliki paradigma berpikir yang sama mengenai pengelolaan potensi filantropi untuk memberikan sebesar -besarnya manfaat pelayanan kesehatan masyarakat.

Tarif InaCBGs dan keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan yang berlangsung berbulan – bulan membawa pengaruh besar pada keberlangsungan rumah sakit, sehingga banyak rumah sakit yang terpaksa berhutang dengan bank untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Prof. dr. Laksono Trisnantoro mulai memberikan template kebutuhan rumah sakit yang dibagi menjadi dua yaitu biaya investasi dan operasional. Tujuannya agar peserta mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya saat ini. Peserta diberikan waktu untuk mengisi template tersebut sesuai kebutuhan rumah sakit masing – masing.

sesi berikutnya yaitu diskusi, peserta banyak melontarkan pertanyaan dan pernyataan tentang stigma bahwa rumah sakit adalah unit usaha yang produktif. Pemaparan dilanjutkan bahwa dalam praktek filantropi di rumah sakit dapat terjadi melalui 3 kemungkinan pemikiran yaitu pola pikir tahap produk, pola pikir tahap penjualan dan pola pikir tahap penjualan. Rumah sakit harus menganalisa dan berkonsentrasi pada program dan sumber dana yang memiliki minat sama dengan rumah sakit. silahkan klik berikut materi presentasi berikut.

  materi

Sesi 4 – Workshop II

acara dilanjutkan dengan workshop 2,workshop sebagai sesi terakhir peserta diberi pemahaman mengenai dua kelompok filantropi yang dapat disebut sebagai pasar donor yaitu memberi sumbangan banyak jumlah rupiahnya namun sedikit jumlah donator/lembaganya; dan memberi sumbangan sedikit rupiahnya namun jumlah donator atau lembaganya banyak. Motif pendonor di Indonesia itu bermacam – macam yaitu sebagai kebutuhan akan harga diri, kebutuhan untuk dikenang atau diingat orang lain, ketakutan akan kejangkitan penyakit, kebiasaan memberi, harus memberi, merasa sedih atas orang lain yang telah kejangkitan penyakit, dari orang untuk orang (People to people givers) dan pemerhati masalah kemanusiaan.

Peserta yang telah mendapatkan perspektif potensial filantropi kesehatan mulai kritis. Forum menjadi aktif, peserta mengajukan pertanyaan mengenai stigma dan mentalitas yang sudah tertanam cukup lama dalam benak masyarakat sebagai calon donatur dan mentalitas pada pemilik rumah sakit. Dasar hukum pelaksanaan filantropi rumah sakit juga masuk dalam diskusi, karena banyak peserta yang hadir berasal dari rumah sakit yayasan dan rumah sakit pemerintah.
Sebelum menutup sesi ini, pemateri memberi pekerjaan rumah peserta yaitu tantangan dalam melakukan identifikasi pasar donor masing – masing rumah sakit. Ada unit atau kelompok kerja yang melakukan kegiatan filantropi dengan melakukan berbagai kegiatan, antara lain: identifikasi calon donor, pengenalan, termasuk keinginan. pengusahaan (Multivation), pengumpulan (Solicitation) dan penghargaan (Appreciation). Sesi diakhiri dengan mengisi form reaksi yang sebagian besar menyatakan puas dan menginginkan adanya tindak lanjut dalam kegiatan workshop hari ini yang membahas lebih lanjut mengenai dasar hukum dan bagaimana strategi penggalian dan filantropi dalam kekhasan rumah sakit masing-masing.

  materi

Reportase : Tri Aktariyani

Pelatihan Penulisan Policy Brief

fnpbviii

Rangkaian kegiatan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia VIII dilanjutkan dengan kegiatan workshop, salah satunya Pelatihan Penulisan Policy brief dan Dokumen Saran Kebijakan. Tujuan utama dengan mengikuti pelatihan ini adalah membangun kapasitas dan keterampilan dalam mengkomunikasikan penelitian melalui policy brief.

SESI 1. KERANGKA PENULISAN POLICY BRIEF

Narasumber pertama yaitu Shita Listyadewi dari PKMK FKKMK UGM membuka sesi kerangka penulisan policy brief. Kerangka penulisan membantu penulis policy brief untuk fokus memaparkan masalah secara singkat dan meyakinkan serta membuat rekomendasi yang spesifik. Sehingga sasaran dari policy brief yaitu policy maker dapat menangkap urgensi masalah dan mengetahui apa yang akan dilakukan. Terdapat tiga poin penting dalam policy brief antara lain masalah yang menjadi isu kunci, analisis masalah dilengkapi bukti-bukti dan alternatif pemecahan masalah atau rekomendasi.

Sesi ini berlangsung interaktif antara narasumber dan peserta. Narasumber mengawali dengan menggali pemahaman terkait policy brief, yaitu salah satu upaya penyampaian rekomendasi untuk pengambil keputusan terhadap masalah yang terjadi berdasarkan hasil kajian penelitian. Narasumber juga meminta peserta untuk mencoba menuliskan 4-5 kalimat terkait masalah yang akan dituangkan dalam policy brief. Tujuannya untuk melatih peserta memaparkan masalah secara singkat, jelas dan meyakinkan. materi pengantar dari shita dewi dapat diklik pada link berikut

  materi     template

SESI 2. PELATIHAN PENYUSUNAN PENDAHULUAN

Bevaola Kusumasari, PhD. dari FISIPOL UGM menyampaikan materi sesi kedua yaitu pelatihan penyusunan pendahuluan. Policy brief sebagai dokumen singkat yang merupakan hasil dari sebuah kajian untuk menggali satu isu penting untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Parameter yang wajib ada di dalam policy brief yaitu dokumen yang berdiri sendiri, fokus pada satu masalah dan tidak lebih dari 4 halaman / maksimal 1500 kata. Narasumber menyampaikan poin-poin penting untuk menjangkau pembaca policy brief antara lain penggunaan judul yang bombastis, desain yang menarik, kemampuan menjelaskan urgensi masalah, dan pemberian rekomendasi yang implementatif.

Kerangka policy brief ada tiga bagian yaitu judul, analisis masalah dan rekomendasi. Dalam analisis masalah yang perlu dipaparkan adalah masalah-masalah yang sedang terjadi ditunjukkan melalui data, foto observasi pribadi, berita koran, hasil survey dan sebagainya, penyebab masalah, dan kajian yang menelatarbelakangi. Rekomendasi menyampaikan perubahan yang diharapkan, langkah-langkah melakukan perubahan tersebut, dampak perubahan jika dilakukan dan implikasi negatif jika rekomendasi tidak dilakukan. silahkan klik materi paparannya dibawah.

  materi

Sesi ini dilanjutkan dengan latihan penyusunan pendahuluan oleh peserta yang kemudian dipresentasikan.

Sesi 3. Teknik-teknik Penyampaian policy brief

Sunaji Zamroni dari Institute for Research and Empowerment memaparkan teknik-teknik menyusun suatu policy brief yang memungkinkan untuk disampaikan ke pengambil keputusan secara tepat dan cepat. Dalam penyusunan policy brief, komponen penting yang harus dipehatikan yaitu judul yang lugas dan mencerminkan tema tulisan, bukti-bukti yang relevan dengan masalah yang diangkat dan rekomendasi yang jelas sasarannya. Penyusunan rekomendasi juga memperhatikan insentif apa yang diterima pengambil kebijakan. Sebelum policy brief disampaikan kepada pengambil keputusan, narasumber menyampaikan langkah-langkah bagaimana menghubungkan pengetahuan yang akan dituangkan dalam policy brief kepada pengambil kebijakan, sehingga policy brief dapat secara cepat diterima, antara lain membangun opini terkait isu tersebut di media sosial atau Koran, dialog publik yang melibatkan lintas sektor dan komunitas, serta komunikasi politik baik secara lobbying formal maupun pertemuan informal. Upaya-upaya tersebut dapat membantu memastikan bahwa pemecahan masalah yang ditawarkan sesuai dengan prioritas pengambil kebijakan, memberikan pengetahuan secara utuh dan rinci, memberikan bukti bahwa pengetahuan tersebut dapat menyelesaikan masalah.

Peserta diminta untuk menyampaikan policy brief yang telah dituliskan secara berkelompok dan narasumber memberikan saran untuk perbaikan policy brief.

Reporter : Afifah Nasyahta Dila (PKMK UGM)

Workshop Stakeholder Mapping

Sesi 1 Pengantar

Yogyakarta, PKMK. Pada sesi ini disampaikan oleh drg. Puti Aulia Rahma. Memulai pengantarnya, Puti mengajukan pertanyaan ke peserta “mengapa kita perlu melakukan analisis stakeholder mapping? Stakeholder mapping dilakukan untuk memperoleh gambaran aktor yang memiliki kepentingan masing – masing dalam proses kebijakan”. Puti menyampaikan secara garis besar materi pokok dalam stakeholder mapping yaitu mulai dari definisi, cara melakukan, teknik dan mensimulasikan cara memetakan kepentingan sesuai dengan proyek apa yang akan dikerjakan serta strategi komunikasinya ketika stakeholder mapping telah dilakukan.

Selain itu Puti menambahkan, stakeholder mapping dalam lingkungan kebijakan perlu dipetakan, siapa yang terpengaruh dan siapa yang mempengaruhi kebijakan sehingga mudah memilih aktor (interest group) yang akan dilibatkan baik aktor pemerintah maupun non pemerintah, dan kapasitas mana yang perlu ditingkatkan agar mereka terlibat dalam kebijakan. materi dapat disimak pada link berikut

  materi

Sesi 2 Aplikasi Teknis Analisis Pemangku Kepentingan

Sesi ini disampaikan oleh Eviana Hapsari Dewi, MPH dari PKMK FK UGM. Stakeholder mapping merupakan proses menganalisis informasi yang dilakukan secara sistematis. Melakukan pemetaan pemangku kepentingan membutuhkan berbagai cara guna memudahkan mendapatkan stakeholder yang benar-benar memiliki interest yang tinggi terhadap program atau kebijakan yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini Evi menggunakan 8teknik dengan kombinasi serta modifikasi dari 8 teknik stakeholder mapping.

Pada kesempatan ini juga Evi memaparkan pengalamannya dalam melakukan stakeholder mapping Project Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) dalam pemenuhan hal pekerja seks yang difasilitasi DFAT dengan pendekatan tahapan teknik stakeholder mapping yang disesuaikan dengan capacity building local need. Tools yang digunakan dalam stakeholder mapping yaitu diagram Venn untuk mempresentasikan situasi dan kondisi real yang terjadi dilapangan. Sesi dilanjutkan dengan diskusi dan sharing pengalaman dari peserta dalam melakukan stakeholder mapping.

  materi

Sesi 3 Strategi Komunikasi Pemangku Kepentingan

Prof. Adi Utarini dari FK-KMK UGM menjadi pemateri sesi ini. Sessi ini dimulai dengan pemaran video singkat mengenai Elminate Dengue Project (EDP) yang sedang dikerjakan oleh Prof Adi Utarini di TropMed FK-KMK UGM. Project ini merupakan upaya untuk menurunkan angka demam berdarah dengan menggunakan nyamuk Wolbachia di Daerah Istimewa Yogyakarta. Wolbachia ini merupakan salah satu bakteri alami yang disuntikkan ke serangga untuk mencegah penyebaran demam berdarah di daerah endemik demam berdarah. Sebagai sesuatu yang baru, dan belum pernah ditemui di masyarakat tentunya hal ini sangat membutuhkan strategi komunikasi yang tepat dan risk communication strategy kepada semua stakeholder untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dan mambangun trust stakeholder.

Lebih lanjut, Prof Adi membuat grup kecil untuk melakukan stakeholder mapping dan grup interest dalam kasus project nyamuk Wolbachia dari level internasional hingga stakeholder level lokal. Pada akhir sesi, masing – masing grup memaparkan hasil mapping stakeholder yang telah diidentifikasi dan dilengkapi oleh Prof. Adi Utarini. silahkan klik untuk membaca paparanya.

  materi

Sesi 4 Strategi Mapping Pemangku Kepentingan

Sesi ini disampaikan oleh dr. Arida Oetami, M. Kes dari Dinkes Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam sesi ini dibuat mini grup discussion untuk memetakan tingkat partisipasi pemangku kepentingan, tingkat kewenangan dan kepentingan stakeholder, serta strategi komunikansinya dengan menggunakkan partisipation planning matrix yang diberikan ke masing – masing peserta. Masing – masing grup memilih satu kasus kemudian membuat pemetaan pemangku kepentingan, strategi pelaksanaannya hingga tingkat partisipasi dari masing – masing pemangku kepentingan yang telah diidentifikasi.

Terdapat tiga grup yang terbentuk saat melakukan simulasi stakeholder mapping. Dua grup yang telah dibentuk memilih kasus yang sama yaitu memetakan pemangku kepentingan dan strategi komunikasi dan tingkat partisipasi stakeholder dari Project Nyamuk Wolbachea sedangkan grup yang lainnya memaparkan kasus peningkatan kapasitas tenaga kesehatan. Peserta sangat antusias dalam mini group discussion ini, dan mendapatkan pamahaman bagaimana memetakan pemangku kepentingan saat mengerjakan proyeknya nanti.
Pada akhir sessi, dr, Arida menyampaikan bahwa upaya stakeholder mapping ini sangat erat kaitannya dengan manajemen.

Reporter: Candra, SKM., MPH (PKMK FK-KMK UGM)