Oral Presentation: Health Reform – Governance

Oral Presentation

Health Reform – Governance

Reporter: Putu Eka Andayani

 

  Pengantar

Governance pada sistem kesehatan penting sedangkan pengetahuan untuk memahami berbagai cara governance dalam mempengaruhi outcome dan performance, serta keterbatasan mekanisme governance masih terbatas. Sesi yang dipandu oleh AnujKapilashrami, staff associatedi University of Edinburgh, UK ini memaparkan hasil penenilitian terkait governance yang dilakukan dengan berbagai pendekatan.

19nov 

Health in all policies (HiAP) approach in addressing the post-2015 sustainable development goals – prospects for Kenya

Ini merupakan hasil penelitian sementara yang disajikan oleh Joy Mauti, seorang mahasiswi program doktor di University of Heidelberg, Jerman. Menurutnya, HiAP adalah pendekatan komprehensif untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan dan mencapai target SDGs di Kenya, pasca 2015. Tujuan penelitiannya adalah untuk meng-assess pengetahuan dan persepsi stakeholders yang dilakukan dengan menggabungkan antara metode kualitatif dan kuantitatif dan menggunakan Exploratory Sequential Design. Dari riset tersebut Joy menemukan bahwa sebagian stakeholders di Kenya telah menyadari adanya HiAP dan berpendapat bahwa ini merupakan hal yang baik. Beberapa stakeholders bahkan sudah ditetapkan sebagai HiAP units. Semua actor non-pemerintah perlu dilibatkan dalam HiAP dan adaptasi SDGs,

Policy, implementation or both? Implementation research to strengthen primary health care under Indonesia’s National Insurance Reform

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Laksono Trisnantoro, guru besar dari Gadjah Mada University yang bekerjasama dengan USAID dalam melakukan penelitian ini. Tujuan penelitiannya antara lain mengklarifikasi regulasi yang dihasilkan oleh pemeritah pusat dan daerah serta memberikan rekomendasi kebijakan untuk implementasi JKN yang lebih baik. Menurutnya, Indonesia memiliki latarbelakang seting sejarah dan geografis yang sangat kompleks, sehingga melahirkan program JKN yang kompleks dalam implementasinya. Dari penelitian ini dihasilkan peta mengenai gap, dimana ada dua jenis gap dalam implementasi JKN. Gap pertama yaitu antara praktek ideal dengan regulasi yang ada. Gap kedua yaitu antara regulasi dengan implementasi kebijakan di lapangan. Ada tiga titik gap pada implementasi JKN. Pertama, antara kapitasi dengan mekanisme pembayaran, gap terdapat antara kondisi ideal dengan regulasinya. Kedua pada peran pemerintah dan provider, ada gap antara kebijakan dan implementasinya. Ketiga, pada kebijakan sentralisasi-desentralisasi ada gap antara kebijakan dengan implementasi dimana BPJS sifatnya tersentralisasi sedangkan kementerian kesehatan mendesentralisasi urusan kesehatan pada dinas-dinas kesehatan. Akibatnya, dinas kesehatan kesulitan mengakses data pada BPJS regional/cabang, padhal dibutuhkan untuk perencanaan daerah.

Power and networks of influence in health sector governance: national level decision making for maternal health in Ghana

Paper ini merupakan hasil penelitian Augustina Koduah dari Kementerian Kesehatan Ghana. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami proses pengambilan keputusan dan lebih memahami tentang berbagai cara interaksi dalam governance. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua kategori aktor dalam governance yaitu yang mengambil keputusan (presiden dan meteri) dan yang mempengaruhi serta bertanggungjawab dalam keputusan final (birokrat, development partners, pemberi pelayanan kesehatan, masyarakat). Struktur interaksi yang terjadi ada yang sifatnya publik dan ada yang privat, mereka saling mengontrol melalui situasi lingkungan dan instrumen negosiasi.

Political will for health system devolution in Kenya: insights from three counties

Penelitian ini disampaikan oleh 
Aaron Mulaki dari RTI International, Kenya. Menurutnya, Kenya harus meningkatkan investasi untuk menghasilkan lebih banyak hasil penelitian/bukti yang dapat digunakan untuk pembuatan keputusan (Evidence based policy making). Selain itu, Kenya juga perlu lebih banyak dialog, meningkatkan kapasitas actor local dan menguatkan peran CSO.

‘Healthy Bihar, Prosperous Bihar’: how a health campaign achieved both health and policy impacts

Penelitian ini disampaikan oleh Victor Ghoshe, seorang State RMNCH+A Unit, Bihar di India. Diawal presentasinya Victor menggambarkan Bihar sebagai sebuah desa kecil dengan infrastruktur serba terbatas dan kesadaran masyarakat untuk ke fasilitas kesehatan masih rendah. Pemerintah harus meningkatkan image fasilitas kesehatan dengan kesadaran branding. Yang dilakukan adalah mengidentifikasi brand untuk kampanye, dan memutuskan bahwa brand yang digunakan adalah: “Healthy Bihar, Prosperous Bihar“. Kedua, biarkan pemerintah yang “merasa memiliki” ide tersebut dan akhirnya mengembangkan ekuitas pelayanan kesehatan. Kegiatan ini dirasa berhasil karena kemudian awareness masyarakat terhadap fasilitas kesehatan meningkat dan muncul ide untuk membuat branding bagi program-program kesehatan yang lain, misalnya branding untuk penghargaan leadership berbasis performance, branding untuk safe motherhood program, Kesehatan desa, nutrisi, sanitasi dan sebagainya. Bahkan saat kampanye pemilihan kepala daerah, daerah salahsatu kandidat menggunakan “Prosperous Bihar” sebagai moto kampanyenya. Branding yang inovatif dapat membantu petugas kesehatan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terkait program kesehatan dan menginspirasi tenaga kesehatan untuk membuat branding bagi program-program lainnya.

Power, policy and specialty development – the case of emergency medicine specialization in India

Penelitian ini dilakukan oleh Veena Sriram, peneliti dan mahasiswa program doktor dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, United States. India saat ini mengalami masalah dengan jumlah dan jenis dokter spesialis. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah harus focus pada kualitas atau kuantitas dokter? Veena khususnya menyoroti mengenai spesialis emergency yang sejarah pengemangannya telah dimulai sejak tahun Tahun 1994 telah menjadi departemen formal di pendidikan dokter di India. Sumber kekuasaan adalah: kemampuan teknis, kekuaasaan birokrasi (jabatan, misalnya pada Medical Council India, Elit pub dan sebagainya), keuangan dan kekuatan network (misalnya medical college). Dengan kebijakan yang saat ini berkembang, masyarakat miskin menjadi lebih sulit untuk masuk ke Fakultas Kedokteran. Rekomendasinya adalah kedepannya penggunaan kekuasaan untuk membuat kebijakan harus lebih sistematif, transparan dan komunikatif. 

Reportase Terkait

{tab Hari 1|red}

14 November 2016

 

{tab Hari 2|orange}

15 November 2016

 

{tab Hari 3|green}

16 November 2016

 

{tab Hari 4|blue}

17 November 2016

 

{tab Hari 5|grey}

18 November 2016

 

{tab Penutup|red}

 

{/tabs}

{jcomments on}

A Massive Open Online Course (MOOC) on Implementation Research

A Massive Open Online Course (MOOC)
on Implementation Research

Reporter: Yodi Mahendradhata

 

hsr-ym-1

Dalam sesi satelit ini, WHO/TDR memperkenalkan media pembelajaran baru untuk riset implementasi. Media tersebut berupa Massive Open Online Course (MOOC) yang menggunakan platform EdX. Tujuan dari MOOC ini untuk introduksi dasar-dasar riset implementasi. Sebagai kursus dasar maka tidak ada persyaratan untuk dapat mengikuti. Partisipasi kursus ini gratis namun kedepan ada kemungkinan akan ditarik biaya bila menginginkan sertifikat yang akan diberikan melalui institusi akademis yang bekerjasama dengan TDR. Kursus ini terdiri atas lima modul dan bisa diselesaikan dalam waktu yang fleksibel, menyesuaikan dengan kesibukan peserta. Dalam setiap modul selain berisi materi juga terdapat kuis untuk menilai kemajuan pembelajaran peserta. Kursus ini merupakan jenjang paling dasar dalam portofolio kursus-kursus riset implementasi yang dikembangkan oleh TDR. Setelah menyelesaikan kursus ini maka peserta dapat mengambil pembelajaran IR jenjang berikutnya: IR short course (3 hari); IR Tool kit workshop (5 hari). Menurut rencana, MOOC ini secara resmi akan diluncurkan pada triwulan kedua 2017.

Reportase Terkait

{tab Hari 1|red}

14 November 2016

 

{tab Hari 2|orange}

15 November 2016

 

{tab Hari 3|green}

16 November 2016

 

{tab Hari 4|blue}

17 November 2016

 

{tab Hari 5|grey}

18 November 2016

 

{tab Penutup|red}

 

{/tabs}

{jcomments on}

Changing minds and changing budgets: funding strategies for Health Policy and Systems Research

Changing minds and changing budgets: funding strategies for Health Policy and Systems Research

Reporter: Yodi Mahendradhata

 

hsr-ym-2

Sesi ini berupa diskusi panel dengan beberapa perwakilan badan penyandang dana untukpenelitian-penelitian dalam ranah kebijakan dan sistim kesehatan, antara lain IDRC, DFID, MRC, WOTRO, AHPSR. Panel bertujuan untuk memberikan gambaran bagi audiens tentang konteks dan tujuan dana penelitian masing-masing badan, terutama kaitannya dengan riset kebijakan dan sistem kesehatan. Secara khusus, sesi ini mengeksplorasi konteks pendanaan riset kesehatan di tingkat nasional dan global, terutama pendanaan yang tersedia bagi riset kebijakan dan sistem kesehatan serta untuk memahami tren dalam pendanaan riset kesehatan. Dalam panel dikemukakan bahwa tren utama saat ini terkait dengan SDG yang banyak menekankan pendekatan multi sektor dan keterkait antara konteks lokal dan global; meningkatnya perhatian terhadap gender dalam perspektif ecosystem; penekanan pada pendekatan kemitraan dengan berbagai aktor; serta perkembangan isu konflik dan kekerasan. SDGs juga mendorong pendekatan sistem. Terlepas dari perkembangan-perkembangan yang seharusnya mendorong riset kebijakan dan sistem kesehatan, dana untuk riset bidang ini relatif masih terbatas. Sehingga diperlukan fokus pada isu-isu yang paling kritis dan pendekatan-pendekatan riset yang paling inovatif.

Reportase Terkait

{tab Hari 1|red}

14 November 2016

 

{tab Hari 2|orange}

15 November 2016

 

{tab Hari 3|green}

16 November 2016

 

{tab Hari 4|blue}

17 November 2016

 

{tab Hari 5|grey}

18 November 2016

 

{tab Penutup|red}

 

{/tabs}

{jcomments on}

Scaling-up: A Neglected Focus of Implementation Research?

Scaling-up: A Neglected Focus of Implementation Research?

Reporter: Yodi Mahendradhata

 

hsr-ym-3

Sesi ini mengangkat tiga kata kunci: scaling up; implementasi; dan hubungan antara riset dan kebijakan. Prof. Anne Mills selaku moderator menggaris bawahi bahwa dalam membahas isu implementasi ada dua mazhab yang dominan. Mazhab yang muncul lebih awal adalah evaluasi implementasi kebijakan. Dalam mazhab ini, evaluasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan diadopsi. Contoh teori dalam mazhab ini adalah “street level bureaucrats“. Mazhab yang baru berkembang belum lama ini adalah implementation science yang lebih menekankan bagaimana meningkatkan efektifitas implementasi sebuah intervensi dalam konteks tertentu.

Pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul dalam sesi ini adalah: (1) bagaimana riset dirancang untuk mengawal upaya scaling up; (2) bagaimana memahami konteks untuk kepentingan scaling up; dan (3) upaya-upaya apa yang diperlukan untuk mendukung scaling up. Beberapa catatan penting yang muncul adalah: (1) konteks perlu diteliti secara lebih detail, tidak sekedar diperlakukan sebagai variable penggangu; (2) peneliti berperan penting dalam memahami dan melibatkan para pelaksana program, untuk kepentingan scaling up; (3) piloting/ujicoba seringkali lebih dirancang untuk demonstrasi keberhasilan (memerlukan kapasitasi yang tinggi), tidak untuk scaling up.

Reportase Terkait

{tab Hari 1|red}

14 November 2016

 

{tab Hari 2|orange}

15 November 2016

 

{tab Hari 3|green}

16 November 2016

 

{tab Hari 4|blue}

17 November 2016

 

{tab Hari 5|grey}

18 November 2016

 

{tab Penutup|red}

 

{/tabs}

{jcomments on}

Think tanks and evidence based research-informing policies to accelerate health-related Sustainable Development Goals:

Think Tanks and Evidence Based Research-Informing Policies to Accelerate Health-Related Sustainable Development Goals:

Reporter: Putu Eka Andayani

hsr15

  Pengantar

Sesi ini dipandu oleh Canada’s International Development Research Center yang bekerja untuk membawa pengalaman terbaik IDRS dalam pemrograman kesehatan dan Think Tank Initiative untuk melanjutkan diskusi mengenai bagaimana peran Think Tank dan dunia akademis untuk mendukung penguatan sistem kesehatan di level nasional maupun internasional dan mengakselerasikannya dengan tujuan SDGs. Sesi ini ditujukan khusus bagi participants tertentu dan mendapat undangan, namun dapat diikuti oleh yang lain.

Agar menarik, sesi ini dibuat dalam bentuk dialog. Sebuah meja bundar ditempatkan ditengah-tengah ruangan dengan beberapa kursi yang ditempati oleh pemandu acara dan narasumber. Peserta duduk di kursi-kursi yang diposisikan melingkar mengelilingi meja yang di tengah. Pemandu melemparkan suatu isu atau masalah untuk ditanggapi oleh para narasumber. Kemudian para narasumber dipersilakan duduk diantara peserta dan pemandu memberi kesempatan pada peserta yang ingin mengemukakan respon atau ide-idenya terkait dengan masalah tersebut, untuk duduk di tengah-tengah, secara bergantian.

Sejauh mana SDGs menjadi perhatian bagi negara-negara di dunia, khususnya negara berkembang?

Disadari bahwa SDGs adalah tujuan yang ambisius dan transformatif, dimana upaya pencapain targetnya menjadi tanggung jawab masing-masing negara. Meeting besar yang melibatkan berbagai jaringan dalam IDRC telah melakukan pertemuan konsultasi di beberapa tempat (Vancouver, Berlin, Geneva, Rio De Jenairo, Kampala (Uganda) dan terakhir Islamabad) untuk membahas implementasi dan monitoring SDGs khususnya yang terkait dengan kesehatan.

Di Peru, SDGs belum menjadi prioritas pemerintah sehingga belum menjadi agenda nasional. Peru saat ini masih fokus pada isu mendasar seperti social security dan akses ke pelayanan kesehatan.

Menurut narasumber, dalam pencapaian SDGs, bukan hanya policy makers namun seluruh stakeholders termasuk lembaga think tank ikut bertanggung jawab dalam pencapaiannya. Kegagalan pencapaian ini salah satunya karena adanya agenda politik yang tidak sejalan. Oleh karenanya perlu ada aksi dan kolaborasi lintas-sektor. Jadi peningkatan kapasitas bukan hanya untuk policy makers melainkan juga untuk semua. Akademisi perlu bergerak lebih aktif untuk men-generate knowledge sehingga ada pemahaman lebih baik terhadap masalah yang terjadi. Universitas tidak bisa hanya meluluskan sarjana/pasca sarjana dan melakukan riset melainkan harus aktif memberikan masukan untuk aksi nyata

Di India, SDGs sedang di-endorse untuk menjadi agenda nasional. Dalam bidang kesehatan, target yang ditetapkan sangat jelas. Institusi lintas sektor bekerja sama bersama dengan masyarakat pada grup target. Ada social security agenda yang bersifat jangka panjang, dengan tujuan untuk menciptakan cross-cutting groups, mendapatkan anggota, melakukan pekerjaan social-sciences pada grup target tersebut, menggunakan media TV untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai isu-isu yang perlu menjadi perhatian.

Mexico mengakui bahwa beberapa target MDGs belum tercapai. Tahun 2015 Kementerian Kesehatan Mexico menerapkan regulasi bahwa semua ibu hamil harus melahirkan di rumah sakit, namun tidak ada data hasil monitoring dari pelaksanaan kebijakan ini.

Bagaimana Peran Think Tank dalam Upaya Membantu Negara Mencapai Tujuan SDGs?

Di Tanzania, private sector cukup dilibatkan agar program yang mereka lakukan in-line dengan prioritas pembangunan nasional. Kuncinya antara lain data harus tersedia, lakukan kolaborasi dan harus ada transparansi.

Di Zimbabwe, lembaga Think Tank ada di universitas. Negara ini sedang fokus pada isu qualitas pelayanan kesehatan dan ekuitas. Masyarakat ingin dilibatkan dalam aksi-aksi untuk mengatasi masalah kesehatan.

Di Mexico tadinya lembaga Think Tank bekerja pada area yang sangat spesifik dan tidak menyentuh pada penguatan fasilitas kesehatan. Lalu berbagai lembaga Think Tank mencoba berkolaborasi untuk mencapai minimum goals. Namun masih ada kekurangan kapasitas untuk meng-cover area yang begitu luas.

Di Peru, lembaga universitas dan Think Tanks mulai memikirkan upaya auntuk mencapai tujuan SDGs. Dulu peran dan tanggung jawab tidak pernah dibicarakan dan dibagi. Kini semuanya mulai berkolaborasi termasuk dengan lembaga multi-sektor.

  Diskusi/Take home messages:

  1. Banyak negara bekembang yang masih struggling dalam pencapaian MDGs, meskipun ada juga yang sudah mulai memasukkan tujuan-tujuan SDGs ke dalam agenda nasional mereka.
  2. Di Indonesia, meskipun tidak semua target MDGs tercapai, namun target SDGs sudah dimasukkan dalam perencanaan nasional (Bappenas). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia optimis bahwa tujuan-tujuan tersebut akan tercapai. Namun harus pula disadari bahwa perlu strategi luar biasa untuk mengejar ketertinggalan dan untuk mencapai target baru.
  3. Pencapaian target SDGs (dan juga MDGs) memperlukan kolaborasi antar-berbagai stakehonders. Akadmeisi dan Lembaga Think Tank perlu lebih proaktif dalam mengasulkan pengetahuan baru, mengajukan rekomendasi dan mengusulkan solusi serta melakukan berbagai upaya advokasi agar kebijakan yang dihasilkan dan aksi yang dilakukan sejalan antara tujuan SDGs, agenda nasional dan masalah nyata yang dihadapi.

Reportase Terkait

{tab Hari 1|red}

14 November 2016

 

{tab Hari 2|orange}

15 November 2016

 

{tab Hari 3|green}

16 November 2016

 

{tab Hari 4|blue}

17 November 2016

 

{tab Hari 5|grey}

18 November 2016

 

{tab Penutup|red}

 

{/tabs}

{jcomments on}

Momentum Toward UHC: Implications and Opportunities for small-to-medium Private Practices

Momentum Toward UHC:
Implications and Opportunities for small-to-medium Private Practices

(Meaghan Smith, Jeanne Holtz, etc)

Reporter: Shita Dewi

Sesi ini adalah sesi satelit yang berupa talkshow, dimana para narasumber ‘diwawancarai’ oleh moderator. Sesi ini khususnya berbicara mengenai pengalaman Strengthening Health Outcomes through Private Sector (SHOPS) Plus, sebuah inisiatif untuk meningkatkan hasil kesehatan melalui kerja sama dengan pihak swasta yang didanai oleh USAID.

http://www.shopsproject.org/ 

hsr14-5Sesi diawali dengan menceritakan pengalaman Kenya dalam melibatkan sektor swasta dalam upayanya mencapai UHC (cakupan kesehatan semesta). Konteks Kenya hampir sama dengan Indonesia: anggaran untuk kesehatan relatif rendah, belanja kesehatan hampir berimbang antara pengeluaran publik (34%) dengan pengeluaran out-of-pocket (32%), sistem kesehatan didominasi sektor publik (46%) tetapi proporsi sektor swasta sangat besar (40%) dan khususnya apabila memperhitungkan small-to-medium private practices/SMPP (klinik pratama, praktek pribadi atau praktek kelompok). Sistem asuransi kesehatan nasional Kenya baru mencakup 16% dari populasi, dan baru sedikit sekali sektor swasta yang memiliki kontrak dengan sektor swasta. Namun, mengingat Kenya berupaya mencapai cakupan kesehatan semesta, sementara mayoritas masyarakat lebih banyak mengakses sektor swasta, maka kerja sama asuransi kesehatan nasional dengan SMPP menjadi salah satu strategi utama.

Tantangannya, hampir sama seperti di Indonesia, SMPP di Kenya tidak terdata secara tepat berapa jumlahnya, walaupun terindikasi bahwa mereka lebih banyak berkembang di daerah-daerah urban dibandingkan di daerah pedesaan atau perbatasan. Tantangan lainnya adalah SMPP sebagian besar kurang terorganisasi, memiliki keterbatasan manajerial, memiliki range kualitas yang cukup besar, dan dihadapkan pada aturan-aturan yang menghalangi mereka untuk mengakses dana publik (misalnya tuntutan untuk terakreditasi, persyaratan administratif, dll). Ada pula hambatan yang tidak langsung, yaitu sering terlambatnya pembayaran asuransi kesehatan nasional ke SMPP, padahal SMPP biasanya tidak memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk belanja obat, dan lain-lain, apabila cashflow mereka terganggu oleh keterlambatan pembayaran.

Reformasi yang dilakukan di Kenya adalah upaya menggunakan social franchising untuk dapat dimanfaatkan oleh SMPP untuk mengakses dana publik (mendapat kontrak dengan asuransi kesehatan nasional). Dengan cara ini, asuransi kesehatan nasional dapat memperluas cakupan layanan yang tersedia bagi pesertanya. Terdapat banyak keuntungan bagi SMPP untuk tergabung ke dalam social franchise. Social franchising membantu SMPP untuk meningkatkan kualitas mereka melalui 13 langkah stratejik sehingga dapat memenuhi tuntutan untuk terakreditasi. Franchise memfasilitasi self-regulatory. Selain itu tergabungnya mereka ke dalam franchise ini memungkinkan SMPP untuk menegosiasikan harga yang lebih baik dalam pembelian obat, alkes dan BMHP. Franchise juga memungkinkan mereka untuk negosiasi kontrak dengan asuransi kesehatan nasional. Kapitasi yang diterima sebagai anggota franchise lebih besar dibanding kapitasi sebagai SMPP yang berdiri sendiri.

  Take Home Message

UHC (cakupan kesehatan semesta) merupakan aspirasi, dan pertanyaannya bukan “Apakah untuk mencapainya diperlukan kerjasama dengan pihak swasta?”, melainkan “Bagaimana dapat mencapainya dengan bekerjasama dengan pihak swasta?”

Social franchise bisa jadi salah satu solusi untuk lebih mengorganisir sektor swasta yang selama ini kurang terorganisir dan kurang terdata dengan baik sehingga seringkali “terabaikan” sebagai mitra potensial dalam mencapai cakupan kesehatan semesta. Namun, ini mengandung implikasi kerja besar untuk memiliki data yang lebih baik mengenai SMPP: siapa mereka, dimana mereka berada, bagaimana merancang kebijakan untuk menarik mereka untuk tergabung ke dalam social franchise? Pengalaman Kenya menunjukkan bahwa hal-hal ini dapat diatasi selama pemerintah memiliki komitmen yang cukup kuat untuk mengambil inisiatif.

Reportase Terkait

{tab Hari 1|red}

14 November 2016

 

{tab Hari 2|orange}

15 November 2016

 

{tab Hari 3|green}

16 November 2016

 

{tab Hari 4|blue}

17 November 2016

 

{tab Hari 5|grey}

18 November 2016

 

{tab Penutup|red}

 

{/tabs}

{jcomments on}

Welcome Plenary: Resilient People, Responsive Health System?

Welcome Plenary:
Resilient People, Responsive Health System?

hsr14-4

Malam ini diselenggarakan acara penyambutan acara Simposium Global ke-empat Penelitian Sistem Kesehatan.
Acara penyambutan diawali dengan sambutan dan doa dari tetua suku Indian yang merupakan penduduk asli Vancouver. Acara dilanjutkan oleh tari-tarian tradisional Indian yang bersifat sangat interaktif karena melibatkan para peserta simposium yang tertarik untuk ikut menari.

Tema dari acara penyambutan adalah Resilient People, Responsive Health System? yang berupaya menyoroti perspektif holistik mengenai well being yang dimiliki oleh masyarakat asli suatu wilayah dan bagaimana hal itu seharusnya dipertimbangkan dalam memahami sistem kesehatan secara keseluruhan di suatu negara (yang khususnya memiliki penduduk asli).

Pesan utama yang hendak disampaikan oleh pembicara adalah bahwa pasien dan masyarakat jauh lebih penting daripada data dan statistik. Peneliti dan pembuat kebijakan perlu melihat melampaui angka, rasio dan proporsi, karena di balik setiap angka dalam statistik adalah seseorang yang memiliki cerita hidupnya sendiri, yang status kesehatannya sangat dipengaruhi oleh determinan sosial, yang hidup di dalam konteks yang berbeda yang terkadang membatasi pilihan-pilihan yang dapat dibuatnya.

Sistem kesehatan seharusnya melakukan transformasi dengan menghormati pula kearifan lokal terkait perspektif kesehatan yang lebih holistik. Sistem kesehatan pada umumnya lebih terfokus pada pengobatan orang sakit: sistem ini membelanjakan begitu banyak uang untuk tenaga kesehatan, obat dan peralatan diagnostik dan treatment setelah orang tersebut sakit; namun kurang membelanjakan untuk mencapai dan menjaga well being.

Reportase Terkait

{tab Hari 1|red}

14 November 2016

 

{tab Hari 2|orange}

15 November 2016

 

{tab Hari 3|green}

16 November 2016

 

{tab Hari 4|blue}

17 November 2016

 

{tab Hari 5|grey}

18 November 2016

 

{tab Penutup|red}

 

{/tabs}

{jcomments on}

Why Should Researchers Use Ssocial Media?

backk

backk Back

There are many academics who have embraced social media as a tool for research dissemination and engagement, and these resources show how to make the most of social media.

  Using Instagram

Additional Resources

http://healthsystemsresearch.org/hsr2016/training-resources/

 

Communicating Through The Media

backk

backk Back

Engaging with the media is an important way to communicate your research to external audiences. It can help to disseminate your knowledge and ideas, stimulate debate, influence policy makers and practitioners and raise your profile as an expert in your field. This guide provides an overview of the main principles of media engagement for researchers, particularly for researchers who do not have access to support from a communications specialist.

  Media Engagement Guide

Additional Content:

http://healthsystemsresearch.org/hsr2016/training-resources/

 

Policy Engagement

backk

backk Back

With demands on researchers to demonstrate the impact of their work ever increasing, the ability to successfully identify and engage with policy audiences is critical. There is an extensive body of literature that already exists around impact, policy influence and engagement and the research policy nexus which can be overwhelming. This short guide aims to provide some practical advice and guidance on some of the most commonly used approaches, tools and tactics for effective policy engagement and some examples of how they can be applied in a health context.

  HSG Policy Engagement Guide

Additional content:

http://healthsystemsresearch.org/hsr2016/training-resources/