Mengacu kepada kebijakan Rencana Penggunaan Kenaikan Anggaran Kementerian Kesehatan RI Tahun 2016, peluang implementasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan sangat terbuka di level provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini dimungkinkan karena alokasi DAK Kesehatan & Keluarga Berencana tahun 2016 meningkat menjadi Rp. 19,6 T (Catatan: tahun 2015 hanya Rp. 6,8 T). Dana DAK Kesehatan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan non fisik. Dalam BOK misalnya bisa untuk kegiatan outreach (ANC, KB, Neonatal, Bayi, Program penanggulangan ATM, Penanggulangan Gizi Buruk, Penyediaan Air Bersih).
Kegiatan outreach ini bisa kurang optimal dilaksanakan akibat terbatasnya jumlah SDM dan tingginya beban kerja di puskesmas. Meskipun Kementerian Kesehatan tahun 2016 berencana untuk meningkatkan jumlah penugasan tim ke daerah dan penugasan khusus 5 jenis tenaga preventif dan promotif, tetapi tentu belum cukup untuk mengatasi kendala yang ada dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam hal ini, daerah tentu lebih tahu kebutuhannya. Dengan alokasi DAK yang lebih besar (belum lagi dari APBD “murni”), peluang untuk melakukan inovasi (termasuk contracting out) sangat dimungkinkan.
Untuk dapat “menangkap” peluang tersebut, IAKMI telah didorong untuk mempersiapkan diri sebagai calon provider dalam Forum Ilmiah Tahunan IAKMI di Bandung 22-23 Oktober 2015 yang lalu. Selain IAKMI, diharapkan LSM dan organisasi nirlaba lainnya berpotensi untuk itu.
Berangkat dari konteks demikian, tema Diskusi Tahap IV Masyarakat Praktisi (CoP) Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan adalah “Bagaimana kesiapan calon provider untuk menjadi pelaksana kontrak, dan apa yang harus dilakukan oleh calon provider untuk itu?”
Salam, Dwi Handono Sulistyo (Moderator)
Proses Diskusi:
Sugeng Riyadi
Contracting out suatu hal yang sangat mungkin dilakukan. terlebih banyak sekali sdm terdidik bidang kesehatan yang susah sekali mencari pekerjaan sesuai dengan kaidah profesinya. disatu sisi pemerintah belum mampu dan mau membuka lowongan pekerjaan. ini momentum lowongan terbuka terhadap profesi bidang kesehatan.
Pada hari Senin (15 Juni 2015) Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan pendapat dalam rapat yang diselenggarakan oleh Biro Perencanaan Kemenkes di Bandung. Paper ini membahas opsi sistem kontrak untuk menghadapi rencana kenaikan anggaran sektor kesehatan menjadi 5%. Hal yang ditekankan dalam paper ini jika tanpa ada opsi kontrak dikawatirkan masalah penyerapan Kemenkes akan kembali memburuk dan mutu pelaksanaan program menjadi tidak terjamin. Di samping itu, ada kemungkinan dana kenaikan akan lebih banyak terpakai untuk tindakan kuratif JKN yang seharusnya dapat dibayar oleh masyarakat mampu. Silakan simak paparannya pada link berikut
Ringkasan Diskusi Tahap I tersebut adalah sebagai berikut:
Gagasan Prof Laksono untuk menerapkan kontrak di sektor kesehatan, secara umum dapat diterima oleh semua pihak baik dari kalangan akademisi, konsultan, NGO, maupun pengambil kebijakan di dinas kesehatan. Argumentasinya mulai dari aspek teoritis, evidence-based, analisis kemampuan absorbsi anggaran, potensi yang dimiliki NGO, dan lain-lain.
Kendala yang masih ditemui antara lain
peraturan kebijakan yang belum mendukung sistem kontrak diterapkan untuk program kesehatan (saat ini, sistem kontrak baru diterapkan untuk “belanja modal”);
NGO terutama NGO keagamaan memiliki potensi sebagai calon mitra tetapi belum dioptimalkan potensinya baik melalui pendataan, pelatihan, pendampingan, dan pemberdayaan atau kesempatan untuk menjadi provider.
Peluang penerapan sistem kontrak ini terbuka luas karena sudah diakomodir dalam Pasal 11 RPP tentang SPM.
{tab Proses Diskusi|blue}
Gambit
Pak Laksono dan kawan-kawan,
Terima kasih untuk kesempatan memberikan komentar di milis ini. Paparan tentang contracting di website KKI bagi saya yang bekerja bersama LSM merupakan sesuatu yang selama ini menjadi ‘mimpi’ dari LSM agar bisa mengakses pendanaan dari pemerintah. Memang LSM bisa memperoleh dana dari pemerintah melalui mekanisme bantuan sosial untuk melaksanakan event-event tertentu tetapi tidak untuk program.
Pengalaman penanggulangan AIDS di Indonesia sebenarnya memperlihatkan bahwa pemerintah tidak bisa melakukan semua pelayanan yang diperlukan,
apalagi untuk promosi dan pencegahan (bdk DFID, 2004; Barnett et al, 2001; USAID, 2014). Barangkali ini menjadi kasus yang spesifik karena target dari penanggulangan AIDS adalah marginalized populations yang tidak bisa mengakses layanan regular (karena stigma atas perilakunya) sehingga perlu pihak lain (LSM) untuk mendekatkan layanan itu ke populasi. Hingga saat ini, hasil kerja LSM secara langsung berkontribusi terhadap cakupan program promosi dan pencegahan HIV secara nasional, yang saat ini bisa mendekati 60%. Akibatnya cakupan puskesmas dalam memberikan layanan infeksi menular seksual dan Tes HIV meningkat tajam dan rumah sakit bisa meningkatkan cakupan pengobatan ARV. Kontribusi besar LSM tersebut diafirmasi di tingkat lapangan oleh penelitian yang sedang dilakukan oleh tim AIDS PKMK tentang peran sektor komunitas dalam penanggulangan AIDS di 11 provinsi.
Sayangnya pendanaan Kementerian Kesehatan yang berasal dari APBN selama ini hampir semuanya digunakan untuk membeli obat (lihat SRAN AIDS 2015-2019). Sementara untuk program promosi dan pencegahan ‘dibebankan’ kepada lembaga donor tradisional untuk AIDS (DFAT, Global Fund, USAID). Perkiraan dari KPAN bahwa pasca 2017 akan terjadi kekurangan dana untuk penanggulangan HIV karena berkurangnya dukungan dana dari negara donor (meski sudah diasumsikan kenaikan 20% pendanaan pemerintah daerah setiap tahun). Akibatnya adalah kegiatan promosi dan pencegahan terancam tidak akan ada alokasi karena dana yang tersedia akan habis untuk membeli obat (bahkan diperkirakan kurang). Jika anggaran Kementerian Kesehatan akan meningkat 5%, apakah ada imbas positifnya terhadap kegiatan promosi dan pencegahan AIDS? Apakah dana tersebut bisa dimanfaatkan sebagai pengganti dana dari donor yang selama ini mendanai LSM? Jika ini terjadi, maka permasalahannya adalah bagaimana LSM bisa menggunakan dana promosi dan pencegahan yang tersedia di kementerian kesehatan tersebut? Dalam kerangka seperti ini maka menjadi sangat relevan untuk membicarakan tentang isu contracting ini dalam isu HIV.
Berbagai tools untuk mendukung pelaksanaan contracting pelayanan (misalnya untuk penghitungan unit cost untuk setiap jenis intervensi atau menentukan, standar kualitas lembaga, mekanisme M&E) sudah dikembangkan dan diterapkan di sebagian besar LSM yang menerima bantuan hibah dari lembaga donor sehingga LSM pada dasarnya cukup siap jika sistem kontrak ini bisa dilakukan lebih cepat (lihat tools yang dikembangkan oleh SUM 2 USAID, HCPI – DFAT, Kerangka CSS – GF). Selain ranah pelayanan, sebenarnya contracting dalam penanggulangan AIDS ini bisa didorong pada kontrak monev dan informasi strategis secara independen atau technical assistance program yang selama ini lebih banyak diperankan oleh lembaga donor dari pada oleh kemenkes. Oleh karena isu contracting ini sudah dilempar, maka tentunya kita bisa mulai ‘berisik’ melalui CoP – CoP yang menjadi jaringan tim AIDS PKMK di beberapa provinsi.
Mungkin itu komentar awal saya tentang ide contracting. Maaf saya hanya berfokus pada isu penanggulangan AIDS karena ini yang menjadi ‘ladang’ saya.
Dwi Handono
Untuk saya pribadi, inisiatif contracting out bukan hal baru. Pada tahun 2007, saya sudah ditugaskan Pak Laksono untuk memfasilitasi inisiatif tersebut di Kab. Berau, Kalimantan Timur. Saat itu, inisiatif tersebut gagal. Penyebabnya antara lain karena tidak adanya provider lokal yang memenuhi kualifikasi.
Kegagalan tersebut tidak membuat ide tersebut mati, tetapi terus dikembangkan seperti dilakukan di NTT dengan Program Sister Hospital pada pertengahan 2010 hingga berakhir pertengahan 2015 ini. Kini, tahun 2015, gagasan tersebut coba ditawarkan lagi. Pencetusnya adalah kekhawatiran akan rendahnya absorpsi anggaran Kementerian Kesehatan jika alokasi APBN dinaikkan menjadi 5%. Dengan alokasi sekarang saja, banyak anggaran yang tidak terserap.
Berhasil tidaknya gagasan ini, menurut saya, tergantung 2 faktor. Pertama, bagaimana meyakinkan para pengambil keputusan di level pusat. Kedua, bagaimana secara teknis mengeksekusi gagasan tersebut. Dari aspek kebijakan, hambatannya adalah dari sisi peraturan yang ada seperti aturan lelang, dan sulitnya membuat ketentuan menjadi proyek “multi-years”. Program Sister Hospital NTT berhasil karena AIPMNH (AusAID/DFAT) memungkinkan untuk itu.
Dari sisi teknis, hambatannya adalah karena belum siapnya sektor kesehatan untuk menerapkan inisiatif tersebut. Untuk lelang dan kontrak pengadaan barang dan jasa, memang sudah biasa dilakukan, tetapi untuk kontrak program kesehatan apalagi dalam jangka panjang, belum biasa dilakukan. Di sisi lain, providernya juga masih terbatas. Dalam hal ini berlaku hukum bisnis. Ketika tidak ada demand, maka tidak ada supply. Demikian juga jika dibalik. Jika demand pemerintah dimunculkan, maka supply dari swasta, LSM, dan organisasi nirlaba lainnya akan berkembang. Jika perlu, mereka dilatih terlebih dahulu.
Terlepas dari itu semua, WHO sendiri sudah merekomendasikan pendekatan kontrak ini sejak tahun 2003. Itu berarti sudah 12 tahun yang lalu! Di sejumlah negara di Afrika seperti Chad, Mali, Burkina Faso, Senegal, Burundi, Madagaskar, dan Maroko telah memiliki kebijakan nasional tentang contracting (WHO News, 2006), di Indonesia kebijakan nasional semacam itu belum dikembangkan. Lalu kapan?
Hilmi SR
Terimakasih Prof.Laksono dan rekan2 sekalian atas kesempatan berdiskusi ini.
Sebagai pelaku di NGO, seperti yang disampaikan pak Gambit di komentar sebelumnya, wacana ini sangat menarik bagi saya, karena sinergi dengan pemerintah merupakan sesuatu yang dinanti oleh sebagian besar NGO. Alasan utamanya bukan karena NGO bisa mengakses dana pemerintah dan mendapatkan sumber pendanaan baru, namun lebih kepada adanya pembagian tugas yang lebih jelas, karena NGO dan pemerintah berada pada sisi yang sama, dengan tujuan agar pelayanan publik esensial mampu menjangkau seluas mungkin kalangan masyarakat. Meskipun, hal lain yang perlu diantisipasi, pola ini bisa menjadikan NGO kehilangan objektivitas dan daya kritisnya, karena menggunakan sumber dana pemerintah dalam menjalankan program.
Seperti yang telah disampaikan pak Gambit dan pak Dwi Handono, sudah ada cukup banyak evidence yang memberikan landasan adanya sinergi yang lebih baik antara pemerintah dan sektor non pemerintah. Pada negara yang pemerintahnya mampu merangkul sektor non pemerintah, baik sosial maupun swasta, terbukti memiliki outcome sistem kesehatan yang lebih baik. Contoh terdekat adalah di Nepal dan Srilanka, yang dengan sumber daya terbatas namun mampu menurunkan AKI secara signifikan, karena selain menjadikan isu kesehatan prioritas sebagai isu cross cutting, pemerintahnya juga melibatkan banyak unsur diluar pemerintahan untuk bekerja bersama-sama.
Pada konteks Indonesia, dalam pandangan saya, CSR adalah salah satu contoh praktik Contracting Out yang sudah banyak dilakukan. Dalam hal ini, perusahaan seringkali mengontrak NGO atau universitas untuk menjalankan berbagai program CSR, termasuk bidang kesehatan. Bahkan, proses terebut seringkali sudah dimulai dari tahap perancangan/desain program, berikut indikator keberhasilannya. Pada kondisi tersebut, NGO dan pihak perusahaan menyepakati bersama apa yang menjadi indikator kinerja kunci/Key Performance Indicator dari program yang akan dilaksanakan. Namun, pada skema kontrak CSR ini, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak NGO yang menyusun anggaran cukup tinggi, karena memasukkan komponen “management fee” yang dibutuhkan untuk kesinambungan dan perkembangan organisasi. Meskipun terjadi negosiasi pada batas harga yang “reasonable” dalam pandangan perusahaan pemberi CSR, tidak jarang pada akhirnya perusahaan sebetulnya membayar harga yang “over price” untuk suatu layanan, baik yang bersifat ukp/kuratif maupun ukm/promotif-preventif. Dan hal seperti ini tentu tidak boleh terjadi dalam situasi anggaran yang digunakan adalah milik pemerintah.
Oleh karena itu, sebagai tanggapan awal wacana contracting out ini, selain dari yang sudah disampaikan dalam makalah Prof.Laksono dkk, saran saya adalah:
Ada pembagian spesifikasi kontraktor, siapa dikontrak untuk apa. NGO yang biasanya memiliki keunggulan dalam inovasi ide dan mampu menjangkau grass root, diberikan kontrak dalam hal pelaksanaan program. Sedangkan universitas dikontrak untuk melakukan seleksi program dan monev, terutama untuk menetapkan dan menilai indikator-indikator non kuantitatif, yang meskipun sulit, tapi pada kenyataannya justru perlu diamati.
Untuk NGO, proses kontrak bisa dimulai dari NGO yang berbasis keagamaan, karena berdasarkan penelitian dari kemensos NGO tipe ini memiliki sumber daya yang lebih sustainable dan sistem yang lebih ajeg. Identifikasinya pun lebih mudah dibandingkan NGO lain yang jumlahnya ribuan atau puluhan ribu dengan spektrum kapasitas organisasi yang beragam.
Aktivitas yang dikontrakkan diutamakan untuk menutup gap JKN, terutama pada celah-celah utama yang banyak disebutkan dalam berbagai kajian. Diantaranya adalah (1) meningkatkan underlying determinant of health untuk mengurangi kesakitan dengan pelaksanaan program public health esensial (2) meminimalisir adverse selection melalui persuasi dan edukasi pada seluas mungkin masyarakat (3) membuat inovasi dan melakukan persuasi untuk menjangkau para pekerja informal agar terlibat dalam JKN (4) edukasi perilaku berobat yang benar kepada para peserta agar tidak dengan mudah meminta untuk dirujuk ke spesialis atau rumah sakit (5) membantu meningkatkan kualitas pendataan masyarakat miskin yang termasuk dalam PBI, karena pada praktiknya sangat banyak penyimpangan terkait data, yang moral hazardnya seringkali dilakukan oknum “penguasa wilayah” setempat seperti RT-RW-Lurah yang menentukan daftar nama masyarakat miskin. (6) menyediakan akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil, baik dalam bentuk penyediaan SDM kesehatan maupun fasilitas kesehatan. dll
Dibutuhkan penguatan perkumpulan NGO dalam bentuk asosiasi atau konsorsium yang dapat merumuskan tantangan contracting seperti yang sudah disebutkan Prof.Laksono dkk
Selain hal-hal yang saya sampaikan pada komentar sebelumnya, poin penting lain yang saya simpulkan dari penelitian yang pernah saya lakukan, adalah perlunya pendataan NGO yang massif dan pembinaan NGO yang lebih terstruktur oleh pemerintah. Sistem pencatatan organisasi sosial di era orde baru tampak jauh lebih baik dibandingkan saat ini, yang membuat pemerintah seringkali tidak bisa berbuat apa-apa karena minimnya informasi yang teregistrasi tentang sumber daya dan kapasitas organisasi sosial. Di satu sisi, aktivitas pendataan ini tidak dipandang prioritas oleh pemerintah, karena dianggap sebagai pekerjaan dan beban tambahan. Padahal, aktivitas pendataan ini ibarat pekerjaan mengasah gergaji bagi penebang pohon, yang pada saat ini mungkin dianggap tidak bermanfaat dalam mempercepat tujuan menebang pohon, tapi begitu selesai dikerjakan, si penebang pohon bisa melakukan pekerjaannya jauh lebih cepat karena gergajinya jauh lebih tajam.
Chrysant Lily
Ide yang sangat bagus untuk contracting out bagi bagian dari layanan kesehatan yang porsinya bisa dilakukan oleh CSO sesuai expertise mereka. Dalam dokumennya WHO berjudul Strategic Alliances: Civil Society’s Role in Health (2001), sudah dijabarkan bidang-bidang layanan kesehatan yang memerlukan kontribusi CSO. Ini termasuk melakukan penjangkauan ke populasi yang memiliki barrier tinggi dalam mengakses layanan kesehatan karena alasan marjinalisasi ataupun stigma, mendistribusikan alat kesehatan seperti jaring nyamuk, kondom, alat suntik steril untuk pengurangan dampak buruk bagi penasun dsb, serta melakukan peran dua arah yaitu di satu sisi menerjemahkan berbagai kebutuhan komunitas kepada sektor kesehatan dan sebaliknya menjadi agen untuk promosi kesehatan lewat berbagai kegiatan pendidikan masyarakat (Alliance et al, 2007; Asthana and Oostvogels, 1996; Cornman et al., 2005; Global Fund, 2014).
Karena model contracting out ini masih belum umum dalam sektor kesehatan, kedua pihak (CSO maupun sektor kesehatan) sama-sama butuh belajar, melakukan penyesuaian dan mengelola resiko. Contohnya, CSO harus bisa mengatasi resiko berkurangnya independensi dan tetap memainkan ‘watchdog role’ terhadap pemerintah walaupun pemerintah menjadi salah satu sumber pendanaan lembaganya. Di sisi lain, sektor kesehatan sendiri harus memiliki kemauan untuk menghadapi resiko ketidaknyamanan mengelola hubungan kerja dengan pihak yang mungkin mengambil posisi kritis terhadap kebijakan-kebijakannya. Ada banyak lagi contoh resiko-resiko lainnya yang sama-sama dihadapi dan perlu dikelola oleh kedua belah pihak, tetapi seperti yang disimpulkan WHO (2001) ‘the benefits of collaboration for both the State and CSOs outweigh the risks of possible tensions in CSO-state interactions’. Semoga ada jalan untuk segera merealisasikan sinergi antara pemerintah dan CSO lewat mekanisme contracting out ini.
Laksono Trisnantoro
Terimakasih atas tanggapan-tanggapannya. Saat ini memang sudah terjadi sistem kontrak terutama di Program AIDS, dan beberapa eksperimen oleh tim PKMK FKUGM. Hal ini dapat dipahami karena untuk AIDS, tidak mungkin seorang PNS melakukan penyuluhan ataupun pendekatan ke komunitas-komunitas tertentu. Oleh karena itu donor banyak yang memberikan kontrak untuk LSM Tantangannya untuk program AIDS adalah: apakah dengan menurunnya dana-dana asing maka kegiatan seperti ini akan menurun pula. Pertanyaan praktisnya adalah apakah dana APBN dan APBD dapat menggantikan dana donor yang biasa dikontrakkan. Mohon komentar bagaimana persiapan kita untuk menghadapi situasi ini.
Dwi Handono
Selamat pagi Bapak/Ibu Pemerhati Diskusi Kontrak di Sektor Kesehatan,
saya Dwi Handono Sulistyo selaku moderator dalam Diskusi ini, mengucapkan terima kasih banyak atas partisipasi Bapak/Ibu baik secara aktif maupun pasif.
Saya mengundang Bapak/Ibu yang belum memberikan opininya, agar dapat berkontribusi optimal di Forum Diskusi ini, terutama dari para pengambil kebijakan di Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Mengapa demikian? Karena opini yang ada sejauh ini baru dari satu pihak yaitu dari kalangan NGO dan akademisi yang mendukung gagasan tersebut. Tentu diskusi akan sangat menarik jika muncul tanggapan dari pihak dan opini yang berbeda.
Terlepas dari itu, topik diskusi juga kita tambah sesuai masukan Prof. Laksono yaitu bagaimana mengantisipasi berkurangnya dana asing untuk kegiatan AIDS misalnya. Apakah APBN atau APBD bisa menggantikannya?
Dwi Handono
Selamat pagi Bapak/Ibu Pemerhati Diskusi Kontrak di Sektor Kesehatan,
berikut saya sampaikan Rangkuman hasil diskusi Minggu I:
Gagasan Prof Laksono untuk menerapkan kontrak di sektor kesehatan, secara umum dapat diterima baik dari kalangan akademisi, konsultan, maupun NGO. Argumentasinya mulai dari aspek teoritis, evidence-based, analisis kemampuan absorbsi anggaran, potensi yang dimiliki NGO, dan lain-lain.
Kendala yang masih ditemui antara lain (a) peraturan kebijakan sistem lelang yang ada baik terkait jumlah anggaran maupun kebijakan multi years; (b) belum terbiasanya sektor kesehatan dalam menerapkan kontrak program; (c) NGO terutama NGO keagamaan memiliki potensi sebagai calon mitra tetapi belum dioptimalkan potensinya baik melalui pendataan, pelatihan, pendampingan, dan pemberdayaan atau kesempatan untuk menjadi provider.
Pada prinsipnya pihak NGO terutama NGO keagamaan telah siap untuk berkontribusi, tetapi di lain pihak, para pengambil kebijakan baik dari Kementerian Kesehatan; Dinas Kesehatan Provinsi; dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, belum jelas pendapatnya karena belum ada yang memberikan opini melalui forum diskusi ini.
Berdasarkan perkembangan tersebut, kami sangat mengharapkan kontribusi semua pihak untuk memperkaya diskusi ini agar nantinya dapat diperoleh kesepakatan kebijakan yang akan diambil.
Demikian terima kasih
Hilmi SR
Prof.laksono, pak Dwi Handono, dan rekan2 sekalian.
Sehubungan dengan contracting out ini, saya berpikir bisa digabungkan dengan fenomena social entrepreneurship yang saat ini sedang marak. Di website ini dulu pernah mengunggah jurnal ttg dampak social enterprise terhadap health outcome. Namun, kerangka yang digunakan dalam jurnal tersebut berbeda dengan apa yang saya pahami, meskipun memang terdapat banyak versi dari social enterpreneur.
Saya sendiri sudah mencoba “corat-coret” untuk menggambarkan skema social entrepreneur yang saya pahami, yang menurut saya cukup relevan dengan isu yang sedang dibahas di bagian ini. Mohon review prof.laksono, pak dwi, dan rekan2 lain, apakah skema seperti yang saya gambarkan memungkinkan.
Disclaimer: Skema ini hasil pemikiran konseptual, bukan hasil riset.
Huda
Saya saat ini live ini di sebuah Kabupaten Perbatasan di Propinsi Baru, Kalimantan Utara. Sangat tertarik dengan gagasan contracting out dengan harapan bila skema ini benar dapat dijalankan bisa membantu percepatan peningkatan derajat kesehatan dan penguatan mutu layanan kesehatan, khususnya bagi warga di perbatasan yang selama ini masih kalah dibanding wilayah non perbatasan.
Secara konsep contracting out saya fikir sangat bagus. Namun tantangan nyatanya adalah bagaimana mengoperasionalkan di level teknis yang sebenarnya pada banyak hal, tidak melulu terkait dengan isu kesehatan. Namun lebih pada managemen, administrasi, kelembagaan, dan adanya peraturan pemerintah atau semacamnya yang bisa dijadikan rujukan bagi institusi yang berminat terlibat dan pemerintah daerah.
Saya melihat, gagasan contracting out, perlu segera dibawa ke beberapa stakeholder penentu lainnya, bukan hanya kemenkes. Tapi juga ke Bapenas, Kemenkeu, dan beberapa kementrian lainnya seperti Kemendagri, Kemendes, dan Kemenaker. Dan tentunya juga, komisi IX DPR RI. Upaya ini tetap harus diperbincangkan dengan “pusat” karena dengan begitu pemerintah prop/kab, memiliki payung untuk menjalankannya. Otonomi daerah saat ini, harus diakui masih seolah-olah, banyak kepala daerah (Bupati/walikota/Gubernur) takut mengambil terobosan karena kebijakannya berpotensi dikriminalisasi atas nama tiadanya pijakan peraturan.
Senyampang proses tersebut dilakukan, saya lihat perguruan tinggi atau lembaga yang berada di bawah perguruan tinggi, perlu lebih agresive menawarkan hal ini ke pemerintah daerah namun dengan kesadaran bahwa kenaikan 5% anggaran itu masih ada di saku pemerintah pusat. Yang ini berarti bahwa saat menawarkan ke daerah tidak hanya membawa skema program kesehatan saja, tapi juga plus dengan skema untuk mendapatkan pendanaan tersebut. Berat memang. Tapi beginilah fakta/sitausi “bisnis” di lapangan.
Sebagai gambaran, di kabupaten saya live in sekarang, karena kabupaten baru dan di propinsi baru, pecahan Kaltim, yang PAD-nya lebih kecil dibanding saat bergabung dengan Kaltim. Anggaran program pembangunan menjadi PR yang berat. Karenanya, pemerintah kabupaten, sangat berharap mendapatkan dana langsung dari pusat melalui DAU, DAK dan atau skema lainnya yang ada. Nah, untuk mendapatkan dana ini, persaingannya bukan main. Dan karenanya, muncullah “makelar anggaran” yang sangat rentan namun faktanya “dibutuhkan”. Skema yang digunakan, biasanya pemkab akan meminta pada pihak ke-3, untuk “memetik” dana pusat dengan perjanjian, segala konsekwensi biaya “pemetikan” itu ditanggung oleh pihak ke-3, dan bila dana tersebut gol, maka pihak ke-3 itu yang akan ditunjuk oleh pemkab untuk menjalankan proyeknya. Ini situasi saat ini. Nah, apakah kampus, lembaga di bawah kampus atau LSM siap melakukan hal semacam ini? Ini cerita abu-abunya.
Sejauh yang saya tahu, di kabupaten Malinau sini, saat ini Pemkab mengontrak dokter-dokter umum dan spesialis dengan kontrak perseorangan. Menurut informasi dari Bupati, untuk 1 dokter umum, disediakan gaji Rp 30 Juta dan Spesilais Rp 40-60 Juta, dengan syarat tidak membuka praktik umum dan hanya focus memberikan layanan di RSUD. di RSUD sekarang ada 60 dokter. Dengan biaya yang lumayan itu, ternyata tidak semua dokter memberikan layanan yang cakap dan memuaskan. Bahkan beberapa alkes canggih yang didatangkan juga tak semuanya mampu digunakan dengan maksimal oleh para tenaga medis. Saya bayangkan akan berbeda kejadiannya, bila contracting out bisa dijalankan, apalagi dengan lembaga yang pelaksana yang kredibel. Karenanya menurut hemat saya perguruan tinggi yang punya peluang untuk melakukan ini, sehingga tidak hanya untuk layanan tapi juga memberikan tehnical assistance program kebijakan kesehatannya.
Untuk LSM, saya lihat masih jauh. Kecuali professional LSM yang bekerja bersama dengan perguruan tinggi. Atau mungkinkah, perusahaan-perushaan Alkes yang akan melihat peluang ini dengan mengembangkan divisi programnya?
Terima kasih,
Ahyani Raksanagara
Selamat siang para peserta diskusi. Saya Ahyani Raksanagara Ka dinas Kesehatan Kota Bandung.
Terima kasih untuk gagasan yang sangat baik. SDM di lingkungan pemerintah utk memberikan pelayanan sesuai tantangan yg dihadapi sangat terbatas.Disamping itu juga fasilitas belum merata. Sistem CO bisa menjadi alternatif dg catatan regulasi dr sektor lain mendukung (depdagri.kemenkeu) juga tata cara perencanaan , penganggaran, pengadaan barang dan jasa. pedoman pelaksanaan perlu diterbitkan agar ada keyakinan dlm melaksanakan dan memoertanggungjawabkan keuangan, pola pengawasan.
Demikian sebagai masukan semoga bermanfaat
Krishnajaya
saya termasuk orang yang sangat setuju dengan di pihak ketigakan
kegiatan pelayanan kesehatan, saya coba kirim catatan kecil dari RPP pelaksanaan SPM :
Pemerintah Daerah tidak perlu menyelenggarakan sendiri pelayanan SPM yang dibutuhkan masyarakat (pasal 11 RPP SPM). Sesuai dengan azas cost effectiveness, maka Pemerintah Daerah bisa membuat alternatif penyelenggaraan pelayanan SPM kesehatan sebagai berikut:
Pemda menyediakan sendiri pelayanan kesehatan (yankes) yang dibutuhkan di lokasi pelayanan Pemerintah
Membeli, mensubsidi atau kemudahan lainnya agar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)/Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha (BU) swasta yang mempunyai pelayanan kesehatan yang dibutuhkan agar bisa menyediakan nya untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang membutuhkan
Memberikan voucher kepada WNI yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
Bekerja sama dengan BUMD/N atau BU swasta untuk mengembangkan penyediaan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, khususnya untuk jenis pelayanan yang kurang tersedia dalam alternatif sebelumnya.
Sebagai Negara Kesatuan, maka penanggungjawab akhir pelaksanaan urusan pemerintahan adalah Presiden (Menteri Kesehatan dalam bidang Kesehatan) sehingga kewajiban Kementerian Kesehatan sebagai bagian dari pembinaan teknis berupa kegiatan fasilitasi (Pasal 16 UU No.23 tahun 2014) pelaksanaan pembangunan kesehatan di daerah, melalui DAK.
Dengan demikian, sambil menunggu PP tentang Pelaksanaan SPM, saya mendukung PKMK terus menggali kemungkinannya dipihak ketigakannya pelayanan kesehatan di daerah dengan dukungan sumber daya dari pusat.
Seikka
Yth. Bapak/Ibu sekalian,
Kalau kita lihat peraturan penganggaran baik di APBN maupun di APBD, maka hanya “belanja modal” yang bisa dikontrakkan ke pihak ke-3, sedangkan untuk untuk “program kegiatan” tidak bisa dikontrakkan ke pihak ke-3. Kalau program kegiatan akan dikontrakkan ke pihak ke-3, harus dibuat “paket program/paket pelayanan” sehingga bisa dikontrakkan. Bisa juga dengan kontrak kinerja (sistem Pay for Performance) baik berupa Contracting out maupun contracting in. Contoh, dalam pengobatan TB, kita kontrak PMO untuk sekian pasien TB selama masa pengobatan, atau kontrak tenaga imunisasi untuk 1 desa/kecamatan dengan target 100% imunisasi lengkap dll. Dengan sistem/metode “Pay for Performance” kita bisa menetapkan target-target pencapaian kegiatan dengan sistem kontrak.
Seikka
Ijinkan saya menyampaikan pendapat untuk kedua kalinya.
Kalau untuk meningkatkan penyerapan anggaran sektor kesehatan, maka perlu melibatkan masyarakat, NGO, kelompok profesi bidang kesehatan, dan swasta, dengan mendorong mereka harus terorganisir dalam badan hukum sehingga mereka bisa ikut tender/dikontrak. Sedangkan untuk sertifikasinya, kita bisa belajar dari asosiasi pengadaan barang dan jasa yang lain. Hanya yang penting, penyusun programnya di Kemenkes atau di dinkes bisa membuat spesifikasi pekerjaan dengan baik. Untuk ini, mereka bisa dilatih dan dibimbing.
demikian salam
Harmein Harun
Prof. Laksono, Pak Dwi Handono.
Saya sangat setuju dengan konsep ini mengingat alokasi pembiayaan operasional Puskesmas pada umumnya dilakukan berdasarkan alokasi orang hari; sementara tidak semua Puskesmas memiliki jumlah personil yang cukup.
Pada tahun 1992 pernah dibahas konsep “Transforming in Primary Health Care” dengan pola contracting out ini, tetapi disebut sebagai suatu konsep yang terlalu radikal pada saat itu.
Perlu bahasan secara teknis dan persyaratan lainnya untuk contracting out ini.
Berikut saya sampaikan beberapa link untuk download berbagai pedoman/standard dan persyaratan yang digunakan oleh UK NHS sebagai berikut:
Dalam website tersebut terdapat lagi berbagai link untuk hal yang lebih teknis.
Wassalam, Harmein Harun
Harmein Harun
Prof. Laksono dan Pak Dwi Handono
Ijinkan saya menambahkan informasi tentang hasil Laporan Sensus Infrastruktur yang dipublikasikan tahun 2014 yang menyebutkan bahwa : 383 Kecamatan tidak memiliki Puskesmas; 42 Kabupaten tidak memiliki RSUD; Puskesmas tanpa dokter sebanyak 732 buah; desa tanpa bidan sebanyak 14.842 desa.
Apakah wilayah 383 kecamatan ini tidak berhak mendapatkan biaya operasional Puskesmas karena tidak memiliki Puskesmas?
Apakah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mampu melakukan kegiatan outreach untuk primary care?
Pada tanggal 26 Agustus 2015, dalam Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke-6 di Padang Hari ke-3, telah diselenggarakan Workshop Penggunaan Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan Untuk Mengantisipasi Kenaikan Anggaran Sektor Kesehatan Menjadi 5%. Dalam workshop tersebut, selain membahas teori dasar, juga berbagai pengalaman aplikasi sistem kontrak yang telah dilakukan selama ini, serta bagaimana prospek dan tindak lanjutnya. Workshop ini terbagi ke dalam sesi pleno dan sesi perkelompok (ada 4 kelompok).
Dalam workshop tersebut terungkap bahwa praktik kontrak tersebut sudah biasa dilakukan oleh donor agency terhadap LSM atau lembaga swasta lainnya. Hal ini berbeda di sector pemerintah yang masih membatasi kontrak untuk pengadaan barang dan pembangunan fisik. Dalam hal ini, dapat teridentifikasi berbagai kendala yang dikelompokkan ke dalam 4 aspek yaitu: (1) aspek pemahaman dan dukungan politis; (2) aspek regulasi; (3) aspek manajemen; dan (4) aspek provider. Silakan simak paparan Resume Hasil Workshop pada link berikut. asd
Asalamualaikum.Wr.Wb Yth. Pak Dwi dan rekan2 Saya pribadi sangat sependapat dengan upaya penguatan pelayanan kesehatan melalui sistem kontrak ini, menurut pangamatan saya dan bersumber dari beberapa referensi menunjukan bahwa untuk kondisi negara kita saat ini contracting-out lebih tepat dilaksanakan di daerah terpencil (rural/remote area) atau daerah miskin, sedangkan penguatan contracting-in lebih tepat dilakukan didaerah perkotaan (urban). Memang contracting-out biayanya lebih besar,namun apabila didukung oleh pemerintah serta niat untuk menyelesaikan masalah kesehatan apa salahnya?..kan tujuan negara untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya yang tercermin dalam UUD 1945. Sedangkan penguatan contracting-in sangat tepat dilakukan dikota karena tercukupinya SDM dan sarana dan prasarana yang telah dimiliki oleh pemerintah, diikuti dengan penetapan spesifik klien yang ingin dilayani, kejelasan kontrak kerja, reward dan punisment dan proses rekrutmen yang adil dan profesional. Namun yang paling penting dari kedua jenis kontrak itu adalah monitoring / supervisi dan penegakan perjanjian kontrak serta payung hukum yang mendukung pelaksanaannya.
Susilaningsih
Setelah saya baca refferensi ttg contracting out terutama masalah maternal. memang sudah saatnya dilakukan sitem ini Tetapi untuk costing.memang lebih tinggi.karena ada komponen jasa.jadi selain SPM ,perencanaan yg tepat dan penyiapan provider harus disiapkan dinkes propinsi atau dinkes kabupaten. Terima kasih.
Budi Perdana
Menurut pengamatan saya, penerapan sistem kontrak di sektor kesehatan adalah masalah ‘when’ karena cepat atau lambat pasti akan menuju kesana. Tahun 2016, anggaran kesehatan meningkat drastis termasuk juga DAK Kesehatan yang rencananya meningkat 3 kali lipat dari 2015.
Apa yang perlu kita siapkan? Kita perlu bersama menyusun road map utk pelaksanaan sistem kontrak. Bisa dimulai dari SPM (Standar Pelayanan Minimum) sebagai indikator pelayanan minimum yang harus disediakan oleh Kab/Kota (saat ini SPM baru sedang dalam proses finalisasi di Kemendagri). Dari 16 indikator Kab/Kota kita mapping kegiatan apa yang bisa dikontrakkan, dan setelah itu kita mapping juga resource di Kab/Kota yang bisa dikontrak untuk melaksanakan kegiatan tsb. Perlu juga dilakukan sertifikasi pada pihak ketiga sebagai pelaksana kegiatan, sertifikasi dikeluarkan oleh Dinkes.
Bila kita sdh siap dengan road map, mungkin bisa dilakukan pembicaraan dengan Biro Perencanaan Kemkes untuk membuatnya sebagai pilot project dengan dana DAK. Selanjutnya, dari input yang didapat pada piloting, bisa dilakukan penyempurnaan dan diimplementasikan pada tingkat nasional.
Happy to discuss, salam Budi Perdana, Biro Perencanaan dan Anggaran Kemkess
Hilmi SR
Yth Pak Dwi dan rekan2, Terimakasih banyak undangannya untuk berpartisipasi di CoP ini.
Jika mengacu pada resume hasil workshop yang sudah dilakukan sebelumnya, sepertinya yang menjadi prioritas adalah menumbuhkan willingness pemerintah terlebih dahulu terhadap opsi kontrak. Perlu banyak diskusi, workshop, dan pertemuan-pertemuan untuk meng-goal-kan tujuan pertama ini. Selain meyakinkan pihak pemerintah, kita juga bisa bersama-sama mengidentifikasi kekhawatiran2 pemerintah yang menjadi hambatan bisa dilaksanakannya mekanisme ini.
Akan sangat baik jika dari PKMK bisa mencetuskan ide2 penelitian dan kajian yang diperlukan kepada anggota CoP, untuk memperkuat argumentasi perlunya sistem kontrak dalam setting pembangunan kesehatan saat ini. Anggota CoP bisa menindaklanjuti masing2 (atau secara terorganisir) dengan melakukan kajian menggunakan sumber daya masing2.
Terimakasih banyak. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
Ringkasan Diskusi Tahap I tersebut adalah sebagai berikut:
Gagasan Prof Laksono untuk menerapkan kontrak di sektor kesehatan, secara umum dapat diterima oleh semua pihak baik dari kalangan akademisi, konsultan, NGO, maupun pengambil kebijakan di dinas kesehatan. Argumentasinya mulai dari aspek teoritis, evidence-based, analisis kemampuan absorbsi anggaran, potensi yang dimiliki NGO, dan lain-lain.
Kendala yang masih ditemui antara lain
peraturan kebijakan yang belum mendukung sistem kontrak diterapkan untuk program kesehatan (saat ini, sistem kontrak baru diterapkan untuk “belanja modal”);
NGO terutama NGO keagamaan memiliki potensi sebagai calon mitra tetapi belum dioptimalkan potensinya baik melalui pendataan, pelatihan, pendampingan, dan pemberdayaan atau kesempatan untuk menjadi provider.
Peluang penerapan sistem kontrak ini terbuka luas karena sudah diakomodir dalam Pasal 11 RPP tentang SPM.
Selama tiga dekade terakhir, banyak negara Amerika Latin dan Karibia (LAC) telah mengakui bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan mengambil langkah strategis atas pengakuan itu. Negara-negara tersebut telah mengubah Undang-Undang untuk menjamin hak kesehatan warganya. Sebagian besar telah meratifikasi konvensi internasional dengan menetapkan dengan mengimplementasikan secara terus-menerus dan adil bahwa hak kesehatan merupakan kewajiban negara.
Berdasarkan ketentuan baru yang terus diperluas ini, muncul tuntutan yang terus berkembang, sehingga sistem kesehatan tumbuh responsif untuk memberikan pelayanan yang terjangkau dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Atas dasar inilah, negara telah menerapkan kebijakan dan program yang bertujuan untuk mencapai cakupan kesehatan universal (UHC) yaitu, memastikan bahwa semua orang/masyarakat dapat memperoleh pelayanan yang mereka butuhkan tanpa kesulitan keuangan.
Setelah hampir seperempat abad berpengalaman dengan reformasi untuk memajukan UHC di LAC, ini saat yang tepat untuk mengambil suatu bukti kemajuan yang dibuat dalam rangka meningkatkan kesehatan dan akses masyarakat ke pelayanan kesehatan.
Saat ini merupakan waktu yang tepat karena bersamaan dengan momentum global untuk mencapai UHC, yang baru-baru ini dipercepat dengan publikasi dari laporan WHO untuk Sistem Pembiayaan Kesehatan: Jalan Menuju Universal Coverage (WHO 2010). Laporan ini diadopsi tahun 2011 dari resolusi World Health Assembly (WHA64.9).
Pada tahun 2012, Sidang Umum PBB mendorong negara-negara anggota untuk mengejar transisi kepada cakupan universal yang merekomendasikan bahwa UHC dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam agenda pembangunan pasca-2015. Pada tahun 2014, para anggota Organisasi Kesehatan Pan Amerika (PAHO) menyatakan dengan suara bulat untuk menyetujui sebuah resolusi yang menerapkan Strategi terhadap Akses Universal untuk Kesehatan dan UHC, ( A / 67 / L.36) (PAHO 2014). Bank Dunia juga menjadikan UHC sebagai bagian misi integral untuk menghilangkan angka kemiskinan pada tahun 2030 dan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Selengkapnya silahkan klik link berikut
Dalam web ini, telah terbentuk Masyarakat Praktisi (Community of Practice) tentang Sistem Kontrak di pelayanan kesehatan.
Tujuan (misi) Masyarakat Praktisi ini adalah:
Membahas mengenai konsep sistem kontrak dan kerjasaman dengan sektor swasta dalam sektor kesehatan;
Membahas pengalaman-pengalaman (best & bad practices) di Indonesia dan dunia dalam melakukan sistem kontrak di pelayanan kesehatan;
Mendorong tersusunnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengggunakan kerjasama sama dengan lembaga swsata atau antar lembaga untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat;
Mendorong penggunaan konsep sistem kontrak di lembaga anggota CoP untuk meningkatkan kinerja lembaga.
Siapa anggota CoP ini?
Pimpinan dan Staf Pemerintah Pusat-Kementerian Kesehatan/Pemerintah Propinsi/Pemerintah Kabupaten yang terkait dengan opsi sistem kontrak;
Pimpinan LSM atau perusahaan yang bergerak dalam pelayanan kesehatan;
Peneliti dan akademisi;
Pengelola lembaga-lembaga donor.
dan semua pihak yang mempunyai minat dalam aplikasi sistem kontrak di pelayanan kesehatan.
Keanggotaan Masyarakat Praktisi ini bersifat terbuka. Namun bagi anda yang ingin mendapatkan alert melalui WA atau e-mail harap mendaftar sebagai anggota aktif. klik untuk Pendaftaran
Kegiatan Masyarakat Praktis ini akan dilakukan bertahun-tahun, seiring dengan perkembangan aplikasi system kontrak di sektor kesehatan. Dalam kegiatan jangka pendek ada diskusi yang dibagi dalam beberapa periode. Silahkan klik pada bagian Arsip Diskusi disertai pula dengan pertemuan-pertemuan ilmiah tatap muka dan Policy Brief yang dihasilkan. Disamping itu pengelola web juga menyediakan berbagai referensi utuk sistem kontrak yang dapat di klik pada tab perpustakaan.
Referensi Terkait Isu Kontrak di Sektor Kesehatan.
Ameli, O., and Newbrander, W. (2008). Contracting for health services: effects of utilization and quality on the costs of the Basic Package of Health Services in Afghanistan. Bulletin of the World Health Organization. [Online] 86(12). p.920-928. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/86/12/08-053108.pdf?ua=1
Bath, R., Maheshwari, S., and Saha, S. (2007). Contracting-out of reproductive and child health (RCH) services through mother NGO scheme in India: experiences and implications. [pdf] Available at: http://www.iimahd.ernet.in/publications/data/2007-01-05_rbhat.pdf
Baqui, A.H., Rosecrans, A.M., Williams, E.K., Agrawal, P.K., Ahmed, S., Darmstadt, G.L., Kumar, V., Kiran, U., Panwar, D., Ahuja, R.C., Srivastava, V.K., Black, R.E., and Santosham, M. (2008). NGO facilitation of a government community-based maternal and neonatal health programme in rural India: improvements in equity. Health Policy and Planning. [Online] 23. p.234-243. Available from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/23/4/234.full.pdf+html
Cockcroft, A., Khan, A., Ansari, N.M., Omer, K., Hamel, C., and Andersson, N. (2011). Does contracting of health care in Afghanistan work? Public and service-users’ perceptions and experience. BMC Health Services Research. [Online] 11(Suppl 2). p.511. Available from: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/11/S2/S11
Connor, C. (2000). Contracting non-governmental organizations for HIV/AIDS: Brazil case study. Special Initiative Report No. 30. [pdf] Available at: http://www.abtassociates.com/reports/sir30fin.pdf
Cristia, J. P., Evans, W. N., and Kim, B. (2012). Improving the health coverage of the rural poor: does contracting out medical mobile teams work? Discussion Paper Series No. 1203. [pdf] Available at: http://econ.korea.ac.kr/~ri/WorkingPapers/w1203.pdf
Heard, A., Awasthi, M.K., Ali, J., Shukla, N., and Forsberg, B.C. (2011). Predicting performance in contracting basic health care to NGOs: experience from large-scale contracting in Uttar Pradesh, India. Health Policy and Planning. [Online] 26. p.113-119. Available from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/26/suppl_1/i13.full.pdf+html
Liu, X., Hotchkiss, D.R., and Bose, S. (2008). The effectiveness of contracting-out primary health care services in developing countries: a review of the evidence. Health Policy and Planning. [Online] 23. p.1-13. Available from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/23/1/1.full.pdf+html
Loevinshon, B., and Harding, A. (2004). Contracting for the delivery of community health services: a review of global experience. [pdf] Available at: http://www-wds.worldbank.org/
Lönnroth, K., Uplekar, M., and Blanc, L. (2006). Hard gains through soft contracts: productive engagement of private providers in tuberculosis control. Bulletin of the World Health Organization. [Online] 84(11). p.876-883. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/84/11/06-029983.pdf
Nigenda, G.H., and Gonzalěz, L.M. (2009). Contracting private sector providers for public health services in Jalisco, Mexico: perspectives of system actors. Human Resources for Health. [Online] 7(79). Available from: http://www.human-resources-health.com/content/pdf/1478-4491-7-79.pdf
Randive, B., Chaturvedi, S., and Mistry, N. (2012). Contracting in specialists for emergency obstetric care – Does it work in rural India? BMC Health Service Research. [Online] 12(485). Available from: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/12/485
Siddiqi, S., Masud, T. I., and Sabri, B. (2006). Contracting but not without caution: experience with outsourcing of health services in countries in the Eastern Mediterranean Region. Bulletin of the World Health Organization. [Online] 84(11). p.867-875. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/84/11/06-033027.pdf
World Health Assembly. (2003). The role of contractual arrangements in improving health systems’ performance. Resolution of the World Health Assembly, Fifty-sixth World Health Assembly, WHA56.25. [pdf] Available at: http://www.who.int/contracting/resolution_en.pdf
World Health Organization. (2005). Application of contracting in health systems: Key messages. Technical Brief for Policy-Makers Number 4. [pdf] Available at: http://www.who.int/contracting/pb_number_4_en.pdf
Zurn, P., and Adams, O. (2004). A framework for purchasing health care labor. [pdf] Available at: [Accessed 23 December 2008]. http://siteresources.worldbank.org/
PENGANTAR DISKUSI TAHAP IV
Mengacu kepada kebijakan Rencana Penggunaan Kenaikan Anggaran Kementerian Kesehatan RI Tahun 2016, peluang implementasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan sangat terbuka di level provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini dimungkinkan karena alokasi DAK Kesehatan & Keluarga Berencana tahun 2016 meningkat menjadi Rp. 19,6 T (Catatan: tahun 2015 hanya Rp. 6,8 T). Dana DAK Kesehatan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan non fisik. Dalam BOK misalnya bisa untuk kegiatan outreach (ANC, KB, Neonatal, Bayi, Program penanggulangan ATM, Penanggulangan Gizi Buruk, Penyediaan Air Bersih).
Kegiatan outreach ini bisa kurang optimal dilaksanakan akibat terbatasnya jumlah SDM dan tingginya beban kerja di puskesmas. Meskipun Kementerian Kesehatan tahun 2016 berencana untuk meningkatkan jumlah penugasan tim ke daerah dan penugasan khusus 5 jenis tenaga preventif dan promotif, tetapi tentu belum cukup untuk mengatasi kendala yang ada dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam hal ini, daerah tentu lebih tahu kebutuhannya. Dengan alokasi DAK yang lebih besar (belum lagi dari APBD “murni”), peluang untuk melakukan inovasi (termasuk contracting out) sangat dimungkinkan.
Untuk dapat “menangkap” peluang tersebut, IAKMI telah didorong untuk mempersiapkan diri sebagai calon provider dalam Forum Ilmiah Tahunan IAKMI di Bandung 22-23 Oktober 2015 yang lalu. Selain IAKMI, diharapkan LSM dan organisasi nirlaba lainnya berpotensi untuk itu.
Berangkat dari konteks demikian, tema Diskusi Tahap IV Masyarakat Praktisi (CoP) Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan adalah “Bagaimana kesiapan calon provider untuk menjadi pelaksana kontrak, dan apa yang harus dilakukan oleh calon provider untuk itu?”
Dalam web ini, telah terbentuk Masyarakat Praktisi (Community of Practice) tentang Sistem Kontrak di pelayanan kesehatan.
Tujuan (misi) Masyarakat Praktisi ini adalah:
Membahas mengenai konsep sistem kontrak dan kerjasaman dengan sektor swasta dalam sektor kesehatan;
Membahas pengalaman-pengalaman (best & bad practices) di Indonesia dan dunia dalam melakukan sistem kontrak di pelayanan kesehatan;
Mendorong tersusunnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengggunakan kerjasama sama dengan lembaga swsata atau antar lembaga untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat;
Mendorong penggunaan konsep sistem kontrak di lembaga anggota CoP untuk meningkatkan kinerja lembaga.
Siapa anggota CoP ini?
Pimpinan dan Staf Pemerintah Pusat-Kementerian Kesehatan/Pemerintah Propinsi/Pemerintah Kabupaten yang terkait dengan opsi sistem kontrak;
Pimpinan LSM atau perusahaan yang bergerak dalam pelayanan kesehatan;
Peneliti dan akademisi;
Pengelola lembaga-lembaga donor.
dan semua pihak yang mempunyai minat dalam aplikasi sistem kontrak di pelayanan kesehatan.
Keanggotaan Masyarakat Praktisi ini bersifat terbuka. Namun bagi anda yang ingin mendapatkan alert melalui WA atau e-mail harap mendaftar sebagai anggota aktif. klik untuk Pendaftaran
Kegiatan Masyarakat Praktis ini akan dilakukan bertahun-tahun, seiring dengan perkembangan aplikasi system kontrak di sektor kesehatan. Dalam kegiatan jangka pendek ada diskusi yang dibagi dalam beberapa periode. Silahkan klik pada bagian Arsip Diskusi disertai pula dengan pertemuan-pertemuan ilmiah tatap muka dan Policy Brief yang dihasilkan. Disamping itu pengelola web juga menyediakan berbagai referensi utuk sistem kontrak yang dapat di klik pada tab perpustakaan.
Melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), penekanan untuk kegiatan promotif dan preventif di puskesmas tergambar jelas. Dana BOK ini diarahkan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas melalui upaya kesehatan promotif dan preventif dalam mendukung pelayanan kesehatan di luar gedung.
Untuk itu, dana BOK dapat digunakan untuk membayar 1 (satu) orang per puskesmas tenaga kontrak Promosi Kesehatan yang kontraknya ditetapkan melalui SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang mengacu pada peraturan yang berlaku. Adapun Ketentuan Khusus terkait dengan tenaga kontrak promoter kesehatan dan rincian kegiatan yang harus dilakukan juga tertera dalam Petunjuk Teknis tersebut.
Ketentuan khusus terkait dengan tenaga kontrak promoter kesehatan adalah:
Berpendidikan minimal D3 Kesehatan jurusan/ peminatan Kesehatan Masyarakat diutamakan jurusan/peminatan Promosi Kesehatan/Ilmu Perilaku, dengan pengalaman kerja minimal 1 tahun di bidangnya.
Diberikan honor minimal sesuai upah minimum di Kabupaten/Kota yang berlaku dengan target kinerja bulanan yang ditetapkan secara tertulis oleh Kepala Puskesmas (output based performance).
Diberikan hak/fasilitas yang setara dengan staf puskesmas lainnya termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Lama kontrak maksimal 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai ketersediaan anggaran dan capaian target kinerjanya.
Saat ini pelaksanaan anggaran sudah memasuki Triwulan II di tahun 2016. Tentunya sudah cukup banyak cerita sukses atau sebaliknya terkait implementasi kontrak tenaga promkes tersebut.
Berangkat dari konteks demikian, tema Diskusi Tahun 2016 Tahap I dari Masyarakat Praktisi (CoP) Aplikasi Sistem Kontrak di Sektor Kesehatan adalah “bagaimana realisasi awal implementasi kontrak tenaga promkes dengan dana BOK?”
INDONESIA HEALTHCARE FORUM (INDO HCF) PANEL DISCUSSION
Laporan : Edna Novitasari
Mengangkat topik “Membedah Pengaruh JKN terhadap Program UKM di Puskesmas”, Indonesia Healthcare Forum Panel Discussion digelar Kamis siang (28/5/2015) di Gedung Granadi Jakarta. Diprakarsai oleh Indonesia Healthcare Forum (Indo HCF) bekerjasama dengan Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO), serta PKMK FK UGM (siaran live melalui webinar). diskusi panel kali ini menghadirkan sejumlah pembicara di bidang kesehatan masyarakat baik dari kalangan praktisi, akademisi, hingga pembuat kebijakan.
Dalam pidatonya Chairman IndoHCF, Rufi I. Susanto menjelaskan bahwa IndoHCF ini merupakan bentuk dari Corporate Social Responsibility (CSR) 8 perusahaan penyedia alat kesehatan di Indonesia, yang concern pada edukasi dan perbaikan sektor kesehatan di Indonesia. Harapannya, dari forum-forum diskusi seperti ini akan dihasilkan rekomendasi-rekomendasi yang berguna bagi perbaikan kebijakan di sektor kesehatan.
Sementara itu, keynote speaker IndoHCF Panel Discussion kali ini, dr. Anung Sugihantono, M.Kes selaku Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementrian Kesehatan RI mengakui bahwa sebagai tumpuan kesehatan wilayah, puskesmas belum maksimal dalam fungsinya terutama di era JKN ini. Ada beberapa komponen yang belum siap secara pembiayaan, seperti di sektor Promosi Kesehatan (Promkes). Ironisnya anggaran nasional yang dialokasikan untuk puskesmas cukup besar. Bahkan yang cukup memprihatinkan, belum semua tenaga kesehatan di puskesmas memahami secara utuh dan menyeluruh tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) dari puskesmas sendiri sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama, yang memiliki pertanggungjawaban kewilayahan.
Menyambung materi dari keynote speaker, Ascobat Gani dari IKKESINDO mencoba menyajikan potret puskesmas sebagai faskes tingkat pertama yang dibebani banyak tugas dan tanggungjawab sebagai tumpuan kesehatan wilayahnya. Sedangkan menurut Gani ada dua malapetaka yang membuat puskesmas makin bergeser dari tanggungjawab kewilayahannya, yakni krisis multidimensi di tahun 1998, serta euforia otonomi sampai ke kabupaten sejak tahun 2000. Di era JKN sekarang ini, pergeseran semakin jelas terlihat sehingga puskesmas semakin berlomba dengan klinik pengobatan untuk mendapatkan pasien.
Sedangkan dari perspektif Social Determinant of Health, Laksono Trisnantoro selaku Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM mencoba menawarkan dua inovasi untuk menyiasati makin tergesernya program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) di era JKN oleh puskesmas yang sudah banyak tersita waktu dan tenaganya untuk fungsi Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Pertama dengan membagi tupoksi UKM dengan lembaga lain baik di jajaran pengambil kebijakan hingga organisasi masyarakat. Misalnya untuk sektor promosi kesehatan bisa menggandeng Dinas Pendidikan atau LSM yang bergerak di bidang terkait. Inovasi kedua yakni dengan sistem kontrak atau meng-kontrak-kan program UKM ke sektor swasta. Menurut Laksono, diakui atau tidak , banyak program yang dijalankan sendiri oleh pemerintah dan tidak menggandeng pihak swasta sehingga kurang maksimal hasilnya.
Program Jaminan Kesehatan Nasional/ SJSN bidang kesehatan yang telah bergulir sejak 1 January 2014 merupakan salah satu program nasional yang secara bertahap diharapkan seluruh penduduk Indonesia akan memperolah Jaminan Kesehatan pada tahun 2019 yang kita sebut sebagai Universal Health Coverage (Jaminan menyeluruh). Dalam implementasinya di pelayanan primer maka pada saat ini yang menjadi pelaksana sebagian besar adalah Puskesmas dalam pola pembiayaan Kapitasi dan Non-Kapitasi. Dana Kapitasi/ Non-kapitasi yang diterima Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama, dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional upaya kesehatan perorangan.
Sesuai Permenkes RI No. 75 tahun 2014 Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Sesuai pasal 35 & 36 Permenkes RI No. 75 tahun 2014, UKM dan UKP harus dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan. UKM tingkat pertama meliputi UKM esensial (Promkes, Kesling, KAI dan IKB, Gizi, Pencegahan dan pengendalian penyakit) dan UKM pengembangan (upaya yang sifatnya inovatif dan / bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan sesuai prioritas masalah pelayanan dan potensi sumber daya di wilayah kerjanya. UKP di tingkat pertama (Puskesmas) dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, pelayanan gawat darurat, pelayanan satu hari (one day care), home care, dan/ rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional dan standard pelayanan (pasal 27 Permenkes tahun 2014).
Dihadapkan kepada kondisi tersebut di atas dimana Puskesmas mempunyai tugas/ tanggungjawab yang kompleks dan berat tetapi di sisi lain pada umumnya SDM Tenaga Kesehatan terbatas, maka dengan beban pelayanan peserta JKN yang pada umumnya relatif berat maka pada diskusi panel & webinar ini akan melakukan kajian/ analisa sejauh mana pengaruhnya terhadap program UKM yang pada umumnya anggaranya relatif kecil dan dalam jangka panjang sangat menentukan tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat.
Diskusi panel ini akan diikuti oleh para pakar khususnya di bidang kesehatan masyarakat, akademisi, praktisi, komunitas media, serta stakeholder lainnya. Serta melalui web seminar (webinar) yang akan diikuti secara langsung (online) oleh para akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, maupun berbagai kelompok peserta yang mendaftar sebagai peserta webinar.
TUJUAN KEGIATAN
Tujuan umum Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh program JKN di Puskesmas terhadap program UKM (risk & benefit), sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.
Tujuan khusus Untuk memperoleh gambaran pengaruh program JKN di Puskesmas terhadap program UKM :
Dalam perspektif Puskesmas sebagai Pembina Kesehatan Wilayah (Comprehensive Health Financing viability, affordability, dan sustainability JKN dengan penguatan Public Health).
Dalam Perspektif Social Determinant of Health (SDoH).
Dalam Perspektif : Kapasitasi profesi kesmas di era JKN.
Dalam mendukung/ menunjang rencana penelitian tentang : “KAJIAN PENGARUH PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) TERHADAP PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK (KIA)”.
Peserta Kegiatan dibagi menjadi 2 (dua) :
Peserta Diskusi Panel :
Unsur Pemerintah (Kemenkes RI, DJSN, BPJS Kesehatan, dll)
Assosiasi Profesi terkait
Akademisi
Pakar dan Praktisi di bidang JKN dan Kesehatan Masyarakat
Media Cetak maupun elektronik
Unsur Swasta dan perorangan lainnya
Peserta diskusi Panel yang mengikuti acara baik di Gedung Granadi ataupun UGM dibatasi hingga 50 peserta.
Peserta Webinar (Dikoordinir oleh PMPK UGM)
Akademisi dari perbagai perguruan tinggi di Indonesia
Para pakar/praktisi/ kelompok masyarakat lainnya/ individu
Mahasiswa
SUMBER DANA
Seluruh Anggaran didanai oleh INDO HCF (INDONESIA HEALTHCARE FORUM)
RENCANA KEGIATAN
Kegiatan akan dilaksanakan pada : Hari& Tanggal : Kamis, 28 Mei 2015 Waktu : 10:00 – 13:00 WIB Tempat : Gedung Granadi (S2 MMR FK UGM), lantai 10 sayap utara Jalan HR Rasuna Said Blok X-1 Kav. 8-9, Jakarta Selatan
WAKTU/ JAM
KEGIATAN
NARA SUMBER
9:00 – 10:00
Pendaftaran
Panitia
10:00 – 10:05
10:05 – 10:10
Pembukaan MC
Sambutan dari INDO HCF dan IKKESINDO
Laporan Ketua Panitia INDO HCF
DR. dr. Supriyantoro, Sp.P. MARS
(Ketua Umum IKKESINDO)
10:10 – 10:30
Keynote Speech Dirjen GKIA KEMENKES
dr. Anung Sugihantono, M.Kes
(Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA)
10:30 – 11:30
Presentasi dipimpin oleh Moderator
Dalam perspektif Puskesmas sebagai Pembina Kesehatan Wilayah (Comprehensive Health Financing viability, affordability, dan sustainability JKN dengan penguatan Public Health)
Dalam Perspektif Social Determinant of Health (SDoH)
Dalam Perspektif : Kapasitasi profesi kesmas di era JKN
Dalam mendukung/ menunjang rencana penelitian tentang : “Kajian Pengaruh Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Terhadap Program Kesehatan Ibu dan anak (KIA)”.
Moderator : DR. dr. Supriyantoro, Sp.P. MARS
Prof. Ascobat Gani, MPH, DrPH
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc,Ph.D
Dr. dr. Trihono, MSc
11:30 – 13:00
Sesi Diskusi
13:00 – 13:30
Makan Siang
INFORMASI
Kartika Indrawaty Indonesia HealthCare Forum Wisma 76 Lt. 17, Jl. Letjen S. Parman Kav. 76, Slipi – Jakarta 11410 Phone : +62 21 2567 8989 Mobile : +62 85959 488436 Fax : +62 21 53661038 Email : [email protected] Website : http://indohcf.com
Sugino Samura, ARSADA menanggapi adanya Permenkes:
Pak, Kenapa pasal 28 ada ayat 5 hukum pidana sedangkan yang lain tidak ada pidananya . Mohon komentarnya terima kasih pak. Ada kecenderungan masih fokus pada faskes saja dilapangan masih oknum-oknum yang bisa keluarkan kebijakan-kebijakan yang insidentil yang merugikan pasien sampai dengan mencelakakan pasien.
Jawaban Laksono Trisnantoro, Dosen FK UGM
Logikanya ada pak. Ini pasalnya:
Pasal 28 ayat 5 Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut tafsiran saya sebagai berikut: Di atas PMK ini ada UU KUHP yang dapat dipergunakan untuk segala bentuk kecurangan/penipuan, termasuk ditambah dengan penipuan asuransi. Hukumannya pidana kurungan. PMK sebagai aturan yang ditetapkan di level Kementerian tidak bisa menghilangkan power UU KUHP.
Ini pasalnya (378 KUHP): “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun” .
Pasal yang terkait Asuransi Pasal 381: Barang siapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan penanggung asuransi mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan dengan pertanggungan sehingga disetujui perjanjian, hal mana tentu tidak akan disetujuinya atau setidak-tidaknya tidak dengan syarat- syarat yang demikian, jika diketahuinya keadaan-keadaan sebenarnya diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Jadi kalau dibaca secara makna keseluruhan, Permenkes ini berusaha untuk mencegah yang melakukan fraud dengan ancaman administratif dan pengembalian/pembayaran klaim/kapitasi sebelum masuk ke pidana. Ini yang harus diambil maknanya.
Konsekuensinya Kemenkes dan Dinas Kesehatan harus mampu menjadi pengawas yang baik untuk JKN. Pengawasan ini perlu didanai secara cukup dan dilakukan oleh orang-orang/pihak yang kompeten. Juga BPJS dan faskes (termasuk tenaga kesehatan) harus bersedia diawasi. Kalau tidak Permenkes ini hanya di atas kertas, dan teman-teman di faskes dan/atau di BPJS dapat langsung berhadapan dengan ancaman pidana di KUHP.
Tanggapan Dr. Hanna Permana MARS, mantan Ketua ARSADA
Betul…pak Laksono yang muncul hanya sanksi administrasi. Pidana melekat pada hukum pidana dan tidak menghilangkan hukum pidananya artinya ada dua sanksi administrasi dan pidana jika mengandung unsur pidana
Tanggapan: Prof. DR. Dr.Budi Sampurna, Anggota Dewan Pengawas BPJS, Dosen FKUI
Pendapat pak Laksono benar sekali. Permenkes ingin memberi kesan kepada penegak hukum bahwa pengawasan dan sanksi administrasi yang dilakukan Kemenkes dan Dinkes cukup memberi kenyamanan bagi mereka utk tidak bertindak “sedikit-sedikit pidana”. Bila pelaksanaannya lemah, atau tujuan shock therapy, bisa saja penegak hukum bertindak. Saya sepakat agar mari kita bersama-sama mematuhi agar nyaman bagi semua pihak. Jangan lupa, bila ada masalah antara provider dengan BPJS, dapat diajukan ke Menkes.
Pertemuan BL Konsultan tahap kedua pada minggu keempat adalah praktikum program menggunaakan software project libre. Sealvy Kristianingsih dan Anantasia Noviana menjadi pemateri dalam sesi ini. Kegiatan ini dilaksanakan di Yogyakarta yang diikuti oleh berbagai tim konsultan dengan tatap muka langsung dan via webinar.
Materi ini diajarkan melalui praktek langsung dan dikerjakan oleh masing-masing peserta. Hal ini dilakukan karena pertemuan ini adalah kegiatan praktikum yang dapat lebih mudah diketahui jika langsung diterapkan.Pemateri menyajikan pemahaman fungsi penggunaan project libre. Penggunaan project libre sangat berguna dalam penjadwalan kegiatan konsultasi. Selain penjadwalan, project libre ini dapat membantu mengatur sumber daya yang akan dilibatkan beserta besar biaya yang dikeluarkan dari sebuah project.Pada kesempatan ini, pemateri hanya menyajikan project libre yang dapat digunakan untuk melakukan penjadwalan dan penggunaan sumber daya.
Pemateri menjelaskan komponen yang ada dalam project libre dahulu, Sealvy menerangkan fungsi komponen-komponen itu. Peserta selanjutnya diminta membuka project libre masing-masing dan mengisi form memulai sebuah project. Setelah membuka, peserta mengisi agenda kegiatan yang akan dilakukan, mulai dari perencanaan hingga kegiatan evaluasi. Peserta selanjutnya menentukan durasi (waktu) yang akan digunakan pada setiap kegiatan. Peserta juga dibantu cara memasukkan penanggung jawab untuk masing-masing kegiatan.
Selama kegiatan berlangsung, peserta cukup antusias dengan praktikum ini. Beberapa peserta mengajukan pertanyaan kepada pemateri. Namun, peserta tidak menemui masalah yang begitu berarti dalam memahami program ini.