Reportase Indonesia Development Forum (IDF)

Sesi Inspire Plenary

Pada Rabu, 9 Agustus 2017, bertempat di Hotel Westin GAMA Tower, Jakarta Pusat, diselenggarakan kegiatan sharing knowledge dalam sebuah platform yang bernama Indonesia Development Forum (IDF). Forum ini merupakan platform bagi pemimpin Indonesia di pemerintahan, sektor swasta, akademisi, dan anggota masyarakat lainnya untuk berkolaborasi membentuk agenda pembangunan Indonesia. Platform ini diprakarsai oleh Bappenas. Tahun ini, IDF mengambil tema Inspire, Imagine, dan Innovate. Ketiga tema ini kemudian menjadi judul besar dalam sesi diskusi yang berlangsung di dalamnya. Kegiatan ini memiliki beberapa sesi diskusi yang berlangsung secara paralel. Salah satu sesi diskusi yang diikuti oleh PKMK FK UGM adalah sesi Inspire Plenary. Sesi ini dipandu oleh Alvito Denova (Moderator) dari CNN Indonesia. Dalam sesi ini terdapat 4 orang narasumber yang sangat berkelas dan memiliki banyak pengalaman serta pengetahuan yang komprehensif yang berkenaan dengan topik “Inequality and Its Context”.

Narasumber dalam sesi ini adalah Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro, Ph.D, Menteri Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Indonesia, Chris Tinning (Chief Economist – Development, Department of Foreign Affairs and Trade Australia), Hob. Tevita Lavemaau (Minister of Finance and National Palnning of Tonga), dan Prof. Mari Elka Pangestu (Broad of Trustees at Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta).

Sejalan dengan topik yang diangkat, sesi ini banyak sekali mengulas terkait dengan ketimpangan dan segala aspek di dalamnya. Isu GDP Nasional, kesenjangan sosial, masalah kebijakan, serta strategi dan tantangan dalam pengentasan ketimpangan dan kemiskinan menjadi diskusi yang sangat mengena untuk peserta. Hal ini didukung juga dengan para narasumber yang komunikatif dalam menyampaikan materi presentasinya.

Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi di Indonesia, memiliki pengaruh terhadap kontinuitas dan kualitas pembangunan di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh 4 faktor utama yaitu ketimpangan penguasaan lahan dan tanah, ketidakadilan dalam pasar tenaga kerja, lemahnya rantai nilai antara sektor usaha, dan permasalahan konektivitas. Dari faktor ini diketahui bahwa dimensi ketimpangan itu bukan hanya masalah kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, namun berbagai pihak baik itu pemerintah, swasta, dan bahkan masyarakat sendiri termasuk dalam elemen yang menyusun kesuksesan pembangunan Indonesia. Mengurangi ketimpangan secara absolut memiliki banyak sekali area yang harus diperbaiki. Pertumbuhan dan pembangunan yang lebih baik dilakukan dengan upaya antara lain, menurunkan angka stunting, menurunkan kemiskinan, memberikan peluang pekerjaan, menurunkan ketimpangan kekayaan, dan menguatkan industri berbasis rakyat.

Menunjang upaya tersebut, diperlukan pula praktek cerdas yang dapat mencakup elemen targetting, pendampingan, dan sektor prioritas. Perlu digarisbawahi bahwa dalam upaya pembangunan ini, keberlanjutan income masyarakat dilihat dengan target sebagai awal perencanaan tetapi dibarengi dengan adanya pendampingan yang jelas/serius. Upaya mengurangi kemiskinan juga menjadi salah satu bagian kerjasama yang dapat mulai dibangun oleh pemerintah dan sektor usaha swasta yang memiliki best practice dan pilot activities untuk meningkatkan kemandirian dan penghasilan masyarakat.

Secara umum dikatakan bahwa ketimpangan ini merupakan sesuatu yang mempengaruhi pertumbuhan kapasitas negara dalam mengayomi rakyatnya, dimana seharusnya jika ada pertumbuhan yang positif, seharusnya hal ini dapat menurunkan ketimpangan. Sehingga, ke depan ketimpangan ini tidak menyebabkan dampak ketidakstablian sosial dan konflik. Dari pemerintah diperlukan program-program yang komprehensif, holistik, sistematik dan longterm.

Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

The role of development partners in addressing inequality (Kamis, 10 Agustus 2017)

innovate1Sesi yang dipandu oleh Dr. Tony Prasentianto ini membahas bagaimana peran-peran dan upaya – upaya yang dilakukan oleh sektor swasta, khususnya agensi-agensi internasional seperti IFAT, World Bank, ADS, IDB dalam membantu pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketimpangan dan menurunkan kemiskinan di Indonesia.

Meskipun pemerintah Indonesia sudah berupaya menurunkan ketimpangan di berbagai wilayah Indonesia, tetapi ketimpangan ini masih menjadi masalah utama di Indonesia. Kendati APBN untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur hingga Papua, anggaran ini masih belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk itu, dibutuhkan sektor swasta untuk mengurangi kemiskinan dan isu ketimpangan di Indonesia.

Adapun kontribusi-kontribusi yang diberikan oleh agensi – agensi internasional ini diantaranya bagaimana mereka dapat memberikan pengalaman-pengalaman internasional dan evidence-based apa yang seharusnya dilakukan oleh Indonesia, termasuk kebijakan-kebijakan apa saja yang diperlukan dan bagaimana implementasi dari kebijakan tersebut untuk mengurangi ketimpangan. Selain itu, agensi internasional juga dapat memberikan kontribusi dalam hal finansial untuk meningkatkan produk-produk pertanian dan mengatasi kemiskinan masyarakat rural serta menurunkan kemiskinan ekstrim maupun meningkatkan pertumbuhan pendapatan. Instrumen – instrumen dan perangkatnya untuk merangkul pemerintah dan sektor swasta, membangun dialog antar stakeholders serta bantuan teknis dengan fokus pada pembiayaan dan support system untuk pelaksanaan program/proyek pembangunan juga menjadi prioritas agensi internasional dalam mengatasi masalah ketimpangan. Selain itu, koordinasi antar agensi internasional juga dilakukan agar program-program bantuan tersebut dapat bersinergi satu dengan yang lainnya. Satu hal yang paling penting adalah bagaimana agensi-agensi ini mengembangkan program-program inovatif untuk mengatasi permasalahan berdasarkan kebutuhan lokal.

Sekarang ini agensi-agensi internasional ini berupaya untuk mendorong dan mengakselerasi kontribusi sektor swasta serta mengembangkan partnership sektor publik dan swasta dalam rangka mencapai sustainable rural development dengan menciptakan enabling environment dan mencapai outcome pembangunan itu sendiri. Tentunya peran sektor swasta maupun masyarakat sipil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menurunkan kemiskinan juga sangat diperlukan.

Reporter: Christa Dewi, PhD

Inequality in opportunities in Indonesia (Rabu, 9 Agustus 2017)

inspireviiSesi Inspire VII mengangkat tema mengenai ‘Inequality of opportunities in Indonesia’ dengan host Sudarno Sumarto. Dalam sesi ini, lima orang presenter menyampaikan gagasan mengenai bagaimana mengatasi ketimpangan-ketimpangan dengan melihat dimensi lain dari ketimpangan serta sumber-sumber ketimpangan itu sendiri. Kelima narasumber baik dalam negeri maupun luar negeri menyampaikan berbagai dimensi ketimpangan yang terjadi di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, pengambilan keputusan, ranah legislatif bahkan lintas generasi yang terjadi di Indonesia sampai saat ini.

Pada sesi ini, para presenter menyampaikan berbagai contoh ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, baik antara rural dan urban, di wilayah Jawa maupun luar Jawa, antara si kaya dan si miskin. Bagaimana indikator-indikator pencapaian kesehatan masih sangat tertinggal bagi masyarakat rural, adanya gap antara si kaya dan si miskin dalam mengakses lapangan pekerjaan formal, masih rendahnya keterwakilan perempuan dalam kelembagaan pemilu maupun birokrasi kendati produk-produk legislatif yang mengedepankan kepentingan perempuan sudah semakin banyak. Bahkan sebuah studi yang menggunakan data IFLS mengungkapkan ketimpangan lintas generasi, dimana apabila ketimpangan itu terjadi pada satu generasi, maka akan berlanjut ke generasi berikutnya.

Sedangkan solusi untuk mengatasi ketimpangan ini dari berbagai dimensi tersebut masih sangat minim karena studi maupun survey yang dilakukan saat ini seringkali menggunakan pendekatan-pendekatan yang tidak dapat memotret dimensi kemiskinan dan ketimpangan dari perspektif kelompok marjinal itu sendiri. Sehingga seringkali solusi-solusi yang ditawarkan tidak berangkat dari local wisdom kelompok-kelompok tersebut.

Reporter: Christa Dewi, PhD

Reportase Paradigma Baru Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Implikasinya Pada Kebijakan Publik dalam Era JKN

PKMK – Pada Selasa (20/6/2017), Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM mengadakan diskusi dengan judul Paradigma Baru Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Implikasinya Pada Kebijakan Publik dalam Era JKN. Diskusi ini bertujuan untuk membahas perubahan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Materi pada diskusi ini dibawakan oleh dr Gunawan Setiadi, MPH (Alumnus FK UGM dan mantan staf WHO SEARO di New Delhi). Moderator pada diskusi ini adalah Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD.

Pada sesi materi dr Gunawan menyampaikan beberapa paradigma seputar masalah kesehatan jiwa. Paradigma yang pertama ialah mulai munculnya gerakan masyarakat sekitar tahun 1970-1980 yang mencakup penderita gangguan jiwa untuk menuntut hak-haknya agar didengar pendapatnya, agar masalah kesehatan jiwa menjadi sebuah masalah yang dipehatikan oleh pemerintah dan dunia kesehatan. Paradigma yang kedua ialah adanya pemahaman di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa berat (severe mental illness) dapat pulih. Namun beberapa pihak justru berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa sulit untuk dapat pulih kembali. Diantaranya pendaPat Dr Emil Kraeplin (1902) bahwa kondisi sebagian besar (hampir semua) penderita schizophrenia akan semakin memburuk dengan berjalannya waktu. American Psychiatrist Association (APA) (1980, 1987) pun berpendapat yang serupa.

Pendapat ini sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar psikiater di Indonesia. Sementara terdapat beberapa penelitian ilmiah (1972-1987) yang melalui studi jangka panjang menyimpulkan bahwa beberapa pasien penderita penyakit jiwa dapat pulih meskipun tidak sepenuhnya. Adanya harapan untuk penderita gangguan jiwa dapat pulih ini mendorong perubahan dalam pelayanan kesehatan jiwa, yang salah satunya pada 2003 dalam President’s New Freedom Commission on Mental Health terdapat sebuah poin baru yang mengatakan bahwa pelayanan kesehatan jiwa harus berorientasi pada pemulihan.

Paradigma yang ketiga, adalah pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine) dimana dr Gunadi menyampaikan beberapa contoh pengobatan psikososial yang digunakan dan telah berkembang berdasarkan pengobatan berbasis bukti. Selain pengobatan, juga ada pelayanan supporting service seperti edukasi kesehatan yang juga berbasis bukti. Sementara paradigma keempat adalah pelayanan kesehatan jiwa dan kaitanya dengan jaminan kesehatan nasional (JKN) di Indonesia, yang mana JKN mempercepat terjadinya de-institusionalisasi pelayanan kesehatan jiwa. Sistem JKN yang menerapkan penetapan tarif layanan pada seluruh rumah sakit jiwa, sementara sistem rujukan pelayanan mendorong Rumah Sakit Jiwa harus merujuk balik pasien gangguan jiwa ke FKTP. Kekurangan yang ada sekarang ialah belum ada upaya khusus dalam skala nasional mempersiapkan FKTP agar mampu menangani penderita gangguan jiwa berat, dan belum ada protokol untuk menawarkan terapi keluarga kepada setiap penderita gangguan jiwa berat.

Di akhir paparan, dr Gunadi menyampaikan beberapa poin yang harus segera didorong dalam memperbaiki pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia seperti mengubah iklim di Rumah Sakit Jiwa dan Klinik Kesehatan Jiwa agar memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang berorientasi pada pemulihan serta mengkaji ulang efektivitas FKTP dalam penanganan penderita gangguan jiwa berat.

Setelah sesi materi selesai langsung dilanjutkan dengan sesi diskusi. Dimana peserta cukup antusias dalam berpendapat dan memberikan pertanyaan. Salah satu masalah yang di diskusikan ialah adanya kasus pemasungan sebanyak 50 penderita gangguan jiwa di Kebumen, Jawa Tengah. Kejadian ini dikarenakan masyarakat sekitar yang belum memilih untuk mengobati penderita penyakit jiwa ke Rumah Sakit. Padahal diwilayah Kebumen setidaknya terdapat 4 (empat) rumah sakit yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Selain itu, peserta juga mengungkapkan masalah-masalah lainya yang masih menjadi PR besar dalam layanan kesehatan jiwa.

Saat penutupan, disimpulkan bahwa sangat diperlukan upaya advokasi kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan perbaikan layanan kesehatan jiwa di Indonesia, selain itu advokasi juga perlu dipublikasikan melalui media massa sehingga masalah-masalah kesehatan jiwa di Indonesia bisa ‘terangkat’ dan diketahui masyarakat luas (FH).

{jcomments on}

Paradigma Baru Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Implikasinya Pada Kebijakan Publik dalam Era JKN

underline

  PENGANTAR

Setidaknya ada 4 perubahan mendasar yang berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Pertama, pemahaman bahwa penderita gangguan jiwa berat (psikosis) dapat pulih dan kembali hidup di masyarakat secara produktif. Kedua, gerakan hak azasi manusia penderita gangguan jiwa yang menuntut haknya untuk didengar dalam pemberian pelayanan kesehatan jiwa. Ketiga, era BPJS yang mendorong terjadinya de-institusionalisasi pelayanan kesehatan jiwa. Keempat, tuntutan agar pelayanan kesehatan didasarkan pada bukti nyata (evidence based).

Perubahan pertama dan kedua menuntut adanya perubahan orientasi pelayanan kesehatan jiwa menjadi pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pemulihan dengan 10 komponen utamanya, yaitu: self-direction, individualized dan person centered, empowerment, holistic, non-linier, strengths based, peer support, respect, responsibility, dan hope. Perubahan ketiga dan keempat menuntut adanya restrukturisasi pelayanan kesehatan jiwa di kabupaten yang bersifat multidisiplin dan multisektor yang didukung oleh masyarakat yang bersifat inklusif.

Paradigma baru ini berada dalam era Jaminan Kesehatan Nasional yang tentunya akan mengundang pertanyaan klasik: Siapa yang membiayai restrukturisasi ini? Apakah BPJS, apakah pemerintah daerah,dFilantropis, Masyarakat ataukah gabungan semuanya.


  TUJUAN

Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan perubahan yang terjadi pada pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia, khususnya dalam era Jaminan Kesehatan Nasional.


  PESERTA

Peserta kegiatan ini adalah:

  1. Kementerian Kesehatan RI
  2. Dinas Kesehatan DI Yogyakarta
  3. Fakultas Psikologi UGM
  4. Departemen Penyakit Jiwa FK UGM
  5. Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia
  6. Peneliti, Praktisi, dan Akademisi


  AGENDA

Diskusi akan diselenggarakan pada Selasa, 20 Juni 2017; pukul 15:30 – 17.15 WIB; bertempat di Gedung IKM, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Perkembangan seputar pembiayaan kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ 


  PEMBICARA

dr. Gunawan Setiadi, MPH
(Alumnus FK UGM dan mantan staf WHO SEARO di New Delhi)


  SUSUNAN ACARA

Waktu Materi
15:30-15:40 Pembukaan
15:40-16:30

Penyampaian oleh Pembicara : dr. Gunawan Setiadi, MPH

materi   Reportase

16:30-17:00 Diskusi dan Tanya Jawab
17:00-17:15 Kesimpulan dan Penutup
17.15- selesai Buka Bersama

  INFORMASI DAN PENDAFTARAN

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected]
Website: http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ 

 

Pembelajaran Baik dari Pelaksanaan UHC di Inggris

guy duly

Pertemuan semi formal ini diselenggarakan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk berdiskusi mengenai pengalaman Inggris dalam mengelola model asuransi sosial untuk kesehatan. Pembicara utamanya adalah Prof. Guy Daly yang merupakan ahli kebijakan publik dari Coventry University. Peserta yang hadir dalam diskusi merupakan perwakilan dari Kementerian Kesehatan, DJSN, PAMJAKI, PERSI, kelompok asuransi swasta dan lembaga riset.

National Health Service (NHS) dimulai sejak 1948, dan saat ini telah diakui sebagai salah satu skema asuransi kesehatan sosial terbaik dalam hal kualitas perawatan, akses, efisiensi dan keadilan sosial. NHS menjamin sejumlah pelayanan komprehensif bagi seluruh rakyat Inggris, sementara asuransi swasta tetap dipertahankan untuk melayani 3-5% populasi yang berpenghasilan tinggi.

Pelayanan primer (Klinik Dokter Umum) bertugas sebagai gatekeeper, yang melindungi lebih dari 95% penduduk. Pelayanan sekunder dan tersier dirancang dengan berbasis pada pengelompokkan keahlian klinis. Pelaksanaan NHS didukung oleh regulasi di berbagai tingkat. Pemerintah pusat menetapkan aturan-aturan umum, sedangkan hal-hal yang bersifat spesifik diatur sendiri di Wales, England, Scotland dan Northern Ireland.

Di samping semua keberhasilan yang telah dicapai, beberapa masalah yang masih ada hingga saat ini adalah kurangnya pendanaan, perbedaan di dalam maupun antar kelompok demografi, meningkatnya risiko penyakit tidak menular (PTM) karena perubahan gaya hidup dan kebijakan Brexit yang berujung pada kekurangan tenaga kesehatan. Beberapa pembelajaran baik dari implementasi NHS antara lain (1) Kesehatan menjadi komoditas publik yang didanai dan disediakan oleh pemerintah, (2) Perubahan prinsip, dari kompetisi terbuka menjadi kolaborasi, (3) Data sangat penting, dan (4) Pasien/pengguna layanan menjadi lebih berdaya.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia, yang diluncurkan sejak 2004, sangat menyerupai NHS dalam banyak hal. Oleh karena itu, mempelajari dinamika implementasi NHS akan sangat bermanfaat seiring dengan usaha menjadikan JKN sebagai asuransi kesehatan sosial yang dapat diandalkan bagi lebih dari 250 juta penduduk Indonesia

Materi selengkapnya dapat diakses pada link berikut

powerpoint

Reporter: drg. Yanti Leosari (PKMK FK UGM)

{jcomments on}

Reportase World Congress on Public Health – Hari 4

Tantangan Mencapai Equity di Wilayah Asia Pasifik

shin yong sooShin Young-Soo, Direktur Western Pacific Regional dari World Health Organization mendeskripsikan situasi equity di wilayah Asia Pasifik. Pencapaian MDGs sebagian besar telah memenuhi target, tetapi inequity tetap terjadi. Terjadi perbedaan U5MR tergantung pada tingkat pendidikan, lokasi tempat tinggal. Populasi yang tidak pernah bersekolah selalu memiliki angka kematian tertinggi.

Western Pacific itu terdiri atas berbagai macam negara, mulai dari negara dengan advanced economies seperti Australia dan New Zealand, ada yang dalam situasi transition economies seperti China dan Mongolia, negara-negara middle-income countries di wilayah kepualuan Pasifik seperti Samoa, Fiji dan negara-negara yang memberlakukan sistem desentralisasi seperti Filipina.

Negara dengan advanced economies tentunya memiliki infrastruktur sosial yang baik dan mekanisme pembiayaan yang solid. Namun demikian, tetap ada kelompok populasi tertentu yang termarjinalisasi, misalnya saja di Australia yang selalu memiliki masalah inequity antara indigenous dan non-indegenous. Di negara dengan transition economies, misalnya China, telah terjadi perubahan penitikberatan penyelenggara kesehatan dari district level model of pelayanan primer menjadi komersialisasi dan privatisasi rumah sakit. Inequity antara miskin dan kaya semakin melebar.

Sementara itu negara-negara Pasifik kepulauan, misalnya Samoa, mengalami krisis SDM kesehatan karena tingginya brain drain dan ketersediaan SDM yang terkonsentrasi di rumah sakit. Ketergantungan pada donor tinggi dan ownership pemerintah nasional terhadap program-program kesehatan rendah. Tantangan terbesar saat ini yaitu meningkatnya insidensi penyakit tak menular serta melawan perubahan iklim dan dampaknya. Sedangkan untuk negara yang terdesentralisasi seperti Filipina, mengalami masalah sosial politik yang kompleks, terutama dengan adanya 1500 pemerintahan kabupaten/kota yang masing-masing memiliki kewenangan tersendiri. Pemerintah pusat menemui kendala besar dalam menerapkan kebijakan nasional ke seluruh kabupaten/kota di bawahnya.

WHO telah melakukan beberapa upaya untuk mempersempit jurang equity: salah satunya dengan mengkampanyekan universal health coverage (UHC). “Equity is a cornerstone of UHC. Dengan adanya UHC, akses kesehatan pada kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda akan lebih merata”, ujar Shin. Regional action agenda lainnya yaitu “Leaving no-one behind”, dengan equity sebagai konsep intinya dan SDGs sebagai indikator-indikator prioritasnya.

WHO telah memberikan dukungan untuk membantu negara-negara dalam menyusun peta jalan untuk mencapai UHC, meningkatkan kapasitas leadership dari pemerintah untuk berkomitmen pada pembiayaan untuk UHC, serta memberikan pedoman-pedoman untuk mengevaluasi pencapaian UHC dan SDGs. Adanya SDGs merupakan tantangan tersendiri bagaimana kita bisa merangkul lebih banyak pihak untuk mempercepat pencapaian SDGs itu sendiri.

Sebagai praktisi kesehatan masyarakat, apa tugas kita selanjutnya?

Ada 3 hal: informing, influencing, dan institutionalising. Informing: praktisi kesehatan masyarakat harus memahami kaitan antara social determinant of health dan health equity, memahami bagaimana sektor-sektor lain dapat turut berkontribusi serta prioritas-prioritas yang dimiliki sektor lain tersebut, serta memahami kebutuhan dari perspektif masyarakat. Influencing: praktisi kesehatan masyarakat harus memperkuat kemampuan untuk mengadvokasi dan menggandeng sektor lainnya, memobilisasi dukungan politik dan finansial, dan memanfaatkan adanya kebijakan dengan efektif. Institutionalising: praktisi kesehatan masyarakat secara aktif mengangkat isu-isu prioritas tertentu dan mendiseminasikan bagaimana upaya yang dapat ditempuh untuk mencapai target yang diinginkan.

Bagaimana pendidikan kesehatan masyarakat ke depannya?

Dengan tantangan yang ada saat ini, perlu membentuk para praktisi kesehatan masyarakat yang ahli dalam berkolaborasi, advokasi dan memperkuat proses pembuatan kebijakan. Tidak hanya ketrampilan untuk promosi kesehatan saja yang dipersiapkan bagi para calon praktisi kesehatan masyarakat, tetapi juga kemampuan untuk aware terhadap isu politik dan ekonomi yang berkembang, reseptif pada perkembangan terbaru serta responsif pada kebutuhan masyarakat.

Kesimpulannya, public health saat ini mau tidak mau dipengaruhi isu sosial dan politik, sehingga penting untuk memahami determinan-determinan dari equity dari aspek sosial, politik serta faktor lain yang jarang tersentuh sebelumnya, seperti aspek komersial. Inequity terjadi di mana-mana, tapi dalam bentuk yang berbeda-beda. Kita perlu cermat menganalisis apa bentuk equity yang terjadi di wilayah atau negara kita, dengan mempertimbangkan konteks dan situasi yang ada.

Kesehatan sebagai Kompas untuk Menuntun Arah Inovasi

11apr 3Ada dua pesan utama yang disampaikan oleh Rüdiger Krech dari Department Sistem dan Inovasi Kesehatan WHO yaitu pentingnya regulasi dan inovasi dalam pencapaian tujuan kesehatan ke depannya. “Saat ini, mobilitas manusia luar biasa besar, yaitu 3.6 milyar penumpang pesawat internasional dan diperkirakan akan naik dua kali di tahun 2035. Semakin tinggi tingkat perpindahan manusia, semakin cepat pula kuman menyebar”, papar Krech memulai pidatonya. Krech memberikan contoh penyebaran virus Zika di tahun lalu. Ini salah satu faktor risiko transmisi penyakit menular yang pasti kita hadapi ke depannya. Krech juga mengingatkan kita pada epidemi Ebola beberapa waktu silam. Saat itu, data dari google berupa jumlah pencarian gejala Ebola memberikan informasi yang lebih real time mengenai potensi wabah dibandingkan data dari sektor kesehatan. Kejadian-kejadian tersebut menekankan pentingnya inovasi dan berpikir jauh ke depan dalam upaya pengendalian penyakit.

Teknologi yang maju dan akan semakin maju merupakan peluang yang mutlak perlu dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan masyarakat. Pemeriksaan kesehatan jarak jauh, yang lagi-lagi berbasis teknologi, sangat pesat berkembang. Pemanfaatan aplikasi berbasis smartphone untuk promosi dan upaya pencegahan kesehatan pun sudah begitu luas dipraktikkan. Apakah inovasi hanya sebatas teknologi? Tentunya tidak. Berbagai inovasi juga dikembangkan mengenai di dunia sosial dan ekonomi, misalnya: sistem pembiayaan, pendekatan sosial, sistem penjualan produk, dan sebagainya.

Namun, siapa yang dapat memutuskan inovasi apa yang baik ataupun kurang baik? Dunia ini penuh dengan berbagai inovasi dan kesehatan dapat menjadi indikator untuk menentukan apakah satu inovasi layak terus dikembangkan atau perlu perbaikan. “Kesehatan dapat menjadi kompas dalam pengembangan inovasi”, tegas Krech. Misalnya untuk inovasi terkait sistem sosial atau ekonomi, kita sebagai praktisi kesehatan masyarakat perlu memantau apakah dampaknya baik bagi kesehatan individu dan masyarakat? Perkembangan di dunia transportasi, bagaimana dampaknya bagi status kesehatan masyarakat? Perlu penelitian-penelitian antara lain terkait manfaat kesehatan, risiko kesehatan individu dan masayarakat.

Setelah kita mengetahui dampaknya bagi masyarakat, langkah selanjutnya yaitu menetapkan regulasi. Dengan adanya inovasi dalam hal transportasi, misalnya transportasi umum online, setelah kita tahu bagaimana dampaknya terhadap angka kecelakaan, maka perlu menginisiasi peraturan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Dengan adanya inovasi produk makanan baru, perlu ada regulasi untuk mengendalikan peredaran atau kandungan tertentu di produk tersebut. Tidak hanya di tingkat nasional, perlu kesepakatan internasional untuk memastikan kesehatan manusia terlindungi.

Siapa yang jadi pemimpin dalam hal regulasi inovasi? Pemerintah dan masyarakat-lah yang harus aktif menginisiasi perlunya regulasi-regulasi tertentu. “Kita tidak bisa membiarkan sektor bisnis dan swasta untuk menentukan arah perkembangan dunia kita di kemudian hari. Kombinasi antara topdown regulasi pemerintah dan bottomup aspirasi masyarakat adalah alat legal yang paling efektif, tutup Krech.

Reporter: Likke Prawidya Putri

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 3

Commercial Determinant for Health: Industri Alkohol dan Politik di Australia

Apa masalah kesehatan utama saat ini yang terkait dengan beban penyakit tidak menular? Ya, jawabannya adalah faktor risiko berupa gaya hidup tidak sehat. Selama ini kita berusaha menerapkan berbagai kebijakan tentang kawasan tanpa rokok, promosi pola makan dan olahraga yang sehat. Kita tidak sadar bahwa di balik semua itu terdapat raksasa industri yang secara ‘kasat mata’ menjadi tantangan terbesar kita. Sesi Plennary di hari ketiga ini menguak fakta-fakta bagaimana faktor komersial menjadi salah satu penentu penting status kesehatan masyarakat.

peter miller

Peter Miler dari University of Deakin mengangkat isu industri alkohol sebagai salah satu pihak yang ‘berkepentingan khusus’ yang memiliki vested interest. Saat ini marak asosiasi yang mempromosikan mengenai konsumsi alkohol dalam batas yang sehat dan aman, misalnya DrinkWise ataupun DrinkAware. Dengan adanya asosiasi tersebut, perilaku minum alkohol, yang termasuk gaya hidup yang berisiko, dianggap sesuatu yang aman untuk masyarakat. Namun demikian, kita tidak sadar bahwa industri alkohol sebenarnya memanfaatkan adanya asosiasi tersebut untuk membawa image positif pada produknya. Lebih parah lagi, terdapat beberapa penelitian yang didanai atau didukung oleh perusahaan-perusahaan tertentu, sehingga hasil penelitian yang ditampilkan kurang independent dan hanya melaporkan hal-hal yang mendukung industri. Hasil penelitian semacam ini juga sering tidak mencantumkan sponsor penelitian dalam acknowledgement-nya dan menuliskan bahwa tidak ada conflict of interest. Salah satu contoh penelitian tersebut yaitu adanya efek cardioprotective dari konsumsi alkohol dalam jumlah tertentu. Strategi lainnya terkait penelitian yaitu perusahaan-perusahaan ini mendanai penelitian tentang dampak konsumsi alkohol dalam jumlah sedang (moderate-level) saja tanpa melibatkan konsumsi alkohol dalam jumlah tinggi. Dalam salah satu penelitian, disebutkan intervensinya yaitu meminta responden untuk mengkonsumsi alkohol dalam jumlah tertentu.

Strategi kedua dari perusahaan ini yaitu dukungan kepada partai politik secara langsung maupun tidak langsung. Data di Australia menunjukkan bahwa partai-partai politik di Australia menerima dana cukup besar dari industri tembakau, alkohol dan gambling. Contoh lobi ‘halus’ lainnya yaitu begitu seringnya parlemen menyelenggarakan pesta atau pertemuan yang menyediakan minuman beralkohol yang disponsori oleh industri. Tak ketinggalan event olahraga yang disponsori oleh industri alkohol.

Strategi berikutnya adalah kemitraan dengan perusahaan lainnya, misalnya kerjasama antara DrinkWise dan Uber yang memfasilitasi layanan antar untuk minuman beralkohol. Di samping itu, adanya diversion tactic atau pengalihan yaitu dengan memberikan jargon yang terkesan aman misalnya bir rendah karbohidrat atau bir rendah kalori. Hal ini dilakukan juga industri rokok yang telah banyak mempromosikan adanya rokok rendah tar atau rokok untuk wanita.
Strategi lain yang cukup membahayakan yaitu dukungan industri pada media. Di Australia, Herald Sun, surat kabar yang terkemuka di Australia, mendapat pemasukan sangat besar per tahunnya dari iklan produk beralkohol. Dengan demikian media pun dapat ‘dibeli’ untuk menampilkan atau menyembunyikan informasi tertentu mengenai dampak alkohol bagi kesehatan. Strategi terakhir tapi tidak kalah berbahaya yaitu fenomena revolving door tokoh-tokoh politik yang setelah pensiun memasuki organisasi lobbying untuk alkohol ataupun industri ataupun sebaliknya. Misalnya mantan direktur pengawasan lisensi yang menjadi pimpinan di DrinkWise. Hal ini tentunya dapat sangat berpengaruh pada pengambilan kebijakan terkait alkohol di Australia.

Bagaimana dengan peran kita sebagai pemberi masukan? Penelitian, diseminasi dan menggandeng para tokoh politik harus dilakukan secara konsisten dan tidak mengenal putus asa. Peter Miller mencontohkan upaya yang dilakukannya untuk mengadvokasi tetapi ditolak mentah-mentah di depan publik. Meskipun media bukan menjadi ranah langsung dari kesehatan masyarakat, sangat penting untuk memastikan integritas dan transparansi dari media dalam menyampaikan berita tertentu. Di samping itu, kita perlu mendampingi pemerintah dalam memilah hasil-hasil studi yang ada untuk mendukung kebijakan ke depan.

Kebijakan Apa yang Paling Efektif Menurunkan Konsumsi Rokok?

prabhatProfessor Prabhat Jha, chair Dalla Lana School of Public Health Canada yang telah melakukan berbagai penelitian terkait dampak ekonomi dan kesehatan rokok, memulai sesinya dengan 5 poin kesimpulan: 1) perokok memiliki usia harapan hidup 10 tahun lebih pendek daripada bukan perokok; 2) berhenti merokok sebelum usia 40 tahun dapat mencegah 90% beban penyakit akibat merokok; 3) tembakau merupakan salah satu penyebab kemiskinan dan kebijakan pembatasan rokok berpotensi mengurangi angka kemiskinan, dan 4) menaikkan harga rokok 3 kali akan mengurangi 1/3 konsumsi rokok dan menghindari 200 juta kematian.

Perokok memiliki risiko mati lebih muda 10 tahun daripada bukan perokok. Bagaimana bila dibandingkan dengan konsumsi alkohol? Satu pesan dari Prabhat Jha, ‘don’t drink like Russian male’ dengan kata lain asalkan alkohol tidak dalam kadar sangat tinggi, yakni 1 botol vodka per hari (kandungan 40% alkohol). Sedangkan dibandingkan dengan obesitas, Studi Peto et al (2010) menunjukkan bahwa untuk mendapat dampak berkurangnya 10 tahun usia harapan hidup dari merokok, perlu mengalami obesitas dengan indeks BMI 40 – 50. Ilustrasi di atas menggambarkan betapa beratnya risiko penyakit seorang perokok.
Namun demikian ada ‘berita baik’ untuk perokok. Apabila berhenti merokok pada usia 35 – 44 tahun, maka usia harapan hidup yang hilang 10 tahun tadi akan kembali sebesar 9 tahun; berhenti pada usia 45 – 54 tahun akan mengembalikan 6 tahun harapan hidup Anda, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini:

years

Berita baik lainnya adalah dengan adanya teknologi kesehatan yang semakin baik, risiko kematian karena merokok jauh berkurang dalam 3 dekade terakhir. Tetapi, perlu diingat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membayar teknologi itu juga sangat besar.

Data yang dipaparkan Prabhat Jha menunjukkan bahwa perusahaan rokok membuat keuntungan $10,000 dollar setiap ada seorang perokok meninggal. Ironis bukan?

Studi menunjukkan bahwa menaikkan pajak rokok sampai dengan 100% dapat menurunkan 20% prevalensi merokok. Di Perancis, kenaikan harga rokok mulai diperkenalkan pada awal 1990-an yang mencapai 300% di tahun 2011, sementara rerata konsumsi rokok 6 batang per hari di awal 1990-an menurun drastis menjadi separuhnya di tahun 2011. Data dari ADB (2013) menunjukkan dampak dari kenaikan harga rokok hanya 6.4% yang ditanggung oleh masyarakat dengan status sosial ekonomi terendah tetapi manfaat yang diperoleh dalam hal kematian yang dapat dicegah yaitu 32%, lebih tinggi dari kematian yang akan dicegah di kelompok sosial ekonomi tertinggi. Dapat disimpulkan bahwa bila harga rokok naik, maka yang terkena dampak terkecil justru kalangan sosial ekonomi tertinggi, yang berarti mengurangi kesenjangan yang terjadi.

Tidak hanya itu, peningkatan harga rokok akan mengurangi pasar gelap serta memperkecil selisih harga antara rokok yang mahal dan murah.
Pajak atau cukai rokok yang naik sampai 3 kali lipat akan menurunkan konsumsi rokok sampai 1/3 dan mencegah sampai dengan 200 juta kematian. Sekali lagi perlu diingat, dampak-dampak tersebut hanya akan terlihat kalau harga pajak rokok naik sekurang-kurangnya 100%.

Kuncinya: Triple – Halve – Double. Naikkan harga rokok sampai 3 kali lipat, konsumsi akan berkurang separuhnya, pendapatan pemerintah dari tembakau akan naik 2 kali lipat.

Informasi lebih lanjut mengenai studi Prabhat Jha dan tim-nya dapat dilihat di www.cghr.org 

Apakah Kita Sudah 100% Anti Rokok?

11apr 2

Masih tentang industri tembakau, Bronwyn King, CEO Tobacco Free Portfolio menceritakan bagaimana semua orang di Australia sebenarnya berperan dalam membesarkan bisnis tembakau tanpa disadari. Berawal dari pengalaman King dalam mengurus superannuation (dana pensiun wajib yang diberlakukan di Australia). Dari agen marketing yang menawarkan program dana pensiun tersebut, King baru mengetahui bahwa dana tersebut diinvestasikan ke perusahaan-perusahaan tembakau. King mencari tahu ke provider dana pensiun lainnya dan hasilnya sama saja, bahwa fund manager tersebut berinvestasi ke perusahaan yang terkait dengan tembakau. Empat dari 5 perusahaan papan atas yang menjadi sasaran investasi fund manager bergerak dalam industri tembakau, yakni: British American Tobacco, Imperial Tobacco Group, Phillip Morris dan Swedish Match Company.

Mengapa fund manager tersebut berinvestasi ke industri tembakau? Faktanya, karena di atas kertas perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang tembakau dan rokok memiliki track record yang baik dalam segi finansial, yakni menguntungkan dan akuntabel, sehingga hampir selalu konsisten menempati peringkat tertinggi sebagai perusahaan terbaik di dunia. Para fund manager mungkin mengetahui tentang risiko tembakau, tetapi tidak atau kurang peduli pada dampak jangka panjang dari investasi tersebut.

King memberikan poin-poin penting supaya kita sebagai praktisi kesehatan masyarakat dapat lebih tajam dan menohok dalam mempromosikan dampak buruk rokok kepada bidang lain dan bagi masyarakat sebagai investor. Pertama, rokok tidak dapat dikonsumsi dalam jumlah yang aman. Sebatang rokok pun per hari dapat meningkatkan risiko penyakit kronis. Kedua, regulasi terkait rokok sudah sangat banyak dan akan semakin banyak, sehingga ke depannya dapat lebih berisiko bagi bisnis. Ketiga, bisnis rokok menginternalisasi profit dan mengeksternalisasi risiko biaya jangka panjang. Perusahaan rokok menerima keuntungan yang sangat besar, tetapi kerugian akibat rokok misalnya: biaya pengobatan kanker, penyakit jantung dan morbiditas lainnya akibat rokok ditanggung oleh pemerintah, bahkan masyarakat. Dengan kata lain, meskipun investor seakan-akan mendapat keuntungan, investor (masyarakat) pun mengalami kerugian karena harus menanggung biaya kesehatan akibat rokok melalui premi asuransi. Terakhir, bisnis tembakau telah membahayakan keamanan pangan di beberapa wilayah karena tergusurnya pertanian tanaman pangan serta 60% pekerjanya masih anak-anak.

Jadi, bagi Anda yang memiliki investasi saham, reksadana, ataupun tabungan dana pensiun dan sejenisnya, tanya pada manajer Anda apakah investasi Anda bebas rokok

Hidup untuk Makan, atau Makan untuk Hidup?

Demaio instagram

Usia harapan hidup di seluruh dunia telah berlipat ganda sejak tahun 1900, dan salah satu faktor penyebabnya adalah makanan. Proporsi kelaparan telah turun sampai 50% sejak 1969. Dr. Alessandro Demaio dari Department of Nutrition for Health and Deveopment WHO menjabarkan bahwa makanan telah menjadi penyelamat hidup manusia—makanan untuk hidup. Tapi saat ini gaya hidup telah membalik menjadi hidup untuk makan. Contoh gampangnya adalah kebiasaan untuk mengabadikan dan mengunggah makanan ke sosial media. Demaio juga menyebutkan bahwa sebagian besar foto yang diunggah ke Instagram adalah foto makanan.

Tidak bisa dipungkiri bisnis makanan merupakan bisnis yang besar. Salah satu contoh untuk salah satu retail burger di Australia, keuntungan yang diperoleh adalah 5 milyar dollar di tahun 2016—yang berarti 200 dollar per penduduk Australia. Sama halnya dengan makanan junk food, bisnis minuman soda juga sangat menguntungkan karena modalnya murah, prosesnya mudah, dan masyarakat mau membayar cukup tinggi—bandingkan antara minuman bersoda dan air mineral yang menggunakan bahan baku yang sama tetapi harga minuman bersoda mencapai 3 kali air mineral.

Di balik ‘ongkos produksi’ yang murah dan keuntungan tinggi yang diraup raksasa bisnis makanan, terdapat ‘ongkos tidak langsung’ yang akan ditanggung oleh negara dalam bentuk biaya pelayanan dan perawatan kesehatan—sama halnya dengan kasus bisnis tembakau. Masyarakat pun secara tidak langsung ikut menanggung beban itu karena menjadi pembayar premi asuransi. Demaio mengilustrasikan 3 tingkat dari ‘cost’ akibat tembakau: 1) yang konsumen bayar secara sadar, yaitu harga soda tersebut yang relatif murah; 2) yang konsumen bayar di kemudian hari tanpa sadar, yakni apabila kita akhirnya terkena penyakit akibat minuman bersoda, dan; 3) yang dibayar oleh seluruh masyarakat sebagai upaya menanggung risiko biaya perawatan akibat penyakit yang disebabkan oleh minuman bersoda, yakni premi asuransi.

Bagaimana hal ini terus-menerus terjadi? Lagi-lagi sama hal-nya dengan bisnis tembakau, yakni karena adanya promosi yang jor-joran, mendistraksi dari situasi yang sebenarnya ada. Hal inilah yang memicu ide adanya sin tax—perlu diingat bahwa kata-kata ‘sin tax’ ini bisa sensitif dan cenderung menimbulkan penolakan, sebaiknya diramu menjadi “true pricing for product” atau biaya riil total. Produsen perlu ikut andil bertanggung jawab pada dampak biaya jangka panjang yang ditimbulkan. Kita perlu memperkuat bukti ilmiah di sini sehingga advokasi ke arah tersebut dapat segera terwujud.

Kunci utamanya: kebijakan, kebijakan dan kebijakan. Kita perlu kebijakan kesehatan yang kuat untuk menekan promosi dan peredaran produk makanan minuman yang kurang sehat serta promosi ke masyarakat mengenai risiko negatif sebagai dampak produk tersebut. Kita perlu kebijakan yang menguak tentang beban biaya yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Kita perlu kebijakan yang berbasis bukti untuk memperkuat proses advokasi.

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 2

Plennary hari kedua mengusung tema Sustainable Development Goals dan tantangannya di berbagai belahan dunia. Sesi ini diisi oleh ahli dari Afrika, Pasifik serta representatif dari World Health Organization.

Permasalahan Kesehatan di Dunia

Colin Tukuitonga day 2Dimulai oleh Profesor Alex Ezeh, Direktur Eksekutif dari African Population and Health Research Center (APHRC) yang menunjukkan bahwa angka prevalensi dan insidensi penyakit di Afrika mengalami penurunan bermakna, meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan dengan rerata penduduk dunia. Afrika mengalami tidak hanya double, triple, tetapi quadruple burden of disease yaitu: tingginya angka kematian ibu dan anak yang gagal mencapai target Millenium Development Goals (MDGs), beban penyakit menular yang masih tinggi terutama Malaria dan HIV/AIDS, kecelakaan lalu lintas dan beban penyakit tak menular termasuk kesehatan jiwa.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi ini yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, bencana alam yang cukup sering terjadi, krisis pangan yang terus menerus terjadi akibat kemarau panjang, buruknya pengelolaan limbah, serta lemahnya sistem kesehatan. Tetapi yang cukup ironis adalah di saat media internasional menaruh perhatian pada bencana tanah longsor di Addis Ababa, ribuan penduduk Afrika meninggal setiap harinya karena pengelolaan limbah yang buruk. Ini adalah bukti di mana faktor lingkungan sebagai determinan kesehatan masih kurang diperhatikan.

Seperti hal-nya di Afrika, status kesehatan masyarakat di Pasifik pun mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir secara rerata, akan tetapi selalu berada jauh di belakang rerata negara-negara di dunia. Usia harapan hidup di Nauru, justru mengalami penurunan. Bertolak belakang dengan situasi Afrika yang sebagian besar masalah kesehatannya disebabkan oleh situasi dalam benua itu sendiri, permasalahan kesehatan di negara-negara Pasifik timbul karena situasi atau perilaku dari bagian dunia lainnya. “Wilayah Pasifik yang meliputi 1/3 bagian dari keseluruhan permukaan bumi dan didominasi wilayah perairan, saat ini mengalami ancaman besar dari climate change, tingginya polusi di wilayah perairan, dan overfishing, yang justru terjadi di wilayah lainnya tetapi dampaknya diderita oleh wilayah Pasifik”, ungkap Colin Tukuitange, Dirjen dari Secretary of Pacific Community.

Hal yang cukup ironis adalah dengan wilayah didominasi perairan, cakupan akses pada air bersih di wilayah Pasifik 40% lebih rendah dari seluruh penduduk di dunia. Masih terkait dengan faktor lingkungan, peningkatan permukaan serta tingkat keasaman air laut sebagai dampak dari climate change dapat mengancam keamanan pangan. Cuaca ekstrim yang juga dampak dari climate change, telah menyebabkan kerugian di negara-negara Pasifik yang dipengaruhi. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, terjadi 8 bencana alam berskala nasional yang menyebabkan beban biaya 2.6% sampai 64% dari total GDP per tahun negara yang terkena.

Ilustrasi di kedua wilayah di atas, Afrika dan Pasifik, menunjukkan betapa tingginya pengaruh lingkungan pada pencapaian kesehatan masyarakat.

Maria Neira day 2Maria Neira, Direktur Department of Public Health and Environment World Health Organization, menegaskan bahwa polusi udara merupakan kegawatdaruratan kesehatan masyarakat saat ini. Data menunjukkan bahwa Polusi udara menyebabkan 3.5 juta kematian di tahun 2012 dan polusi udara dari kegiatan rumah tangga menyebabkan kematian lebih dari 4 juta kasus di tahun yang sama. 41% penduduk dunia masih menggunakan kayu bakar atau batubara atau materi padat lain untuk kegiatan memasak, yang berkontribusi pada tingginya polusi udara indoor. Tingginya polusi udara berkorelasi dengan tingginya prevalensi penyakit pernapasan.

Di samping masalah polusi udara, permasalahan lingkungan lain pun semakin tinggi. 23% beban penyakit di seluruh dunia dipengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung oleh masalah lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan turunnya produksi pangan, serta tidak adanya akses air bersih dan sanitasi menyebabkan tingginya prevalensi penyakit yang ditularkan melalui air dan/atau makanan. 1 dari 3 penduduk perkotaan tinggal di wilayah kumuh.

5 SDGs saat ini sangat terkait dengan lingkungan: SDG 2 tentang malnutrisi, SDG 3 tentang kesehatan, pelayanan kesehatan dan dampak determinan pada status kesehatan, SDG 6 tentang akses pada air bersih dan sanitasi, SDG 7 tentang akses pada sumber energi modern, dan SDG 11 tentang polusi udara di perkotaan.

Solusi ke Depan

Maria memaparkan: “Mengurangi polusi udara, serta mengatasi permasalahan lingkungan yang berdampak pada kesehatan, memerlukan kolaborasi antara penggunaan clean energy, perbaikan perumahan, tatakota yang ramah lingkungan dan efisien, sarana transportasi yang rendah emisi, serta sektor industri dengan pengelolaan limbah yang baik”. Beberapa aspek yang akan menjadi fokus utama intervensi di Afrika telah sesuai dengan konsep yang yakni: menekan perkembangan wilayah kumuh, memperbaiki pengelolaan limbah, serta mengatasi permasalahan lingkungan.

Sementara itu di Pasifik, “Selama ini perhatian tersebar pada berbagai permasalahan kesehatan, tetapi kita justru melupakan hal dasar, yaitu akses pada air bersih”, tutur Colin. Ke depannya, perlu lebih selektif dan fokus pada satu intervensi supaya lebih besar daya yang dikeluarkan. “Usaha apapun untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Pasifik tidak akan bermakna tanpa intervensi untuk meminimalkan dampak climate change. Kita harus mendukung Paris agreement”, tutup Colin.

Demikian juga yang ditegaskan oleh Maria Neira, bahwa game changer dalam dunia kesehatan masyarakat saat ini adalah “Energy”. Saat ini sudah ada Paris agreement, convention Minamata, dan berbagai dokumen kesepakatan lainnya, tetapi belum terlaksana dengan optimal. Di samping itu, 97% budget untuk kesehatan dialokasikan pada healthcare atau upaya kuratif, hanya 3% yang dialokasikan untuk mendukung upaya promotif preventif.

Inilah saatnya kita mulai mempromosikan pentingnya lingkungan yang sehat untuk mencapai status kesehatan yang lebih baik. Kita perlu menggandeng sektor swasta untuk lebih banyak berinvestasi pada isu-isu preventif dari lingkungan seperti: sanitasi, industri yang ramah lingkungan, tatakota yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesehatan serta energi yang terbarukan.

Komunikasi Dr. Adang Bachtiar, PhD dengan Presiden WFPHA yang baru:

Dear Mr. Michael Moore
President of the WFPHA

It is nice to talk to you in the WCFPH venue today and thanks for the name card you gave me.

The world dialogue on oral health was very productive of many points:

  1. The global charter people’s health is the future for all health professions moving from just an autonomy of health providers to a significant roles of people to establish an autopoesis system ie a self perpetuating system to achieve a healthier life style.
  2. Indonesia has implemented the dental immunization and to the perception of audiences including Dr.Bettina of WFPHA, it is one example practice of the global charter.  We do hope further development of Dental immunization in other countries. In fact I’ve met several audiences who express their interest to have collaboration including from Australia.  Dr. Bettina expressed her interest that this Dental Immunization can be presented in WFPHA-WHO workshop in Geneve.
  3. One structural dilemma to achieve the Charter is mono loyalty mono health discipline with difficulties in interprofessional collaboration. I believe that WFPHA should take a serious action of this situation and move further from just inviting dental professionals in the Congress but also as a part of the WFPHA. In my country we are on that direction as a rainbow coalition.

Thanking you again to have an opportunity to meet you.

adang

Dr. Adang Bahtiar, PhD

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 1

epi visible

We have voices, we have vision, it’s now time for action

Sesi pembukaan di hari pertama diisi oleh sederet akademia dan pemangku kebijakan di bidang kesehatan di Australia.
Profesor Helen Keleher, ketua dari kongres ini membuka dengan memberikan deskripsi dari kegiatan dalam 5 hari ke depan. Kemudian, diikuti oleh Michael Moore selaku Presiden dari WFPHA yang menjelaskan makna dari ‘voices, vision, action’ pada logo kongres ke 15 ini. Begitu banyak bukti-bukti penelitian yang ada dalam ranah kesehatan masyarakat, dari bukti-bukti yang ada kita mendapatkan satu idea atau nilai baru untuk diterapkan. Namun demikian, kendala utamanya adalah bagaimana menindaklanjuti atau melakukan ‘action’ dari hasil penelitian dan ide pemecahan masalah yang kita miliki.

Inti dari kesehatan masyarakat adalah solidaritas, ungkap Bettina Borusch. Bagus atau tidaknya program kesehatan masyarakat tampak dari bagaimana wanita dan grup minoritas menerima manfaat dari program tersebut. Solidaritas akan terwujud bila kita dapat mengajak pihak lain untuk bersama-sama mewujudkan suatu tujuan. Namun perlu diingat bahwa solidaritas bukan semata-mata mengajak pihak lain, sebagaimana pemerhati kesehatan mengajak lintas sektor untuk bersama-sama memperhatikan program kesehatan, tetapi juga memastikan bahwa lintas sektor atau pihak lain mendapatkan manfaat dari ajakan kita tersebut.

Pentingnya solidaritas dan mempertimbangkan semua pihak, khususnya masyarakat sebagai yang menikmati program dan kebijakan kesehatan. DeMichelle DeShong, CEO Australian Indigenous Governance Institute menceritakan pengalaman dalam membangun kesehatan masyarakat Aborigin dengan memperkenalkan konsep kemandirian. “Bukan self-government, tetapi self-governance”, ungkap DeShong. “Selama ini pemerintah memberikan dana untuk program tertentu untuk dikelola oleh masyarakat Aborigin, sebenarnya yang dibutuhkan bukan hanya dana tetapi kewenangan untuk memasukkan ide dan nilai budaya pada program yang ada”, lanjut DeShong lagi dalam sesi keynote speech.

Aksi Nyata Apa yang Benar-Benar ‘Nyata’?

Berbicara tentang aksi atau tindak lanjut nyata kebijakan kesehatan, sangat tergantung pada peran praktisi kesehatan masyarakat dalam meyakinkan pembuat kebijakan untuk menetapkan program tertentu. Melalui video conference, Tabaré Vasquez, Presiden Uruguay di periode ini, bertutur tentang keberanian Uruguay dalam mengambil aksi nyata mengurangi dampak buruk kesehatan akibat konsumsi tembakau. “Kanker merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui edukasi dan komunikasi; merupakan tugas kita (praktisi kesehatan masyarakat) untuk memberi edukasi tersebut”, Tabaré menegaskan di awal sesinya.

Perusahaan Phillip Morris menghasilkan pendapatan lebih tinggi dari 2 kali GDP Uruguay dalam setahun, sementara tembakau menjadi salah satu penyebab tingginya belanja kesehatan di Uruguay. Pemerintah Uruguay telah menetapkan berbagai larangan, antara lain: larangan merokok di dalam ruangan di fasilitas umum, larangan promosi tembakau dalam bentuk apapun di semua media televisi, radio dan internet – termasuk untuk jenis rokok elektrik, larangan sponsorship dari perusahaan rokok, menghilangkan jargon rokok tipe tertentu yang mengusung konsep ‘light’, ‘menthol’ atau sejenisnya, merancang kemasan rokok dengan peringatan yang signifikan, serta pemungutan pajak rokok. Saat ini prevalensi perokok usia 13 – 17 tahun telah turun menjadi kurang dari 10%, insidensi infark miokard akut berkurang 22%, serta Uruguay mendapat keuntungan lebih dari USD100 juta berkat kebijakan tersebut. Inilah contoh keberanian Uruguay dalam ‘mengalahkan’ kekuasaan rokok.

Dr. Ilona Kickbusch, Direktur the Global Health Centre Geneva mengungkapkan aksi nyata di Finlandia dalam mengatasi determinan sosial kesehatan, yakni dengan menetapkan Universal Basic Income (UBI). Dalam skema UBI ini, pengangguran di Finlandia akan menerima uang tunjangan sebesar 560 euro per bulan, tanpa meminta pengangguran tersebut untuk melakukan apapun (unconditional). Skema ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pekerjaan masyarakat karena masyarakat akan lebih memilih pekerjaan dengan jaminan yang baik, menurunkan angka kemiskinan, yang pada akhirnya akan meningkatkan status kesehatan. Skema ini kabarnya akan diperkenalkan di beberapa negara di Eropa, antara lain Belanda, serta India.

Tantangan dari Dunia Politik

Dalam pidatonya yang tajam, Martin McKee, Presiden World Federation of Public Health Association (WFPHA) menyebutkan betapa sejarah telah banyak menceritakan bagaimana dampak politik pada kesehatan. Kita harus menerima dan menyadari bahwa isu kesehatan masyarakat sangat sering berbau politik. Dalam pidatonya yang bertajuk “Enemies of the People: Public Health in an Era of Populist Politics” memaparkan bahwa seorang praktisi kesehatan masyarakat harus lihai memanfaatkan skills dan knowledge-nya untuk mencegah para politisi melakukan hal yang buruk untuk kesehatan masyarakat. Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh para politikus, akan secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kesehatan masyarakat, keluarga dan individu.

Sebagai contoh Brexit dan dampaknya pada kesehatan. Data menunjukkan bahwa 10% dokter, 16% bidan dan 5% perawat di UK berasal dari Uni Eropa. 20% dokter bedah di UK memperoleh pendidikan di Uni Eropa serta lebih dari 300 juta euro dana penelitian kesehatan dari Uni Eropa research fund telah dialirkan untuk institusi-institusi di UK sejak 2014. Terjadinya Brexit dapat berarti memperkecil atau menutup berbagai peluang yang ada untuk mencapai kesehatan masyarakat yang baik di UK. Sebagai praktisi kesehatan masyarakat, kita memegang kunci dalam: memberi wawasan mengenai suatu isu kebijakan kesehatan kepada pemangku kebijakan, menunjukkan dan menggarisbawahi konsekuensi dari kebijakan tertentu, serta senantiasa memeriksa fakta-fakta yang ada dengan memanfaatkan kemampuan analisis epidemiologi serta skills lainnya. “Epidemiologi dapat menjadi alat yang kuat untuk mengatasi determinan politik untuk kesehatan. Epidemiologi membuat yang tak terlihat menjadi terlihat”, tutup McKee.

What’s next?

Dalam sesinya ‘A time for hope: pursuing a vision of a fair, sustainable and healthy world’, Sharon Friel dari School of Regulation and Global Governance ANU melihat bahwa situasi saat ini penuh dengan keputusasaan, tetapi masih ada celah peluang yang dapat menjadi pengharapan. Dunia ini penuh dengan permasalahan pelik: manusia membunuh buminya sendiri dan banyak permasalahan kesehatan yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang seharusnya menjadi wahana mencapai tujuan malah menjadi tujuan itu sendiri. Namun demikian, kita perlu optimis bahwa ada peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan bersama, yang utama adalah pentingya ‘network of hope’. Network of hope, atau dapat juga disebut sebagai jejaring harapan, akan terbentuk saat sekelompok orang memiliki visi yang sama untuk memperbaiki keadaan. Pergerakan dan inisiatif yang diusung masing-masing kelompok tersebut akan semakin memperkuat dan memperlebar jejaring harapan. Satu aspek yang tidak boleh diabaikan yaitu kekuatan organisasi masyarakat sipil, yang dicontohkan dengan suksesnya program nutrisi global yang didominasi oleh organisasi masyarakat sipil dan donor. Menariknya, sangat sedikit peran dari sektor swasta dan industri. Di sinilah kekuatan praktisi kesehatan masyarakat untuk mampu menggerakkan masyarakat sendiri dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. “Kita adalah ‘penjual ide’ dan inovator yang kadang membuat kekisruhan. Evidence is power. Dengan analisis yang baik dari fakta yang ada, yang mengupayakan perubahan regulasi, merangkul berbagai aktor dengan jejaring yang terorganisir, maka kita akan mampu membuka pintu bersama-sama pada perubahan status quo di dunia kesehatan”, pesan Friel.

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

 

 

Notulensi Workshop Protokol Penelitian Monev JKN 2017

Workshop kali ini mengambil topik tentang protokol penelitian monev JKN 2017. Pada workshop ini dibagi pada dua sesi, yaitu sesi pengantar yang akan dibahas oleh Prof Laksono dan sesi protokol monev JKN akan dibahas oleh Pak Faozi dan Ibu Likke. Untuk sesi pengantar membahas tentang struktur tim dan metode protokol penelitian serta brainstroming draft proposal evaluasi JKN. Pada seminar sebelumnya telah dibahas bahwa memang pada tahun 2017 diperlukan adanya evlauasi terhadap implementasi kebijakan JKN mengingat bahwa kebijakan ini telah memasuki tahun ketiga.

Prof Laksono mengawali diskusi dengan menjelaskan evaluasi dari siklus kebiijakan. Evaluasi kebijakan menjadi salah satu dari siklus tersebut. Hal inilah menjadi acuan dari monev JKN 2017 ini, serta berbagai penelitian-penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai sumber evidence based. Pada penelitian ini juga tidak dilakukan sendiri, namun dengan mengajak berbagai universitas dan instansi terkait yang ingin terlibat. Sehingga pada akhirnya nanti, monitoring dan evaluasi ini dapat dijadikan sebagai rekomendasi bagi policy maker dalam pengambilan keputusannya. Monev JKN ini juga tidak menutup kemungkinan akan mengaitkan dengan kebijakan mutu pelayanan, karena bagaimanapun JKN ini tidak dapat terlepas dari quality health care, misal Prof Laksono membahas lanjut bahwa dapat ditinjau mutu dari setiap daerah ataukah tentang fraud dll ataukah penetapan premi.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan dalam pengambilan keputusan. Untuk menguatkan hal tersebut dibutuhkan sistem lobby dan advokasi yang telah dibahas pada webinar sebelumnya. Dimana dengan mengajak para terkait yang terlibat sejak dari awal seperti universitas dan institusi. Namun, untuk keputusan akhir tetap dikembalikan kepada policy maker. Masyarakat pesisir atau 3T juga menjadi poin penting dalam penelitian ini, tentu saja dibutuhkan kerjasama dengan institusi-institusi setempat.

Beliau juga membahas lebih lanjut bahwa evaluasi terdiri sumatif dan formatif, dimana sumatif dilakukan di akhir kebijakan sedangkan formatif dilaksanakan pada saat implementasi kebijakan. Sehingga pada monev ini lebih melihatnya secara keseluruhan atau komprehensif, karena bagaimanapun setiap daerah memiliki karakter masing-masing. Daerah yang satu tentunya berbeda dengan daerah yang lainnya.

Prof Laksono juga menekankan bahawa pada hari ini masih membahas brainstorming protokol penelitian, minggu selanjutnya akan membahas tentang protokol penelitian, jadi sangat terbuka bagi universitas-universitas dan institusi terkait serta mahasiswa yang ingin bekerjasama dan ikut terlibat.

Selanjutnya pada sesi kedua membahas tentang protokol penelitian monev JKN 2017 yang dibahas oleh Bapak Faozi dan Ibu Likke. Diawali Bapak Faozi menjelaskan bahwa telah banyak penelitian-penelitian terdahulu tentang JKN, tentu hal ini membantu sekaligus menjadi referensi dalam penelitian ini. Kemudian Ibu Likke melanjutkan bahwa hari ini hanya brainstorming seperti yang dikatakan oleh Prof Laksono tadi. Monitoring dan evaluasi merupakan dua hal yang berbeda yang perlu kita pahami sebelumnya. Monitoring lebih kepada melihat atau memotret pada saat implementasi kebijakan, sedangkan evaluasi lebih kepada apakah kebijakan tersebut telah mencapai tujuan/sasaran. Banyak teori yang membahas tentang evaluasi kebijakan, salah satunya yaitu teori William Dunn. William dunn menjelaskan bahwa terdapat 6 (enam) indikator evaluasi kebijakan yaitu, effectiveness, efficiency, adequacy, equity, responsiveness, dan appropriateness.

Adapun Sasaran Jaminan Kesehatan Nasional yang terdapat di roadmap JKN yang diterbitkan oleh DJSN, dimana terdapat 8 sasaran yang akan dicapai pada tahun 2019, yaitu

  1. BPJS Kesehatan beroperasi dengan baik.
  2. Seluruh penduduk Indonesia mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan.
  3. Paket manfaat medis dan non medis sudah sama, tidak ada perbedaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
  4. Jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan sudah memdai untuk menjamin seluruh penduduk memenuhi kebutuhan media mereka.
  5. Semua peraturan pelaksanaan telah disesuaikan secara berkala untuk menjamin kualitas pelayanan yang memadai dengan harga keekonomian yang layak.
  6. Paling sedikit 85% peserta menyatakan puas, baik dalam layanan di BPJS maupun dalam layanan di fasilitas kesehatan yang dikontrak BPJS.
  7. Paling sedikit 80% tenaga dan fasilitas kesehatan menyatakan puas atau mendapat pembayaran yang layak dari BPJS.
  8. BPJS dikelola secara terbuka, efisien, dan akuntabel.

Ibu like dan Bapak Faozi juga menegaskan bahwa penelitian ini tidak hanya terfokus pada teori Willian Dunn dan 8 sasaran JKN tersebut, hal ini hanya memberikan gambaran awal dalam menyusun draft proposal dan untuk selanjutnya tetap diserahkan kepada para peneliti yang tertarik untuk ikut dalam mengembangkan penelitian ini. Penyusunan draft proposal akan dibahas pada pertemuan-pertemuan selanjutnya seperti desain penelitian, teori, konsep, instrumen dll.

Notulis : Sri Fadhillah, SKM.

{jcomments on}